Meilani tersentak kaget saat ia menengok kebelakang, ia
malah berbenturan dengan Altan. Lagi-lagi cowok itu dengan sengaja menabrak
Meilani.
“Ck,, lagi-lagi lo.” Cibir Altan.
Meilani menatap Altan datar―tetapi malah terlihat jutek.
Kemudian ia memandang ke belakang Altan melewati bahu kirinya. Ia tidak
menemukan si kakak kelasnya itu di belakang Altan. Lalu, kemana cowok penggosip
itu?
“Minggir lo. Ngalangin orang lewat aja.” Meilani mundur
beberapa langkah untuk memberi jalan ke cowok belagu di depannya ini. Saat
Altan melewati dirinya, Meilani mengangkat kedua tangannya seperti orang yang
sedang mencakar-cakar tembok(?)
“Eerrrhh.. Nyebelin banget tuh orang.”
****
Saat Meilani sampai di depan pintu kelasnya, secara reflek
langkahnya terhenti. Ia terlihat bingung, di depan pintu kelasnya banyak
siswa-siswi sedang berkumpul. Entah karena apa. Setelah terdiam beberapa saat,
Meilani tiba-tiba dikejutkan oleh sesosok cowok yang baru saja keluar dari
ruang kelasnya. Cowok itupun juga melihat Meilani dengan ekspresi yang sama.
Sama-sama terkejut.
“Eh, Bayu?” sapa Meilani, lebih ke arah bertanya, apakah
cowok yang sedang berdiri di depannya saat ini memang Bayu.
“Loh? Sam? Lo sekolah disini?” tanya Bayu tak percaya.
“Iya, gue disini. Di kelas ini juga.” Jelasnya menunjuk kelas yang ada di belakang punggung
Bayu. “Lo pindah kesini, Bay?”
Bayu Elfansyah adalah teman satu kelas Meilani waktu mereka masih duduk di bangku SMP. Mereka
cukup akrab, karena mereka selalu saja di tempatkan di kelas yang sama selama
mereka tiga tahun di masa putih-biru, itu.
Tadinya, Bayu sudah terdaftar
sebagai siswa di SMA Bima Sakti. Tapi entah karena apa, tiba-tiba pagi ini ia
sudah terdaftar menjadi siswa Lagoon High School.
“Iya, bokap nyuruh sekolah disini aja. Kita sekelas ege, Mel.”
Ucap Bayu sumringah.
“Hah, seriusan? Lo masuk kelas ini? Waahh, bagus deh, Bay.
Gue jadi punya temen.”
“Iya, lo duduk dimana, Mel?” tanya Bayu menengok kearah ruang kelas mereka yang
pintunya sedang terbuka lebar-lebar. Saat itu juga Meilani baru menyadari kalau
mereka ditonton banyak orang. Secara ia sedang berbicara―dengan sangat
akrabnya―sama cowok terkeren satu sekolah jaman dia SMP. Aish, Meilani
menggerutu pelan. Ia memang kurang suka menjadi pusat perhatian banyak orang.
Dan, Oh My GOD! Ngapain cowok sengak―siapa lagi kalau bukan
Tuan Altan Yang Terhormat―itu masih ada
di depan pintu juga. Berkerumun disana, diantara banyaknya siswa dan siswi yang
sedang mendengarkan pembicaraanya dengan Bayu.
“ Disana,” tunjuk Meilani kearah bangku duduknya. “Gue masuk
duluan, ya, Bay.”
“Oh, gue mau ke ruang kepsek. Masih ada yang harus diurus.”
Pamit Bayu kepada Meilani yang sudah terlihat risih dengan tatapan kok-lo-bisa-kenal-malaikat-sih? Oleh para penonton.
Meilani hanya mengangguk, kemudian ia bergerak maju untuk
masuk ke kelasnya. Saat hendak masuk
melewati pintu, Meilani melihat Altan yang sedang menatapnya dengan tajam. Tapi
tak dihiraukannya tatapan itu, langsung saja ia menuju ke bangkunya dan duduk
manis disana, sambil menunggu sang guru yang di jadwalkan akan mengajar mata
pelajaran Seni budaya datang.
***
“Ternyata lo masih belom inget sama gue, ya?” batin
seseorang.
“Apa yang harus gue lakuin supaya gue bisa deket sama lo
lagi?” lirihnya kemudian.
“Gue udah nunggu waktu bertahun-tahun buat bisa satu sekolah
lagi sama lo. Deket sama lo. Tapi disaat
kesempatan itu ada, lo malah mengabaikan gue. Ngejutekin gue. Bahkan mungkin lo
lupa sama gue.”
***
Dua minggu sudah Meilani menjalani kewajibannya sebagai
pelajar SMA yang baik. Dan sekarang ia juga sudah mulai akrab dengan
teman-teman sekelasnya. Walaupun masih ada beberapa yang terlihat tidak akrab
dengannya. Entahlah, perasaannya saja atau memang benar. Sikap Agi kepadanya
beda dengan teman-teman sekelasnya yang lain. Agi selalu terlihat jutek dan
dingin terhadapnya. Hmm, perasaan aja
kali, yah? Lagian gue gak pernah cari masalah sama dia. Bodo amat deh, dia mau
temenan sama gue, ayoo.. gak mau juga, silahkan.
“Eh Dev, lo alumni SMP 1 Bina Nusa, ya?” tanya Meilani.
“Iya, kenapa Mel?”
“Gapapa, nanya aja. Kenal sama Bu Tika, gak?”
Orang yang dipanggil ‘Dev’ oleh Meilani mengernitkan
dahinya. Berfikir keras, siapa orang yang dimaksudkan oleh Meilani. “Bu Tika?
Guru apa dia?”
“Mmm,, gak tau deh guru apa. Dia itu tante gue. Kata bokap
gue sih, dia ngajar jadi guru di sekolah lo. Di Bina Nusa.” Meilani baru ingat
kalau papanya pernah menceritakan kalau tantenya itu menjadi guru di sekolah
Bina Nusa. Dan karena penasaran, makanya ia mencari tahu apakah tantenya itu
mengajar di Bina Nusa tempat si ‘Dev’ ini bersekolah. Sebenarnya ia ada tiga
pilihan untuk bertanya mengenai tantenya ini. Pilihan pertama ada pada si cowok
sengak bin galak itu. Kedua, siapa lagi kalau bukan soulmatenya yang cantik
tapi jutek. Dan ketiga, Devi, teman satu sekolah si cowok sengak dan si cewek
cantik itu. Dan pilihan yang diambil Meilani sudah pasti kalian tahu?
“Hmm,, kayaknya gak ada deh, Mel. Gue gak kenal. Mungkin dia
ngajar di SMA nya kali,” jelas Deva.
“Oh gitu, ya? Disana ada SMA nya juga? Mmm,, bokap gue gak
ada ngomong sih kalo bu Tika itu ngajarnya di SMP atau SMA nya. Hhehhehhe”
“Oohh,, ya mungkin emang yang di SMA kali yaa. Abisan gue
gak kenal,” ujar Deva sangsi.
“Iya kali. Hehe”
“Atau ga, lo tanya aja sama Agi. Dia sih banyak kenal orang.
Mungkin dia tau,” saran Deva.
"Eh ? tanya Agi?” Meilani berpikir sejenak. “Gak usah, deh.
ga penting-penting banget kok. Lagian dia… eh, maap nih, ya. Dia tuh kok kayak
gasuka gitu ya sama gue?” tanya Meilani gambling.
Deva sedikit tersentak ditanya seperti itu oleh Meilani.
Bukan karena apa, ia memang tau penyebab Agi bersikap dingin dengan cewek di
sebelahnya ini. “Emang lo gak tau, ya, Mel?”
“Tau apa?”
“Agi sama Altan putus gara-gara lo, kan?” ceplos Deva.
Jantung Meilani hampir saja copot dari tempatnya saat
mendengar pertanyaan barusan. Apa maksudnya? Ia bahkan seperti kucing dan
anjing jika sudah bertemu dengan cowok itu. Dan anehnya sekarang, ia didakwa
menjadi putusnya hubungan dua sejoli itu? What the hell!!!
“Hah ?!! ngomong apa lo barusan, Dev?”
Deva meringis kecil saat disadarinya, ia baru saja membuka
rahasia sahabatnya. Ia buru-buru meralat, “Eh, gak kok Mel, gapapa. Lupain
aja.”
Meilani menatap Deva tajam. Bukan jawaban ini yang ia
maksud. “Maksudnya apa sih, Dev?” tanya Meilani mulai panik. Tapi dalam hati
Deva sudah diniatkan kalau dia tak akan keceplosan lagi. Bisa marah sahabat
karibnya itu. Kemudian Deva mencari alasan agar ia terhindar dari tekanan
pertanyaan Meilani. Beruntunng saat itu juga dilihatnya Agi yang baru balik
dari toilet, dan berjalan menuju bangkunya. “Udah ada Agi tuh, Mel. Mending lo
balik ke bangku lo, deh,” ucap Deva tak enak hati.
“Ngapain tuh cewek kesini, Dev?” tanya Agi saat ia sudah
mulai duduk di bangku yang beberapa detik lalu diduduki oleh Meilani.
“Gak,, gak ngapa-ngapain,” jawab Deva agak panik. “Dia Cuma
nanya tantenya yang ngajar di sekolah kita,” lanjutnya sambil mengarahkan
pulpen yang sedang ia pegang ke kertas berwarna
biru. Mencoret-coret kertas file yang sedari tadi sudah ada beberapa
goresan tinta disana.
“Ohh… Dasar gak tau diri,” cibir Agi tajam.
****
“Re, gue mau nanya deh,” ujar Meilani. Ia sudah sangat
penasaran dengan apa yang tadi pagi didengarnya. Dengan keputusan yang cukup
matang, akhirnya ia memutuskan untuk bertanya pada Rere di kantin. Dan
sekaranglah saatnya.
“Aphaa?” tanya Rere sambil memasukkan seonggok daging sapi
berbentuk bulat kecil ke dalam mulutnya.
“Ck,, telen dulu tuh bakso!”
“Apa?” ulang Rere saat seonggok daging sapi itu dirasanya
sudah terkunyah halus dan masuk ke kerongkongannya menuju system pencernaannya.
“Emang bener ya, Altan sama Agi udah putus?” tanya Meilani
to the point. Rere membulatkan matanya saat didengarnya pertanyaan Meilani yang
kurang up to date itu. Rere tertawa kecil. Ternyata teman sebangkunya ini
ketinggalan jaman banget.
“Lo tau darimana?” tanya Rere. Heran, temen sekelas putus kok
nih anak gatau, batin Rere.
“Mm,, dari orang. Yaa, ga pentinglah siapa. Tapi emang
bener, ya?” tanya Meilani memastikan.
“Iya, udah seminggu ini kali. Lo baru tau sekarang?” Rere
memutar bola matanya, kemudian bertanya, “Emang kenapa?”
Meilani bingung harus menjawab apa. Apa dia harus menanyakan
perihal penyebabnya juga? Tapi kalau yang didengarnya tadi dari Deva salah,
bisa malu dia. Nanti dia dikira Ge’er lagi. Tapi kalau benar? Bisa dimusuhin
satu angkatan dia gara-gara jadi penyebab putusnya dua oranng itu. “Gapapa.
Nanya doang, kok.”
“Oh… Yaudah,, balik aja, yuk! Dikit lagi bel.”
♪┗ ( ・o・) ┓♪FALL FOR YOU! ♪┗ (・o・ ) ┓
“Aduuuuhh.. kok gue jadi kepikiran gini, sih?” ucap Meilani
frustasi. Sudah lebih dari dua jam ia memikirkan ucapan Deva―saat di sekolah―di
kamarnya yang dipenuhi dengan wallpaper volkadot hitam dan putih. Ia memeluk
boneka Minnie Mouse kesayangannya. Memutar otak, berusaha mengingat apakah ia
pernah dengan sengaja merusak hubungan Altan dan Agi.
“Gak pernah kok, huftt.. darimana sejarahnya coba gue
ngerusak hubungan mereka? Sama Altan aja gue gak pernah ngobrol. Keseringan
juga berantem. Tapi masa iya Cuma karna berantem sama gue, mereka putus?”
Meilani mengacak rambutnya kasar. Kali ini dia benar-benar frustasi.
“Pantesan aja si Agi
dingin gitu sama gue. Ah, tapi masa iya, sih? Auu ahh, sabodo amat. Urusan
mereka itu mah. Ngapa jadi gue kebawa-bawa. Pasti Deva tadi lagi angot, deh.
makanya ngomongnya ngaco kayak gitu. Iya! Pasti Deva ngaco, dan gue salah
denger.”
Drrrrtt… Drrrtttt..
Meilani melihat handphone nya menyala-nyala. Tanda bahwa ada
SMS masuk ke handphonenya. Ia beranjak malas dari tempat tidurnya menuju meja
computer tempat ia biasa menaruh handphonenya. Dibacanya SMS dari nomor tak
dikenalnya itu.
From: 0878141441xx
Woyyy, cewek galak! :P
Meilani mengerutkan keningnya. Gak sopan banget SMS Cuma
gitu doang? Gak penting banget. Ucapnya dalam hati. Namun diketiknya juga
balasan untuk SMS itu.
To: 0878141441xx
Siapa?
>send<
Tak lama setelah SMS itu terkirim, nomor tak dikenal itu
melakukan panggilan kepadanya. Meilani ragu, apakah ia harus mengangkat telpon
dari nomor asing itu. Tapi rasa penasarannya mengalahkan keraguannya.
Akhirnya diputusnya untuk mengangkat panggilan itu. Tidak
ada suara. Meilani sengaja tidak mau bersuara terlebih dahulu sebelum pemilik
nomor itu berbicara duluan.
“Woy! Bengong?” teriak suara baritone dari sambungan telpon
itu.
“Ini siapa?” tanya Meilani langsung tak memperdulikan teguran
tadi. Terdengar kekehan geli dari orang itu. Meilani merasa ia sedang dikerjai,
hampir saja ia memutus sambungan telpon itu sebelum cowok itu bersuara kembali.
“Yah, lupa dia sama gue,” lirih suara di sebrang sana,
kecewa. “Sombong banget deh lo. Selain galak sama jutek, ternyata lo sombong
banget, ih.”
“Ck,, seriusan ini siapaaaa? Gak bilang, gue tutup nih
telponnya,” ancam Meilani. Ia sudah mengira-ngira siapa orang ini sebenarnya.
Ada satu orang terdakwa baginya, yang kemungkinan menyapanya seperti ini. Ia
pernah dengar seseorang memanggilnya galak, seperti cowok yang sedang berbicara
di sambungan telpon ini.
“Yee, seloooww aja dong!” pinta cowok itu. “Ini gue, kakak
kelas lo yang paling ganteng itu, hehehe.” Ucap cowok itu membanggakan diri.
“Hah?!! Emang di Lagoon ada yang cakep, ya? Perasaan semuanya
butek! Hahahaha,” ucap Meilani gak tau diri.
“Waah,, songkray banget nih orang. Heh! Coba aja lo deretin tuh semua cowok yang ada di Lagoon di lapangan. Lo pasti tau
siapa yang paling ganteng.”
“Idihh, rajin banget! Emang ini siapaaa? Gue gak kenal cowok
cakep di Lagoon.”
Terdengar helaan nafas berat dari cowok itu. “Makanya
kenalan dulu sebelum minta dianterin pulang,” ucap cowok itu masih belum
memberitahukan siapakah gerangan dirinya. BINGO! Terdakwanya benar-benar cowok
itu!
“Dapet darimana kak nomor gue?” tanya Meilani benar-benar
penasaran. Tak dihiraukannya saran cowok itu tadi―menyuruhnya berkenalan.
“Dari adek gue. Dia kan sekelas sama lo,” jawab cowok itu.
Meilani mengerutkan keningnya. Siapa adik dari kakak kelasnya yang ajaib ini?
“Betewe, nama lo emang siapa, sih, kak?”
“Hahaha.. akhirnya ngajak kenalan juga kan lo. Catet
baik-baik ya! Nama gue Zufar.”
Lagi-lagi Meilani mengerutkan keningnya. Sepertinya ia
pernah mendengar teman-temannya di kelas menyebut nama ini. Menurut pendengaran
dan ingatannya, teman-temannya pernah membicarakan ada kakak kelas yang pintar,
tapi rajin. Rajin tawuran maksudnya. Apalagi Rere sering sekali menggerutu
tentang kakak kelasnya yang bernama Zufar ini. Ganteng-ganteng bandel, katanya.
“Ooh.. jadi lo yang suka tawuran itu, ya, kak?” tanya
Meilani memastikan. Meilani beranjak dari duduknya di depan meja komputernya
menuju sofa berwarna merah terang di pojok kamarnya. Ia menyempatkan diri untuk
menutup tirai kamarnya sebelum menjatuhkan bokongnya di sofa itu. Sudah petang.
Lampu kamarnya juga belum dinyalakan. Nanti sajalah.
“Kak,, kak..” panggil Meilani. Ia ingin tau siapa nama adik
Zufar yang sekelas dengannya, dan memberitahukan nomor hapenya. “Adek lo siapa,
emangnya?”
Tuuutttt… Mati! Dilihatnya handphone bersilikon biru itu tak
menyala. Yaah,, mati. Sesal Meilani yang belum mengetahui siapa nama adik dari
kakak kelasnya itu. Ia beranjak mengambil kabel charger handphonenya di meja
belajar dan menghubungkan handphone itu dengan chargernya. Lalu dicolokkannya
kabel itu ke stock contact yang menempel di dinding kamarnya.
♪┗ ( ・o・) ┓♪FALL FOR YOU! ♪┗ (・o・ ) ┓
Zufar memandang handphonenya. Memastikan apakah sambungan
telpon itu masih tersambung atau… “Baterainya masih full kok,” ia kemudian
mendial beberapa angka disana. Mengecek
pulsanya. Sedetik kemudian muncul pemberitahuan jumlah nominal pulsanya. Masih
banyak juga, batinnya heran. “Mungkin masalahnya ada di tuh cewek,” simpulnya
kemudian.
Zufar beranjak dari balkon kamarnya saat didengar pintu
kamarnya diketuk―dengan tidak sabaran. “Bentaaaarr!”
"Kenapa, dek?” tanya Zufar. Dilihatnya adik semata wayangnya
sedang merengut di depan pintu kamarnya. Sepertinya ia sudah hampir jamuran
gara-gara ngetokkin kamar kakaknya ini.
“Handphone gue yang lo pinjem mana?” pinta adiknya sangar,
dan langsung menerobos masuk ke dalam
kamar kakaknya. Ia melihat benda yang ia cari tergeletak tak sadarkan diri di karpet hijau tosca kamar kakaknya. “Ya
ampun kakak! Sedih banget sih, hape gue digeletakkin disini, kedinginan,
sendirian pula,” ucap adiknya dramatis seraya mengelus-elus benda mungil itu
dengan tatapan menyedihkan.
Zufar mencibir adiknya yang kelewat lebay akhir-akhir ini.
Bergaul sama siapa dia?
“Gausah lebay gitu deh!” adiknya hanya terkekeh geli melihat
sang kakak seperti orang yang mau muntah. Menjijikan banget.
“Yaa, lagian elonya aja. Kalo minjem tuh dirawat yang baik.
Kasih dia makan, atau minimal selimut biar dia gak kedinginan.”
“Dek, plisss banget. Jangan bikin gua enek. Udah sana
keluar. Makasih hapenya.” Zufar mendorong adiknya keluar dari kamarnya. Sebelum
adiknya itu tambah angot di kamarnya ini. Errr…
***
“Dek, yang tadi lagi ngobrol sama lo siapa?” tanya Zufar.
Adiknya hanya mengerutkan kening, berfikir. “Yang mana?” tanyanya.
“Yang di kantin tadi,” jelas Zufar.
“Ohh, itu temen sekelas gue. Namanya Meilani. Kenapa kak?”
“Oh, gapapa. Eh, pinjem hape lo dong?” pinta Zufar. Tanpa
curiga, adiknya langsung memberitahu dimana hapenya tergeletak. Dengan sedikit
berbohong kalau ada nomor handphone saudara mereka yang hilang di list contact
hapenya, Zufar berhasil membawa hape adiknya itu ke kamarnya. Mencari salah
satu nama dan menyalin nomor yang dicarinya.
***
“Hah! Adek gue emang the best, deh!” Zufar menjatuhkan
tubuhnya di ranjang empuknya. Meletakkan tangan kanannya di bawah kepalanya
sebagai sanggahan. Ia tersenyum samar.
Merasa ada sesuatu yang menggelitik dadanya. “Yah, kena virus deh nih gue..”
keluhnya lelah.
“Virus cinta,”lanjutnya tersenyum lebar, kemudian ia bangkit dari kasur empuknya dan
berjalan mengambil kunci motor dan juga jaketnya. Ia baru ingat kalau malam ini
ia sudah ada janji dengan Rangga. Menyusun beberapa rencana rahasia.
0 comments:
Post a Comment