Thursday, November 15, 2012

Fall For You (Chapter 2)


Bel tanda selesainya jam pelajaran telah berbunyi nyaring sejak lima belas menit yang lalu. Seluruh siswa-siswi Lagoon High School juga sudah bergegas menuju parkiran dan berjalan keluar gedung sekolah. Hanya ada beberapa anak saja yang masih berkeliaran di kelas dan koridor.

“Lek, pulang bareng gue gak?” tanya Altan yang sudah beranjak dari bangkunya dan berjalan kearah depan kelas, menuju pintu keluar.
  
Agi. Tentu saja cewek ini yang dimaksud Altan. “Hmm, gak deh kayaknya. Aku dijemput sama mami, Yang.”


Altan memicingkan matanya. Tumben banget si Tante Aliyana―mamanya Agi―ngejemput anaknya.

Agi berjalan menghampiri Altan yang berdiri di depan pintu. Tersenyum manis menatap wajah sang pangerannya. “Tadi pagi Mami pesen, katanya, mami yang mau jemput aku. Minta di temenin kemanaa gitu. Aku juga gak tau.”
  
Altan hanya mengangkat bahunya. “Ooh, yaudah bareng aja ke parkirannya. Gue tungguin  sampe nyokap lo  jemput, ya?” ucap Altan sambil merangkul Agi keluar dari kelas.

Rere yang sedari tadi khusyu’ memperhatikan dua sejoli itu tersentak kaget, saat tiba-tiba Meilani menepuk pundaknya.

“Ah, Mel. Ngagetin aja lo. Kenapa?”

Meilani terlihat kaku. Ia jarang sekali bertanya pada teman yang baru dikenalnya seperti sekarang ini. Masih canggung. Akhirnya Meilani menghela nafas pelan, kemudian bertanya, “Lo pulang sama siapa, Re?”

“Sama supir.”

“Oh, yaudah. gue… gue duluan, ya, kalo gitu. Daaahh.”



****


Saat Meilani berjalan ke parkiran ia tidak menemukan mobil sang papa terparkir di sekitar area parkir. Yang ia lihat malah dua sejoli―yang lagi dan lagi―memamerkan kemesraannya. Dan kedua orang  itu sudah pasti Altan dan Agi. Siapa lagi????

 Meilani baru ingat kalau ia tidak ada yang jemput. Papanya pasti jam segini sedang sibuk-sibuknya di kantor. Gak bakalan mau kalau diminta jemput anaknya. Alasannya yaa pasti sibuk, ada meeting, atau mungkin sedang makan siang bareng client nya.

Sekarang ia harus pulang sama siapa? Angkot? Ia mulai berpikir kalau papanya saat ini benar-benar menyusahkannya. Sudah di sekolahin jauh-jauh dari rumah, terus gak di jemput. Seharusnya sang papa memberinya mobil pribadi―beserta supirnya. Agar ia tidak nelangsa seperti saat ini.

Tiiinnnn!!! Tiiiiiinnnnn!!!

Sebuah motor Kawasaki Ninja berwarna hijau berjalan beriringan di samping Meilani―yang sedang berjalan kaki menuju halte depan sekolahnya―sambil membunyikan klaksonnya tanpa henti. Membuat Meilani harus menahan langkahnya untuk berjalan menuju halte depan sekolah.

Meilani mengerutkan keningnya, ia tidak bisa melihat siapa orang yang mengendarai motor itu. Karena sang pengendara mengenakan pakaian yang sangat tertutup, dengan jaket putih yang terlihat sangat  casual di badan orang itu dan juga ia memakai helm yang menutupi semua bagian wajah si pengendara.

Sedetik kemudian si pengendara motor itu membuka helm-nya dan menampakkan wajah yang tidak begitu asing bagi Meilani. Butuh beberapa detik untuk mengingatkan otak Meilani bahwa orang yang baru saja melepas helm nya ini adalah orang yang dari tadi pagi dirutukinya. Begitu sadar, Meilani langsung mencelos.

“Haii Gadissss…” sapanya ganjen.

Meilani memutar bola matanya. Apa-apaan cowok ini? Main panggil-panggil dia gadis. Memang namanya Gadis apa? Ckckckck

“Apa sih lo?” tanya Meilani ketus. Kali ini ia memang harus bersikap seperti itu sama cowok yang ada dihadapannya kini.

“Wetss, galak banget lo kayak macan! Gak inget emang gue siapa?”

“Oww..oww..oww… Gue inget banget sama lo kak! Orang-yang-udah-ngerjain-gue!”

Cowok itu mengangguk-anggukan kepalanya dan tersenyum samar. “Bagus kalo masih inget. Soalnya gue masih punya banyak urusan sama lo.”

“Urusan? Sama gue? Hellooooww.. Urusin aja tuh tembok!” ucap Meilani ketus―lagi.

“Sayangnya tembok gak ada yang se-bohay lo lagi,” ujar cowok itu enteng sambil mengulum bibir bawahnya. Menahan tawa yang sedetik lagi akan keluar tanpa permisi. Harus ia akui kalau cewek galak ini memang mempunyai badan yang proporsional. Tinggi, berisi, dan bohay. Ck ck ck

Merasa tidak ingin mengenal, eh, berurusan lebih jauh dengan cowok ini, Meilani melanjutkan jalannya yang sempat terhenti. Mengacuhkan cowok manis yang sedang berbicara padanya.

“Heh! Gue masih punya urusan sama lo. Tunggu dulu kenapa?!” si cowok manis itu turun dari motor Ninja-nya dan mengikuti langkah Meilani berjalan. Zufar. Yaa, cowok manis itu bernama Zufar.

“Apa?! Mau ngerjain gue lagi? BĂȘte gue sama lo.”

“Yaelaah, maaf deh. Iseng gue tadi pagi ngerjain lo. Lagian pake nanya ruang kelas sama gue,” Zufar menggaruk-garukkan kepalanya yang tidak gatal. Dia bingung karena tidak menemukan alasan untuk ngeles dari tuduhan cewek di depannya ini.

“Yaa emang gue mau nanya siapa lagi coba? Orang yang lewat juga adanya lo doang. Masa iya, gue nanya ama tembok?!” sungut Meilani kesal. “Lagian lo kan kakak kelas. Seharusnya, lo tuh membimbing dong adik kelasnya ke jalan yang benar.”

“Ya salah sendiri gak liat mading. Disana kan ada denah sekolah?” jawab Zufar ringan.

Saking kesalnya karena kakak kelasnya terus mengikuti dirinya. Meilani pun akhirnya berhenti untuk meladeni si kakak kelasnya yang songong, jail, dan juga…. Manis ini.
  
“GUE. MASIH. ANAK. BARU! Jadi mana tau ada denah di mading?!” kejarnya mengeja kata demi kata di depan cowok itu.

“Oke. Sorry deh, yaa? Masa gitu aja marah sama gue?” ucap Zufar  memohon.

“Oke gue mau maafin lo, tapi ada syaratnya!” ucap Meilani sambil menaik-turunkan kedua alisnya. Terlihat si cowok sedikit ragu untung menyanggupi apa yang akan disyaratkan oleh cewek galak bin jutek di depannya ini. Kalau dilihat dari teleskop sih, pasti cewek ini sedang mengulum senyum, lalu sang otak sedang merencanakan sesuatu yang mungkin akan membuat cowok itu jera. Tapi segera ditepisnya pikiran yang akan membuatnya mendapat predikat pecundang. Karena tidak dapat menyanggupi persyaratan Meilani.

“Well, apa syaratnya?”

“Anterin gue pulang.”

“Hah??!”

Meilani memutar bola matanya, sebal. “Anterin gue pulang, budek! Gue males kalo mesti naek angkot. Gerah, panas, sumpek, macet pula.”

Zufar  langsung menepuk jidatnya saat menyadari apa yang menjadi syarat permintaan maaf dari adik kelasnya yang satu ini. Kalo ini sih gue sanggup. Seumur hidup anter-jemput dia juga gue sanggup, batinnya sarkatis.

Meilani tersenyum puas. Akhirnya ada tebengan juga. Gak apalah, maafin kakak kelasnya dulu yang sudah mengerjainya biar dapet tebengan. Menurutnya, lebih baik maafin orang supaya bisa langsung pulang ke rumah, tanpa harus terjebak dalam kemacetan jalan raya yang  jahanam itu.


****



Meilani sudah duduk manis di jok belakang motor Ninja milik si kakak kelas―yang namanya pun masih belum diketahui oleh Meilani. Motor itupun melajukan kecepatannya dengan normal membelah jalanan kota Jakarta siang itu.
  
Saat tiba di lampu merah perempatan jalan yang tak jauh dari sekolahnya, tiba-tiba ada sebuah mobil Pajero Sport berwarna putih yang―kalau dilihat dengan kasat mata―sengaja ingin menyerempet motor Kawasaki Ninja hijau yang ditaiki oleh Zufar dan Meilani.


“Anjrit! Sengaja banget tuh orang!” Zufar berteriak sambil membuka kaca helmnya. Kemudian memutuskan untuk mengejar mobil Pajero Sport itu, untuk mengetahui siapa yang dengan sengaja hampir menabrak dirinya dan Meilani.
  
“Kak! Rumah gue belok kiri! Bukannya lurus.” Meilani berdecak saat seruannya tak ditanggapi oleh kakak kelasnya. Ia menepuk-nepuk pundak Zufar dengan tidak sabaran, “Kak! Udah biarin aja. Kita gak keserempet ini sih. Gak usah emosi gitu lah. Gue mau cepet-cepet pulang! Begini doang mah sepele, gak usah di ributin.”

Meilani tidak menyadari kalau saat tadi ia sedang sibuk mengoceh―untuk tidak mengikuti mobil yang hampir saja mencelakakannya―si pengendara mobil tersebut mengeluarkan tangan kanannya keluar jendela mobilnya, dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi lalu mengacungkan jari tengahnya kearah mereka. Hal inilah yang membuat Zufar tersulut emosi. Sudah sengaja ingin menabrak tapi malah ditantang seperti itu.

Zufar memberhentikan motornya dengan terpaksa, karena orang yang sedang diboncenginya terus-terusan memukul pundaknya untuk segera berhenti di tempat.

“Heh kak! Gue bilang kan tadi arah rumah gue belok kiri! Kenapa malah ngejar mobil itu siih?” repet Meilani saat ia sudah turun dari jok penumpang motor Ninja itu.
  
Zufar berdecak kesal saat ia melihat mobil yang dengan sengaja―dimatanya―ingin menabraknya, sudah hilang dari jarak pandangnya. Emosinya memang gampang tersulut oleh sesuatu yang sangat sepele. Tapi kesengajaan seperti ini bukanlah hal yang sepele baginya.

“Lo tuh ya?! Bawel banget sih jadi orang! Suka-suka gue dong mau ngejar tuh orang apa enggak. Motor,,motor gue ini. Lo gak liat aja tadi dia tuh―”

“Oh jadi lo gak ikhlas? Yaudah sih gue juga bisa pulang sendiri kaleee.” Meilani menghentakkan kakinya dengan kesal, lalu ia mulai berjalan menjauhi Zufar yang hanya diam mematung. Bukan, Zufar bukan sedang diam mematung. Tetapi ia sedang mengingat-ingat, apakah ia tadi sempat menghafal plat mobil tersebut. Dan, Oh, sial! Ia lupa untuk mengingat berapa nomor plat mobil brengsek itu tadi.

“Cewek aneh!” cibir Zufar. Ia menoleh kearah Bus yang di tumpangi oleh Meilani. Sudah menjauh dari tempat ia berdiri sekarang.


****


“Bego! Ujung-ujungnya gue naek angkot juga,” rutuk Meilani saat ia sudah menaiki Bus umum yang menuju kompleks perumahannya.

  

( o) ┓♪FALL FOR YOU! (o )



Setelah Bus yang ia tumpangi sampai di depan kompleks perumahannya, Meilani berdecak malas. Ia  masih harus berjalan sekitar seratus meter lagi untuk mencapai blok rumahnya. Terpaksa. Di depan kompleksnya tidak ada pangkalan ojek yang bisa mengantarnya sampai ke rumah.

Dengan nafas yang terengah-engah, Meilani masuk ke dalam rumahnya setelah bik Juju membukakan pintu untuknya. Kemudian ia hempaskan tubuhnya ke sofa panjang berwarna hitam, di ruang keluarga.

“Hhh…hhh.. gara-gara jarang olahraga nih, jalan segitu doang kok jauh banget, ya.” Dilemparnya tas yang sedari tadi masih disandang di bahunya. Ia melirik bik Juju yang berjalan melewatinya menuju ke dapur.

“Eh, bik Juju. Mau ke dapur, ya?” tanyanya bego. Bik Juju menganggukkan kepalanya. “Ada apa, ya, non?” tanya bik Juju menghampiri putri majikannya.
  
“Bikinin Orange Juice, ya, bik. Bawain ke kamar aku. Oke?” pintanya manja.

“Iya, ini juga mau bibi bikinin. Kasian liat non segitu capeknya,” ucap bik Juju sedikit terkekeh melihat keringat yang membasahi wajah putri tunggal majikannya itu.



****


Keesokan harinya, Zufar memarkirkan motor ninjanya di area parkir sekolah. Pagi ini ia hampir saja telat. Pasalnya adiknya merengek untuk minta berangkat bareng dengannya ke sekolah. Zufar jelas tidak mau. Karena ia tidak ingin banyak orang yang tau kalau adiknya bersekolah di tempat yang sama dengannya. Yang jelas, ia hanya ingin adiknya tidak tertular oleh reputasinya yang buruk di sekolahnya, atau menjadi incaran para musuh bebuyutannya dari sekolah lain.
  
Zufar itu sebenarnya adalah anak yang pintar. Buktinya ia bisa masuk ke kelas unggulan dan nilainya pun selalu baik. Tapi, di balik semua kegiatan akademiknya itu, Zufar adalah sosok yang paling membahayakan. Membahayakan karena ia seringkali merokok dengan santai di lingkungan sekolah, dan terlibat dalam aksi tawuran antar pelajar. Zufar sering mengajak orang yang baru saja dikenalnya untuk terlibat dalam aksi tawuran, bahkan sampai membuat orang yang baru saja direkrutnya―untuk tawuran―langsung masuk UGD.

Adiknya? Adiknya jelas tau kelakuan sang kakak di sekolahnya. Karena orangtuanya seringkali di panggil untuk menghadap  kepala sekolah. Beruntung Zufar tidak kena D.O, karena ia selalu di selamatkan dengan prestasi akademiknya. Padahal adiknya tidak terlalu memusingkan bagaimana kelakuan buruk kakaknya itu.

Menurut adiknya, dia adalah dia, dan Zufar adalah kakaknya, hanya orang picik yang akan berfikiran bahwa dia mempunyai sifat yang sama dengan kakaknya.

Langkah Zufar terhenti begitu saja saat dilihatnya sebuah benda besar yang kini sangat dibencinya. “Mobil ini bukan, ya?” gumamnya sendiri.

“Woy, man! Lagi ngapa lu bengong sendirian di sini? Kesambet setan Pajero? Lo mau tuh mobil? Yelaaah, tinggal SMS ke showroom juga ntar dianterin!” repet cowok yang baru saja  berdiri di samping Zufar.

Zufar menoleh ke sampingnya. Dilihatnya sohib seperjuangannya sedang ikut-ikutan memandangi mobil itu dengan kening yang dikerutkan. Heran. “Lo kalo nanya gak usah kayak soal ulangan kewarganegaraan bisa, kan?” tanyanya sarkatis.

“Ya lagian, lo norak banget. Mobil beginian pake diliatin segala. Udah gitu ngeliatinnya kayak orang gak mampu sedunia.”

“Bukan gitu, nyet! Nih mobil kayak gua kenal,” ucapnya sambil memandangi mobil Pajero sport berwarna putih yang ada di area parkir sekolahnya―tepatnya sedang ada di hadapannya sekarang.
  
Rangga. Sohib seperjuangannya adalah Rangga Wimasetya. Anak tunggal dari keluarga Hadi Wimasetya yang terkenal sebagai pemilik beberapa mall termewah di Jakarta, Bandung, dan kota-kota besar lainnya. Ia bersahabat dengan Zufar semenjak mereka sama-sama di kelas sepuluh. Walaupun sekarang mereka sudah tidak satu kelas lagi, tetapi hubungan pertemanan mereka selalu baik. Tidak pernah di warnai dengan pertengkaran―kecuali tawuran.

Kontan saja Rangga langsung tertawa geli saat Zufar memberikan alasan. “Kenal? Sejak kapan selera lo jadi berubah, man. Gak suka cewel lagi lo? Sampe mobil diajak kenalan,” komentarnya tajam.

“Eh, lo gak tau aja. Kemaren nih ya, gue lagi ngeboncengin cewek, terus pas di lampu merah depan, tuh,  ada mobil yang sama persis kayak gini pengen nyerempet gue. Udah mau nyerempet, tuh orang pake ngacungin jari tengahnya pula. Pas gue mau kejar, eh cewek yang lagi gue boncengin malah teriak-teriak minta turun.

“Emang sih, gue gak liat nomor seri plat mobil yang mau nabrak gue. Tapi gue yakin, boy, kayaknya mobilnya yang ini nih. Awas aja kalo beneran nih mobil yang mau nyerempet gue kemaren. Gue kremasi  tuh orang.” Jelas Zufar panjang lebar.

Rangga  sedikit terpana dengan penjelasan Zufar. Bukan, bukan karena Zufar hampir ditabrak. Tapi lebih karena ia memboncengi cewek. Zufar memang sering dekat dengan beberapa cewek di sekolah. Tapi dia tidak pernah sekalipun memboncengi cewek untuk pulang bareng bersamanya. Alasannya simple. Di luar sana Zufar sudah pasti mempunyai banyak musuh. Dan siapapun yang dekat dengannya, akan jadi incaran sang musuh. Menurutnya, dia tidak mau jika harus melibatkan seorang cewek dalam perang dinginnya bersama pecundang-pecundang jalanan itu.

“Wait,,wait.. lo boncengin cewek? Gak salah denger nih gue?” tanya Rangga dengan ekspresi tak percayanya.

“Iyaa. Emang kenapa? Gak boleh gitu?”
  
“Ya boleh,, tapi aneh aja. Lo bukannya takut kalo cewek yang boncengan sama lo, bakal jadi inceran musuh-musuh lo?” ujar Rangga mengingatkan.

Zufar terpekur, lalu ia menepuk jidatnya. Ia baru ingat akan hal itu. “O, iya.. lupa gue, man! Lagian kemaren gue bener-bener ada urusan sama tuh cewek. Ah, yaudahlah, mudah-mudahan pecundang itu gak liat gue kemaren.”
  
“By the way, tuh cewek siapa?”

“Adek kelas. Gue juga gak tau namanya siapa. Lupa nanya gue juga.”
  
Rangga mengernyitkan keningnya. Lalu sedetik kemudian ia tertawa geli. “Hah? Lo belom kenalan, tapi punya urusan? Urusan apa emang?”

Zufar terkekeh geli. Dia juga bingung, urusan apa yang sebenarnya mendasari ia mendekati cewek tersebut. Sejak pertama bertemu, rasanya cewek itu sangat berbeda dengan cewek kebanyakan. Cewek itu rada jutek dan galak. Padahal kalau dilihat dari sejarahnya Zufar hidup, semua cewek pasti akan terpesona jika sedang berkomunikasi dua arah dengannya.



***



“Eh, sorry. Gue mau nanya dong! Kelas sepuluh ada di lantai berapa, ya?”

Zufar celingak-celinguk ke samping kiri dan kanannya. Agak sangsi kalau cewek di depannya ini sedang bertanya padanya. Pasalnya, saat cewek itu bertanya, ia tidak menatap kearah Zufar, melainkan sedang sibuk sendiri dengan handphone yang sedang ia genggam. “Eh, lo nanya sama gue?”

Cewek itu mengalihkan pandangannya dari handphone, lalu menatap Zufar dari atas sampai bawah, lalu ke atas lagi. “Iya. Dimana, ya?” tanya cewek itu setelah memastikan orang yang ditanya memang tepat.
  
“Oh, anak baru, ya? Kelas sepuluh tuh ada di lantai empat. Masih tiga lantai lagi dari sini.”

Tanpa banyak berkata lagi selain mengucapkan terima kasih, cewek itu langsung menaiki anak tangga dengan cepat.

***

“Ahhh, mau tau aja lo urusan cowok ganteng. Hahhaaha..  Udah yuk ke atas.” Rangga hanya mencibir  ajakan Zufar, kemudian saat mereka melangkahkan kaki menuju gedung sekolah, mereka berpapasan dengan Meilani yang juga sedang menuju kearah gedung sekolah.

Zufar tahu pasti kalau cewek yang kini berjalan di depannya adalah cewek jutek itu. Tapi kenapa saat tadi mereka berpapasan, cewek itu tidak menunjukan ekspresi seperti orang yang marah-marah? Bukan, bukan ekspresi marah-marah yang ingin dilihat Zufar, tapi ekspresi seperti orang yang sudah pernah berbincang-bincang, atau pulang bareng? Well, memang sih, Zufar tidak sempat mengantar cewek itu sampai rumahnya. Tapi kaaaannn?????


***

Meilani mengerutkan keningnya saat didengarnya percakapan orang yang berjalan di belakangnya.

“Eh, Ga, lo mau tau gak cewek yang gue maksud tadi?”
  
“Mana.. mana.. mana?”

Terdengar grasak-grusuk di belakang Meilani. Meilani menajamkan pendengarannya. Tetapi sudah tidak ada lagi suara-suara itu. Ia ingin sekali memutar kepalanya menghadap dua cowok yang sedang bergossip itu. Tapi diurungkannya niat itu. Gengsi. Ia tahu kalau cowok itu adalah kakak kelasnya yang kemarin―hampir―mengantarnya pulang. Karena tadi saat di area parker, ia sempat melihat dan berpapasan dengan kakak kelasnya itu. Maka dari itu, ia mempercepat langkahnya, dan sekarang kakak kelasnya itu tepat berada di belakangnya.
  
Tak lama setelah terdiamnya pembicaraan dua orang di belakangnya itu, tiba-tiba mereka tertawa terbahak-bahak. Seperti ada suatu inovasi lelucon yang baru mereka dengar.

Karena rasa penasaran yang sudah mencapai level sepuluh keripiknya Ma’icih, Meilani memutar kepalanya sedikit ke belakang.

To be continue...


Chapter 1 >< Chapter 3 

0 comments:

Post a Comment