Thursday, November 15, 2012

Fall For You (Chapter 5)


Setelah insiden mengerikan minggu lalu, Altan selalu bersikap aneh dan membuat Meilani heran dengan sikapnya yang cenderung labil tersebut. Entah kenapa, tapi bagi Meilani, Altan itu bisa menjadi sangat jahat tanpa diduga-duga, dan juga bisa menjadi perhatian tanpa bisa diperkirakan sebelumnya.

Meilani dengan senang hati membentangkan jarak antara dirinya dengan Altan. Ia selalu bersikap waspada terhadap cowok itu. Ia tidak mau lebih banyak bersinggungan dengan cowok itu. Baginya,

kejadian yang menjadikan dirinya alasan dari putusnya Altan dan Agi, serta pembentakkan Altan terhadap Rere, itu sudah membuat Meilani mempunyai banyak alasan untuk menjauhi cowok itu. Tapi tetap saja, walaupun Meilani merasa Altan sudah tak lagi dalam jarak terdekatnya, lelaki itu masih terus memantau perempuan cantik ini—tanpa diketahui siapapun.

“Mel, lo mau ikut eskul apa? Gue mau ikut eskul Paduan suara sama Bela diri deh!” ujar Rere antusias.

 Saat ini, Meilani bersama Rere menghabiskan jam makan siangnya di kantin sekolah. Mereka duduk berhadap-hadapan. Dan Rere memulai percakapan siangnya dengan menanyakan kegiatan apa yang akan mereka ikuti di sekolah baru mereka ini.

Meilani tampak berpikir. Memang sudah saatnya murid baru di LHS memilih kegiatan yang diwajibkan oleh pihak sekolah. Ada banyak kegiatan ekstrakulikuler yang disuguhkan oleh LHS. Dari mulai Bela diri, Paduan suara, Pecinta alam, Marching band, Modern dance, Band sekolah, dan banyak lagi yang lainnya.

“Hmmm… gue sih pengen ikut semuanya. Tapi gue lebih minat ke Marching Band sama Pecinta Alam, Re.” ungkapnya. Meilani menyeruput jus jeruknya diselingi dengan memakan makan siangnya yang sudah tersaji di depannya.

“Hiiiyy… kenapa lo mau ikut MB? Itu kan latihannya ketat banget Mel. Apalagi kalo ada event. Trus trus.. lo emang gak takut apa, kalo ikut pecinta alam? Tidur di hutan gitu?” tanya Rere bertubi-tubi. Ia bergidik ngeri membayangkan semua kegiatan yang akan dipilih oleh temannya itu.

“Ya justru itu! Gue butuh tantangan, Re. Gue butuh kegiatan yang bisa gempleng mental gue! Kalo eskul yang lain kayaknya kurang menantang buat gue.” Meilani memikirkan perkataannya barusan. Ia membayangkan bagaimana asiknya mengikuti semua kegiatan yang akan dipilihnya itu. Bermain musik dengan cara latihan berkelompok—seperti meniup terompet, menabuh perkusi, mendentingkan pits, ataubahkan menari mengikuti irama musik jika ia terpilih menjadi Color of Guard dalam kegiatan Marching Band tersebut— dan juga berpetualang dengan kelompok pecinta alam—berkemah di hutan, mendaki gunung, menelusuri sungai-sungai yang airnya sangat menyegarkan, dan lain-lain. Wuhuuuu! Ini pasti menjadi kegiatan yang sangat ia senangi sepanjang hidupnya.

Rere memandang Meilani tak percaya. Temennya ini demen banget cari sesuatu yang luar biasa sepertinya.  “Ckckck… Mel.. Mel.. terserah lo aja ya. Moga mental lo bisa kayak baja ikut kegiatan macam itu.”

Meilani hanya terkikik geli mendengar doa temannya tersebut. “Pastinya. Lagian gue pengen cari kesibukan, Re. bosen di rumah sendirian mulu,” curhatnya. Ini juga yang menjadi alasannya untuk mengikuti kegiatan yang akan menyibukkan dirinya. Ia sudah sangat bosan jika kegiatannya hanya sekolah dan di rumah saja.

“Hahahaha… iya deh ya. Eh, kalo lo masuk klub pecinta alam, berarti lo bakalan satu klub dong, sama kakak gue.” Rere teringat akan kakaknya yang menjadi ketua dalam klub itu. Ia memandang Meilani dengan senyum lebarnya. Begitu terlihat sangat antusias, saat ia sedang mempromosikan kakak kesayangannya kepada  Meilani.

“Kakak lo?” tanya Meilani bingung. Ia mengerutkan keningnya. “Sejak kapan lo punya kakak yang sekolah disini, Re?”

Rere menutup mulutnya, dengan tangan kirinya yang bebas—sementara tangan kanannya memegang garpu—sambil menggumamkan kata “Ups!” karena ia baru saja teringat, kalau temannya ini belum mengetahui kalau dirinya mempunyai kakak yang juga bersekolah disini.

“Heeee… gue emang belom pernah cerita sama lo ya Mel, kalo kakak gue sekolah disini juga?” tanyanya memastikan. Yang ditanya hanya menggelengkan kepalanya. Tanda bahwa ia tidak  mengetahui sedikitpun.

“Iya, gue punya kakak cowok disini. Udah kelas dua belas. Dia itu ketua eskul pecinta alam. Kerjaannya nih ya, kalo bukan pergi-pergi ke hutan atau enggak nyari sungai buat nge-rafting. Sama satu yang gak boleh terlewat, Tawuran! Belom lama ini kan dia berantem, sama musuh bebuyutannya tuh. Nah, kakak gue berhasil bikin K.O musuhnya itu. Tapi orang tua—musuhnya itu— gak terima, gara-gara anaknya dibikin bonyok, terus ngelapor deh ke Kepsek kita. Habislah kakak gue kena skors seminggu,” cerita Rere panjang lebar tentang kenakalan kakaknya yang baru beberapa hari yang lalu terkena skors akibat tawuran dengan sekolah lain.

Meilani memutar otaknya untuk menebak siapa kakak dari teman di depannya ini. Ia curiga kalau…

“Kakak lo….”

“Iya, kakak gue mah selow banget di skors juga. Dia malah asik pergi ke Sungai di Desa Anyar Cuma buat nyalurin hobi rafting-nya, Mel! Ckckckck… emang sarap tuh orang!” ucap Rere memotong perkataan Meilani.

“Siapa nama kakak lo?” tanya Meilani mengalihkan pembicaraan Rere, untuk memperkuat dugaannya tadi.

“Zufar Ahmad Al-Ibrahim.”

“Hah???!!!”  Meilani benar-benar shock mendengar pengakuan dari temannya itu.  Duduknya tergeser sedikit lantaran ia baru saja mengalami suatu guncangan rasa yang bergejolak di benaknya. Dan gerakan itu hampir saja membuatnya tersedak saat memakan cup cake yang dipesannya sebagai makanan penutup.

Jadi Zufar itu kakaknya Rere? Jadi yang ngasih tau nomor Meilani ke Zufar itu Rere? Masa sih????

“Kak Zufar yang lo suka ceritain kalo dia itu suka tawuran itu, Re?” tanyanya memastikan kembali. Semoga bukan… batin Meilani.

“Iyaaa.. yang mana lagi emang?”

“Gak ada kakak kelas yang namanya Zufar lagi selain kakak lo, Re?” tanyanya lagi.

Rere mengernyitkan dahinya. Ada apa? Kenapa Meilani seperti terlihat sangat shock, tahu kalau dirinya adiknya Zufar? “Gak ada kayaknya. Kenapa sih?”

“Gak papa, cuman—”

Ucapan Meilani terhenti saat Rere berseru di depannya dan mengatakan, “Nah! Itu dia kakak gue Mel. Kak Zufar!!!!” panggil Rere. Ia melambaikan tangan kanannya ke arah belakang Meilani.

Meilani memandang Rere dengan matanya yang terbelalak penuh. Ia melongo tak percaya. Temannya ini baru memanggil siapa tadi?



-------------asdfghjkl-------------


“Sini kak! Siniiii!!!!” seru seorang anak perempuan yang sedang duduk menghadap kearahnya. Zufar mengenal anak itu. Sejenak dihentikan langkahnya yang hendak menyambangi stand makanan di pinggiran kantin.

Rangga yang mengekori Zufar di belakangnya pun ikut berhenti. Ia memerhatikan seorang anak perempuan yang memanggil sahabatnya ini dengan penuh semangat.

“Siapa tuh anak? SKSD banget sama lo, man!” ujar Rangga dengan polosnya. Rangga memang sempat beberapa kali—tidak terlalu sering— bermain di rumah Zufar, hanya untuk sekedar mampir atau mengambil barang di rumah Zufar. Kebanyakan waktu berkumpul yang mereka gunakan bukan di rumah Zufar, tetapi di rumah Rangga sendiri atau bahkan di base camp mereka. Karena jarangnya Rangga berkunjung ke rumah Zufar, makanya ia sudah agak-agak lupa bagaimana raut wajah adik dari sahabatnya tersebut.

Zufar menoyor Rangga pelan. “SKSD… SKSD… dia emang kenal sama gua! Lo lupa? Dia tuh R E R E. Adik kesayangan gua!” jawab Zufar sambil berdesis pelan. Belum banyak yang tahu kalau Rere adalah adiknya, karena ia menyuruh Rere untuk tutup mulut mengenai status mereka itu. Hanya demi kenyamanan dan keamanan Rere, pastinya.

Dilihatnya Rere masih melambaikan tangan kearahnya sambil menyunggingkan senyum manisnya. “Duuhh.. si curut nih, gak bisa jaga image banget, sih!” gumam Zufar. Kemudian ia melangkahkan kakinya lebar-lebar ke meja adiknya. Dibelakangnya, Rangga mengernyitkan dahinya. Berpikir keras. Emangnya itu Rere? Kok beda, ya? Batinnya bingung. Tapi diikutinya juga langkah Zufar ke tempat adiknya tersebut.


Setelah sampai di meja adiknya yang dihuni oleh dua orang itu, Zufar baru tersadar kalau cewek yang satunya lagi itu adalah cewek yang selama ini diam-diam dijaganya—selain Rere.

Zufar sempat merasa sedikit gugup sebentar, tapi segera dinetralisirkan perasaan anehnya itu. Kenapa gue jadi deg-deg-an gini coba? Tanya Zufar dalam hati.

Diliriknya Meilani sebentar. Ia melihat gadis itu juga sama gugupnya dengan dirinya. Zufar menahan senyum. Jika melihat gadis yang satu ini, enath mengapa Zufar ingin sekali menggodanya. Ingin membuatnya meledak-ledak seperti waktu itu. Juga ingin… Ah, yang benar saja? Kalau ia melakukan hal itu di depan Rere, otomatis adiknya itu akan mempunyai berjuta-juta pertanyaan yang akan dilontarkan untuknya. Secara, Rere belum mengetahui sama sekali kalau dirinya mengenal Meilani.

“Wooooiii! Kak!” panggil Rere tepat dikupingnya. Tanpa disadari Zufar, Rere sudah berdiri disampingnya yang sedang sibuk mengamati Meilani. Perasaan tadi ia hanya berniat melirik Meilani saja, kenapa malah jadi mengamatinya?

Zufar mendesis pelan. Ampun deh adiknya ini! Ia menatap Rere dengan mata yang tajamnya. Melotot dengan kegeraman yang sudah mencapai tingkat dewa.

Zufar merapatkan tubuhnya kearah Rere. Ia membisikkan sesuatu pada Rere dengan nada suara yang sangat amat gemas. “Rere-ku yang cantik dan pintar… ingat gak kita punya kesepakatan kalo lagi di sekolah? Hmm? Lupa yaaa buat pura-pura gak kenal sama gue ?”

Meilani tertegun melihat adegan tersebut. Ia memundurkan sedikit kepalanya, heran melihat ada kakak yang tidak mau mengakui adiknya di sekolah. Walaupun Zufar berbicara sambil berbisik-bisik, tapi Meilani masih bisa mendengarnya dengan baik.

Rere yang dibisiki oleh Zufar hanya bisa memperlihatkan sederetan gigi putihnya di depan muka Zufar. Nyengir kuda. Kemudian tangan kanannya terangkat ke sebelah pipinya, memperlihatkan kedua jarinya yang mengacungkan tanda perdamaian. Zufar yang melihat itu hanya bisa mendelik ganas ke adik semata wayangnya ini.

“Hehehe… maap kakanya!!!” kata Rere masih dengan cengirannya itu.

“Maap… maap!!!” ulang Zufar dengan sebal. “Kenapa sih?”

Terdengar cekikikan dua orang yang saling bersahut-sahutan. Ternyata, Rangga sudah duduk di sebelah Meilani. Dan mereka berdua tertawa menyaksikan kebodohan kedua saudara tersebut. Mana ada kakak macam itu sama adiknya? Batin mereka sarkatis.

Zufar mendelik sebal kearah Rangga dan Meilani. Memang ada yang lucu? Zufar juga baru menyadari kalau Rangga terlihat begitu—sok—akrab dengan Meilani. Cewek yang tanpa disadarinya telah menjadi ‘Oxytocin’ baginya. Ia diam-diam cemburu melihat mereka bisa sedekat itu.

“Tauk nih! Kenapa kalian ketawa sih? Ada yang aneh gitu?” tanya Rere heran. Memberengut. Kemudian dijatuhkannya tubuh langsingnya di bangku yang tadi di dudukinya. Zufar tidak mengikuti gerakan adiknya yang sudah duduk. Ia masih dengan cool-nya berdiri memandang satu per satu orang yang sedang duduk dihadapannya kini. Melipat kedua tangannya di depan dada.  

“Eh, Ga! Ngapain lo duduk disitu?” tanya Zufar ketus. “Ayo cabut!”

Tanpa banyak kata, Rangga menuruti perintah Zufar untuk pergi dari sana. Ia kembali mengekori Zufar yang sudah berjalan lebih dulu.




“Pphhfff… sorry ya, Mel. Kakak gue emang gitu orangnya. Gak mau ngakuin gue di depan orang lain,” ujarnya meminta maaf kepada Meilani. Meilani hanya tersenyum ramah dan menganggukkan kepalanya.

“Iyaaa… tapi gak nyangka ya, Re, kok bisa kakak lo tuh dia?” kata Meilani menyuarakan keheranannya.

“Tau deh!” jawab Rere malas. Ia memanyunkan bibirnya dan meletakan kedua sikunya di meja untuk kemudian menyangga dagu lancipnya.

“Eh, Re! kalo lo punya kakak disini, apalagi kakak yang model si Zufar itu tadi, kenapa gak lo aduin aja kejadian minggu lalu?” ucapnya menyesali kenyataan yang ada. Kenyataan bahwa minggu lalu Altan membentak Rere dan membuat cewek itu menangis. Kalo Meilani jadi Rere, sudah pasti orang macam Altan akan dia adukan ke kakak laki-lakinya. Meilani pasti akan merasa menang jika kakaknya bisa mengganyang Altan habis-habisan. Evil dilawan dengan Evil itu baru seimbang! Begitu menurutnya.

“Hahaha… yang bener aja Meeeell… kak Zufar itu lebih sangar daripada iblis-iblis yang baru lulus Uji Tes Kemampuan Menjahati Manusia tau gak?” ujar Rere sarkatis. “Kak Zufar tuh ya, udah kayak idiom klasik! Don’t judge the book by the cover! Walaupun lo liat kak Zufar itu covernya menawan, tampan atau apalah yang manis-manis, itu semua harus lo singkirin jauh-jauh kalo dia udah ngeluarin sisi iblisnya! Banyak looh korban kakak gue.”

“Yeee, siapa juga yang muji kakak lo tampan? Gue kan Cuma nyuruh lo buat ngaduin kelakuan Altan ke kakak lo yang ada sisi iblisnya itu,” elak Meilani disertai cibiran.

“Aduh, Meeeeeeeeelll… lo mah gak ngerti arah pembicaraan gue, ya?” Rere mencondongkan tubuhnya mendekati Meilani. Meilani mengangkat alisnya. Tanda ia tak mengerti. “Jadi kalo nanti gue kasih tau masalah minggu lalu itu sama kakak gue, bisa-bisa si Altan malah mati di tangan kakak gue! Itu malah mempersulit keadaan dan bahkan membesar-besarkan masalah yang —malah— gue sendiri pun udah lupa.”

“Gue suka itu.”

“Apa? Mancing keributan?”

Meilani mengangguk dan tersenyum lebar. Ekspresi itu membuat Rere menatap Meilani dengan pandangan mengerikan.

“Sarap!” cibir Rere disertai tatapan pembunuh amatir.



-------------asdfghjkl-------------



“Gimana tugas lo, selama gua gak ada?” tanya seorang cowok berambut cokelat agak cepak menghiasi wajah hitam manisnya kepada sahabat karib, yang saat ini menemaninya makan siang di kantin.

“Seperti yang lo liat!”

Cowok berambut cokelat ini memperhatikan suatu objek yang sedang duduk agak jauh dari tempatnya. Objek cantik itu sedang tertawa dengan riangnya dengan sesekali menggerak-gerakkan tangannya ke udara. Terlihat begitu ekspresif.

“Berhubung lo udah balik, tugas gua selesai, kan?” tanya temannya. Cowok itu  mengangguk yakin. “Sampe kapan lo mau ngawasin dia?” tanya temannya lagi.

Cowok berambut cokelat itu mengangkat bahunya. Sepertinya ia juga tidak tahu. Ia menggigit bibir bawahnya. Rahangnya berubah keras.

“Ini salah gua. Harusnya gua gak ceroboh waktu itu. Sekarang dia malah jadi inceran musuh buat ngejatohin gua,” ujarnya sedikit agak frustasi. “Sial!” makinya.

“Gua rasa dia udah gak diikutin lagi kayak dulu.”

“Tapi gua tetep khawatir sama dia! Ngeliat Oscar hampir aja nabrak gua sama dia waktu itu, bikin gua yakin kalo dia bakal ngelakuin hal yang sama—atau bahkan lebih parah dari yang gua duga.” Cowok itu menyusuri rambutnya. Terlihat sangat frustasi. Ia sudah mencari tahu siapa pemilik mobil Pajero Sport putih yang hampir saja menyerempetnya beberapa waktu yang lalu. Rangga bergerak cepat saat ia memintanya untuk menyelidiki siapa dalang di balik itu semua. Dan akhirnya, Zufar, berhasil mengetahui si tersangka itu.

Oscar menjadi tersangka utama. Oscar adalah pentolan dari Kertajaya High School. Sekolah yang menjadi musuh abadinya Lagoon High School. Dan benar saja, saat diselidiki, Oscar memang sedang memantau Zufar untuk mengajaknya berduel. Tapi saat dilihatnya Zufar tengah memboncengi seorang gadis cantik dan terlihat polos, ia mengurungkan niatnya. Sebuah ide konyol terlintas dipikirannya. Dan ide licik lain muncul beriringan setelahnya.

“Tapi lo —bahkan gua, udah ngawasin dia hampir tiga minggu! Dan dia masih fine-fine aja tuh!”

Zufar mendesah pelan. “Tapi kita gak boleh lengah. Lo sama gua tau liciknya Oscar! Bahkan setelah gua bikin dia bonyok kemaren,” bentaknya kepada Rangga.

Rangga menatap Zufar datar. “Jadi lo bakal tetep nguntit dia sepulang sekolah?” tanyanya bosan.

“Itu pasti!” ucap Zufar lantang.

“Kalo gitu kenapa gak sekalian aja lo ajak dia pulang bareng? Bukannya itu lebih aman?” tanya Rangga masih ingin memperdebatkan tingkah sahabatnya ini.

“Lo udah nanya itu berates-ratus kali, Ga. Dan gua juga udah ngejawab—bahkan ngejelasin hal yang sama berjuta-juta kali.”

“Seengaknya tumpangan lo itu bakal memberikan akses buat pendekatan lo!” kata Rangga mencoba memberikan saran kepada sahabatnya.

“Gua punya pendekatan yang lebih romantis daripada saran klasik lo,” ucap Zufar misterius. Bola matanya mengikuti objek yang sedang menjadi bahan pembicaraannya keluar dari area kantin. Ia terus memperhatikan objek itu sampai menghilang dibalik double pintu kantin ini.


-------------asdfghjkl-------------

Meilani baru saja menyelesaikan latihan pertama eskul Marching Band-nya. Sebenarnya hari ini latihan belum dimulai, hanya pengenalan anggota baru dengan anggota lama, kemudian pelatih dan anggota lama mempersilahkan para anggota baru untuk memilih bagian apa yang mereka sukai. Mereka diizinkan untuk mencoba semua alat musik, dari mulai terompet, tuba, perkusi, pits, simbal, atau mencoba mempelajari gerakan para pembawa bendera.

Eskul dimulai minggu pagi dari jam Sembilan dan sekarang sudah jam tiga sore. Meilani baru keluar dari toilet untuk mencuci tangan, saat berjalan menyusuri koridor, ia bertemu dengan Agi. Agi juga mengikuti eskul yang sama sepertinya. Bahkan juga Altan. Melihat teman sekelasnya tersenyum ramah kepadanya. Hei! Agi tersenyum kepadanya? Masa sihhhhhh? Wow!

Melihat Agi tersenyum ramah kepadanya, Meilani dengan ramah pula menyambutnya dengan sapaan hangat.

“Hei! Lo gak pulang?” tanya Meilani perhatian dengan sedikit rasa canggung. Diberikannya Agi, Uh! Baiklah. Diusahakannya senyuman untuk Agi, tapi malah menambahkan kesan Awkward dalam percakapan ini, Mel!

“Pulang kok,” jawab Agi. “Lagi nunggu jemputan aja. Mau ke depan ya? Bareng yaaa?”

Apa? Meilani hampir saja tersedak ludahnya sendiri. Ia makin terlihat canggung, pasalnya ia masih tidak percaya bisa seakrab ini dengan Agi. Yap! Pastinya setelah pasca merebaknya isu miring mengenai dirinya.

“Yaudah, ayok!” ujar Meilani berusaha terdengar riang. Dan, kali ini dia berhasil mengatasi kecanggungannya.


Meilani dan Agi berjalan beriringan menyusuri koridor. Masih sibuk dengan pikiran masing-masing, mereka belum membuka suara sepatah kata pun. Bosan dengan kecanggungan yang tercipta, Agi akhirnya mulai bertanya banyak hal kepada Meilani. Mulai dari dimana dia tinggal, dijemput oleh siapa, sampai membicarakan mengenai eskul mereka. Semua mengalir begitu saja. Dengan waktu singkat, mereka berdua sudah akrab bahkan sampai terkikik-kikik.

Jujur, sebenarnya Agi pun awalnya juga merasa canggung dengan Meilani. Karena beberapa alasan yang menyudutkan dirinya. Tapi, dengan mudah mereka kini sudah bisa mengimbangi kepribadian masing-masing.

Sampai saat mereka berjalan melewati lapangan, mereka berpapasan dengan seorang cowok bermuka dingin dan bentuk muka yang tegas— tengah bersandar di badan motor besarnya yang terparkir di pinggir lapangan. Meilani melihatnya. Agi pun juga. Dan secara reflek, Meilani melirik orang disamping kanannya. Kaget, karna hal itu juga yang dilakukan oleh Agi. Melirik kearahnya. Entah apa arti dari lirikan itu, tapi Meilani menganggapnya hanya gerak reflek biasa. Mereka buru-buru mengalihkan lirikan reflek itu, dan berjalan cepat sambil menatap lurus-lurus ke depan.

HAHA! Kompak sekali mereka.


Meilani menggigit bibir bawahnya. Ragu untuk bertanya. Tapi dia sangat sangat penasaran. Dihelanya nafas pelan. Perduli banget! Makinya dalam hati.

“Gue pikir dia gak bakal ikut eskul yang sama,” kata Agi memulai pembicaraannya lagi. Meilani dengan cepat menoleh dan mengernyitka dahinya. Apa? Apa maksudnya? Siapa dia?


“Altan, gue pikir dia gak bakal ikut eskul MB lagi,” ujar Agi memperjelas kata-katanya tadi. Meilani menangkap arah pembicaraan Agi. “Dulu pas SMP, kita juga ikut eskul MB. Eskul yang udah nyatuin gue sama dia,” lanjutnya. Matanya menerawang ke depan.

“Oh,” ucap Meilani mengangguk-angguk.

“Dulu lucu deh, kita kan sama-sama pegang perkusi, terus dia nyanyiin gue lagu ‘Nyonya manis’ yang liriknya diganti sama ‘Agi manis’ sambil mainin perkusi di tengah lapangan gituuu…” mengalirlah cerita tentang kenangan manis antara Agi dan Altan.

Meilani tertegun. Secepat inikah ia akrab dengan Agi? Astagaaaa!!! It’s hard to believe!

Terlintas dipikiran Meilani untuk memancing Agi. Mencoba mengorek sesuatu yang sudah lama tersimpan dalam ruang keingintahuannya. “Terus kenapa lo bisa putus ama dia? Menurut gue, kalian cocok! Banget malah.”

Agi tersenyum kepada Meilani. Mereka masih terus berjalan melewati gerbang menuju halte depan sekolah. Ditunggunya jawaban dari Agi dengan was-was.

“Sebenernya banyak banget masalah faktor kita putus waktu itu,” ungkap Agi. “Gara-gara berantem mulu, gara-gara elo, gara-gara gue ketawan jalan bareng cowok, gara-gara … ah! pokoknya banyak deh!” Agi menyebutkannya dengan suara bergetar dan cepat. Sehingga Meilani harus benar-benar menajamkan telinganya mendengar kata-kata Agi. Tapi, secepat atau setidak jelasnya ucapan Agi, Meilani tetap bisa menangkapnya.

Dan memang benar kecemasannya selama ini. Tapi kenapa dirinya? Hei! Gue bahkan gak pernah ikut campur dalam urusan lo sama tuh orang kaliiiii? Dewi batin Meilani tak terima.

Ingin sekali Meilani mengajukan pertanyaan mengapa harus dirinya? Mengapa dirinya dilibatkan? Apa urusannya?

AAAAAAAAAAARRHHH!!!!



-------------asdfghjkl-------------


“Dek, nanya dong?” tanya Zufar kepada Rere saat mereka tengah bersantai di sofa ruang keluarga. Menonton acara membosankan di minggu sore ini.

“Nanya apa?” jawab Rere malas-malasan.

“Lo ikut eskul apa?”

“Ngapain lo nanya-nanya?” Rere balik bertanya dengan ganas. Tapi dijawabnya juga pertanyaan kakaknya setelah melihat muka serius sang kakak. “Gue ikut Paduan suara sama Bela diri.”

“Trus lo gak latihan?”

Rere menggeleng. “Emang kenapa sih kak?”

Bukannya menjawab, Zufar mengajukan pertanyaan lagi. “Terus, temen lo itu, yang kemaren di kantin itu, dia ikut apa?”

“Pecinta Alam sama Marching Band.”

Zufar menegakkan badannya dari yang tadinya bersandar di sofa krem yang tengah di dudukinya. Ia berpikir cepat. Pecinta Alam baru akan mengadakan pertemuan anggota baru hari jum’at depan. Lalu, MB?

“MB latihannya kapan?” tanyanya lagi. Kali ini matanya menatap Rere dengan sorot kecemasan.

Rere memajukan bibirnya. Cara khas jika dia sedang berpikir. “Hari ini kayaknya,” ujarnya tak yakin.

“Hari ini?” pekik Zufar. Ia langsung berdiri dari duduk tegaknya. “Selesainya jam berapa?”

“Yeee… mana gue tauuuu….”

Secepat kilat, Zufar berlari mengambil kunci motornya, menyempatkan diri melirik jam di ruang tengah. Setengah empat!

Astaga! Dia kecolongan. Terburu-buru, digasnya langsung motor kesayangan miliknya, memacu motornya dengan kecepatan tinggi membelah kota Jakarta di sore hari.

Rere yang melihat tingkah aneh kakaknya, hanya mencibir dengan ungkapan-ungkapan pedas.


“Semoga dia gak kenapa-napa, Tuhan….” 

0 comments:

Post a Comment