Wednesday, November 28, 2012

Fall For You (Chapter 8)


“Nafas Meilani…” ujar Altan parau. Meilani langsung tersentak kaget. Dengan cepat ia mendorong Altan, sekuat tenaga. Matanya melebar karna tersadar dari kebekuannya di hadapan Altan.
Ia menelan ludahnya ke tenggorokannya yang terasa kering, sekering gurun pasir. Ia merutuki dirinya sendiri atas tindakan bodohnya. Bodoh karena dia membiarkan Altan menguasai dirinya. Mukanya berubah semerah tomat saat mengingat kejadian beberapa detik yang lalu.
Argghhh, sial sial sial…
“Ck! Udah ah, gue mau pulang. Minggir lo,” ucap Meilani tanpa memandang Altan.
“Gue obatin dulu tangan lo, Mel. Jangan keras kepala deh,” sungut Altan. Ia benar-benar akan menyeret kembali Meilani jika ia tetap tidak mendengarkan, menuruti dan keras kepala padanya.
Memeberi tatapan tajam pada Meilani kemudian menarik sikunya. Altan mengangkat pergelangan tangan kiri Meilani, mencoba mengamati seberapa kasar perlakuannya pada Meilani. Tatapan Altan berubah menjadi sedih dan melemah  saat ia menemukan sekeliling pergelangan tangan Meilani menjadi merah dan berbekas. Ia tidak sadar bahwa ia sudah menyakiti Meilaninya. Seharusnya tadi ia tidak perlu bersikap berlebihan saat bus itu hampir menabrak kendaraan lain. Seperti yang sudah ia duga. Seperti ketakutannya selama ini.
“Gue trauma sama bus,” bisik Altan. Ia menghela nafas berat, wajahnya berubah menjadi sedih. Entah kenapa ia mengeluarkan pengakuannya pada Meilani. Mungkin sudah saatnya…
Meilani mengangkat alisnya dan menatap aneh pada Altan. Penting buat gue tau? Cibir Meilani dalam hati.
“Seharusnya iya,” gumam Altan. Meilani tersentak mendengarnya. Masa iya Altan bisa tau apa yang dipikirkannya? Gak mungkin, kan? “seharusnya itu penting juga buat lo,” tambah Altan kemudian. Ia melirik Meilani. Kali ini dengan tatapan yang melembutkan dan mampu meluluhkan.
Meilani mengernyitkan dahinya, tapi Altan dengan santainya malah menyentil kerutan pada dahi Meilani. Membuat Meilani mengaduh dan cemberut.
“Gak usah dipikirin. Anggep aja intuisi gue lagi bagus, jadi bisa baca pikiran lo,” tukas Altan.
Dengan terang-terangan Meilani mencibir Altan, “Hihh.. sarap!”
Altan menahan senyumnya pada Meilani dan hanya terdengar seperti dengusan kecil. “Kita harus cari es batu dulu kayaknya,” gumam Altan.
“Kita? Lo aja kali. Siapa yang buat memar coba?!” balas Meilani sedikit membentak.
“Gue,” aku Altan gentle.
“Nah, yaudah sana, gih, cari sendiri. Jangan ngajak-ngajak gue.”
“Nanti kalo gue ninggalin elo sendirian disini, udah pasti lo bakalan kabur, Meilaniii…” ucap Altan setengah sabar, “gue tau akal bulus lo.”
“Isshh…” Meilani memutar matanya dan menjulurkan lidahnya keluar. Malas mengakui kebenaran intuisi Altan kali ini.
Bang Ujo yang ditunggu-tunggu dari tadi, akhirnya menampakkan batang hidungnya di hadapan Altan dan Meilani. Menyerahkan kunci mobil Range Rover putih pada Altan dan Altan menukarnya dengan kunci mobil miliknya. Menyuruh Bang Ujo mengambil mobilnya yang masih terparkir rapi di sekolah.
Altan memaksa Meilani masuk ke dalam mobilnya –dengan terpaksa Meilani menurutinya daripada pergelangan tangan kanannya kini yang akan menjadi korban selanjutnya. Ia menekan tombol kunci otomatis yang ada pada remot ditangannya sehingga pintu penumpang terkunci dengan mudahnya, lalu dengan cepat ia memutar mobil dan melompat masuk pada kursi di balik kemudi.
Ia tersenyum lebar pada Meilani yang tertangkap ingin melompat keluar dari mobil, tapi sayang, sekuat apapun usaha Meilani, ia tak akan bisa keluar dari mobil itu.
“Usaha yang bagus, Mel,” puji Altan setengah mengejek.
“Uh-oh, antisipasi yang bagus, Altan,” balas Meilani sambil menyeringai kesal.
Altan mengerlingkan matanya, “Thanks, just for you..” Babe, tambahnya dalam hati.
Meilani meringis, “Ouch!” menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya. Ingin menetralisir rasa kesal, marah, jengkel, dan segala-galanya pada Altan.
Altan tertawa terbahak-bahak melihat aksi Meilani. Hatinya kini diliputi rasa senang karna Meilaninya tetap sama seperti dulu. Hanya ingatannya saja yang kurang peka terhadap dirinya dan masa lalunya.
“Oke! Sekarang kita kemana nih?” Tanya Altan antusias. Mobil mulai berjalan pelan meninggalkan taman tersebut. “gak mungkinkan kita balik lagi ke sekolah, atau nyusul yang laen ke Ritz?”
“Pulang aja,” jawab Meilani mantap.
Altan memiringkan bibirnya, bergumam untuk memikirkan sebuah ide. “Pulang? Oh, gak bisa. Kita harus ke suatu tempat dulu, baru kita pulang.”
Meilani siap berperang.
“Apa? Gak! Gue mau pulang, titik!” tandasnya.
“Gue mau ngobatin tangan lo dulu, Meeell..”
“Gak! Gak mauuuu.. gue mau pulang pulang pulang! Cepet bawa gue pulang.”
“Meilani yang cantik tapi keras kepala, denger yaa, ini mobil punya gue, terserah gue dong mau gue bawa kemana? Hmm?” kata Altan dengan angkuh.
Lagi, Meilani merasa semua orang mudah mengintimidasi dirinya. Bahunya melorot kebawah. Merasa kecewa. Gak sang Papa, kakak kelasnya, sekarang? Muncul si Altan sang pemaksa.
“Udah dua orang aja nih yang bilang begitu ke gue. Apa bagusnya coba, banggain kendaraan sendiri,” gerutu Meilani jengkel. Altan tersenyum miring mendengarnya.
“Emang siapa lagi yang mengintimidasi lo selain gue, Mel?” tanya Altan penasaran.
“Mau tau banget?”
“Yeh, serius gue. Siapa? Biar gue banting tuh orang yang intimidasi lo. Gak ada yang boleh mengintimidasi lo selain gue soalnya,” ucap Altan bersungut-sungut seraya terkekeh di waktu yang bersamaan.
“Alaaaahh, kemaren maen pelotot-pelototan aja kalah lo,” ejek Meilani. Masih belum memberitahu siapa orang yang suka mengintimidasi dirinya selain Altan. Tapi dengan cepat otak Altan berputar. Menemukan satu sosok yang dapat diduga olehnya.
Kakak kelasnya itu? Yang berandalan itu? Yang baru jadi musuhnya itu? Saingannya juga? Ohhh…
Altan mendengus pelan. “Si Zufar Zufar, itu?” ia melirik ke arah Meilani dan kembali fokus lagi ke depan, masih mengendarai Rovernya ke suatu tempat.
“saran gue lo kayaknya harus jauhin dia deh, Mel. Dia tuh bahaya buat cewek kayak lo.”
“Jauhin dia? Hey, emang lo siapa gue nyuruh-nyuruh seenak jidat lo gitu. Dan apa maksud lo cewek kayak gue?” bentak Meilani.
“Tenang Mel, maksud gue tuh, lo liat dong style-nya dia. Persis kayak preman. Pake gelang sama kalung gitu. Suka ngerokok. Lo itu kan terlalu polos Mel, ntar kalo lo ikut-ikutan kayak dia, apa kata orang tua lo? jadi—”
“Stop, Al. Jangan suka nge-judge orang kayak gitu deh! dia aja gak pernah nge-judge lo. Dan asal lo tau, seburuk-buruknya kelakuan dia, sebrandal-brandalan style-nya dia, gue lebih lebih lebiiihhh suka dia daripada lo,” sungut Meilani berapi-api. Ia melanjutkan kembali ocehannya hingga tanpa sadar membuat Altan terbakar amarah,
“Lo tuh bisanya Cuma bikin gue kesel, marah, nyakitin gue, dan kalo lo mau tau lagi, kak Zufar gak pernah sekalipun bikin tangan gue memar-memar kayak gini, dan dia tuh lebih bisa bikin gue ketawa dibandingin bikin gue marah-marah!”
Tepat saat Meilani menghentikan ucapannya, Altan dengan sengaja menginjak pedal rem secara tiba-tiba. Membuat kepala Meilani —yang lupa memakai sabuk pengaman, terhantam dashboard di depannya.
“Aww!!” pekik Meilani kesakitan.
“BISA DIEM GAK, MEL!!?” teriakan Altan menggema di dalam mobil itu. Rahangnya mengeras, bibirnya terkatup rapat menahan gejolak amarah yang membuncah di dalam tenggorokannya. Tangannya mencengkram erat pada stir mobil, membuat buku-buku jarinya memutih seketika. “LO BILANG JANGAN SUKA NGEJUDGE ORANG, TAPI LO SADAR GAK, BARUSAN LO NGEJUDGE GUE?!!!”
“Lo bisa keluar kalo lo masih mau banding-bandingin gue sama dia!” ucap Altan dingin tanpa memandang Meilani.
Meilani melongo. Apa? Tadi Altan bilang apa? Keluar? Dari mobil ini? Dia diusir gitu? Hah? Meilani tersadar dari lamunannya saat suara pintu di sampingnya dibanting dengan kasar. Ia melihat Altan berjalan dengan penuh emosi memutar mengarah ke pintu disebelahnya.
Saat pintunya dibuka, menampakkan wajah Altan yang mengeras dan tampak sangat dingin, ia menyuruh Meilani keluar dari dalam mobilnya. Dengan takut-takut Meilani keluar dari dalam mobil dan menatap Altan dengan pandangan antara ngeri, bingung, dan aneh.
Tanpa banyak bicara dan menengok ke arah Meilani, Altan dengan cepat masuk kembali ke dalam Rovernya, meninggalkan Meilani yang termangu sendiri di pinggir jalan.
Di dalam mobil, Altan memaki segala kelakuan kasarnya pada Meilani. Ia memaki emosinya yang sulit untuk ditahan, dan membiarkannya meluap begitu saja.
Matanya memanas. “Shit!” makinya saat ia merasa bulir-bulir bening itu mendesak untuk meluncur di kedua pipinya.
“Damn! BODOH BANGET LO, AL!!!!” makinya sendiri. “Lo gak pantes idup! Lo harusnya mati, sialan!” teriaknya sambil memukul-mukul stir mobil yang berada tepat di depannya. Ia benar-benar merasa frustasi. Bisa-bisanya ia meninggalkan Meilani sendirian di jalan!

___***___***___***___


Sementara Meilani masih melongo dan menatap mobil Altan yang bergerak menjauhi dirinya. Wow, dia bener-bener bisa buat Altan marah, ngamuk-ngamuk dan ngusir dia? Berita bagus!
Padahal gak usah diusir pun, dengan sangat sukarela Meilani pengen banget keluar dari mobilnya itu. Pengen banget jauh-jauh dari si Altan itu. Err…
Eh, tapi tunggu? Sekarang dia di daerah mana? Dia pulang naik apa? Sama siapa?
Baru saja Meilani melangkahkan kakinya menelusuri trotoar —di jalan yang entah itu dimana, tiba-tiba BlackBerry putih miliknya berbunyi.

Hey! you got a call…
hey, hey!!!
you got a call…

Meilani seperti mendapatkan sebuah mukjizat, saat melihat siapa yang meneleponnya disaat-saat seperti ini.
Dewa penyelamatnya memanggil! Akhirnyaaaa…
Dengan perasaan lega dan bersemangat, Meilani mengangkat panggilan telpon itu. “Hallo, kakakkkk!” pekiknya senang.
“Wessshh, santai cantik! Nungguin telpon dari gue, ya?” tanya Zufar diikuti kekehan geli dalam suaranya.
“Kali ini sih, iyaaaaa.”
“Whoa!! Senangnyaaa.. sekarang bilang sama gue, lo lagi dimana? Sama siapa?” tanya Zufar begitu bergembira. Ia sengaja menelpon Meilani karna mendapat dari salah satu koneksinya, umm..ralat, mata-matanya, bahwa Meilani dipaksa keluar oleh seorang cowok saat perjalanan ke Hotel Ritz dari dalam bus. Setelah mendapat informasi itu, tanpa banyak suara, Zufar langsung menghubungi Meilani. Ia khawatir akan keselamatan Meilani.
“Gue sendirian nih di jalanan. Gak tau dimanaa,” ucap Meilani sangat sangat terdengar sengsara. Ia celingak-celinguk, mencari suatu tanda untuk memberitahu dimana keberadaannya sekarang. Yang ia lihat hanya kendaraan yang berlalu-lalang di depannya, sebuah warung kecil di dekat halte, dan kantor PLN di ujung jalan sana.
“Ya ampun! Dodol banget sih lo. Kenapa bisa gak tau lagi ada dimana coba?! Emangnya siapa yang ngangkut lo ampe kesitu, hah?!” ada nada panik dalam suara Zufar kali ini. “terus gimana gue bisa tau lo lagi ada dimana, Meilaniiiiii.”
“Ini kak, gue ada di antara motor dan mobil yang berlalu-lalang, terus warung kecil di deket halte, nah, di ujung jalan sana tuh ada kantor PLN. Tau kan? Kantor yang catnya warna kuning itu lohhh…” jelas Meilani.
“Eh, koplak! Lo pikir jalanan yang ada motor dan mobil yang berlalu-lalang, warung kecil di deket halte sama kantor PLN di ujung jalan sana itu Cuma ada satu di Indonesia??? Hah?!!” geram Zufar setengah putus asa. Suara ke-putus-asa-an zufar membuat Meilani menepuk jidatnya. Teringat sebuah ide yang begitu sangat cemerlang dalam kondisi darurat seperti ini.
“Aduh, kak. Kita berdua tuh oneng banget, ya. Mau nyari gue aja frustasi banget,” gerutu Meilani. Ia melangkahkan kakinya ke halte di depannya, mencari tempat duduk. Pegel banget kayaknya nelpon sambil berdiri, gumamnya dalam hati.
“Hellooooww.. kemana tekhnologi yang udah pesat sekarang? Lacak gue aja deh pake GPS. Gimana sih katanya anak gunung ama GPS aja lupa.”
“Astagaaaa, Meilaniiii… ngobrol dong dari tadi,” seru Zufar di ujung telpon.
Meilani memutar matanya. “Kita dari tadi ngobrol, kakak,” ralat Meilani. “udah buruan, jemput gue ya, kakak yang ganteng dan baik hati..”
“Hahaha… makasih. Oke tunggu lo disitu. Jangan kemana-mana sampe gue jemput!”
“Okeeee!!”

___***___***___***___


Sudah satu setengah jam Meilani menunggu Zufar di halte tempatnya menunggu. Setelah diperhatikan lebih teliti di sekelilingnya, Meilani baru menyadari bahwa tak jauh dari halte itu ada plang berwana hijau, menunjukkan nama jalan tersebut. Ia berada di jalan Tanjung Barat. Sepertinya tempat ini sudah sangat jauh dari sekolahnya, makanya rasanya lama sekali menunggu Zufar tiba.
Karena sudah sangat bosan menunggu lama, akhirnya pikiran Meilani mengembara pada kejadian beberapa jam yang lalu. Saat ia bertengkar dengan Altan, saat Altan menuruninya dan meninggalkannya di pinggir jalan.
Apa dia terlalu jahat dan berlebihan membanding-bandingkan Altan dengan Zufar?
Mengapa Altan memilihnya untuk keluar dari bus itu?
Apa dia sudah menyakiti Altan?
Mengapa Altan mengatakan bahwa ia trauma terhadap bus kepada dirinya?
Apa lebih baik ia meminta maaf kepada Altan?
Mengapa Altan tega membentaknya seperti tadi?
Apa Altan akan memaafkannya atas perkataannya tadi?
Apa cuma dia yang salah? Bukankah Altan juga salah?

Terlalu begitu banyak pertanyaan apa dan mengapa di dalam benaknya, sehingga ia tidak menyadari kalau Zufar sudah memanggil-manggil dirinya di atas motor Ninjanya.
“Sssuuuttttt… kiwkiww… cewekkk!” goda Zufar dari atas motornya. Meilani yang menyadari bahwa Zufar sudah tiba dan menggodanya malah ikut balas menggoda.
Dipasangnya wajah innocent dan ia berpura-pura melihat ke kanan dan ke kiri, mencari-cari dimana suara itu berasal. Tak dipalingkannya wajahnya ke arah Zufar yang menatapnya geli.
Meilani masih sok-sok sibuk tak mengindahkan panggilan Zufar. Ia menatap kesepuluh kuku jarinya, memeriksanya dengan bibir berputar.
Gerah karena Meilani tak juga menghampiri dirinya, Zufar dengan sabar turun dari motornya, lalu membuka helm full face-nya dan melangkah mendekat ke tempat dimana Meilani sedang duduk acuh.
“Helloooooww…” Zufar mengibas-kibaskan tangannya di depan muka Meilani. Mencoba menarik perhatian Meilani. Meilani mengangkat wajahnya dan menatap datar pada wajah tampan milik Zufar.
“gue tuh dari tadi manggilin elo tauu.. malah bengong aja lagi disini.”
Meilani mengernyitkan keningnya. “Masa? Gue gak denger dari tadi lo manggil gue. Gue kira dari tadi lo lagi ngegodain mbak-mbak penjaga warung disitu,” kata Meilani sambil menunjuk ke warung kecil di sebelahnya. Terlihat mbak-mbak pemilik warung sedang melayani orang yang sedang membeli sepuntung rokok di warungnya. “lagian manggilnya kayak begitu. Emang gue cewek apaan,” sungut Meilani kemudian.
Tersenyum lebar akan maksud dari sindiran Meilani, Zufar menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Oh, jadi maunya gue yang nyamperin nih? Lah, ini udah gue samperin. Kalo gitu.. ayo princess, kendaraan anda sudah menunggu,” ucap Zufar memberikan tangan kanannya pada Meilani dan tersenyum manis bak pengawal sebuah kerajaan.
Meilani tersenyum lebar dan mengambil tangan Zufar dan menggenggamnya erat. Lalu ia berdiri dan melangkah menuju Ninja hijau milik Zufar. Setelah memberikan helm pada Meilani dan memeriksa bahwa ia siap untuk berkendara, Zufar memacu motornya membelah kota Jakarta.
Ia tersenyum dibalik helmnya saat sebuah rencana manis tersusun dalam benaknya. Dengan cepat, ia melajukan motornya ke tempat yang ingin ia tuju.

___***___***___***___


Dengan sangat enggan dan bosan, seorang cowok Indo —berdarah Inggris-Sunda, mengikuti kegiatan belajar dalam kelasnya yang sangat ramai dan ribut. Ia sedang menggambar atau lebih tepatnya mencoret-coret buku tulisnya saat handphone disaku celananya bergetar singkat. Menginterupsi kegiatan yang sedang digelutinya dengan terpaksa.
Sebuah MMS masuk ke dalam smartphone miliknya.
Disana terdapat sebuah gambar seorang cewek berwajah oriental dengan rambut hitam panjang dikuncir kuda, sedang mengamit tangan seorang cowok yang dikenalinya di sebuah halte pinggir jalan. Ekspresi yang tergambar pada foto itu adalah mereka tersenyum lebar, sepertinya sangat sangat bahagia.
Dan terdapat pesan dalam MMS itu.

From: Billy
Time: 11.44 a.m

Is she the girl what do you mean?
I guess she is Zufar’s girlfriend, you know, they always seem to go out both.
The next our target, huh??

Ia membandingkan foto itu dengan salah satu foto yang sudah lama tersimpan di dalam galeri smartphone-nya. Foto yang beberapa waktu yang lalu pernah diambilnya sendiri. Foto seorang cewek dengan rambut tergerai ke samping dan sedang berdiri cemas di depan halte.
Dengan senyum miring yang tercetak pada bibir tipisnya, ia membalas MMS tersebut. Berseru senang dalam hatinya.

Yeah! Good job, man!
And of course she will be our next target. Haha
Thanks. Xx
>>send messages<<

Memasukkan smartphone-nya kembali ke dalam saku celananya, kemudian cowok itu membalikkan badannya ke belakang. Masih dengan senyum licik yang terpatri di wajahnya.
“Billy, barusan MMS gua dan informasiin hal terbaru dari musuh kita. Kita bakal punya umpan baru buat jatohin si pecundang itu, guys.”

___***___***___***___


“Kak, kita mau kemana sih? Kayaknya ini keluar Jakarta, ya?” Tanya Meilani di belakang Zufar. Ia memang tidak tahu arah jalan kemana mereka menuju, tapi ia yakin kalau ini adalah arah menuju ke luar kota.
“Emang. Gue mau ajak lo ke Sentul,” jawab Zufar.
Meilani mengernyitkan dahinya. Heran. Sentul? Mau ngapain?
“nanti juga lo tau,” tambah Zufar saat dilihatnya dari kaca spion wajah Meilani yang dilanda kebingungan. “Surprise dooong.”

Meilani menatap Zufar dengan mulut menganga. Astaga.. ia tak menyangka Zufar mengajaknya ke tempat seperti ini. Ke acara seperti ini?
Zufar membawanya ke SICC, mengajaknya ke sebuah acara festival balon Udara yang memang sedang berlangsung di lapangan parkir yang luas itu.
Meilani menatap takjub dihadapannya. Begitu banyak balon udara melayang disana. Beraneka ragam bentuk dan gambar pada balon udara itu. Meilani begitu fokus menatap dan mengagumi balon udara yang begitu banyak —menghiasi udara kota Sentul, ia sampai tidak sadar kalau Zufar menarik tangannya dan mengajaknya mendekat ke salah satu balon udara di sana.
“Wahhh... keren-keren banget kak! Ya ampun, gue baru tau ada acara kayak begini disini,” pekik Meilani antusias.
“Hhehehe… suka?”
Meilani mengangguk riang. “banget!”
“Ayo, naik!” ajak Zufar menarik kembali Meilani ke tempat salah satu server balon udara tersebut.
“Kita boleh naik?” Tanya Meilani heran. Wow, ini pengalaman baru dan yang paling menyenangkan yang akan dia lakukan. Naik balon udara!
“Boleh doong.”


Tak lama kemudian, mereka berdua sudah berada di dalam basket balon udara. Di atas ketinggian 40 meter dari darat.
Mereka dapat melihat betapa panjangnya jalan tol —beserta mobil-mobil yang berlalu-lalang di sepanjangnya jalan, gedung-gedung yang jaraknya berjauh-jauhan, rumah-rumah penduduk, pohon-pohon hijau di pinggiran jalan, awan mendung yang rasanya bisa tergapai hanya dengan mengangkat tangan.
Ah! Ini semua terlihat sangat sangat menakjubkan jika dilihat dari atas sini.
“Weyy… seneng banget kayaknya. Gue sampe dicuekin,” gerutu Zufar saat menegur Meilani yang asyik sendiri dengan mengagumi keindahan alam kota Sentul.
“Iya, maaf. Abis ini kereeennn banget!” puji Meilani. “makasih ya, kak, udah ngajak gue ke tempat ini, terus naik balon udara ini. Hehehe so sweet banget!”
“Iya, lebih so sweet lagi kalo lo jadi cewek gue,” gumam Zufar. Terdengar keras dan sengaja.
Meilani melemparkan kepalanya kebelakang dan tertawa terbahak-bahak. Geli dengan candaan Zufar. Umm, tapi jujur, jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia merasa gugup. Ia tahu benar kalau gumaman Zufar itu disengaja.
“Ngelawak aja lo kak.”
Zufar menatap Meilani dengan serius. “Yee, beneran lagi. Coba kalo lo cewek gue, kan enak bisa pegangan tangan di atas sini, peluk-pelukan juga bisa —kalo lo mau,” ujar Zufar dengan tenang. Ia serius kali ini pada ucapannya.
Meilani melebarkan matanya. Ia melihat keseriusan pada kedua bola mata indah milik Zufar dan mendengar nada penuh harap pada suaranya.
Dengan menggigit bibir bawahnya, Meilani memalingkan wajahnya dari Zufar dan menghadap pada cakrawala di atas udar kota Sentul. Berusaha menutupi rasa gugupnya yang sudah tercetak jelas pada wajahnya yang mulai memancarkan warna merah menggoda.
Jantung Meilani berpacu berpuluh-puluh kali lipat dan ia merasa hatinya sudah mendarat bebas dari loncatan setinggi 40 meter dari atas balon udara ini.
Ya Tuhan, Zufar lagi nembak apa bukan, sih?
“Mel,” panggil Zufar dengan membalikkan badan Meilani agar bisa menatapnya. Melihat pada kedalaman bola mata bening itu, dan menangkup wajah Meilani di dalam kedua telapak tangannya, Zufar melanjutkan kata-katanya, “gue serius.  Gue ngerasa lengkap kalo lagi sama lo, gue ngerasa tenang kalo lo aman berada di deket gue, gue ngerasa tenang tiap liat tawa lo, senyum lo, mata lo yang berbinar-binar, gue ngerasa kayaknya hati, jiwa dan pikiran gue udah berkomplot buat  terus-terusan teriak-teriak manggil nama elo kalo lo lagi gak ada di samping gue, Mel.”
Sekarang keringat dingin mulai membasahi setiap pori-pori tubuh Meilani. Dan ia kehilangan nafasnya saat mendengarkan penuturan Zufar yang mengguncangkan batinnya, hatinya, jiwanya, dan pikirannya.
“Kak…”
“Mel, menurut lo enaknya kita jadian disini atau kita terjun berdua dari atas sini kalo kita gak jadian?” bisik Zufar memotong Meilani yang ingin berbicara. Alisnya dimiringkan sebelah.
Meilani melongo. Makin melebarkan matanya dan menatap Zufar tak percaya. Gawat! Ini Zufar nembak dia atau mau ngebunuh dia sih kalo cintanya ditolak?
Zufar terkikik geli melihat ekspresi Meilani. “Becandaa Mel, kalo kita berdua loncat dari sini terus yang mati lo doang dan gue sekarat, itu gak adil. Ntar di surga sana lo enak-enakan pacaran sama Bidadara, lah, gue disini sengsara,” ucap Zufar dengan mengernyitkan dahinya saat pikiran aneh itu melintas di benaknya.
Meilani menarik nafas. Mengumpulkan semua kata-kata yang sudah tersusun dalam pikirannya. “Kak, gue gak yakin lo lagi nembak gue. Lo kan orangnya gitu banget becandaannya,” sungut Meilani. Sebenarnya masih banyak yang ingin ia sampaikan pada Zufar, tapi sialnya, hanya itu kalimat yang dapat tersusun rapi yang keluar dari mulutnya.
“Ya ampuuunn… iya, iya, iyaaa, Mel, gue seriusssss!” Zufar memutar matanya jengkel tapi bibirnya membentuk sebuah senyum layaknya seorang malaikat.
“jadi pacar gue, ya?” pinta Zufar lagi.

Oh my god! Meilani ditembak oleh seorang Zufar? Di atas balon udara? Di atas ketinggian 40 meter?
Wow!!!!

0 comments:

Post a Comment