Wednesday, March 13, 2013

Fall For You (Chapter 17)


TUJUH BELAS


***
“Halo?” panggilan itu dijawab pada dering ketiga.

“Nela,” panggil orang yang melakukan panggilan itu.

“Iya, ini Nela. Uh, ini siapa ya?” tanya Nela setelah ia membenarkan namanya disebut. Ia mengernyitkan dahinya. Bingung karna mendapat panggilan dari nomor telpon yang tak dikenalnya.


“Ini gue Altan,” kata orang yang mengaku sebagai Altan. Nela memekik kecil, lalu menelan ludahnya. Serius dia ditelpon Altan? Untuk apa? Perasaan tidak enak mulai menggelayuti pikirannya. “Hah? Uh, Altan?”

“Iya. Nel, gue…eh, lo kenapa pindah dari bangku belakang?”

Sekarang dia harus jawab apa? Bilang apa? “Uh, gue…” Nela mencari alasan yang paling mudah terpikirkan dan terserap oleh otaknya saat ini. “gue gak boleh sama nyokap gue, Al, kalo duduk di belakang. Lo tau kan gue takut kalo—”

Niatnya Nela ingin memberikan alasan yang sama dengan apa yang dia berikan pada Dion untuk mengelak. Tapi Altan dengan cepat memotong ucapannya.

Ada apa dengan Altan? Pikir Nela.

“Nel, please banget. Gue mohon sama lo, lo pindah lagi ya ke belakang. Ajak Meilani.” Dia harus mengajak Meilani balik ke barisan belakang? What?! Ummm…Why?

“K-kenapa, Al?” tanya Nela sedikit gugup.

“Nel, lo jangan pindah lagi. Gue mau pedekate sama Meilani, Nel.”

“Hah?!?!”

“Well, gue suka sama dia. Dari dulu malah. Gue mau ngembaliin ingetan Meilani yang hilang, uh…maksud gue, Meilani sama gue dulu temen waktu kecil. Kita sekolah di tempat yang sama waktu SD. Dulu, gue kenal Meilani karna kita sama-sama pake jasa bus sekolah. Dari dulu gue emang udah bandel. Jarang ada orang yang mau temenan sama gue, karna mereka takut, mereka sering gue bikin nangis. Tapi Meilani enggak. Dia gak takut sama gue. Dia cuek sama apa yang gue lakuin ke temen-temen yang lain, ke dia juga.” Jeda sebentar saat sang penelepon mengambil nafas rendah. Menerawang ke masa lalu.

“lama-kelamaan dengan sendirinya gue deket sama Mel. Umm.. oke, jadi singkat cerita, Bus itu dulu mengalami kecelakaan. Dan gara-gara itu, Meilani hilang ingatan dan dia pergi dari hidup gue. Gue…gue ngerasa kehilangan teman.”

Nela yang sedari tadi hanya diam mendengarkan, kemudian mendesah panjang. Air mata sudah bersarang kecil di matanya. Satu kata yang dapat dengan mudah keluar dari bibirnya. Rumit.

Altan tertawa getir. “Emang. Menyedihkan banget, kan, hidup gue? Punya temen kecil satu-satunya, tapi dianya lupa,” kata Altan sambil berdecak.

“Dia…eh, lo udah suka sama dia dari kecil?” tanya Nela tak percaya.

“Anak kecil gak ngerti apa-apa soal cinta, Nel,” peringat Altan. “Dulu gue gak punya pikiran buat suka sama dia. Tapi…sejak dia pergi, gue kesepian. Dan…”

“Dan pas lo ketemu sama dia lagi, lo mulai jatuh cinta gitu?”

“Umm, gak juga sih,” jawab Altan ragu-ragu. Bantahannya membuat Nela sedikit bingung apa maksud Altan.

“Gini loh, Nel. Pas gue ketemu sama dia lagi, tapi dia gak inget gue, itu tuh…bikin gue gregetan. Lo tau kan makanya gue suka ngusik dia?”

“Hmm-umm.”

“Yaaa, lo juga tau kan dia gak takut sama gue? Dia berani melotot ke gue?”

“Hmm-umm.”

“Nah. Itu dia!” teriak Altan yang malah mengagetkan Nela. Membuat dirinya tersentak kecil saking kagetnya. “Gue awalnya mau bikin dia inget sama gue, dengan cara ngusik dia. Tapi sampe sekarang dia gak inget-inget gue. Kampret banget, kan? Nah, dari situ deh tuh…”

“Ohh…jadi gara-gara lo suka ngusik dia, dan dianya cuek aja sama lo, trus lo jadi penasaran, dan biasanya dibalik penasaran itu ada kepedulian. Yang mana kepedulian juga bisa menumbuhkan puing-puing cinta. Yekaaan?”

“That’s right!”

“Ah, very complicated feelings,” komentar Nela.

“Jadi?” tanya Altan kembali ke topik awal. “Jadi?” tanya Nela balik.

“Nel, jadi gimana?” desak Altan. Altan berjengkit dari duduknya di meja besar yang terdapat di kamarnya saat seseorang masuk ke kamarnya tanpa mengetuk pintu lagi.

Altan memaki kecil saat mengetahui orang itu adalah Dion. Sudah menjadi hal yang biasa jika Dion datang ke rumahnya hanya untuk mengajaknya bermain PS. Memintanya untuk menemani Dion yang terkadang mengalami insomnia.

“Bentar, Nel.” Altan menjauhkan handphone dari telinganya. Memegang erat handphone di salah satu tangannya agar orang yang jauh dalam sambungan telpon itu tak mendengarnya.

Dion langsung melemparkan dirinya ke spot biasa. Di depan TV plasma yang menempel di dinding kamar Altan. Menacari lalu memasang semua peralatan bermain PS dengan cekatan. “Lo nelpon siapa, bro?” tanya Dion disela-sela aktivitasnya.

“Nela,” jawab Altan pelan. Sambungan telpon masih ditahannya.

“Hah?! Ngapain lo nelpon dia?”

Altan mendekat dan duduk di karpet Persia hitam bermotif volkadot itu. Dia berdesis, “Lo bilang gue mesti bujuk Nela buat balik ke bangku belakang, kampreeett…”

“Ya terus?” tanya Dion tak paham.

“Ya terus gua cerita sama dia semuanya. Biar tuh orang ngerti.” Altan menggeram.

“Hah?! Apa?!!!”

Altan berkeringat. Kalau reaksi Dion sudah seperti ini, dia takut kalau dia salah langkah lagi. Dia takut usahanya yang sudah menceritakan semua rahasianya pada Nela malah sia-sia. “Jangan bilang…”

“Lo serius cerita semuanya ke Nela?” Altan mengangguk waspada. Takut Dion akan memakinya karna menjadi bodoh lagi.

Sial, ternyata apa yang ditakutinya tak menjadi kenyataan saat mata Dion berubah menjadi lebar dan berbinar-binar. Dion bertepuk tangan dengan riang.

“Ide bagus! Kita cari komplotan! Sekali-kali kita emang mesti konsul sama cewek. Biar rencana kita lebih licik tapi masih keliatan elegan. Lo tau kan, cewek itu kalo punya ide kadang ide liciknya tuh terkesan manis.” Dion tertawa, dan Altan menghela nafas pelan.

Ia kembalikan handphone yang ditahannya tadi, lalu berbicara kembali pada Nela. “Halo, Nel?” tanya Altan mengecek apakah orang disebrang panggilannya masih ada atau tidak.

Nela menguap dan Altan tertawa kencang. “Siapa sih tuh, Al?” tanya Nela dengan suara yang terdengar sangat lelah.

“Itu si curut, Dion. Jadi gimana Nel? Mau kan balik lagi ke bangku belakang?”

Dion menatap Altan dengan ekspresi sungguh-sungguh. Melebarkan matanya dengan antusias.

“Mmm, Al, tapi…”

“Pleaseeeee.” Dion tergelak saat mendengar Altan memohon pada Nela.

Nela berdecak. “Iya, tapi…gimana alesannya ke Meilani??? kan tadi gue yang ngotot banget mau pindah tempat, nanti kalo dia nanya-nanya??”

Alis Altan berkerut jadi satu. Dia juga bingung alasan apa yang harus dipakai Nela untuk membujuk Meilani. “Mmmm…” belum sempat Altan berkata, handphone miliknya sudah direbut oleh Dion.

“Halo, Nel.” “Hemm?”

“Nel, pokoknya lo sekarang bilang ke Meilani kalo besok kalian duduk di belakang lagi. Kalo buat alesan sih gampang. Besok gue kasih tau alesannya apa. Oke?”

“Eh, tapi kalo dia nanya sekarang gimana, Yon?” Nela tahu kalau sekarang yang sedang bicara dengannya adalah Dion. Terdengar berbeda dari suara keras yang didengar sebelumnya.

“Kalo dia nanya sekarang lo gak usah bales atau jawab. Cukup kasih tau dia kalo kalian besok duduk di belakang.”

“Uhh…”

“Besok pagi, sejam sebelum jam masuk sekolah, kita tunggu lo di kelas ya? Nanti gue kasih tau alesannya. Got it?”

“Umm, yeah, eh…”

“Eh, tapi jangan bilang-bilang ke Meilani apa yang udah Altan ceritain ke elo ya, Nel? Kita udah percaya nih sama lo.”

Nela sedikit ragu-ragu. Tapi saat mengingat cerita Altan tadi…hatinya tersentuh. “Yaudah, sippp…”
***


“Jadi, Nel, lo sekarang udah tau semuanya. Kita harap lo gak ngebocorin ini ke Meilani. okey?” Dion memperingatkan Nela saat keesokan harinya mereka berada di kelas.

Pagi ini, Nela dipaksa datang ke sekolah lebih awal dari biasanya oleh Altan dan Dion, untuk membahas dan meyakinkan bahwa Nela adalah orang yang benar untuk diajak berkomplot.

Jadi, disinilah mereka. Datang satu jam lebih awal dari murid-murid yang lain. Bebas membicarakan orang yang menjadi target incaran mereka dengan sepuasnya tanpa ada seorangpun yang tahu dan mendengarnya.

Dan Altan sangat lega, karena usahanya menceritakan ini semua kepada Nela dan mengajaknya untuk berkomplot tidak sia-sia. Nela dengan penuh semangat mendukung apa yang sudah diberitahukan Altan. Walau pada awalnya ia tak yakin kalau Altan benar-benar serius dengan apa yang dikatakannya, dan apa yang telah dilakukannya. Tapi Nela berusaha dan meyakinkan dirinya bahwa ini benar. Ini adalah sesuatu yang benar.

“Kalo menurut lo nih, ya, Nel. Si Meilani tuh ‘ngeliat’ gue kayak gimana?” tanya Altan. Dion tertawa mendengarnya.

“Gue tebak! Pasti monster.”

Nela ikut terkekeh tapi kemudian langsung berhenti saat dilihatnya Altan tak tertarik dengan lelucon yang dibuat Dion sama sekali.

“Uh…gue sih pernah, eh, sering denger kalo Meilani nyebut elo itu iblis,” ujar Nela sambil meringis dan melirik Dion. Tak berani melihat pada Altan.

“Whoaa. Gokil. Lebih parah dari tebakan gue. Hahahaha…” Dion berucap dengan geli sambil memukul-mukul meja.

Altan memutar matanya. “Yah, gue juga yakin, lo ‘ngeliat’ gue kayak gitu juga kan, Nel.” ucap Altan menyeringai.

“Ah? Uh…” Nela bingung harus mengatakan apa. Faktanya, ia juga pernah berpikir begitu.

Nela menggaruk tengkuknya yang tiba-tiba saja merinding. Dan Altan memperhatikan. Menghela nafas, lalu berkata dengan serius,

“Mulai sekarang, lo nyantai aja sama gue, Nel. Apapun yang terjadi dan yang lo liat nantinya, gue gak akan nyakitin temen baru gue deh. Janji. Yang penting lo bantuin gue buat deket sama Meilani, ya.”

Nela tertegun. Memandang Altan dengan ragu, lalu melirik pada Dion yang tersenyum miring, dan kembali lagi melihat Altan. “Sekarang kita Ce-es-an. Deal?” Altan mengerling pada Nela. Menawarkan sejuta senyum indah yang terukir tulus di bibirnya.

Nela membuang nafas lega. Benar-benar lega. “Huahhh… oke deal!” jawab Nela menyetujui. Matanya bersinar lega dan tak percaya. “Dari dulu kek, Al, lo baik sama gue kayak gini. Jangan bisanya Cuma bikin takut aja. Tampang lo tuh nyeremin tau gak?! Seharusnya, biar Meilani ngeliat elo, lo itu harusnya baik sama dia. Bukannya malah ngejailin dan bikin emosi.” Nela merocos tak henti-hentinya kepada Altan. Kelegaan atas perlakuan baik dari sisi Altan yang baru dikenalnya membuatnya nyaman dan tak ada keraguan mengatakan itu semua.

Altan menggaruk kepalanya dengan malas. Ini dia yang lagi diusahakannya.

“Ini gue lagi usaha, Nel.”

Dion menyerempet. “Makanya lo bantuin dia.”

“Oke…oke!!! Serahkan pada agen Nela,” katanya memainkan alisnya ke atas dank e bawah berkali-kali.

Altan dan Dion saling berpandangan dengan gemas. Lalu menyeringai dan menyerbu Nela untuk mencubitnya.

Altan mencubit seperti kepiting yang sedang mencapit-capit pada kedua lengan Nela. Dan Dion dari samping menarik kedua pipi Nela dengan gemas sambil menggigil.

“Ma’aciwww, Nelaaaa… si Nela teman beruang kitaaa!!!” teriak Altan dan Dion bersamaan.

“Aaaaawwwww.” Nela menjerit sekeras mungkin saat mendapat serangan terima kasih yang aneh dari teman cowok barunya. Pipinya memerah karna mendapat perlakuan seperti itu oleh dua orang yang paling ganteng di sekolahnya.

Baru kali ini ia mendapat teman cowok yang seganteng ini. Teman dekat pula. Whoaaa… Nela sangat bahagia karna dia mendapat tugas dari dua cowok yang kini sedang tertawa terbahak-bahak di depannya.

***


Meilani berhasil sampai ke kelasnya yang berada di lantai empat, tepat pada saat bel masuk berbunyi nyaring. Tak butuh waktu lama untuk mencari dimana Nela berada, mata Meilani langsung menangkap sosok itu sedang bercanda dengan teman lelaki di sebrang mejanya.

Tidak biasanya Nela terlalu santai duduk di barisan belakang. Dan Meilani menyadari itu. Pasti ada sesuatu yang salah disini, pikirnya langsung. Meilani memutuskan untuk bersikap tidak tahu apa-apa dan tidak memikirkan apa-apa. Meilani akan mengikuti kemana kejanggalan yang ia rasakan ini berlanjut. Ia perlu tahu. Tapi ia harus berpura-pura tidak ingin tahu.

Dengan pura-pura enggan, Meilani melangkahkan kakinya menuju barisan belakang. Gerakan seseorang yang menyambut kehadirannya hanya ditangkapnya lewat sudut matanya.

Menghempaskan badannya dengan kasar ke bangkunya, Meilani pura-pura terlihat lesu dan lemas. Ia adalah satu-satunya orang yang menunjukan sikap berkebalikan dibanding hampir semua teman sekelasnya yang pagi ini terlihat senang dan bersemangat.

Jika ada yang membuat kejanggalan dihatinya, maka Meilani akan menciptakan sendiri kejanggalan untuk orang itu.

Berpura-pura tidaklah sulit untuk Meilani. karena saat itu juga, sikap tidak bersemangatnya langsung diperhatikan oleh orang-orang disekitarnya.

“Duileeh, Mel. Pagi-pagi udah lemes banget. Lo sakit?” tanya Dion yang duduk di sebrang kirinya.

Meilani menoleh sebentar. Lalu menimang-nimang harus mengatakan apa. Dan akhirnya ia memutuskan hanya mengangkat bahunya kemudian menempatkan sikunya di atas meja lalu telapak tangannya digunakan untuk menyangga dagunya.

Altan yang memang dari tadi duduk miring di bangkunya, memperhatikan. Lalu menyeringai kearah Meilani dan Dion. “Dia tuh mau BAB, yon. Liat aja tuh mukanya pucet gitu. Pasti lagi nahan,” kata Altan santai. Matanya berbinar-binar memancarkan kesenangan yang menggoda.

Meilani menatap Altan marah. “Sembarangan lo kalo ngomong!”

“Emang iya, kan?” goda Altan sambil menatap Meilani sepenuhnya. “Apaan sih, enggak juga. Gue tuh capek tau gak, naek tangga sampe lantai empat. Udah mana nih kelas jauh ba—” ucapan Meilani terpotong dengan kehadiran Mrs. Ketie.

Semua murid-murid di kelas memusatkan perhatiannya pada kedatangan wali kelas mereka itu.

“Morning, guys,” sapa Mrs. Ketie ketika semua perhatian muridnya tertuju kepadanya.

“Morning, Mrs…”

“Well, hari ini kita akan membahas materi apa saja yang akan di UN kan. Setelah itu saya akan kasih kalian soal-soal yang telah saya kumpulkan dari soal-soal UN tahun lalu.” Mrs. Ketie memulai jam pelajarannya dengan tenang dan berlangsung dengan cukup baik.

Menjelang 20 menit kelasnya berakhir, Mrs. Ketie meminta Nurmala sebagai sekertaris untuk menuliskan nama-nama kelompok di papan tulis.

Semua anak yang mengetahui kalau Mrs. Ketie sudah membuatkan kelompok belajar untuk mereka kini mulai berceloteh dan memprotes saat nama mereka tertera di kelompok yang tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan.

Apalagi, saat Meilani melihat dengan mulut menganga ke papan tulis. Namanya tertera dengan jelas disana. menyempil diantara nama-nama orang yang —emang sih dikenalnya, tapi kan, yang benar saja?

Apa itu gak salah pembagian kelompoknya?

Namanya… kelompoknya… ah, sial!

“Astagaaaaaa!!!” teriak Meilani di tempat duduknya.

“Ih, gue kenapa sekelompok sama Divo sih,” gerutu Nela. Meilani balas menggerutu. “Lo masih mending, Nel, ada temen ceweknya di kelompok lo. coba liat kelompok gue.” Meilani menunjuk papan tulis dengan sinis.

“Nama lo di kelompok berapa emang, Mel?” tanya Nela.

“Kelompok terakhir tuh, Nel. Yang kelompok 5.”

Nela melarikan pandangannya ke nama-nama yang tertera di papan tulis. Menemukan nama Meilani terselip diantara empat nama lainnya. Dan detik itu juga, Nela berusaha sekuat tenaga untuk tidak tertawa.

“Ya ampun, kelompok lo cowok semua, Mel?” tanya Nela sok prihatin.

“Ya ampun, gue mau protessss!!!”


Lain Meilani, lain juga ekspresi yang diberikan Altan saat ia melihat nama-nama kelompok belajar itu. Altan yang sampai saat ini tidak tau bahwa ini adalah rencana Dion, berteriak di dalam hatinya karna mendapatkan keberuntungan dengan adanya pembagian kelompok belajar itu.

Dalam hati Altan benar-benar bersyukur dia bisa satu kelompok dengan Meilani. ini akan memudahkannya! Ya, dia yakin ini akan sangat membantu.

Altan lalu menengok ke tempat dimana Dion berada. Altan menyeringai senang pada Dion tapi Dion tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Dion tetap sibuk dengan handphone miliknya sambil bernyanyi-nyanyi ria.

Altan heran, kenapa Dion tidak terlalu antusias dengan pembagian kelompok belajar itu?

Dion menangkap lirikan Altan padanya. Lalu dia mengernyit. Memandang aneh pada Altan. Saat Altan mengisyaratkan matanya ke arah papan tulis lalu dengan lirikan cepat ke Meilani, Dion mengikuti.

Melihat papan tulis dengan muka datar, lalu melihat Meilani yang terlihat kebat-kebit gelisah di bangkunya.

Kembali memandang Altan, lalu memutuskan untuk mengedikkan bahu kanannya pada Altan. Dion tersenyum tipis di matanya. Lalu memfokuskan kembali dirinya pada handphone miliknya.

Altan menyipitkan matanya pada keengganan Dion. Sekarang dia tahu. Dion sudah melakukan semua ini. Dion –tanpa sepengetahuannya telah merencanakan kelompok belajar ini.

Altan memutuskan untuk mengirim SMS pada Dion. Dia tak mungkin berteriak berterima kasih pada sobatnya itu, sementara ada orang yang dia usahakan untuk didekatkan berada 30 senti di belakangnya.


Eh, kampret!
Pasti lo udah ngerencanain ini kan?
Anjrit lo, gak bilang-bilang ke gua! Sialan, thanks banget bro. haha


Dengan cepat Dion membalas.


Males gua bilang-bilang ke elo. Ntar lo ancurin lagi rencana gua.
Imbalannya HED 7 putih yang mau lo beli, ya!


Dion melirik Meilani di sebelahnya. Lalu berkomentar supaya tidak membuat kecurigaan pada Meilani.

“Yaelah, kelompok apaan tuh? Udah bener-bener cowok semua, pake ada cewek satu nyempil segala,” cibirnya dengan sengaja.

Meilani menyemprot. “Eh, sarap! Lo pikir gue mau apa, sekelompok sama cowok semua. Apalagi cowoknya modelnya kayak lo-lo pada.”

Balasan SMS datang dari Altan.

Sambil membaca pesan, Dion menertawakan Meilani. “Sok banget lo, Mel. Ah, gua tau lo seneng kan sekelompok sama gua yang paling ganteng ini.”


Jangan bilang kayak gitu ke dia, goblok.
Ntar yang ada lo yang ngancurin rencana lo sendiri!
Bangsat. Mobilnya aja belom nyampe ke tangan gua, lo udah mau minta.
Gua kasih Rover gua aja kalo nanti gua jadian sama dia. Haha


Meilani berdiri, hendak memprotes pada Mrs. Ketie. “Ah, bodo. Pokoknya gue mau protes. Gak enak banget masa dari lima kelompok, kelompok 5 doang yang ceweknya Cuma satu. Yang laennya banyak.”

Sambil mengetik balasan untuk Altan, Dion berkata pada Meilani, “Iya, protes sana, Mel. Bilang kelompok 5 cowok aja semuanya.”


Diem! Biar dia gak curiga.
Jadian? HAHA! Deket aja susah banget lo.
GUA GAK MINAT ROVER LO. HED 7 IMPIAN GUA!


Altan tak menghiraukan pesan yang baru saja masuk ke handphonenya. Ia sibuk memperhatikan ke depan kelas. Dimana Meilani sedang memprotes. berusaha untuk mengeluarkan dirinya dari daftar kelompok menggelikan yang dibuat Dion.

Entah apa yang dikatakan Meilani di depan sana bersama beberapa teman lainnya yang ikut memprotes. Yang jelas, kali ini Altan cukup tegang dengan apa yang sedang dilakukan Meilani.

Jangan sampai Mrs. Ketie mengizinkan Meilani untuk pindah kelompok.

Altan berpaling ke Dion. “Yon?”

“Tenang,” kata Dion singkat. Membuat Altan menghela nafas frustasi.

Dipalingkannya lagi pandangannya ke depan, dan tepat saat orang-orang yang berkumpul di meja guru bubar semua. Menampakkan wajah cemberut pada semua orang yang membubarkan dirinya dari meja guru. Termasuk Meilani yang terduduk lesu dan putus asa di tempatnya.

Mrs. Ketie geram. “Tidak ada protes dalam keputusan saya ini. Ingat? Jika ada yang protes, kalian bisa keluar dari kelas saya.” Kemudian Mrs. Ketie bergegas meninggalkan kelas yang tambah bising dengan keributan-keributan itu.

Altan bersiul pelan. “Keras kepala, ya, kan?” Meilani melirik ke atas pada Altan. “Sial, susah banget bujuk tuh guru.”

Altan berdecak tapi dalam hatinya dia tertawa. “Emang. Sampe lo tua juga gak bakalan ditanggepin tuh protes lo, Mel.”

Perkataan Altan membuat Meilani tambah putus asa dan cemberut.

“Itu artinya lo harus terima nasib, Mel.” Dion menimpali.

“Nasib buruk!” celetuk Nela. Dan semua yang mendengar atau memahami masalah Meilani tertawa bersama.

Meilani membenarkan omongan Nela. Ya. Lagi-lagi dia harus menerima nasib. Nasib buruknya. Ya ampuuuun! Sampai kapan?

Jauh di dalam lubuk hati Meilani, instingnya mengatakan bahwa ini semua adalah kelanjutan dari keanehan yang dijalaninya selama ini. Keanehan yang samar-samar telah ia sadari.

Akhir-akhir ini…kenapa selalu berhubungan dengan Altan?

***


Sekitar dua jam yang lalu…


Dion berpamitan pada Nela dan Altan setelah rapat mendadak mereka tadi. Dengan alasan ingin kembali ke parkiran dimana mobilnya terparkir. Tujuannya bukanlah kesana, melainkan ke kantor guru.

Tanpa mengundang kecurigaan, Dion berhasil meloloskan diri dari Altan dan Nela yang masih bercerita dan membuat strategi khusus perihal rencana baru mereka.

Sesampainya di ruang guru, Dion langsung menuju ketempat dimana terdapat meja wali kelasnya. Mrs. Ketie. Dion menyeringai saat mengetahui guru itu sudah berada disana.

“Morning, Mrs…”

Mrs. Ketie mendongakkan kepalanya. Tersenyum lebar saat mengetahui Dion berdiri di depan mejanya. “Morning Dion… pagi sekali kamu datang. Sudah sarapan belum?” tanyanya perhatian. Kenapa Mrs. Ketie begitu perhatian padanya?

Well, tentu saja karena Dion adalah adik sepupu dari calon suami Mrs. Ketie. Namanya Om Gavin. Dan Om Gavin sendiri adalah pemilik yayasan dari Lagoon High School.

So, tidak sulit bukan bagi Dion untuk mengatur semua ini? Mengatur agar Meilani selalu berada di kelas yang sama dengan Altan? Meminta Om Gavin agar menjadikan Mrs. Ketie sebagai wali kelasnya agar dia lebih mudah mengatur semuanya? Lalu, meminta Mrs. Ketie untuk menerapkan peraturan konyol yang dibuatnya selama ini? Meminta Mrs. Ketie agar menyetujui ide kelompok belajarnya? Its too easier for Dion.

“Hehehe…iya nih Mrs, lagi pengen dateng pagi aja. Mmm, Dion belom sarapan sih, tapi kalo Mrs nawarin Dion sarapan, itu gak perlu kok. Lagian Dion disini bukan mau minta makan, Dion mau nyerahin ini ke Mrs Ketie,” ujar Dion sedikit bergurau sambil menyerahkan selembar kertas berisikan nama-nama teman-temannya. Daftar kelompok belajar yang berhasil disusunnya sendiri.

Dion dan Mrs. Ketie cukup akrab sebenarnya. Hanya saja, jika mereka sudah berada di lingkungan sekolah, mereka selalu bersikap professional layaknya guru dan murid. Begitu juga dengan Om Gavin. Sampai saat ini, tidak ada satu orangpun yang tahu bahwa Dion masih mempunyai hubungan darah dengan pemilik yayasan –well, kecuali Altan. Karna seperti yang sudah dikatakan tadi. Mereka bersikap professional.

Tidak pernah sekalipun Dion menyapa Om Gavin di sekolah dengan sebutan OM. Jadi, siapa sangka kalau dialah Sutradara terhebat masa kini? Berhasil membuat scenario serumit ini?

Nobody knows but God and Altan, though.

Mrs. Ketie membuka lipatan kertas yang diberikan Dion, mengeceknya sebentar sambil mengangguk-angguk pelan. “So, ini sudah fix?”

Dion mengangguk tegas.

“Tidak akan ada perubahan atau protes lagi kan?” kali ini Dion mengangkat bahunya. Dalam hati dia tergelak. Sudah pasti akan banyak protes dan penolakan. Secara dia membuatnya tanpa berkompromi atau membicarakannya lagi dengan temannya yang lain.

“Gini aja, Mrs. Kalo nanti ada yang protes, Mrs, gak usah tanggepin. Mereka itu susah diatur, maunya sama yang ini, ntar sama yang itu. Yaudah, Dion tentuin seadanya aja.”

Mrs. Ketie mengernyit, lalu sedetik kemudian menyetujui saran Dion. Memang anak-anak suka begitu, pikirnya.

“Baiklah. Thank you, Dion. Kamu sudah banyak membantu saya dalam menangani kelas kamu sendiri,” kata Mrs. Ketie sambil menyeringai.

“Ya ampun, Mrs. Selow aja kali sama Dion mah, hehhe.” Dion menunjuk pintu keluar dengan dagunya. “Kalo gitu saya pamit ke kantin dulu, Mrs. Ketie.”

“Ya.”

Dion menutup pintu dibelakangnya dengan pelan. Tersenyum selebar mungkin pada orang-orang yang berpapasan dengannya, sambil bersiul-siul dan tetap berjalan menuju kantin.

~Dion selalu bisa diandalkan~

To be continue…



0 comments:

Post a Comment

Template by:

Free Blog Templates