TUJUH BELAS
***
“Halo?”
panggilan itu dijawab pada dering ketiga.
“Nela,”
panggil orang yang melakukan panggilan itu.
“Iya, ini
Nela. Uh, ini siapa ya?” tanya Nela setelah ia membenarkan namanya disebut. Ia mengernyitkan
dahinya. Bingung karna mendapat panggilan dari nomor telpon yang tak
dikenalnya.
“Ini gue
Altan,” kata orang yang mengaku sebagai Altan. Nela memekik kecil, lalu menelan
ludahnya. Serius dia ditelpon Altan? Untuk apa? Perasaan tidak enak mulai
menggelayuti pikirannya. “Hah? Uh, Altan?”
“Iya. Nel,
gue…eh, lo kenapa pindah dari bangku belakang?”
Sekarang dia
harus jawab apa? Bilang apa? “Uh, gue…” Nela mencari alasan yang paling mudah
terpikirkan dan terserap oleh otaknya saat ini. “gue gak boleh sama
nyokap gue, Al, kalo duduk di belakang. Lo tau kan gue takut kalo—”
Niatnya
Nela ingin memberikan alasan yang sama dengan apa yang dia berikan pada Dion
untuk mengelak. Tapi Altan dengan cepat memotong ucapannya.
Ada apa dengan Altan? Pikir Nela.
“Nel,
please banget. Gue mohon sama lo, lo pindah lagi ya ke belakang. Ajak Meilani.”
Dia harus mengajak Meilani balik ke barisan belakang? What?! Ummm…Why?
“K-kenapa,
Al?” tanya Nela sedikit gugup.
“Nel,
lo jangan pindah lagi. Gue mau pedekate sama Meilani, Nel.”
“Hah?!?!”
“Well, gue
suka sama dia. Dari dulu malah. Gue mau ngembaliin ingetan Meilani yang hilang,
uh…maksud gue, Meilani sama gue dulu temen waktu kecil. Kita sekolah di tempat
yang sama waktu SD. Dulu, gue kenal Meilani karna kita sama-sama pake jasa bus
sekolah. Dari dulu gue emang udah bandel. Jarang ada orang yang mau temenan
sama gue, karna mereka takut, mereka sering gue bikin nangis. Tapi Meilani
enggak. Dia gak takut sama gue. Dia cuek sama apa yang gue lakuin ke
temen-temen yang lain, ke dia juga.” Jeda sebentar saat sang penelepon
mengambil nafas rendah. Menerawang ke masa lalu.
“lama-kelamaan
dengan sendirinya gue deket sama Mel. Umm.. oke, jadi singkat cerita, Bus itu
dulu mengalami kecelakaan. Dan gara-gara itu, Meilani hilang ingatan dan dia
pergi dari hidup gue. Gue…gue ngerasa kehilangan teman.”
Nela yang
sedari tadi hanya diam mendengarkan, kemudian mendesah panjang. Air mata sudah
bersarang kecil di matanya. Satu kata yang dapat dengan mudah keluar dari
bibirnya. Rumit.
Altan
tertawa getir. “Emang. Menyedihkan banget, kan, hidup gue? Punya temen kecil
satu-satunya, tapi dianya lupa,” kata Altan sambil berdecak.
“Dia…eh,
lo udah suka sama dia dari kecil?” tanya Nela tak percaya.
“Anak
kecil gak ngerti apa-apa soal cinta, Nel,” peringat Altan. “Dulu gue gak punya
pikiran buat suka sama dia. Tapi…sejak dia pergi, gue kesepian. Dan…”
“Dan
pas lo ketemu sama dia lagi, lo mulai jatuh cinta gitu?”
“Umm,
gak juga sih,” jawab Altan ragu-ragu. Bantahannya membuat Nela sedikit bingung
apa maksud Altan.
“Gini
loh, Nel. Pas gue ketemu sama dia lagi, tapi dia gak inget gue, itu tuh…bikin
gue gregetan. Lo tau kan makanya gue suka ngusik dia?”
“Hmm-umm.”
“Yaaa,
lo juga tau kan dia gak takut sama gue? Dia berani melotot ke gue?”
“Hmm-umm.”
“Nah. Itu
dia!” teriak Altan yang malah mengagetkan Nela. Membuat dirinya tersentak kecil
saking kagetnya. “Gue awalnya mau bikin dia inget sama gue, dengan cara ngusik
dia. Tapi sampe sekarang dia gak inget-inget gue. Kampret banget, kan? Nah,
dari situ deh tuh…”
“Ohh…jadi
gara-gara lo suka ngusik dia, dan dianya cuek aja sama lo, trus lo jadi
penasaran, dan biasanya dibalik penasaran itu ada kepedulian. Yang mana kepedulian
juga bisa menumbuhkan puing-puing cinta. Yekaaan?”
“That’s
right!”
“Ah,
very complicated feelings,” komentar Nela.
“Jadi?”
tanya Altan kembali ke topik awal. “Jadi?” tanya Nela balik.
“Nel, jadi
gimana?” desak Altan. Altan berjengkit dari duduknya di meja besar yang
terdapat di kamarnya saat seseorang masuk ke kamarnya tanpa mengetuk pintu
lagi.
Altan memaki
kecil saat mengetahui orang itu adalah Dion. Sudah menjadi hal yang biasa jika
Dion datang ke rumahnya hanya untuk mengajaknya bermain PS. Memintanya untuk
menemani Dion yang terkadang mengalami insomnia.
“Bentar,
Nel.” Altan menjauhkan handphone dari telinganya. Memegang erat handphone di
salah satu tangannya agar orang yang jauh dalam sambungan telpon itu tak
mendengarnya.
Dion
langsung melemparkan dirinya ke spot biasa. Di depan TV plasma yang menempel di
dinding kamar Altan. Menacari lalu memasang semua peralatan bermain PS dengan
cekatan. “Lo nelpon siapa, bro?” tanya Dion disela-sela aktivitasnya.
“Nela,”
jawab Altan pelan. Sambungan telpon masih ditahannya.
“Hah?! Ngapain
lo nelpon dia?”
Altan mendekat
dan duduk di karpet Persia hitam bermotif volkadot itu. Dia berdesis, “Lo
bilang gue mesti bujuk Nela buat balik ke bangku belakang, kampreeett…”
“Ya
terus?” tanya Dion tak paham.
“Ya
terus gua cerita sama dia semuanya. Biar tuh orang ngerti.” Altan menggeram.
“Hah?!
Apa?!!!”
Altan berkeringat.
Kalau reaksi Dion sudah seperti ini, dia takut kalau dia salah langkah lagi. Dia
takut usahanya yang sudah menceritakan semua rahasianya pada Nela malah
sia-sia. “Jangan bilang…”
“Lo
serius cerita semuanya ke Nela?” Altan mengangguk waspada. Takut Dion akan
memakinya karna menjadi bodoh lagi.
Sial,
ternyata apa yang ditakutinya tak menjadi kenyataan saat mata Dion berubah
menjadi lebar dan berbinar-binar. Dion bertepuk tangan dengan riang.
“Ide
bagus! Kita cari komplotan! Sekali-kali kita emang mesti konsul sama cewek. Biar
rencana kita lebih licik tapi masih keliatan elegan. Lo tau kan, cewek itu kalo
punya ide kadang ide liciknya tuh terkesan manis.” Dion tertawa, dan Altan
menghela nafas pelan.
Ia kembalikan
handphone yang ditahannya tadi, lalu berbicara kembali pada Nela. “Halo, Nel?”
tanya Altan mengecek apakah orang disebrang panggilannya masih ada atau tidak.
Nela
menguap dan Altan tertawa kencang. “Siapa sih tuh, Al?” tanya Nela dengan suara
yang terdengar sangat lelah.
“Itu si
curut, Dion. Jadi gimana Nel? Mau kan balik lagi ke bangku belakang?”
Dion menatap
Altan dengan ekspresi sungguh-sungguh. Melebarkan matanya dengan antusias.
“Mmm,
Al, tapi…”
“Pleaseeeee.”
Dion tergelak saat mendengar Altan memohon pada Nela.
Nela
berdecak. “Iya, tapi…gimana alesannya ke Meilani??? kan tadi gue yang ngotot
banget mau pindah tempat, nanti kalo dia nanya-nanya??”
Alis Altan
berkerut jadi satu. Dia juga bingung alasan apa yang harus dipakai Nela untuk
membujuk Meilani. “Mmmm…” belum sempat Altan berkata, handphone miliknya sudah
direbut oleh Dion.
“Halo,
Nel.” “Hemm?”
“Nel,
pokoknya lo sekarang bilang ke Meilani kalo besok kalian duduk di belakang
lagi. Kalo buat alesan sih gampang. Besok gue kasih tau alesannya apa. Oke?”
“Eh, tapi
kalo dia nanya sekarang gimana, Yon?” Nela tahu kalau sekarang yang sedang
bicara dengannya adalah Dion. Terdengar berbeda dari suara keras yang didengar
sebelumnya.
“Kalo
dia nanya sekarang lo gak usah bales atau jawab. Cukup kasih tau dia kalo
kalian besok duduk di belakang.”
“Uhh…”
“Besok
pagi, sejam sebelum jam masuk sekolah, kita tunggu lo di kelas ya? Nanti gue
kasih tau alesannya. Got it?”
“Umm,
yeah, eh…”
“Eh,
tapi jangan bilang-bilang ke Meilani apa yang udah Altan ceritain ke elo ya,
Nel? Kita udah percaya nih sama lo.”
Nela sedikit
ragu-ragu. Tapi saat mengingat cerita Altan tadi…hatinya tersentuh. “Yaudah,
sippp…”
***
“Jadi, Nel,
lo sekarang udah tau semuanya. Kita harap lo gak ngebocorin ini ke Meilani.
okey?” Dion memperingatkan Nela saat keesokan harinya mereka berada di kelas.
Pagi ini,
Nela dipaksa datang ke sekolah lebih awal dari biasanya oleh Altan dan Dion,
untuk membahas dan meyakinkan bahwa Nela adalah orang yang benar untuk diajak
berkomplot.
Jadi,
disinilah mereka. Datang satu jam lebih awal dari murid-murid yang lain. Bebas
membicarakan orang yang menjadi target incaran mereka dengan sepuasnya tanpa
ada seorangpun yang tahu dan mendengarnya.
Dan Altan
sangat lega, karena usahanya menceritakan ini semua kepada Nela dan mengajaknya
untuk berkomplot tidak sia-sia. Nela dengan penuh semangat mendukung apa yang
sudah diberitahukan Altan. Walau pada awalnya ia tak yakin kalau Altan
benar-benar serius dengan apa yang dikatakannya, dan apa yang telah
dilakukannya. Tapi Nela berusaha dan meyakinkan dirinya bahwa ini benar. Ini adalah
sesuatu yang benar.
“Kalo
menurut lo nih, ya, Nel. Si Meilani tuh ‘ngeliat’ gue kayak gimana?” tanya
Altan. Dion tertawa mendengarnya.
“Gue tebak!
Pasti monster.”
Nela ikut
terkekeh tapi kemudian langsung berhenti saat dilihatnya Altan tak tertarik dengan
lelucon yang dibuat Dion sama sekali.
“Uh…gue sih
pernah, eh, sering denger kalo Meilani nyebut elo itu iblis,” ujar Nela sambil
meringis dan melirik Dion. Tak berani melihat pada Altan.
“Whoaa.
Gokil. Lebih parah dari tebakan gue. Hahahaha…” Dion berucap dengan geli sambil
memukul-mukul meja.
Altan
memutar matanya. “Yah, gue juga yakin, lo ‘ngeliat’ gue kayak gitu juga kan,
Nel.” ucap Altan menyeringai.
“Ah? Uh…”
Nela bingung harus mengatakan apa. Faktanya, ia juga pernah berpikir begitu.
Nela menggaruk
tengkuknya yang tiba-tiba saja merinding. Dan Altan memperhatikan. Menghela
nafas, lalu berkata dengan serius,
“Mulai
sekarang, lo nyantai aja sama gue, Nel. Apapun yang terjadi dan yang lo liat
nantinya, gue gak akan nyakitin temen baru gue deh. Janji. Yang penting lo
bantuin gue buat deket sama Meilani, ya.”
Nela
tertegun. Memandang Altan dengan ragu, lalu melirik pada Dion yang tersenyum
miring, dan kembali lagi melihat Altan. “Sekarang kita Ce-es-an. Deal?” Altan
mengerling pada Nela. Menawarkan sejuta senyum indah yang terukir tulus di
bibirnya.
Nela
membuang nafas lega. Benar-benar lega. “Huahhh… oke deal!” jawab Nela
menyetujui. Matanya bersinar lega dan tak percaya. “Dari dulu kek, Al, lo baik
sama gue kayak gini. Jangan bisanya Cuma bikin takut aja. Tampang lo tuh
nyeremin tau gak?! Seharusnya, biar Meilani ngeliat elo, lo itu harusnya baik
sama dia. Bukannya malah ngejailin dan bikin emosi.” Nela merocos tak
henti-hentinya kepada Altan. Kelegaan atas perlakuan baik dari sisi Altan yang
baru dikenalnya membuatnya nyaman dan tak ada keraguan mengatakan itu semua.
Altan
menggaruk kepalanya dengan malas. Ini dia yang lagi diusahakannya.
“Ini gue
lagi usaha, Nel.”
Dion
menyerempet. “Makanya lo bantuin dia.”
“Oke…oke!!!
Serahkan pada agen Nela,” katanya memainkan alisnya ke atas dank e bawah
berkali-kali.
Altan dan
Dion saling berpandangan dengan gemas. Lalu menyeringai dan menyerbu Nela untuk
mencubitnya.
Altan
mencubit seperti kepiting yang sedang mencapit-capit pada kedua lengan Nela.
Dan Dion dari samping menarik kedua pipi Nela dengan gemas sambil menggigil.
“Ma’aciwww,
Nelaaaa… si Nela teman beruang kitaaa!!!” teriak Altan dan Dion bersamaan.
“Aaaaawwwww.”
Nela menjerit sekeras mungkin saat mendapat serangan terima kasih yang aneh
dari teman cowok barunya. Pipinya memerah karna mendapat perlakuan seperti itu
oleh dua orang yang paling ganteng di sekolahnya.
Baru kali
ini ia mendapat teman cowok yang seganteng ini. Teman dekat pula. Whoaaa… Nela
sangat bahagia karna dia mendapat tugas dari dua cowok yang kini sedang tertawa
terbahak-bahak di depannya.
***
Meilani
berhasil sampai ke kelasnya yang berada di lantai empat, tepat pada saat bel
masuk berbunyi nyaring. Tak butuh waktu lama untuk mencari dimana Nela berada,
mata Meilani langsung menangkap sosok itu sedang bercanda dengan teman lelaki
di sebrang mejanya.
Tidak
biasanya Nela terlalu santai duduk di barisan belakang. Dan Meilani menyadari
itu. Pasti ada sesuatu yang salah disini, pikirnya langsung. Meilani memutuskan
untuk bersikap tidak tahu apa-apa dan tidak memikirkan apa-apa. Meilani akan
mengikuti kemana kejanggalan yang ia rasakan ini berlanjut. Ia perlu tahu. Tapi
ia harus berpura-pura tidak ingin tahu.
Dengan
pura-pura enggan, Meilani melangkahkan kakinya menuju barisan belakang. Gerakan
seseorang yang menyambut kehadirannya hanya ditangkapnya lewat sudut matanya.
Menghempaskan
badannya dengan kasar ke bangkunya, Meilani pura-pura terlihat lesu dan lemas.
Ia adalah satu-satunya orang yang menunjukan sikap berkebalikan dibanding
hampir semua teman sekelasnya yang pagi ini terlihat senang dan bersemangat.
Jika ada
yang membuat kejanggalan dihatinya, maka Meilani akan menciptakan sendiri
kejanggalan untuk orang itu.
Berpura-pura
tidaklah sulit untuk Meilani. karena saat itu juga, sikap tidak bersemangatnya
langsung diperhatikan oleh orang-orang disekitarnya.
“Duileeh,
Mel. Pagi-pagi udah lemes banget. Lo sakit?” tanya Dion yang duduk di sebrang
kirinya.
Meilani
menoleh sebentar. Lalu menimang-nimang harus mengatakan apa. Dan akhirnya ia memutuskan
hanya mengangkat bahunya kemudian menempatkan sikunya di atas meja lalu telapak
tangannya digunakan untuk menyangga dagunya.
Altan yang
memang dari tadi duduk miring di bangkunya, memperhatikan. Lalu menyeringai
kearah Meilani dan Dion. “Dia tuh mau BAB, yon. Liat aja tuh mukanya pucet
gitu. Pasti lagi nahan,” kata Altan santai. Matanya berbinar-binar memancarkan
kesenangan yang menggoda.
Meilani
menatap Altan marah. “Sembarangan lo kalo ngomong!”
“Emang iya,
kan?” goda Altan sambil menatap Meilani sepenuhnya. “Apaan sih, enggak juga.
Gue tuh capek tau gak, naek tangga sampe lantai empat. Udah mana nih kelas jauh
ba—” ucapan Meilani terpotong dengan kehadiran Mrs. Ketie.
Semua
murid-murid di kelas memusatkan perhatiannya pada kedatangan wali kelas mereka
itu.
“Morning,
guys,” sapa Mrs. Ketie ketika semua perhatian muridnya tertuju kepadanya.
“Morning,
Mrs…”
“Well, hari
ini kita akan membahas materi apa saja yang akan di UN kan. Setelah itu saya
akan kasih kalian soal-soal yang telah saya kumpulkan dari soal-soal UN tahun
lalu.” Mrs. Ketie memulai jam pelajarannya dengan tenang dan berlangsung dengan
cukup baik.
Menjelang 20
menit kelasnya berakhir, Mrs. Ketie meminta Nurmala sebagai sekertaris untuk
menuliskan nama-nama kelompok di papan tulis.
Semua anak
yang mengetahui kalau Mrs. Ketie sudah membuatkan kelompok belajar untuk mereka
kini mulai berceloteh dan memprotes saat nama mereka tertera di kelompok yang
tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan.
Apalagi,
saat Meilani melihat dengan mulut menganga ke papan tulis. Namanya tertera
dengan jelas disana. menyempil diantara nama-nama orang yang —emang sih
dikenalnya, tapi kan, yang benar saja?
Apa itu gak
salah pembagian kelompoknya?
Namanya…
kelompoknya… ah, sial!
“Astagaaaaaa!!!”
teriak Meilani di tempat duduknya.
“Ih, gue
kenapa sekelompok sama Divo sih,” gerutu Nela. Meilani balas menggerutu. “Lo
masih mending, Nel, ada temen ceweknya di kelompok lo. coba liat kelompok gue.”
Meilani menunjuk papan tulis dengan sinis.
“Nama lo di
kelompok berapa emang, Mel?” tanya Nela.
“Kelompok
terakhir tuh, Nel. Yang kelompok 5.”
Nela
melarikan pandangannya ke nama-nama yang tertera di papan tulis. Menemukan nama
Meilani terselip diantara empat nama lainnya. Dan detik itu juga, Nela berusaha
sekuat tenaga untuk tidak tertawa.
“Ya ampun,
kelompok lo cowok semua, Mel?” tanya Nela sok prihatin.
“Ya ampun,
gue mau protessss!!!”
Lain
Meilani, lain juga ekspresi yang diberikan Altan saat ia melihat nama-nama
kelompok belajar itu. Altan yang sampai saat ini tidak tau bahwa ini adalah
rencana Dion, berteriak di dalam hatinya karna mendapatkan keberuntungan dengan
adanya pembagian kelompok belajar itu.
Dalam hati
Altan benar-benar bersyukur dia bisa satu kelompok dengan Meilani. ini akan
memudahkannya! Ya, dia yakin ini akan sangat membantu.
Altan lalu
menengok ke tempat dimana Dion berada. Altan menyeringai senang pada Dion tapi
Dion tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Dion tetap sibuk dengan handphone
miliknya sambil bernyanyi-nyanyi ria.
Altan heran,
kenapa Dion tidak terlalu antusias dengan pembagian kelompok belajar itu?
Dion
menangkap lirikan Altan padanya. Lalu dia mengernyit. Memandang aneh pada
Altan. Saat Altan mengisyaratkan matanya ke arah papan tulis lalu dengan
lirikan cepat ke Meilani, Dion mengikuti.
Melihat
papan tulis dengan muka datar, lalu melihat Meilani yang terlihat kebat-kebit
gelisah di bangkunya.
Kembali
memandang Altan, lalu memutuskan untuk mengedikkan bahu kanannya pada Altan.
Dion tersenyum tipis di matanya. Lalu memfokuskan kembali dirinya pada
handphone miliknya.
Altan
menyipitkan matanya pada keengganan Dion. Sekarang dia tahu. Dion sudah
melakukan semua ini. Dion –tanpa sepengetahuannya telah merencanakan kelompok
belajar ini.
Altan
memutuskan untuk mengirim SMS pada Dion. Dia tak mungkin berteriak berterima
kasih pada sobatnya itu, sementara ada orang yang dia usahakan untuk didekatkan
berada 30 senti di belakangnya.
Eh,
kampret!
Pasti lo
udah ngerencanain ini kan?
Anjrit
lo, gak bilang-bilang ke gua! Sialan, thanks banget bro. haha
Dengan cepat
Dion membalas.
Males
gua bilang-bilang ke elo. Ntar lo ancurin lagi rencana gua.
Imbalannya
HED 7 putih yang mau lo beli, ya!
Dion melirik
Meilani di sebelahnya. Lalu berkomentar supaya tidak membuat kecurigaan pada
Meilani.
“Yaelah,
kelompok apaan tuh? Udah bener-bener cowok semua, pake ada cewek satu nyempil
segala,” cibirnya dengan sengaja.
Meilani
menyemprot. “Eh, sarap! Lo pikir gue mau apa, sekelompok sama cowok semua.
Apalagi cowoknya modelnya kayak lo-lo pada.”
Balasan SMS
datang dari Altan.
Sambil
membaca pesan, Dion menertawakan Meilani. “Sok banget lo, Mel. Ah, gua tau lo
seneng kan sekelompok sama gua yang paling ganteng ini.”
Jangan
bilang kayak gitu ke dia, goblok.
Ntar
yang ada lo yang ngancurin rencana lo sendiri!
Bangsat.
Mobilnya aja belom nyampe ke tangan gua, lo udah mau minta.
Gua kasih
Rover gua aja kalo nanti gua jadian sama dia. Haha
Meilani
berdiri, hendak memprotes pada Mrs. Ketie. “Ah, bodo. Pokoknya gue mau protes.
Gak enak banget masa dari lima kelompok, kelompok 5 doang yang ceweknya Cuma
satu. Yang laennya banyak.”
Sambil
mengetik balasan untuk Altan, Dion berkata pada Meilani, “Iya, protes sana,
Mel. Bilang kelompok 5 cowok aja semuanya.”
Diem!
Biar dia gak curiga.
Jadian?
HAHA! Deket aja susah banget lo.
GUA GAK
MINAT ROVER LO. HED 7 IMPIAN GUA!
Altan tak
menghiraukan pesan yang baru saja masuk ke handphonenya. Ia sibuk memperhatikan
ke depan kelas. Dimana Meilani sedang memprotes. berusaha untuk mengeluarkan
dirinya dari daftar kelompok menggelikan yang dibuat Dion.
Entah apa
yang dikatakan Meilani di depan sana bersama beberapa teman lainnya yang ikut
memprotes. Yang jelas, kali ini Altan cukup tegang dengan apa yang sedang
dilakukan Meilani.
Jangan
sampai Mrs. Ketie mengizinkan Meilani untuk pindah kelompok.
Altan
berpaling ke Dion. “Yon?”
“Tenang,”
kata Dion singkat. Membuat Altan menghela nafas frustasi.
Dipalingkannya
lagi pandangannya ke depan, dan tepat saat orang-orang yang berkumpul di meja
guru bubar semua. Menampakkan wajah cemberut pada semua orang yang membubarkan
dirinya dari meja guru. Termasuk Meilani yang terduduk lesu dan putus asa di
tempatnya.
Mrs. Ketie
geram. “Tidak ada protes dalam keputusan saya ini. Ingat? Jika ada yang protes,
kalian bisa keluar dari kelas saya.” Kemudian Mrs. Ketie bergegas meninggalkan
kelas yang tambah bising dengan keributan-keributan itu.
Altan
bersiul pelan. “Keras kepala, ya, kan?” Meilani melirik ke atas pada Altan.
“Sial, susah banget bujuk tuh guru.”
Altan
berdecak tapi dalam hatinya dia tertawa. “Emang. Sampe lo tua juga gak bakalan
ditanggepin tuh protes lo, Mel.”
Perkataan Altan
membuat Meilani tambah putus asa dan cemberut.
“Itu artinya
lo harus terima nasib, Mel.” Dion menimpali.
“Nasib
buruk!” celetuk Nela. Dan semua yang mendengar atau memahami masalah Meilani
tertawa bersama.
Meilani
membenarkan omongan Nela. Ya. Lagi-lagi dia harus menerima nasib. Nasib
buruknya. Ya ampuuuun! Sampai kapan?
Jauh di
dalam lubuk hati Meilani, instingnya mengatakan bahwa ini semua adalah
kelanjutan dari keanehan yang dijalaninya selama ini. Keanehan yang samar-samar
telah ia sadari.
Akhir-akhir ini…kenapa
selalu berhubungan dengan Altan?
***
Sekitar dua jam yang lalu…
Dion berpamitan
pada Nela dan Altan setelah rapat mendadak mereka tadi. Dengan alasan ingin
kembali ke parkiran dimana mobilnya terparkir. Tujuannya bukanlah kesana,
melainkan ke kantor guru.
Tanpa mengundang
kecurigaan, Dion berhasil meloloskan diri dari Altan dan Nela yang masih
bercerita dan membuat strategi khusus perihal rencana baru mereka.
Sesampainya di
ruang guru, Dion langsung menuju ketempat dimana terdapat meja wali kelasnya. Mrs.
Ketie. Dion menyeringai saat mengetahui guru itu sudah berada disana.
“Morning,
Mrs…”
Mrs. Ketie mendongakkan
kepalanya. Tersenyum lebar saat mengetahui Dion berdiri di depan mejanya. “Morning
Dion… pagi sekali kamu datang. Sudah sarapan belum?” tanyanya perhatian. Kenapa
Mrs. Ketie begitu perhatian padanya?
Well, tentu
saja karena Dion adalah adik sepupu dari calon suami Mrs. Ketie. Namanya Om
Gavin. Dan Om Gavin sendiri adalah pemilik yayasan dari Lagoon High School.
So, tidak
sulit bukan bagi Dion untuk mengatur semua ini? Mengatur agar Meilani selalu
berada di kelas yang sama dengan Altan? Meminta Om Gavin agar menjadikan Mrs.
Ketie sebagai wali kelasnya agar dia lebih mudah mengatur semuanya? Lalu, meminta
Mrs. Ketie untuk menerapkan peraturan konyol yang dibuatnya selama ini? Meminta
Mrs. Ketie agar menyetujui ide kelompok belajarnya? Its too easier for Dion.
“Hehehe…iya
nih Mrs, lagi pengen dateng pagi aja. Mmm, Dion belom sarapan sih, tapi kalo
Mrs nawarin Dion sarapan, itu gak perlu kok. Lagian Dion disini bukan mau minta
makan, Dion mau nyerahin ini ke Mrs Ketie,” ujar Dion sedikit bergurau sambil
menyerahkan selembar kertas berisikan nama-nama teman-temannya. Daftar kelompok
belajar yang berhasil disusunnya sendiri.
Dion dan
Mrs. Ketie cukup akrab sebenarnya. Hanya saja, jika mereka sudah berada di
lingkungan sekolah, mereka selalu bersikap professional layaknya guru dan
murid. Begitu juga dengan Om Gavin. Sampai saat ini, tidak ada satu orangpun
yang tahu bahwa Dion masih mempunyai hubungan darah dengan pemilik yayasan –well,
kecuali Altan. Karna seperti yang sudah dikatakan tadi. Mereka bersikap professional.
Tidak pernah
sekalipun Dion menyapa Om Gavin di sekolah dengan sebutan OM. Jadi, siapa
sangka kalau dialah Sutradara terhebat masa kini? Berhasil membuat scenario serumit
ini?
Nobody knows
but God and Altan, though.
Mrs. Ketie membuka
lipatan kertas yang diberikan Dion, mengeceknya sebentar sambil
mengangguk-angguk pelan. “So, ini sudah fix?”
Dion mengangguk
tegas.
“Tidak akan
ada perubahan atau protes lagi kan?” kali ini Dion mengangkat bahunya. Dalam hati
dia tergelak. Sudah pasti akan banyak protes dan penolakan. Secara dia
membuatnya tanpa berkompromi atau membicarakannya lagi dengan temannya yang
lain.
“Gini aja,
Mrs. Kalo nanti ada yang protes, Mrs, gak usah tanggepin. Mereka itu susah
diatur, maunya sama yang ini, ntar sama yang itu. Yaudah, Dion tentuin seadanya
aja.”
Mrs. Ketie mengernyit,
lalu sedetik kemudian menyetujui saran Dion. Memang anak-anak suka begitu,
pikirnya.
“Baiklah. Thank
you, Dion. Kamu sudah banyak membantu saya dalam menangani kelas kamu sendiri,”
kata Mrs. Ketie sambil menyeringai.
“Ya ampun,
Mrs. Selow aja kali sama Dion mah, hehhe.” Dion menunjuk pintu keluar dengan
dagunya. “Kalo gitu saya pamit ke kantin dulu, Mrs. Ketie.”
“Ya.”
Dion menutup
pintu dibelakangnya dengan pelan. Tersenyum selebar mungkin pada orang-orang
yang berpapasan dengannya, sambil bersiul-siul dan tetap berjalan menuju
kantin.
~Dion selalu
bisa diandalkan~
To be
continue…
0 comments:
Post a Comment