DUA
PULUH TIGA
“Gue jijik deh, ih, sama Altan
tadi,” ujar Nela dengan mimik muka seperti orang sedang meminum jamu yang
sangaaaaat pahit. Mengedikkan tubuhnya sambil menjulurkan lidahnya.
Meilani melirik pada Nela
sekilas. Ia justru berharap tadi dia tidak melihatnya. Berharap kalau Nela dan
Nurmala tidak mengajaknya untuk kembali ke kelas.
“Kita pindah tempat duduk lagi,
yuk, Mel. Sumpah. Enek banget gue inget Altan tadi. Untung yang mergokin kita.
Coba kalo guru? Pasti mereka—”
“Bagus Mel! Gue udah gak
percaya lagi tuh sama dia. Apaan, ngakunya lagi suka sama yang ini, eh, tau-tau
lagi mesra-mesraan sama yang laen. Ish. Bête gue liatnya!” Nela mendumel
seperti ibu-ibu yang kurang dikasih uang bulanan oleh sang suami. Sepanjang
perjalanan menuju auditorium, Nela terus-terusan mendumel soal Altan dan
Indira. Membuat Meilani harus menulikan telinganya agar ia tak terlalu
memusingkannya.
Cukup sudah ia pusing dengan
menyadari perasaannya saat ini. Bisa-bisanya dia suka dengan Altan. Oh my God.
Dia pasti sedang mengigau.
“Lagian Indira juga lenjeh
banget deh. Udah putus sama Fadlan, sekarang malah peluk-pelukan sama Altan.
Iiiiiihhhh… pengen gue remes-remes tuh orang berdua.” Begitulah gerutuan Nela
sepanjang jalan. Percuma, karna Meilani sibuk dengan pikirannya sendiri.
***
“Mel, gue mau ngomong deh sama
lo,” ucap Nela. Ia sudah tak tahan memendam rasa kesal sendirian. Dia butuh
berbagi. Dan satu-satunya orang yang mengerti keadaan ini selain dirinya adalah
Meilani.
“Ngomong aja,” kata Meilani
malas. Mereka kini sudah kembali ke ruang auditorium untuk melihat kembali
teman seperjuangan mereka yang sedang tampil memberikan pidato bahasa Inggris.
Sengaja, mereka memilih kursi paling belakang dan di pojok. Lumayan jauh dari
podium di depan sana.
Jujur, sejak melihat Altan
bersikap begitu manis pada Indira, entah kenapa Meilani merasakan dirinya
menjadi begitu sensitive. Malas berbicara. Terbakar cemburu.
“Gue mau nanya dulu nih. Menurut
lo, kalo lo punya secret admirer tuh
lo bakal ngelakuin apa?”
Meilani dengan enggan menoleh
ke samping. Lalu mengangkat kedua bahunya.
“Seriusan nih, Mel. Jawab dong.
Kalo lo punya secret admirer, perasaan lo gimana?”
Secret
Admirer? Otaknya berputar. Secret
admirer. Apa yang akan dia lakukan kalau dia punya pengagum rahasia?
Bagaimana perasaannya? “Biasa aja.”
Nela mengangkat sebelah
alisnya. Lalu terdiam. Ia memikirkan apakah ia akan mengatakan semua rahasia
itu pada Meilani?
Secret
admirer. diam-diam Meilani terus merapalkan kata-kata itu dalam
hatinya. Apa dia punya?
Meilani langsung menegakkan
tubuhnya saat satu nama terlintas di benaknya. Di pikirannya. Di hatinya.
Benarkah dia?
“Kenapa emangnya, Nel?” tanya
Meilani. memancing Nela agar bisa memberitahunya apakah feelingnya itu benar atau tidak.
Nela memandang Meilani dengan
sangat intens. Kemudian dia menghela nafas pelan. “Gak apa-apa. Nanya doang,
kok.”
Meilani menyipitkan matanya.
kurang puas dengan jawaban Nela. Ia perlu tahu apakah benar selama ini apa yang
dirasakannya –dengan semua kejanggalan—itu berhubungan dengan orang itu.
Sang pengagum rahasia itu?
“Kenapa gak, Nel?” desak
Meilani sambil mencubit gemas lengan Nela yang sebesar talas bogor itu.
“Duuuhh, Mel. Gak ada apa-apa,
kok.” Nela menahan ringisannya karna takut membuat keributan di tengah-tengah
praktek berpidato itu berlangsung.
“Gak, pasti ada apa-apanya! Lo
tuh polos, Nel. Kalo bohong bisa kebaca.”
Nela melebarkan matanya. “Iya
apa?”
“Iyalah. Orang polos kayak lo
mah gak pantes bohong. Pasti langsung ketahuan, tau.”
Nela menghela nafas kembali.
“Mel, sebenernya gue tuh gak boleh ngasih tau ke elo,” kata Nela menggantung.
Membuat Meilani tambah penasaran. Satu-satunya dugaan yang terkuat adalah
Altan. Bukan, bukannya Meilani Ge-eR atau
apa. Tapi sejauh ini, feelingnya itu selalu benar. Apalagi kalau dilihat dari
tingkah laku dan tatapan matanya. Meilani tidak buta melihat itu semua ada pada
diri Altan. Seperti yang sudah dikatakan, ia akan berpura-pura tidak tahu.
Sampai dugaannya itu terbukti dengan sendirinya lambat laun.
“Lo harus ngasih tau gue. Apaan
sih? Gue punya secret admirer, gitu?”
tanya Meilani langsung.
“Ih, percaya diri banget lo,
Mel,” elak Nela.
“Ya abisnya, apa? Lo ngomongnya
gak jelas gitu sih.”
Nela mengerucutkan bibirnya. Duh, bilang gak ya?
“Kalo iya lo punya secret admirer, terus kenapa?”
Meilani menggigit pipi dalamnya
menggunakan kedua rahangnya. “Gue keyaknya tau siapa.” Meilani memancing dengan
muka datar dan setenang mungkin.
Nela menatap tak percaya. “Ih?”
“Percaya atau enggak. Gue bisa
nebak siapa orangnya. Kalo emang ada,” ucap Meilani tanpa memandang Nela.
Matanya menatap lurus ke arah podium. Melihat temannya dari kelas lain sedang
berpidato dengan lancarnya.
“Siapa?” tantang Nela.
“Pokoknya gue tau siapa.”
Nela menyipitkan matanya. “Kalo
lo tau— serius lo tau?”
Meilani menatap sekeliling
auditorium. Bergumam memprtimbangkan. Saat matanya tertuju pada pintu masuk
ruang auditorium, saat itu juga mata hitam milik Altan menangkapnya.
Menguncinya.
Meilani dapat melihat wajah
Altan yang mengeras saat mengunci tatapannya. Garis bibirnya menipis. Terpaku
disana. Diam. Tak bergerak. Tak ada pergerakan untuk memasuki ruangan yang
penuh sesak itu. Hanya menatap dari kejauhan.
Nela mengikuti kemana arah
tatapan Meilani tertuju. Dan dia baru saja membelalakkan matanya. Membuka
mulutnya. Sedetik kemudian, tangannya tergerak untuk menutupi mulutnya yang
menganga. Hampir tidak percaya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Mel…lo tau,” bisik Nela pelan.
Suaranya teredam oleh ratusan suara teman-temannya yang lain yang berada di
ruangan itu.
Meilani menoleh. Melepaskan
tatapannya yang terkunci pada Altan di depan pintu masuk. Menghela nafas pelan,
Meilani menatap Nela dengan lembut. “Well, tanpa lo kasih tau pun, gue sebenernya
bisa baca perasaan orang lewat mata mereka,” ujar Meilani sambil mengedikkan
bahunya. Entahlah, dia selalu bisa membaca perasaan orang lain lewat mata
mereka. Tatapan mereka. Sejauh ini, feelingnya selalu benar.
Lewat mata, ia bisa tahu kalau
orang itu sedang sedih, sedang gelisah, ataupun jatuh cinta. Meilani percaya
bahwa mata itu tidak bisa bohong. Sinarnya, tatapannya, keteduhan yang
terpancar disana, semua sudah terwakili dari matanya. Apalagi, orang yang
sedang jatuh cinta. Sangatlah mudah membaca perasaan orang sedang jatuh cinta.
Nela menggigit bibirnya
gelisah. “Kalo lo tau dia punya perasaan sama lo, terus kenapa lo dingin banget
sama dia, Mel?”
Meilani menggeleng. Menggeser
kursinya agar lebih mendekat dengan Nela. Lalu mengecilkan suaranya. “Gue
ngerasa aneh aja sama dia. Lo tau kan, gue sama dia tuh gak pernah akur. Awkward, menurut gue. Udah gitu… lo tau
banget kalo Altan itu playboy. Gue gak mau kalo gue sakit hati Cuma karna
Altan. Selagi gue masih bisa menghindari kemungkinan itu, gue lebih milih
pura-pura gak tau. Itu lebih baik.” Meilani berkata dengan ragu-ragu.
Jauh. Jauh dalam lubuk hatinya
pun dia masih bingung kenapa dia marah melihat Altan berpelukan sama Indira.
Hatinya terbelah jadi dua. Bagian pertama ingin dia mencemburui Altan, dan
berteriak-teriak kalau dirinya sudah terperangkap oleh cowok itu. Tapi, bagian
hatinya yang lain membuatnya ingin menghindari Altan. Dia tahu Altan. Altan
yang selalu mempermainkan wanita. Playboy kelas kakap. Dia tidak mau tersakiti
hanya karna cinta. Tidak hanya karna seorang Altan.
Nela meringis. “Lo aneh deh.
Katanya lo bisa tau perasaan orang lewat matanya. Tapi lo gak percaya seberapa
besar cinta dia ke elo, Mel?”
“Gak tau Nela…” Meilani hampir
mendengar rengekan keluar dari suaranya. “Gue juga gak ngerti. Disatu sisi, gue
akuin kalo gue udah mulai punya perasaan khusus sama dia. Tapi disisi lain,
–disaat gue akuin kalo gue punya perasaan sama dia—tiba-tiba kelakuannya ke gue
tuh ke flashback gitu aja. Ke-playboy-annya,
isengnya, amarahnya yang suka meluap-luap gak jelas, itu tuh kayak nampar gue
ke dunia nyata. Ngusir gue dari dunia khayalan. Gue gak ngerti.”
“Mel, lo gak usah mikir yang
negatifnya dulu. Lo mesti tau faktanya. Realitanya. Lo—”
“Bodo, ah! Gue gak mau pusingin
itu dulu, Nel. Posisi gue saat ini aja tuh udah buat gue pusing. Gue bukan
siapa-siapanya dia, tapi tau-tau gue marah liat dia kayak tadi.” Meilani
mengusap wajahnya berkali-kali.
Perasaan untuk melirik ke arah
pintu masuk begitu besar. Membuatnya harus memejamkan matanya sebentar. Dan
dengan hitungan 0,5 sec lirikannya itu tak membuahkan hasil. Tak menemukan
orang yang diharapkannya masih berdiri disana. Pergi. Orang itu sudah pergi
dari sana. “Gue gak percaya sama orang yang selalu mempermainkan hati cewek.
Apalagi kayak Altan. Dia bisa jatuh cinta kapan aja dia mau. Dan saat dia udah
bosen, dia tinggalin gitu aja. Coba lo bayangin, jadi cewek-cewek yang udah
disakitin sama tuh orang. Gue gak mau berpeluang jadi mereka.”
Nela menggigit bibirnya.
membenarkan ucapan Meilani. “Gue tau kalo Altan emang playboy. Maka dari itu,
gue sempet ngeraguin dia yang bilang kalo dia suka sama lo. dia ngeyakinin gue
kalo dia serius. Gue percaya. tapi… sejak gue liat kejadian tadi, gue ngerasa
dikhianati.”
Meilani menatap pedih pada Nela.
Itulah salah satu faktor yang membuatnya meragukan sinar di mata hitam Altan.
Itulah sebabnya dia tidak yakin. Itulah sebabnya dia memendam perasaannya
sendiri. Mungkin tak akan pernah diungkapkannya.
Meilani menghela nafas pelan.
Menggigit bibirnya yang hampir bergetar. “Jangan bilang ke dia soal perasaan
gue ya, Nel.”
Nela menatap ragu-ragu. Matanya
berkeliling. Memutar. Seperti mencari sesuatu. “Ya.” Hanya itu kata yang
berhasil dikeluarkannya. Nela bisa mengerti berada dalam posisi Meilani.
Dirundung rasa ketidakpercayaan. Takut terkhianati cinta.
***___***___***
Malam harinya, setelah pulang
dari rumah Fadlan –mengecek keadaan sepupunya yang bodohnya gak ketulungan
itu—Altan ingin menghubungi Nela –Mempertanyakan mengapa ia membiarkan Meilani
pindah tempat duduknya dari belakang.
Keluar dari Rover Sport
putihnya, Altan menyenderkan tubuhnya ke badan mobilnya yang diparkirnya di
halaman rumah. Tangannya yang bebas, ia
masukkan ke dalam saku jaket putih Smithnya. Kaki kanannya ditekuk ke belakang.
Menempel pada badan mobil. Sambil menunggu panggilannya diangkat, kejadian tadi
siang di sekolah berseliweran di kepalanya. Menerawang.
Tadi, saat Altan kembali ke
kelas, ia menemukan Nela dan Meilani sudah mengangkat pantatnya dari kursi
belakang. Pindah ke bagian depan.
Dunia terbelah saat itu juga.
Apalagi raut wajah yang ditunjukan kedua cewek itu. Asem. Kecut. Pahit.
Juteknya mencapai langit ketujuh terhadapnya.
Altan bersumpah bukan dia yang
menyebabkan Indira menangis seperti itu. Dia hanya berusaha menenangkan Indira
yang memang saat itu sedang ada masalah dengan sepupunya itu –Fadlan.
Indira, seorang gadis dengan
wajah berbentuk oval, bibir tebal yang tanpa dioles dengan lipstick atau
lipgloss pun sudah tampak merah, tubuh tinggi semampai dan berisi, rambut
cokelat keemasan yang ikal, persis nona Belanda jaman penjajahan. Sangat
cantik. Menarik. Dan mempesona dikalangan teman-temannya.
Sayangnya, ia terjebak dalam
pergaulan bebas remaja saat ini. Dia baru saja mengetahui dirinya hamil dua
bulan. Mengetahui dirinya hamil, Indira langsung meluapkan kemarahannya kepada
Fadlan. Meminta pertanggungjawabannya. Karna panik, bingung, dan tidak tahu
harus berbuat apa, Fadlan malah balas berteriak pada Indira. Yang mana membuat
Indira semakin panik dan mereka bertengkar.
Terguncang, pasti. Apalagi
dalam waktu kurang dari sebulan, ia akan melaksanakan Ujian Kelulusan. Indira
takut kalau kehamilannya ketahuan oleh pihak sekolah, ia pasti tidak akan bisa
mengikuti ujian dan langsung dikeluarkan dari sekolah. Masa depannya pun akan
hancur.
Beruntung saat terjadi
pertengkaran, di kelas tidak ada siapa-siapa. Hingga saat Altan, Dion, Andra
dan Andri balik ke kelas, mereka meredakannya. Fadlan marah besar. Membanting
pintu sekeras mungkin, dan keluar. Dion mengintruksikan Andra untuk ikut
dengannya mengejar Fadlan yang sedang dalam emosi. Sementara Altan dan Andri
menenangkan Indira yang terus-terusan menangis. Altan dan Andri yang tak tahu
apa yang menyebabkan sepupunya dan wanita cantik itu bertengkar, bertanya. Mengapa.
Apa yang menyebabkan mereka bertengkar hebat seperti itu. Setelah mendengar apa
yang diceritakan Indira, Altan memaki kencang. Mengepalkan tangannya menjadi
tinju.
Andri yang tak tega melihat
Indira nangis sesegukkan seperti itu, langsung menawarkan diri untuk membelikan
minuman di kantin. Supaya ia lebih tenang. Dan tak lama setelah Andri keluar
kelas, datanglah Meilani, Nela dan Nurmala yang melihatnya berpelukan dengan
Indira.
Tentu saja mereka langsung
salahpaham melihatnya seperti itu. Tapi, demi apapun yang berharga dalam
hidupnya, dia bukanlah orang yang menyebabkan Indira menangis seperti itu.
Sialnya, Nela dan Meilani tak mau mendengarnya. Bahkan sebelum dirinya
berbicara.
Sudah kesepuluh kalinya ia
mencoba menghubungi Nela, tapi tidak ada satupun yang dijawab. Sekarang
percobaan kesebelas menghubungi cewek itu. Dering kelima, panggilan itu
diangkat oleh Nela. Altan mengerang frustasi. “Nel,” panggilnya dengan emosi
yang ditekannya sekuat mungkin.
Tak ada suara.
“Nela, please gue mohon dengerin gue dulu, ya?” pinta Altan sambil
memejamkan matanya. ia sengaja menghubungi Nela duluan, bukan Meilani. Ia ingin
agar Nela mengajak Meilani kembali duduk di dekatnya. Tak menjauhi dirinya.
Nela adalah sebuah asset yang berharga untuk Altan supaya dirinya bisa lebih
akrab lagi dengan Meilani. Dengan kepolosannya, Nela bisa mencairkan suasana
canggung yang kadang tercipta begitu pekatnya diantara ia dan Meilani. Dan
Altan bersyukur Nela melakukannya.
“Gue udah gak percaya lagi sama
lo, Al!” Nela menguatkan suaranya. Baru kali ini dia bisa begitu marahnya.
Merasa dikhianati.
“Nel, lo cuman salahpaham. Gue
gak bermaksud gitu tadi. Tadi itu—”
“Halah! Kalo bukan itu maksud
lo terus apa?” bentak Nela.
Altan tercekat. Ia tidak
mungkin menceritakannya pada orang lain kalau Indira dihamili oleh Fadlan. Ia
sudah berjanji pada Indira bahkan Fadlan agar tak menceritakannya.
Menyelamatkannya sampai mereka bisa ikut Ujian dan lulus dari sekolah. Tapi
sialnya, kali ini ia tidak bisa membongkar itu semua kepada Nela. Nela mungkin
akan mengerti. Tapi Nela juga orang yang terlalu polos. Gampang untuknya
membocorkan rahasia itu pada guru ataubahkan orang lain. Keceplosan adalah
kelemahan Nela. Dan Altan akan sangat bersalah jika ia memilih untuk bersikap
egois daripada mementingkan kepentingan orang lain.
Tapi…ini hidup dan matinya
juga!
“Nel, ini gak kayak yang lo
bayangin. Tapi gue juga gak bisa ngejelasin kejadian tadi ke lo. Lo bisa ngerti
kan?” Altan menegakkan tubuhnya. Matanya kini menatap ke depan dengan ganas.
Menyala-nyala. Rahangnya mengeras. Bibirnyta terkatup rapat. Tahan emosi, Al.
“Gue mohon, Nela.”
Nela tertawa mengejek. “See? Lo
gak bisa ngejelasin itu ke gue. Gue mana percaya sama lo. Apalagi Meilani!”
Altan berbalik, menghadap mobilnya. Kemudian membenturkan kepalanya pada kaca
jendela mobilnya. Sangat frustasi. “Dari awal juga gue udah ragu, Al, sama lo.
Gue –apalagi Meilani—tau pasti kalo lo itu playboy. Suka mainin perasaan cewek.
Sekarang lo bilang suka sama Meilani, detik berikutnya? Lo ke-gap lagi mesra-mesraan sama Indira.
–Ohmygod! Bahkan dia pacar dari sepupu lo! Lo gila?” Nela terus merocos tak
henti-henti. Membuat panas hatinya.
“SIALAN, GUA GAK GITU!” Altan
mulai geram.
Nela tak pantang menyerah. “Kalo
gitu jelasin kenapa? Gue sama Meilani butuh kebenaran, Al. Bukannya drama!”
Jangan. Jangan memaksanya
menjadi orang yang egois. Berkali-kali Altan menjedotkan kepalanya pada kaca
mobil.
“Gue gak bisa,” Altan berkata
lemah.
“Well, kalo gitu sorry aja, Al. Gue udah gak bisa bantu
lo lagi. Bagi gue, lo pengkhianat professional. Dan…oh, ya. Berhubung gue udah
gak bisa bantuin lo lagi. Mungkin dengan gue bilang ini, bakal jadi clue buat lo, menyerah atau tetap
berjuang untuk Meilani.” ada jeda cukup lama diantara mereka. “Gue pikir
Meilani takut jatuh cinta sama lo. Lo terlalu berpeluang buat nyakitin dia. Dan
untungnya, dia cewek cerdik yang gak terpengaruh sama pesona lo itu. Lo ubah
kelakuan lo, kalo emang lo serius sama dia.” Tuuuutttt… panggilan terputus dengan sepihak.
Altan melongo tak percaya.
Terlalu terperangah. Ini sama sekali yang bukan diharapkannya.
Apalagi mengetahui Meilani
berpikiran seperti itu padanya. Detik itu juga, dunia seakan terbelah di
depannya. Hancur. Tak bersisa.
Sesak. Dadanya begitu sesak.
Dunia yang hancur di depannya menghimpit dirinya. Sakit. Tak bisa menahan pedih
di hatinya.
Dengan nafas yang memburu.
Altan segera mendial nomor Dion. Meminta bantuannya. “Yon, please bantu gua!”
Dion mendesah. “Apa lagi?”
tanyanya.
“Shit, lo tau bukan gua yang ngacauin semuanya! Ini salah si
brengsek Fadlan. Gara-gara dia Meilani sama Nela marah sama gua.”
“Nela sama Meilani tau tentang
Indira?” tanya Dion terperangah.
“Sialnya enggak! Kalo boleh,
gua mau ngejelasin itu ke mereka. Biar mereka gak salah paham, Yon. Mereka
sekarang menghindar dari gua.”
“Jangan,” larang Dion langsung.
Tapi Altan butuh untuk menjelaskan ini. Langkahnya yang akan menuju pada sinar
terang yang sudah lama diimpikannya kini mulai memudar dari pandangannya.
Memunculkan kabut hitam tebal. Menghalanginya.
“Yon, tapi sekarang gua—”
“Lo gak boleh egois, Al. Nasib
Indira sama Fadlan sekarang berpihak sama kita sampe dua bulan ke depan. Lo
tau? Walaupun gua masih keponakannya Om Gavin, gua masih bisa nutup mulut gua.
Mentingin sahabat gua daripada peraturan yang dibuat sama keluarga gua sendiri.
Gua yakin, ini berat banget buat lo. Tapi, Hey
man! Cinta bisa diraih dengan banyak cara. Kalo lo bener-bener berusaha!”
Dion, dengan bijaknya memberi wejangan pada Altan.
“Sekarang lo dimana?”
“Di jalan. Gua ada janji sama
Rizuka.”
“Gua butuh lo, Yon. Sekarang.”
Dimatikannya panggilan itu tanpa mendengar jawaban orang yang disana.
pikirannya sedang kacau. Dia butuh Dion untuk menenangkannya. Memberinya
nasehat.
Altan berteriak. Mengerang. Berbalik
memutar. Dan dengan sisa kekuatannya, handphone yang sedaritadi masih menempel
di telinganya dilemparnya ke taman. Menghilang di keremangan tamannya yang
luas. Beberapa detik kemudian, bunyi pantulan dari benda yang dilemparnya
memekik cukup keras di keheningan malam. Handphone yang dilemparnya mungkin
saja sudah hancur berkeping-keping akibat terbentur pohon –dengan lemparan
super kuat— dan terjatuh di atas rerumputan. Menghilang.
Mungkin nanti atau besok, ia
akan menyuruh pengurus kebun untuk mengambil handphonenya. Atau malah tak usah
diambil. Sudah tak ada gunanya.
Lagi, ia berteriak keras.
Sampai suaranya tercekat. Seperti ada yang mencekik lehernya menggunakan tali
tambang.
Altan merasakan lututnya lemas.
Dan ia terjatuh dengan berlutut.
Ini kali keduanya ia merasakan
kemarahan dan kekecewaan mengikatnya kencang. Bahkan tak membiarkannya
bernafas. Dulu, ia juga seperti ini saat saudara tirinya melakukan kebodohan
yang sangat tak termaafkan. Hampir membahayakan nyawa orang yang disayanginya.
Dicintainya. Sekarang, kebodohan sepupunya lah yang menyebabkannya mengulangi
hal yang sama.
Apakah kali ini ia
menghancurkannya lagi? “Brengsek!!!!” makinya keras.
Tak ada kekacauan yang lebih
sempurna dari hidupnya. “Meilani…” bisik Altan lemah. Merapalkan nama itu
berkali-kali. Bukan hanya di bibirnya, tapi di otak dan hatinya juga menyerukan
nama yang sama.
***___***___***___***
Altan memperhatikan Meilani
yang mulai menjauhinya. Itu menyakitkan baginya daripada mengetahui bahwa
Meilani tak pernah ingat padanya.
Ini adalah hari terakhir mereka
melaksanakan Ujian Praktek. Dan praktek hari ini adalah praktek Bahasa Jepang.
Jadwal praktek sempat diundur waktunya, dikarenakan guru penguji telat datang.
Matahari sudah setinggi atap gedung, guru penguji bahasa Jepang baru tiba.
Sehingga, karena mengejar waktu, jadinya praktek bahasa Jepang ini terpaksa
menghabiskan waktu sampai malam hari.
Sialnya, karena praktek dimulai
dengan berurutan, dari kelas Bahasa, IPA dan yang terakhir IPS, maka kelas
Altanlah yang kebagian praktek dalam urutan terakhir. Matahari sudah berganti
menjadi senja. Awan-awan berubah menjadi jingga. Dan sekarang barulah tiba
saatnya kelas mereka mendapatkan giliran untuk praktek.
Meilani menguap saat menunggu
antrian namanya dipanggil. Lalu ia memutuskan untuk pergi ke kamar mandi
sendirian. Tak akan lama, pikirnya. Hanya mencuci muka. Membasuh muka yang
sudah sangat lecek bagai kertas percakapan bahasa Jepang yang sejak pagi
dipegangnya untuk dihafal.
Keluar dari kamar mandi,
Meilani berjalan merunduk. Tubuhnya sudah sangat lelah. Ia perlu tidur.
Rangkaian ujian ini membuatnya kelelahan. Ditambah pikiran-pikiran aneh yang
suka muncul di kepalanya.
Sebuah tangan menyentak
Meilani. Tiba-tiba menyeretnya memasuki ruang kelas yang sedang dilewatinya.
Meilani memekik kaget.
Pintu kelas ditutup –oleh orang
yang menariknya— dengan cekatan menggunakan kakinya. Meilani melebarkan
matanya. berusaha mencari tahu siapa yang sudah menariknya masuk ke ruangan
gelap seperti ini.
Hanya cahaya bulan yang
memancar dari jendela yang membuat sedikit keremangan dari pandangannya.
Meilani menyipitkan matanya. Altan.
“Mau apa lo?” Meilani berhasil
mengeluarkan suaranya.
Altan berjalan menjauh.
Tangannya meraba tembok di dekatnya. Menekan tombol yang menempel di dinding.
Menyalakan lampu untuk memberikan cahaya di sekitar mereka.
Berbalik untuk melihat Meilani.
Altan menemukan Meilani menatapnya tanpa ekspresi. Apa yang dipikirkannya?
“Mau gue cuma satu, Mel. Gue
butuh lo dengerin gue.” Altan menatap Meilani lembut. Meski percuma
mengharapkan Meilani membalas dengan tatapan yang sama.
Meilani melangkah ingin
menerobos Altan dan keluar dari ruangan ini. “Gue gak punya waktu,” tolak
Meilani.
Altan menghalangi Meilani
dengan bertanya. “Lo yakin masih gak ngenalin gue, Mel? Lo yakin gak pernah ketemu
sama gue sebelum kita sekolah disini?”
Berhasil. Meilani menghentikan
langkahnya. Penasaran. Apa maksud Altan?
“Lo amnesia. Iya, kan?” Meilani
langsung berbalik menghadap Altan. Membelalakkan matanya. Tak percaya. Tak ada
seorangpun yang tahu kalau dirinya mengalami amnesia. Altan tau darimana?
Altan tersenyum miring. “Bener,
kan? Lo pernah, oh, atau masih amnesia? Kecelakaan waktu kecil Meilani?”
mengangkat satu alisnya.
Meilani menggeleng pelan.
Hampir tak bisa percaya. Jantungnya berdetak cepat. Ya Tuhan, Altan tahu?
“Lo…tau darimana?” Meilani
bertanya pelan. Seperti bisikan.
Altan terdiam. Mengamati
Meilani yang kini mulai terlihat gelisah. Saatnyakah?
“Well, percaya atau enggak.
Kita pernah temenan waktu kecil. Ngalamin kecelakaan yang sama dengan bus
sekolah. Yang sialnya, bikin lo geger otak, amnesia, dan lupa sama gue.” Altan
berbalik, berjalan mendekat ke jendela. Meilani mengikuti kemana Altan
bergerak. Masih membiarkan Altan melanjutkan ceritanya.
Altan menelan ludahnya.
“Kenapa, Mel? Kenapa lo gak berusaha untuk inget masa lalu lo? kenapa lo gak
berusaha inget gue?” Altan bertanya tanpa menatap Meilani. pandangannya tetap
menuju ke taman belakang sekolah.
Meilani mencoba menerawang.
Mengapa. Tapi tak ada yang bisa diingatnya. Itu sudah sangat lama. Dan karna ia
memutuskan tak mau mengingatnya, maka ingatan itu akan sangat sulit baginya
untuk kembali.
Meilani membasahi bibirnya yang
tiba-tiba mengering. “Karna gue gak bisa. Karna gue pikir masa kecil gue gak
terlalu menarik,” gumam Meilani.
Altan mendengus. Merasa bahwa
dirinya tidak menarik untuk diingat oleh teman kecilnya sendiri. Ironis.
Keheningan menyapa mereka
berdua cukup lama. Hanya berdiri terpaku dengan pikiran masing-masing. Altan
tersadar duluan. Lalu berbalik dan berjalan mendekat pada Meilani. Satu
tangannya menyambar boneka kayu yang diletakkannya tadi di meja. Apa itu?
Meilani tak menyadari kalau benda itu berada disitu tadi.
Altan memberikannya pada
Meilani. “Gue malah jadi gak yakin lo masih ngenalin boneka kayu ini atau
enggak. Yah, walaupun ini bukan boneka yang sama, yang kayak waktu dulu gue
kasih ke elo. Tapi bentuk, ukuran, sama warnanya sama kok.” Altan mengedikkan
bahunya. “Terserah lo mau nyimpen atau buang. Gue bikinin lo tiruannya karna
gue yakin, boneka kayu itu gak sama lo sejak kecelakaan waktu itu. Gue…cuma
ngerasa punya hutang sama lo karna boneka ini.”
Meilani menatap boneka kayu
yang disodorkan Altan padanya. Ragu-ragu, ia mengambilnya. Memperhatikan setiap
detilnya. Apa dia pernah punya boneka kayu seperti ini?
Pikirannya melayang.
Menerawang. Tapi nihil. Ingatannya tak pernah kembali. Meilani mengernyit.
“Gak usah dipaksa inget, kalo
emang lo gak mampu inget,” ucap Altan saat melihat Meilani benar-benar
menunjukan wajah kebingungan.
“Tadinya gue pengen lo inget
sama masa kecil kita. Inget gue. Tapi… gue lebih suka lo yang sekarang. Yang
jadi apa adanya diri lo.”
Altan mendekat. Memperkecil
jarak diantara mereka. Ia mengangkat dagu Meilani dengan telunjuknya. “Dengerin
gue. Gue suka sama lo. Apapun cara pandang lo ke gue, gue suka sama lo.
Bagaimanapun lo ngehindar dari gue, gue tetep suka sama lo. Sebenci apapun lo
ke gue, gue akan, masih, tetep suka dan sayang sama elo, Mel. Lo harus tau
itu,” ungkap Altan dengan ketegasan yang terpancar dari bola matanya.
Meilani tercekat. Semua
kata-kata itu seolah menggelitik hatinya. Membuat hatinya mengetat. Kakinya
melemas. Ini bahkan ungkapan terlalu manis dari orang seperti Altan dalam
bayangan Meilani.
Altan tersentak mundur. “Tapi…
mungkin fakta yang satu ini bakal buat lo makin ngejauh dari gue. Makin benci
sama gue. Gue harus jujur sama lo. Sebelum lo tau dari yang lain.” Altan
merunduk. Matanya terpejam erat. Berdoa kepada Sang Pencipta agar diberikan
kekuatan dan keyakinan bahwa ini adalah cara yang terbaik. Altan menelan ludah.
Masih merunduk. Tak berani melihat Meilani saat ia mengatakan ini.
“Os-Oscar…d-dia kakak tiri
gue.” Diam.
Sekarang, Meilani merasakan
dadanya tertusuk jutaan ribu belati yang baru saja diasah. Astaga. Nama itu.
Oscar. Apa-apaan ini semua?
Altan mengangkat kepalanya. Langsung mencari
mata Meilani. Ia menemukan Meilani yang sedang menutup mulutnya dengan satu
tangannya yang bebas, mata berlinang, wajah memucat.
Sial.
“Mel, jangan salahpaham dulu,”
gumam Altan. Suaranya bergetar. Merasakan kepedihan atas kenyataan yang Meilani
rasakan. “Demi Tuhan, gue gak tau kalo Oscar punya niat buat celakain lo,
apalagi pacar lo. Sumpah. Gue sama terkejutnya kayak lo, pas tau Oscar ada
dibalik kematian pacar lo. Percaya gue, ya?”
Air mata membasahi pipi Meilani.
Kejam sekali. Kenapa ia dihadapkan dengan situasi seperti ini? Ini sangat tidak
adil buatnya.
Altan mencoba mendekat.
Tercekat melihat Meilani menangis di hadapannya. God, musnahkan dia dari muka
bumi ini sekarang juga!
Meilani melangkah mundur. Menjauhi
Altan. Tidak! Jangan sekarang.
Ini membingungkan. Perasaan
bersalah dan seperti telah melakukan pengkhianatan kepada Zufar membuat Meilani
tak kuasa menahan kesedihannya. Altan keluarga orang yang telah membunuh
pacarnya. Dan sekarang dia jatuh cinta pada orang itu!
Salahkah dia?
“Mel,” Altan merintih.
Meilani mencengkram erat boneka
kayu yang dipegangnya. Nafasnya memburu. Isak tangisnya semakin menjadi.
“Tinggalin gue, Al.” Altan
tetap berdiri terpaku disana. Meilani mengerang. “Please!”
“Mel, gue—” Meilani
memberhentikan ucapan Altan dengan mengangkat satu tangannya ke depan. Menyuruh
Altan berhenti. Ragu, Altan melangkah menjauh dari Meilani. Menuju pintu.
Sebelum dirinya menghilang di balik pintu, Altan berkata,
“Gue harap lo gak nilai gue,
karna gue adiknya Oscar. Gue mau lo nilai gue dari hati lo. Bukan dari
kesalahan keluarga gue.” Altan menyerah melihat Meilani menutup telinganya
dengan tangannya. Tak mau mendengarnya.
Sekarang, terserah Tuhan mau
membawa takdirnya kemana.
Ia sudah pasrah. Hampir tak
peduli.
Setelah Altan keluar dan
menutup pintu, Meilani merasakan kakinya semakin tak bisa menahan berat
tubuhnya. Berlutut. Meilani menangis dengan tersedu-sedu. Tuhan, mengapa
hidupnya terlalu drama seperti ini.
0 comments:
Post a Comment