“Nafas Meilani…” ujar Altan
parau. Meilani langsung tersentak kaget. Dengan cepat ia mendorong Altan,
sekuat tenaga. Matanya melebar karna tersadar dari kebekuannya di hadapan
Altan.
“Ck! Udah ah, gue mau pulang.
Minggir lo,” ucap Meilani tanpa memandang Altan.
“Gue obatin dulu tangan lo,
Mel. Jangan keras kepala deh,” sungut Altan. Ia benar-benar akan menyeret kembali
Meilani jika ia tetap tidak mendengarkan, menuruti dan keras kepala padanya.
Memeberi tatapan tajam pada
Meilani kemudian menarik sikunya. Altan mengangkat pergelangan tangan kiri
Meilani, mencoba mengamati seberapa kasar perlakuannya pada Meilani. Tatapan
Altan berubah menjadi sedih dan melemah saat ia menemukan sekeliling pergelangan
tangan Meilani menjadi merah dan berbekas. Ia tidak sadar bahwa ia sudah
menyakiti Meilaninya. Seharusnya tadi ia tidak perlu bersikap berlebihan saat
bus itu hampir menabrak kendaraan lain. Seperti yang sudah ia duga. Seperti
ketakutannya selama ini.
“Gue trauma sama bus,” bisik
Altan. Ia menghela nafas berat, wajahnya berubah menjadi sedih. Entah kenapa ia
mengeluarkan pengakuannya pada Meilani. Mungkin sudah saatnya…
Meilani mengangkat alisnya dan
menatap aneh pada Altan. Penting buat gue tau? Cibir Meilani dalam hati.
“Seharusnya iya,” gumam Altan.
Meilani tersentak mendengarnya. Masa iya Altan bisa tau apa yang dipikirkannya?
Gak mungkin, kan? “seharusnya itu penting juga buat lo,” tambah Altan kemudian.
Ia melirik Meilani. Kali ini dengan tatapan yang melembutkan dan mampu
meluluhkan.
Meilani mengernyitkan dahinya,
tapi Altan dengan santainya malah menyentil kerutan pada dahi Meilani. Membuat
Meilani mengaduh dan cemberut.
“Gak usah dipikirin. Anggep aja
intuisi gue lagi bagus, jadi bisa baca pikiran lo,” tukas Altan.
Dengan terang-terangan Meilani
mencibir Altan, “Hihh.. sarap!”
Altan menahan senyumnya pada
Meilani dan hanya terdengar seperti dengusan kecil. “Kita harus cari es batu
dulu kayaknya,” gumam Altan.
“Kita? Lo aja kali. Siapa yang
buat memar coba?!” balas Meilani sedikit membentak.
“Gue,” aku Altan gentle.
“Nah, yaudah sana, gih, cari
sendiri. Jangan ngajak-ngajak gue.”
“Nanti kalo gue ninggalin elo
sendirian disini, udah pasti lo bakalan kabur, Meilaniii…” ucap Altan setengah
sabar, “gue tau akal bulus lo.”
“Isshh…” Meilani memutar
matanya dan menjulurkan lidahnya keluar. Malas mengakui kebenaran intuisi Altan
kali ini.
Bang Ujo yang ditunggu-tunggu
dari tadi, akhirnya menampakkan batang hidungnya di hadapan Altan dan Meilani.
Menyerahkan kunci mobil Range Rover putih pada Altan dan Altan menukarnya
dengan kunci mobil miliknya. Menyuruh Bang Ujo mengambil mobilnya yang masih
terparkir rapi di sekolah.
Altan memaksa Meilani masuk ke
dalam mobilnya –dengan terpaksa Meilani menurutinya daripada pergelangan tangan
kanannya kini yang akan menjadi korban selanjutnya. Ia menekan tombol kunci otomatis
yang ada pada remot ditangannya sehingga pintu penumpang terkunci dengan
mudahnya, lalu dengan cepat ia memutar mobil dan melompat masuk pada kursi di
balik kemudi.
Ia tersenyum lebar pada Meilani
yang tertangkap ingin melompat keluar dari mobil, tapi sayang, sekuat apapun
usaha Meilani, ia tak akan bisa keluar dari mobil itu.
“Usaha yang bagus, Mel,” puji
Altan setengah mengejek.
“Uh-oh, antisipasi yang bagus,
Altan,” balas Meilani sambil menyeringai kesal.
Altan mengerlingkan matanya,
“Thanks, just for you..” Babe, tambahnya dalam hati.
Meilani meringis, “Ouch!”
menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya. Ingin menetralisir rasa kesal,
marah, jengkel, dan segala-galanya pada Altan.
Altan tertawa terbahak-bahak
melihat aksi Meilani. Hatinya kini diliputi rasa senang karna Meilaninya tetap
sama seperti dulu. Hanya ingatannya saja yang kurang peka terhadap dirinya dan
masa lalunya.
“Oke! Sekarang kita kemana
nih?” Tanya Altan antusias. Mobil mulai berjalan pelan meninggalkan taman
tersebut. “gak mungkinkan kita balik lagi ke sekolah, atau nyusul yang laen ke
Ritz?”
“Pulang aja,” jawab Meilani mantap.
Altan memiringkan bibirnya,
bergumam untuk memikirkan sebuah ide. “Pulang? Oh, gak bisa. Kita harus ke
suatu tempat dulu, baru kita pulang.”
Meilani siap berperang.
“Apa? Gak! Gue mau pulang,
titik!” tandasnya.
“Gue mau ngobatin tangan lo
dulu, Meeell..”
“Gak! Gak mauuuu.. gue mau
pulang pulang pulang! Cepet bawa gue pulang.”
“Meilani yang cantik tapi keras
kepala, denger yaa, ini mobil punya gue, terserah gue dong mau gue bawa kemana?
Hmm?” kata Altan dengan angkuh.
Lagi, Meilani merasa semua
orang mudah mengintimidasi dirinya. Bahunya melorot kebawah. Merasa kecewa. Gak
sang Papa, kakak kelasnya, sekarang? Muncul si Altan sang pemaksa.
“Udah dua orang aja nih yang
bilang begitu ke gue. Apa bagusnya coba, banggain kendaraan sendiri,” gerutu
Meilani jengkel. Altan tersenyum miring mendengarnya.
“Emang siapa lagi yang
mengintimidasi lo selain gue, Mel?” tanya Altan penasaran.
“Mau tau banget?”
“Yeh, serius gue. Siapa? Biar
gue banting tuh orang yang intimidasi lo. Gak ada yang boleh mengintimidasi lo
selain gue soalnya,” ucap Altan bersungut-sungut seraya terkekeh di waktu yang
bersamaan.
“Alaaaahh, kemaren maen
pelotot-pelototan aja kalah lo,” ejek Meilani. Masih belum memberitahu siapa
orang yang suka mengintimidasi dirinya selain Altan. Tapi dengan cepat otak
Altan berputar. Menemukan satu sosok yang dapat diduga olehnya.
Kakak kelasnya itu? Yang
berandalan itu? Yang baru jadi musuhnya itu? Saingannya juga? Ohhh…
Altan mendengus pelan. “Si
Zufar Zufar, itu?” ia melirik ke arah Meilani dan kembali fokus lagi ke depan,
masih mengendarai Rovernya ke suatu tempat.
“saran gue lo kayaknya harus
jauhin dia deh, Mel. Dia tuh bahaya buat cewek kayak lo.”
“Jauhin dia? Hey, emang lo
siapa gue nyuruh-nyuruh seenak jidat lo gitu. Dan apa maksud lo cewek kayak
gue?” bentak Meilani.
“Tenang Mel, maksud gue tuh, lo
liat dong style-nya dia. Persis kayak preman. Pake gelang sama kalung gitu.
Suka ngerokok. Lo itu kan terlalu polos Mel, ntar kalo lo ikut-ikutan kayak dia,
apa kata orang tua lo? jadi—”
“Stop, Al. Jangan suka
nge-judge orang kayak gitu deh! dia aja gak pernah nge-judge lo. Dan asal lo
tau, seburuk-buruknya kelakuan dia, sebrandal-brandalan style-nya dia, gue
lebih lebih lebiiihhh suka dia daripada lo,” sungut Meilani berapi-api. Ia
melanjutkan kembali ocehannya hingga tanpa sadar membuat Altan terbakar amarah,
“Lo tuh bisanya Cuma bikin gue
kesel, marah, nyakitin gue, dan kalo lo mau tau lagi, kak Zufar gak pernah
sekalipun bikin tangan gue memar-memar kayak gini, dan dia tuh lebih bisa bikin
gue ketawa dibandingin bikin gue marah-marah!”
Tepat saat Meilani menghentikan
ucapannya, Altan dengan sengaja menginjak pedal rem secara tiba-tiba. Membuat
kepala Meilani —yang lupa memakai sabuk pengaman, terhantam dashboard di
depannya.
“Aww!!” pekik Meilani
kesakitan.
“BISA DIEM GAK, MEL!!?”
teriakan Altan menggema di dalam mobil itu. Rahangnya mengeras, bibirnya
terkatup rapat menahan gejolak amarah yang membuncah di dalam tenggorokannya. Tangannya
mencengkram erat pada stir mobil, membuat buku-buku jarinya memutih seketika.
“LO BILANG JANGAN SUKA NGEJUDGE ORANG, TAPI LO SADAR GAK, BARUSAN LO NGEJUDGE
GUE?!!!”
“Lo bisa keluar kalo lo masih
mau banding-bandingin gue sama dia!” ucap Altan dingin tanpa memandang Meilani.
Meilani melongo. Apa? Tadi
Altan bilang apa? Keluar? Dari mobil ini? Dia diusir gitu? Hah? Meilani
tersadar dari lamunannya saat suara pintu di sampingnya dibanting dengan kasar.
Ia melihat Altan berjalan dengan penuh emosi memutar mengarah ke pintu
disebelahnya.
Saat pintunya dibuka,
menampakkan wajah Altan yang mengeras dan tampak sangat dingin, ia menyuruh
Meilani keluar dari dalam mobilnya. Dengan takut-takut Meilani keluar dari dalam
mobil dan menatap Altan dengan pandangan antara ngeri, bingung, dan aneh.
Tanpa banyak bicara dan
menengok ke arah Meilani, Altan dengan cepat masuk kembali ke dalam Rovernya,
meninggalkan Meilani yang termangu sendiri di pinggir jalan.
Di dalam mobil, Altan memaki
segala kelakuan kasarnya pada Meilani. Ia memaki emosinya yang sulit untuk
ditahan, dan membiarkannya meluap begitu saja.
Matanya memanas. “Shit!”
makinya saat ia merasa bulir-bulir bening itu mendesak untuk meluncur di kedua
pipinya.
“Damn! BODOH BANGET LO, AL!!!!”
makinya sendiri. “Lo gak pantes idup! Lo harusnya mati, sialan!” teriaknya
sambil memukul-mukul stir mobil yang berada tepat di depannya. Ia benar-benar
merasa frustasi. Bisa-bisanya ia meninggalkan Meilani sendirian di jalan!
___***___***___***___
Sementara Meilani masih melongo
dan menatap mobil Altan yang bergerak menjauhi dirinya. Wow, dia bener-bener
bisa buat Altan marah, ngamuk-ngamuk dan ngusir dia? Berita bagus!
Padahal gak usah diusir pun,
dengan sangat sukarela Meilani pengen banget keluar dari mobilnya itu. Pengen
banget jauh-jauh dari si Altan itu. Err…
Eh, tapi tunggu? Sekarang dia
di daerah mana? Dia pulang naik apa? Sama siapa?
Baru saja Meilani melangkahkan
kakinya menelusuri trotoar —di jalan yang entah itu dimana, tiba-tiba
BlackBerry putih miliknya berbunyi.
Hey!
you got a call…
hey,
hey!!!
you
got a call…
Meilani seperti mendapatkan
sebuah mukjizat, saat melihat siapa yang meneleponnya disaat-saat seperti ini.
Dewa penyelamatnya memanggil!
Akhirnyaaaa…
Dengan perasaan lega dan
bersemangat, Meilani mengangkat panggilan telpon itu. “Hallo, kakakkkk!”
pekiknya senang.
“Wessshh, santai cantik!
Nungguin telpon dari gue, ya?” tanya Zufar diikuti kekehan geli dalam suaranya.
“Kali ini sih, iyaaaaa.”
“Whoa!! Senangnyaaa.. sekarang
bilang sama gue, lo lagi dimana? Sama siapa?” tanya Zufar begitu bergembira. Ia
sengaja menelpon Meilani karna mendapat dari salah satu koneksinya, umm..ralat,
mata-matanya, bahwa Meilani dipaksa keluar oleh seorang cowok saat perjalanan
ke Hotel Ritz dari dalam bus. Setelah mendapat informasi itu, tanpa banyak
suara, Zufar langsung menghubungi Meilani. Ia khawatir akan keselamatan
Meilani.
“Gue sendirian nih di jalanan.
Gak tau dimanaa,” ucap Meilani sangat sangat terdengar sengsara. Ia celingak-celinguk,
mencari suatu tanda untuk memberitahu dimana keberadaannya sekarang. Yang ia
lihat hanya kendaraan yang berlalu-lalang di depannya, sebuah warung kecil di
dekat halte, dan kantor PLN di ujung jalan sana.
“Ya ampun! Dodol banget sih lo.
Kenapa bisa gak tau lagi ada dimana coba?! Emangnya siapa yang ngangkut lo ampe
kesitu, hah?!” ada nada panik dalam suara Zufar kali ini. “terus gimana gue
bisa tau lo lagi ada dimana, Meilaniiiiii.”
“Ini kak, gue ada di antara
motor dan mobil yang berlalu-lalang, terus warung kecil di deket halte, nah, di
ujung jalan sana tuh ada kantor PLN. Tau kan? Kantor yang catnya warna kuning
itu lohhh…” jelas Meilani.
“Eh, koplak! Lo pikir jalanan
yang ada motor dan mobil yang berlalu-lalang, warung kecil di deket halte sama
kantor PLN di ujung jalan sana itu Cuma ada satu di Indonesia??? Hah?!!” geram
Zufar setengah putus asa. Suara ke-putus-asa-an zufar membuat Meilani menepuk
jidatnya. Teringat sebuah ide yang begitu sangat cemerlang dalam kondisi
darurat seperti ini.
“Aduh, kak. Kita berdua tuh
oneng banget, ya. Mau nyari gue aja frustasi banget,” gerutu Meilani. Ia
melangkahkan kakinya ke halte di depannya, mencari tempat duduk. Pegel banget
kayaknya nelpon sambil berdiri, gumamnya dalam hati.
“Hellooooww.. kemana tekhnologi
yang udah pesat sekarang? Lacak gue aja deh pake GPS. Gimana sih katanya anak
gunung ama GPS aja lupa.”
“Astagaaaa, Meilaniiii… ngobrol
dong dari tadi,” seru Zufar di ujung telpon.
Meilani memutar matanya. “Kita
dari tadi ngobrol, kakak,” ralat Meilani. “udah buruan, jemput gue ya, kakak
yang ganteng dan baik hati..”
“Hahaha… makasih. Oke tunggu lo
disitu. Jangan kemana-mana sampe gue jemput!”
“Okeeee!!”
___***___***___***___
Sudah satu setengah jam Meilani
menunggu Zufar di halte tempatnya menunggu. Setelah diperhatikan lebih teliti
di sekelilingnya, Meilani baru menyadari bahwa tak jauh dari halte itu ada
plang berwana hijau, menunjukkan nama jalan tersebut. Ia berada di jalan Tanjung
Barat. Sepertinya tempat ini sudah sangat jauh dari sekolahnya, makanya rasanya
lama sekali menunggu Zufar tiba.
Karena sudah sangat bosan
menunggu lama, akhirnya pikiran Meilani mengembara pada kejadian beberapa jam
yang lalu. Saat ia bertengkar dengan Altan, saat Altan menuruninya dan
meninggalkannya di pinggir jalan.
Apa dia terlalu jahat dan
berlebihan membanding-bandingkan Altan dengan Zufar?
Mengapa Altan memilihnya untuk
keluar dari bus itu?
Apa dia sudah menyakiti Altan?
Mengapa Altan mengatakan bahwa
ia trauma terhadap bus kepada dirinya?
Apa lebih baik ia meminta maaf
kepada Altan?
Mengapa Altan tega membentaknya
seperti tadi?
Apa Altan akan memaafkannya
atas perkataannya tadi?
Apa cuma dia yang salah?
Bukankah Altan juga salah?
Terlalu begitu banyak
pertanyaan apa dan mengapa di dalam benaknya, sehingga ia tidak menyadari kalau
Zufar sudah memanggil-manggil dirinya di atas motor Ninjanya.
“Sssuuuttttt… kiwkiww…
cewekkk!” goda Zufar dari atas motornya. Meilani yang menyadari bahwa Zufar sudah
tiba dan menggodanya malah ikut balas menggoda.
Dipasangnya wajah innocent dan
ia berpura-pura melihat ke kanan dan ke kiri, mencari-cari dimana suara itu
berasal. Tak dipalingkannya wajahnya ke arah Zufar yang menatapnya geli.
Meilani masih sok-sok sibuk tak
mengindahkan panggilan Zufar. Ia menatap kesepuluh kuku jarinya, memeriksanya
dengan bibir berputar.
Gerah karena Meilani tak juga
menghampiri dirinya, Zufar dengan sabar turun dari motornya, lalu membuka helm
full face-nya dan melangkah mendekat ke tempat dimana Meilani sedang duduk
acuh.
“Helloooooww…” Zufar
mengibas-kibaskan tangannya di depan muka Meilani. Mencoba menarik perhatian
Meilani. Meilani mengangkat wajahnya dan menatap datar pada wajah tampan milik
Zufar.
“gue tuh dari tadi manggilin
elo tauu.. malah bengong aja lagi disini.”
Meilani mengernyitkan
keningnya. “Masa? Gue gak denger dari tadi lo manggil gue. Gue kira dari tadi
lo lagi ngegodain mbak-mbak penjaga warung disitu,” kata Meilani sambil
menunjuk ke warung kecil di sebelahnya. Terlihat mbak-mbak pemilik warung
sedang melayani orang yang sedang membeli sepuntung rokok di warungnya. “lagian
manggilnya kayak begitu. Emang gue cewek apaan,” sungut Meilani kemudian.
Tersenyum lebar akan maksud
dari sindiran Meilani, Zufar menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Oh,
jadi maunya gue yang nyamperin nih? Lah, ini udah gue samperin. Kalo gitu.. ayo
princess, kendaraan anda sudah menunggu,” ucap Zufar memberikan tangan kanannya
pada Meilani dan tersenyum manis bak pengawal sebuah kerajaan.
Meilani tersenyum lebar dan
mengambil tangan Zufar dan menggenggamnya erat. Lalu ia berdiri dan melangkah
menuju Ninja hijau milik Zufar. Setelah memberikan helm pada Meilani dan
memeriksa bahwa ia siap untuk berkendara, Zufar memacu motornya membelah kota
Jakarta.
Ia tersenyum dibalik helmnya
saat sebuah rencana manis tersusun dalam benaknya. Dengan cepat, ia melajukan
motornya ke tempat yang ingin ia tuju.
___***___***___***___
Dengan sangat enggan dan bosan,
seorang cowok Indo —berdarah Inggris-Sunda, mengikuti kegiatan belajar dalam
kelasnya yang sangat ramai dan ribut. Ia sedang menggambar atau lebih tepatnya
mencoret-coret buku tulisnya saat handphone disaku celananya bergetar singkat.
Menginterupsi kegiatan yang sedang digelutinya dengan terpaksa.
Sebuah MMS masuk ke dalam smartphone
miliknya.
Disana terdapat sebuah gambar
seorang cewek berwajah oriental dengan rambut hitam panjang dikuncir kuda,
sedang mengamit tangan seorang cowok yang dikenalinya di sebuah halte pinggir
jalan. Ekspresi yang tergambar pada foto itu adalah mereka tersenyum lebar,
sepertinya sangat sangat bahagia.
Dan terdapat pesan dalam MMS
itu.
From: Billy
Time: 11.44
a.m
Is
she the girl what do you mean?
I
guess she is Zufar’s girlfriend, you know, they always seem to go out both.
The
next our target, huh??
Ia membandingkan foto itu
dengan salah satu foto yang sudah lama tersimpan di dalam galeri
smartphone-nya. Foto yang beberapa waktu yang lalu pernah diambilnya sendiri. Foto
seorang cewek dengan rambut tergerai ke samping dan sedang berdiri cemas di
depan halte.
Dengan senyum miring yang
tercetak pada bibir tipisnya, ia membalas MMS tersebut. Berseru senang dalam
hatinya.
Yeah!
Good job, man!
And
of course she will be our next target. Haha
Thanks.
Xx
>>send messages<<
Memasukkan smartphone-nya
kembali ke dalam saku celananya, kemudian cowok itu membalikkan badannya ke
belakang. Masih dengan senyum licik yang terpatri di wajahnya.
“Billy, barusan MMS gua dan
informasiin hal terbaru dari musuh kita. Kita bakal punya umpan baru buat
jatohin si pecundang itu, guys.”
___***___***___***___
“Kak, kita mau kemana sih? Kayaknya
ini keluar Jakarta, ya?” Tanya Meilani di belakang Zufar. Ia memang tidak tahu
arah jalan kemana mereka menuju, tapi ia yakin kalau ini adalah arah menuju ke
luar kota.
“Emang. Gue mau ajak lo ke
Sentul,” jawab Zufar.
Meilani mengernyitkan dahinya. Heran.
Sentul? Mau ngapain?
“nanti juga lo tau,” tambah
Zufar saat dilihatnya dari kaca spion wajah Meilani yang dilanda kebingungan. “Surprise
dooong.”
Meilani menatap Zufar dengan
mulut menganga. Astaga.. ia tak menyangka Zufar mengajaknya ke tempat seperti
ini. Ke acara seperti ini?
Zufar membawanya ke SICC, mengajaknya
ke sebuah acara festival balon Udara yang memang sedang berlangsung di lapangan
parkir yang luas itu.
Meilani menatap takjub
dihadapannya. Begitu banyak balon udara melayang disana. Beraneka ragam bentuk
dan gambar pada balon udara itu. Meilani begitu fokus menatap dan mengagumi
balon udara yang begitu banyak —menghiasi udara kota Sentul, ia sampai tidak
sadar kalau Zufar menarik tangannya dan mengajaknya mendekat ke salah satu
balon udara di sana.
“Wahhh... keren-keren banget
kak! Ya ampun, gue baru tau ada acara kayak begini disini,” pekik Meilani
antusias.
“Hhehehe… suka?”
Meilani mengangguk riang. “banget!”
“Ayo, naik!” ajak Zufar menarik
kembali Meilani ke tempat salah satu server balon udara tersebut.
“Kita boleh naik?” Tanya Meilani
heran. Wow, ini pengalaman baru dan yang paling menyenangkan yang akan dia
lakukan. Naik balon udara!
“Boleh doong.”
Tak lama kemudian, mereka berdua
sudah berada di dalam basket balon udara. Di atas ketinggian 40 meter dari darat.
Mereka dapat melihat betapa
panjangnya jalan tol —beserta mobil-mobil yang berlalu-lalang di sepanjangnya
jalan, gedung-gedung yang jaraknya berjauh-jauhan, rumah-rumah penduduk, pohon-pohon
hijau di pinggiran jalan, awan mendung yang rasanya bisa tergapai hanya dengan
mengangkat tangan.
Ah! Ini semua terlihat sangat
sangat menakjubkan jika dilihat dari atas sini.
“Weyy… seneng banget kayaknya. Gue
sampe dicuekin,” gerutu Zufar saat menegur Meilani yang asyik sendiri dengan
mengagumi keindahan alam kota Sentul.
“Iya, maaf. Abis ini kereeennn
banget!” puji Meilani. “makasih ya, kak, udah ngajak gue ke tempat ini, terus
naik balon udara ini. Hehehe so sweet banget!”
“Iya, lebih so sweet lagi kalo
lo jadi cewek gue,” gumam Zufar. Terdengar keras dan sengaja.
Meilani melemparkan kepalanya
kebelakang dan tertawa terbahak-bahak. Geli dengan candaan Zufar. Umm, tapi
jujur, jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia merasa gugup. Ia tahu benar
kalau gumaman Zufar itu disengaja.
“Ngelawak aja lo kak.”
Zufar menatap Meilani dengan
serius. “Yee, beneran lagi. Coba kalo lo cewek gue, kan enak bisa pegangan
tangan di atas sini, peluk-pelukan juga bisa —kalo lo mau,” ujar Zufar dengan
tenang. Ia serius kali ini pada ucapannya.
Meilani melebarkan matanya. Ia melihat
keseriusan pada kedua bola mata indah milik Zufar dan mendengar nada penuh
harap pada suaranya.
Dengan menggigit bibir
bawahnya, Meilani memalingkan wajahnya dari Zufar dan menghadap pada cakrawala
di atas udar kota Sentul. Berusaha menutupi rasa gugupnya yang sudah tercetak
jelas pada wajahnya yang mulai memancarkan warna merah menggoda.
Jantung Meilani berpacu
berpuluh-puluh kali lipat dan ia merasa hatinya sudah mendarat bebas dari
loncatan setinggi 40 meter dari atas balon udara ini.
Ya Tuhan, Zufar lagi nembak apa
bukan, sih?
“Mel,” panggil Zufar dengan
membalikkan badan Meilani agar bisa menatapnya. Melihat pada kedalaman bola
mata bening itu, dan menangkup wajah Meilani di dalam kedua telapak tangannya, Zufar
melanjutkan kata-katanya, “gue serius. Gue
ngerasa lengkap kalo lagi sama lo, gue ngerasa tenang kalo lo aman berada di
deket gue, gue ngerasa tenang tiap liat tawa lo, senyum lo, mata lo yang
berbinar-binar, gue ngerasa kayaknya hati, jiwa dan pikiran gue udah berkomplot
buat terus-terusan teriak-teriak manggil
nama elo kalo lo lagi gak ada di samping gue, Mel.”
Sekarang keringat dingin mulai
membasahi setiap pori-pori tubuh Meilani. Dan ia kehilangan nafasnya saat
mendengarkan penuturan Zufar yang mengguncangkan batinnya, hatinya, jiwanya,
dan pikirannya.
“Kak…”
“Mel, menurut lo enaknya kita
jadian disini atau kita terjun berdua dari atas sini kalo kita gak jadian?”
bisik Zufar memotong Meilani yang ingin berbicara. Alisnya dimiringkan sebelah.
Meilani melongo. Makin melebarkan
matanya dan menatap Zufar tak percaya. Gawat! Ini Zufar nembak dia atau mau
ngebunuh dia sih kalo cintanya ditolak?
Zufar terkikik geli melihat
ekspresi Meilani. “Becandaa Mel, kalo kita berdua loncat dari sini terus yang
mati lo doang dan gue sekarat, itu gak adil. Ntar di surga sana lo enak-enakan
pacaran sama Bidadara, lah, gue disini sengsara,” ucap Zufar dengan
mengernyitkan dahinya saat pikiran aneh itu melintas di benaknya.
Meilani menarik nafas. Mengumpulkan
semua kata-kata yang sudah tersusun dalam pikirannya. “Kak, gue gak yakin lo
lagi nembak gue. Lo kan orangnya gitu banget becandaannya,” sungut Meilani. Sebenarnya
masih banyak yang ingin ia sampaikan pada Zufar, tapi sialnya, hanya itu
kalimat yang dapat tersusun rapi yang keluar dari mulutnya.
“Ya ampuuunn… iya, iya, iyaaa,
Mel, gue seriusssss!” Zufar memutar matanya jengkel tapi bibirnya membentuk
sebuah senyum layaknya seorang malaikat.
“jadi pacar gue, ya?” pinta
Zufar lagi.
Oh my god! Meilani ditembak
oleh seorang Zufar? Di atas balon udara? Di atas ketinggian 40 meter?
Wow!!!!
0 comments:
Post a Comment