Bel tanda selesainya jam pelajaran telah berbunyi nyaring
sejak lima belas menit yang lalu. Seluruh siswa-siswi Lagoon High School juga
sudah bergegas menuju parkiran dan berjalan keluar gedung sekolah. Hanya ada
beberapa anak saja yang masih berkeliaran di kelas dan koridor.
“Lek, pulang bareng gue gak?” tanya Altan yang sudah
beranjak dari bangkunya dan berjalan kearah depan kelas, menuju pintu keluar.
Agi. Tentu saja cewek ini yang dimaksud Altan. “Hmm, gak deh
kayaknya. Aku dijemput sama mami, Yang.”
Altan memicingkan matanya. Tumben banget si Tante
Aliyana―mamanya Agi―ngejemput anaknya.
Agi berjalan menghampiri Altan yang berdiri di depan pintu.
Tersenyum manis menatap wajah sang pangerannya. “Tadi pagi Mami pesen, katanya,
mami yang mau jemput aku. Minta di temenin kemanaa gitu. Aku juga gak tau.”
Altan hanya mengangkat bahunya. “Ooh, yaudah bareng aja ke
parkirannya. Gue tungguin sampe nyokap
lo jemput, ya?” ucap Altan sambil
merangkul Agi keluar dari kelas.
Rere yang sedari tadi khusyu’ memperhatikan dua sejoli itu
tersentak kaget, saat tiba-tiba Meilani menepuk pundaknya.
“Ah, Mel. Ngagetin aja lo. Kenapa?”
Meilani terlihat kaku. Ia jarang sekali bertanya pada teman
yang baru dikenalnya seperti sekarang ini. Masih canggung. Akhirnya Meilani
menghela nafas pelan, kemudian bertanya, “Lo pulang sama siapa, Re?”
“Sama supir.”
“Oh, yaudah. gue… gue duluan, ya, kalo gitu. Daaahh.”
****
Saat Meilani berjalan ke parkiran ia tidak menemukan mobil
sang papa terparkir di sekitar area parkir. Yang ia lihat malah dua sejoli―yang
lagi dan lagi―memamerkan kemesraannya. Dan kedua orang itu sudah pasti Altan dan Agi. Siapa lagi????
Meilani baru ingat
kalau ia tidak ada yang jemput. Papanya pasti jam segini sedang sibuk-sibuknya
di kantor. Gak bakalan mau kalau diminta jemput anaknya. Alasannya yaa pasti
sibuk, ada meeting, atau mungkin sedang makan siang bareng client nya.
Sekarang ia harus pulang sama siapa? Angkot? Ia mulai
berpikir kalau papanya saat ini benar-benar menyusahkannya. Sudah di sekolahin
jauh-jauh dari rumah, terus gak di jemput. Seharusnya sang papa memberinya
mobil pribadi―beserta supirnya. Agar ia tidak nelangsa seperti saat ini.
Tiiinnnn!!! Tiiiiiinnnnn!!!
Sebuah motor Kawasaki Ninja berwarna hijau berjalan
beriringan di samping Meilani―yang sedang berjalan kaki menuju halte depan
sekolahnya―sambil membunyikan klaksonnya tanpa henti. Membuat Meilani harus
menahan langkahnya untuk berjalan menuju halte depan sekolah.
Meilani mengerutkan keningnya, ia tidak bisa melihat siapa
orang yang mengendarai motor itu. Karena sang pengendara mengenakan pakaian
yang sangat tertutup, dengan jaket putih yang terlihat sangat casual di badan orang itu dan juga ia memakai
helm yang menutupi semua bagian wajah si pengendara.
Sedetik kemudian si pengendara motor itu membuka helm-nya
dan menampakkan wajah yang tidak begitu asing bagi Meilani. Butuh beberapa
detik untuk mengingatkan otak Meilani bahwa orang yang baru saja melepas helm
nya ini adalah orang yang dari tadi pagi dirutukinya. Begitu sadar, Meilani
langsung mencelos.
“Haii Gadissss…” sapanya ganjen.
Meilani memutar bola matanya. Apa-apaan cowok ini? Main
panggil-panggil dia gadis. Memang namanya Gadis apa? Ckckckck
“Apa sih lo?” tanya Meilani ketus. Kali ini ia memang harus
bersikap seperti itu sama cowok yang ada dihadapannya kini.
“Wetss, galak banget lo kayak macan! Gak inget emang gue
siapa?”
“Oww..oww..oww… Gue inget banget sama lo kak!
Orang-yang-udah-ngerjain-gue!”
Cowok itu mengangguk-anggukan kepalanya dan tersenyum samar.
“Bagus kalo masih inget. Soalnya gue masih punya banyak urusan sama lo.”
“Urusan? Sama gue? Hellooooww.. Urusin aja tuh tembok!” ucap
Meilani ketus―lagi.
“Sayangnya tembok gak ada yang se-bohay lo lagi,” ujar cowok
itu enteng sambil mengulum bibir bawahnya. Menahan tawa yang sedetik lagi akan
keluar tanpa permisi. Harus ia akui kalau cewek galak ini memang mempunyai
badan yang proporsional. Tinggi, berisi, dan bohay. Ck ck ck
Merasa tidak ingin mengenal, eh, berurusan lebih jauh dengan
cowok ini, Meilani melanjutkan jalannya yang sempat terhenti. Mengacuhkan cowok
manis yang sedang berbicara padanya.
“Heh! Gue masih punya urusan sama lo. Tunggu dulu kenapa?!”
si cowok manis itu turun dari motor Ninja-nya dan mengikuti langkah Meilani
berjalan. Zufar. Yaa, cowok manis itu bernama Zufar.
“Apa?! Mau ngerjain gue lagi? BĂȘte gue sama lo.”
“Yaelaah, maaf deh. Iseng gue tadi pagi ngerjain lo. Lagian
pake nanya ruang kelas sama gue,” Zufar menggaruk-garukkan kepalanya yang tidak
gatal. Dia bingung karena tidak menemukan alasan untuk ngeles dari tuduhan
cewek di depannya ini.
“Yaa emang gue mau nanya siapa lagi coba? Orang yang lewat
juga adanya lo doang. Masa iya, gue nanya ama tembok?!” sungut Meilani kesal.
“Lagian lo kan kakak kelas. Seharusnya, lo tuh membimbing dong adik kelasnya ke
jalan yang benar.”
“Ya salah sendiri gak liat mading. Disana kan ada denah sekolah?”
jawab Zufar ringan.
Saking kesalnya karena kakak kelasnya terus mengikuti
dirinya. Meilani pun akhirnya berhenti untuk meladeni si kakak kelasnya yang
songong, jail, dan juga…. Manis ini.
“GUE. MASIH. ANAK. BARU! Jadi mana tau ada denah di
mading?!” kejarnya mengeja kata demi kata di depan cowok itu.
“Oke. Sorry deh, yaa? Masa gitu aja marah sama gue?” ucap
Zufar memohon.
“Oke gue mau maafin lo, tapi ada syaratnya!” ucap Meilani
sambil menaik-turunkan kedua alisnya. Terlihat si cowok sedikit ragu untung
menyanggupi apa yang akan disyaratkan oleh cewek galak bin jutek di depannya
ini. Kalau dilihat dari teleskop sih, pasti cewek ini sedang mengulum senyum,
lalu sang otak sedang merencanakan sesuatu yang mungkin akan membuat cowok itu
jera. Tapi segera ditepisnya pikiran yang akan membuatnya mendapat predikat
pecundang. Karena tidak dapat menyanggupi persyaratan Meilani.
“Well, apa syaratnya?”
“Anterin gue pulang.”
“Hah??!”
Meilani memutar bola matanya, sebal. “Anterin gue pulang,
budek! Gue males kalo mesti naek angkot. Gerah, panas, sumpek, macet pula.”
Zufar langsung
menepuk jidatnya saat menyadari apa yang menjadi syarat permintaan maaf dari
adik kelasnya yang satu ini. Kalo ini sih gue sanggup. Seumur hidup
anter-jemput dia juga gue sanggup, batinnya sarkatis.
Meilani tersenyum puas. Akhirnya ada tebengan juga. Gak
apalah, maafin kakak kelasnya dulu yang sudah mengerjainya biar dapet tebengan.
Menurutnya, lebih baik maafin orang supaya bisa langsung pulang ke rumah, tanpa
harus terjebak dalam kemacetan jalan raya yang
jahanam itu.
****
Meilani sudah duduk manis di jok belakang motor Ninja milik
si kakak kelas―yang namanya pun masih belum diketahui oleh Meilani. Motor
itupun melajukan kecepatannya dengan normal membelah jalanan kota Jakarta siang
itu.
Saat tiba di lampu merah perempatan jalan yang tak jauh dari
sekolahnya, tiba-tiba ada sebuah mobil Pajero Sport berwarna putih yang―kalau
dilihat dengan kasat mata―sengaja ingin menyerempet motor Kawasaki Ninja hijau
yang ditaiki oleh Zufar dan Meilani.
“Anjrit! Sengaja banget tuh orang!” Zufar berteriak sambil
membuka kaca helmnya. Kemudian memutuskan untuk mengejar mobil Pajero Sport
itu, untuk mengetahui siapa yang dengan sengaja hampir menabrak dirinya dan
Meilani.
“Kak! Rumah gue belok kiri! Bukannya lurus.” Meilani
berdecak saat seruannya tak ditanggapi oleh kakak kelasnya. Ia menepuk-nepuk
pundak Zufar dengan tidak sabaran, “Kak! Udah biarin aja. Kita gak keserempet
ini sih. Gak usah emosi gitu lah. Gue mau cepet-cepet pulang! Begini doang mah
sepele, gak usah di ributin.”
Meilani tidak menyadari kalau saat tadi ia sedang sibuk
mengoceh―untuk tidak mengikuti mobil yang hampir saja mencelakakannya―si
pengendara mobil tersebut mengeluarkan tangan kanannya keluar jendela mobilnya,
dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi lalu mengacungkan jari tengahnya kearah
mereka. Hal inilah yang membuat Zufar tersulut emosi. Sudah sengaja ingin
menabrak tapi malah ditantang seperti itu.
Zufar memberhentikan motornya dengan terpaksa, karena orang
yang sedang diboncenginya terus-terusan memukul pundaknya untuk segera berhenti
di tempat.
“Heh kak! Gue bilang kan tadi arah rumah gue belok kiri!
Kenapa malah ngejar mobil itu siih?” repet Meilani saat ia sudah turun dari jok
penumpang motor Ninja itu.
Zufar berdecak kesal saat ia melihat mobil yang dengan
sengaja―dimatanya―ingin menabraknya, sudah hilang dari jarak pandangnya.
Emosinya memang gampang tersulut oleh sesuatu yang sangat sepele. Tapi
kesengajaan seperti ini bukanlah hal yang sepele baginya.
“Lo tuh ya?! Bawel banget sih jadi orang! Suka-suka gue dong
mau ngejar tuh orang apa enggak. Motor,,motor gue ini. Lo gak liat aja tadi dia
tuh―”
“Oh jadi lo gak ikhlas? Yaudah sih gue juga bisa pulang
sendiri kaleee.” Meilani menghentakkan kakinya dengan kesal, lalu ia mulai
berjalan menjauhi Zufar yang hanya diam mematung. Bukan, Zufar bukan sedang
diam mematung. Tetapi ia sedang mengingat-ingat, apakah ia tadi sempat
menghafal plat mobil tersebut. Dan, Oh, sial! Ia lupa untuk mengingat berapa
nomor plat mobil brengsek itu tadi.
“Cewek aneh!” cibir Zufar. Ia menoleh kearah Bus yang di
tumpangi oleh Meilani. Sudah menjauh dari tempat ia berdiri sekarang.
****
“Bego! Ujung-ujungnya gue naek angkot juga,” rutuk Meilani
saat ia sudah menaiki Bus umum yang menuju kompleks perumahannya.
♪┗ ( ・o・) ┓♪FALL FOR YOU! ♪┗ (・o・ ) ┓
Setelah Bus yang ia tumpangi sampai di depan kompleks perumahannya,
Meilani berdecak malas. Ia masih harus
berjalan sekitar seratus meter lagi untuk mencapai blok rumahnya. Terpaksa. Di
depan kompleksnya tidak ada pangkalan ojek yang bisa mengantarnya sampai ke
rumah.
Dengan nafas yang terengah-engah, Meilani masuk ke dalam
rumahnya setelah bik Juju membukakan pintu untuknya. Kemudian ia hempaskan
tubuhnya ke sofa panjang berwarna hitam, di ruang keluarga.
“Hhh…hhh.. gara-gara jarang olahraga nih, jalan segitu doang
kok jauh banget, ya.” Dilemparnya tas yang sedari tadi masih disandang di
bahunya. Ia melirik bik Juju yang berjalan melewatinya menuju ke dapur.
“Eh, bik Juju. Mau ke dapur, ya?” tanyanya bego. Bik Juju
menganggukkan kepalanya. “Ada apa, ya, non?” tanya bik Juju menghampiri putri
majikannya.
“Bikinin Orange Juice, ya, bik. Bawain ke kamar aku. Oke?”
pintanya manja.
“Iya, ini juga mau bibi bikinin. Kasian liat non segitu
capeknya,” ucap bik Juju sedikit terkekeh melihat keringat yang membasahi wajah
putri tunggal majikannya itu.
****
Keesokan harinya, Zufar memarkirkan motor ninjanya di area
parkir sekolah. Pagi ini ia hampir saja telat. Pasalnya adiknya merengek untuk
minta berangkat bareng dengannya ke sekolah. Zufar jelas tidak mau. Karena ia
tidak ingin banyak orang yang tau kalau adiknya bersekolah di tempat yang sama
dengannya. Yang jelas, ia hanya ingin adiknya tidak tertular oleh reputasinya
yang buruk di sekolahnya, atau menjadi incaran para musuh bebuyutannya dari
sekolah lain.
Zufar itu sebenarnya adalah anak yang pintar. Buktinya ia
bisa masuk ke kelas unggulan dan nilainya pun selalu baik. Tapi, di balik semua
kegiatan akademiknya itu, Zufar adalah sosok yang paling membahayakan.
Membahayakan karena ia seringkali merokok dengan santai di lingkungan sekolah,
dan terlibat dalam aksi tawuran antar pelajar. Zufar sering mengajak orang yang
baru saja dikenalnya untuk terlibat dalam aksi tawuran, bahkan sampai membuat
orang yang baru saja direkrutnya―untuk tawuran―langsung masuk UGD.
Adiknya? Adiknya jelas tau kelakuan sang kakak di
sekolahnya. Karena orangtuanya seringkali di panggil untuk menghadap kepala sekolah. Beruntung Zufar tidak kena
D.O, karena ia selalu di selamatkan dengan prestasi akademiknya. Padahal
adiknya tidak terlalu memusingkan bagaimana kelakuan buruk kakaknya itu.
Menurut adiknya, dia adalah dia, dan Zufar adalah kakaknya,
hanya orang picik yang akan berfikiran bahwa dia mempunyai sifat yang sama
dengan kakaknya.
Langkah Zufar terhenti begitu saja saat dilihatnya sebuah
benda besar yang kini sangat dibencinya. “Mobil ini bukan, ya?” gumamnya
sendiri.
“Woy, man! Lagi ngapa lu bengong sendirian di sini? Kesambet
setan Pajero? Lo mau tuh mobil? Yelaaah, tinggal SMS ke showroom juga ntar
dianterin!” repet cowok yang baru saja
berdiri di samping Zufar.
Zufar menoleh ke sampingnya. Dilihatnya sohib
seperjuangannya sedang ikut-ikutan memandangi mobil itu dengan kening yang
dikerutkan. Heran. “Lo kalo nanya gak usah kayak soal ulangan kewarganegaraan
bisa, kan?” tanyanya sarkatis.
“Ya lagian, lo norak banget. Mobil beginian pake diliatin
segala. Udah gitu ngeliatinnya kayak orang gak mampu sedunia.”
“Bukan gitu, nyet! Nih mobil kayak gua kenal,” ucapnya
sambil memandangi mobil Pajero sport berwarna putih yang ada di area parkir
sekolahnya―tepatnya sedang ada di hadapannya sekarang.
Rangga. Sohib seperjuangannya adalah Rangga Wimasetya. Anak
tunggal dari keluarga Hadi Wimasetya yang terkenal sebagai pemilik beberapa
mall termewah di Jakarta, Bandung, dan kota-kota besar lainnya. Ia bersahabat
dengan Zufar semenjak mereka sama-sama di kelas sepuluh. Walaupun sekarang
mereka sudah tidak satu kelas lagi, tetapi hubungan pertemanan mereka selalu
baik. Tidak pernah di warnai dengan pertengkaran―kecuali tawuran.
Kontan saja Rangga langsung tertawa geli saat Zufar
memberikan alasan. “Kenal? Sejak kapan selera lo jadi berubah, man. Gak suka
cewel lagi lo? Sampe mobil diajak kenalan,” komentarnya tajam.
“Eh, lo gak tau aja. Kemaren nih ya, gue lagi ngeboncengin
cewek, terus pas di lampu merah depan, tuh,
ada mobil yang sama persis kayak gini pengen nyerempet gue. Udah mau
nyerempet, tuh orang pake ngacungin jari tengahnya pula. Pas gue mau kejar, eh
cewek yang lagi gue boncengin malah teriak-teriak minta turun.
“Emang sih, gue gak liat nomor seri plat mobil yang mau
nabrak gue. Tapi gue yakin, boy, kayaknya mobilnya yang ini nih. Awas aja kalo
beneran nih mobil yang mau nyerempet gue kemaren. Gue kremasi tuh orang.” Jelas Zufar panjang lebar.
Rangga sedikit
terpana dengan penjelasan Zufar. Bukan, bukan karena Zufar hampir ditabrak.
Tapi lebih karena ia memboncengi cewek. Zufar memang sering dekat dengan
beberapa cewek di sekolah. Tapi dia tidak pernah sekalipun memboncengi cewek
untuk pulang bareng bersamanya. Alasannya simple. Di luar sana Zufar sudah
pasti mempunyai banyak musuh. Dan siapapun yang dekat dengannya, akan jadi
incaran sang musuh. Menurutnya, dia tidak mau jika harus melibatkan seorang
cewek dalam perang dinginnya bersama pecundang-pecundang jalanan itu.
“Wait,,wait.. lo boncengin cewek? Gak salah denger nih gue?”
tanya Rangga dengan ekspresi tak percayanya.
“Iyaa. Emang kenapa? Gak boleh gitu?”
“Ya boleh,, tapi aneh aja. Lo bukannya takut kalo cewek yang
boncengan sama lo, bakal jadi inceran musuh-musuh lo?” ujar Rangga
mengingatkan.
Zufar terpekur, lalu ia menepuk jidatnya. Ia baru ingat akan
hal itu. “O, iya.. lupa gue, man! Lagian kemaren gue bener-bener ada urusan
sama tuh cewek. Ah, yaudahlah, mudah-mudahan pecundang itu gak liat gue
kemaren.”
“By the way, tuh cewek siapa?”
“Adek kelas. Gue juga gak tau namanya siapa. Lupa nanya gue
juga.”
Rangga mengernyitkan keningnya. Lalu sedetik kemudian ia
tertawa geli. “Hah? Lo belom kenalan, tapi punya urusan? Urusan apa emang?”
Zufar terkekeh geli. Dia juga bingung, urusan apa yang
sebenarnya mendasari ia mendekati cewek tersebut. Sejak pertama bertemu,
rasanya cewek itu sangat berbeda dengan cewek kebanyakan. Cewek itu rada jutek
dan galak. Padahal kalau dilihat dari sejarahnya Zufar hidup, semua cewek pasti
akan terpesona jika sedang berkomunikasi dua arah dengannya.
***
“Eh, sorry. Gue mau
nanya dong! Kelas sepuluh ada di lantai berapa, ya?”
Zufar
celingak-celinguk ke samping kiri dan kanannya. Agak sangsi kalau cewek di
depannya ini sedang bertanya padanya. Pasalnya, saat cewek itu bertanya, ia
tidak menatap kearah Zufar, melainkan sedang sibuk sendiri dengan handphone
yang sedang ia genggam. “Eh, lo nanya sama gue?”
Cewek itu mengalihkan
pandangannya dari handphone, lalu menatap Zufar dari atas sampai bawah, lalu ke
atas lagi. “Iya. Dimana, ya?” tanya cewek itu setelah memastikan orang yang
ditanya memang tepat.
“Oh, anak baru, ya?
Kelas sepuluh tuh ada di lantai empat. Masih tiga lantai lagi dari sini.”
Tanpa banyak berkata
lagi selain mengucapkan terima kasih, cewek itu langsung menaiki anak tangga
dengan cepat.
***
“Ahhh, mau tau aja lo urusan cowok ganteng. Hahhaaha.. Udah yuk ke atas.” Rangga hanya mencibir ajakan Zufar, kemudian saat mereka
melangkahkan kaki menuju gedung sekolah, mereka berpapasan dengan Meilani yang
juga sedang menuju kearah gedung sekolah.
Zufar tahu pasti kalau cewek yang kini berjalan di depannya
adalah cewek jutek itu. Tapi kenapa saat tadi mereka berpapasan, cewek itu
tidak menunjukan ekspresi seperti orang yang marah-marah? Bukan, bukan ekspresi
marah-marah yang ingin dilihat Zufar, tapi ekspresi seperti orang yang sudah
pernah berbincang-bincang, atau pulang bareng? Well, memang sih, Zufar tidak
sempat mengantar cewek itu sampai rumahnya. Tapi kaaaannn?????
***
Meilani mengerutkan keningnya saat didengarnya percakapan
orang yang berjalan di belakangnya.
“Eh, Ga, lo mau tau gak cewek yang gue maksud tadi?”
“Mana.. mana.. mana?”
Terdengar grasak-grusuk di belakang Meilani. Meilani
menajamkan pendengarannya. Tetapi sudah tidak ada lagi suara-suara itu. Ia
ingin sekali memutar kepalanya menghadap dua cowok yang sedang bergossip itu.
Tapi diurungkannya niat itu. Gengsi. Ia tahu kalau cowok itu adalah kakak
kelasnya yang kemarin―hampir―mengantarnya pulang. Karena tadi saat di area
parker, ia sempat melihat dan berpapasan dengan kakak kelasnya itu. Maka dari
itu, ia mempercepat langkahnya, dan sekarang kakak kelasnya itu tepat berada di
belakangnya.
Tak lama setelah terdiamnya pembicaraan dua orang di
belakangnya itu, tiba-tiba mereka tertawa terbahak-bahak. Seperti ada suatu
inovasi lelucon yang baru mereka dengar.
0 comments:
Post a Comment