Saturday, July 6, 2013

Around You #1

xxChapterOnexx

4 bulan yang lalu…

Senyum licik tercetak jelas di bibir Darren, saat ia melihat teman sebangkunya kembali dari toilet. Diberikannya langsung handphone miliknya yang sudah standby dengan aplikasi perekam video kepada teman diseberangnya. Menggoyangkan sebelah alisnya ke arah dimana teman sebangkunya sedang berjalan menunduk melewati deretan bangku kelas. Memberi isyarat rupanya.

Kean, teman yang diisyaratkan untuk merekam apa yang akan Darren lakukan mengangguk mengerti. Sama-sama tersenyum licik.

Saat teman sebangkunya tiba di sebelahnya—tak menyadari apa yang akan dilakukan Darren— hendak
meletakkan bokongnya di kursi yang terbuat dari bahan plywood, seketika itu juga Darren menendang kursi tersebut kesamping. Dan…

“Aduh!” ringis gadis berkaca mata yang seharusnya terduduk di kursi malah berakhir dengan terduduk di lantai yang keras, dingin, dan basah—sengaja Darren menumpahkan minuman soda berwarna merah di bawah kursi milik temannya itu.

Rasa sakit yang menyengat pantatnya tak dihiraukan sedikitpun oleh orang-orang yang berada di dekatnya. Mereka dengan riangnya malah menertawakan kejadian itu. Terbahak-bahak. Bahkan Darren, sang pelaku pun, menggebuk-gebuk meja saking gelinya melihat temannya itu berhasil diusili.

“Aduh, Ale…Ale… kalo mau duduk tuh jangan Cuma pake pantat, tapi pake mata juga. Diliat dulu dong, ada bangkunya apa enggak,” celoteh Darren sambil tertawa. “Gimana sih, mata udah empat gitu juga.”

Alesha, teman sebangku Darren yang baru saja diusili itu hanya meringis pelan. Melirik Darren sekilas saat ia berkomentar, lalu berusaha menahan dirinya sekuat mungkin dari upaya untuk membalas tindakan Darren tersebut.

Alesha menghela nafas pelan. Berkali-kali dirapalkannya kata “Sabar” untuk dirinya sendiri. Tidak sulit untuk Alesha menekan rasa marahnya dan mempertahankan kesabarannya. Toh, dia sudah melakukan kedua hal itu selama hidupnya. Bahkan sejak ia mampu mengerti bagaimana menghadapi orang.

Alesha berdiri dan menarik bangkunya kembali ke tempatnya, saat Kean memberikan kembali handphone milik Darren yang digunakan untuk merekam kejadian konyol barusan. Kean bersiul saat melihat rok belakang milik Alesha terdapat bercak merah pudar. Sadar akan apa yang diperhatikan oleh Kean, Alesha buru-buru duduk di kursinya yang telah kembali.

“Merahnya kurang pekat, bro. Seharusnya lo potong dulu ayam Mang Ndang, ambil deh semua darahnya.”

Darren tersenyum angkuh. “Haaaa…nanti yang ada dia dikira lagi pendarahan, bro. Nanti bisa jadi headline newsdi madding sekolah kita, kayak gini; “Hebat! Seorang pelajar masih tetap meneruskan belajarnya demi membanggakan orang tua, bahkan ketika ia sedang mengalami pendarahan di kelas!!!”

Sontak setelah mendengar ucapan Darren, seisi kelas menghabiskan setidaknya lima menit untuk tertawa, dan menit berikutnya untuk menimpali ucapan Darren. Kebanyakan dari mereka langsung membayangkan jika kejadian memalukan itu benar-benar terjadi.

Mendengar nama orang tuanya dibawa-bawa dalam lelucon teman-temannya, Alesha  semakin berusaha cukup keras untuk tidak menanggapinya. Tembok yang menjadi benteng pertahanan kesabarannya kembali di tinggikannya. Diperluas. Bahkan dipertebal.

Seharusnya ia tidak harus –ingin- menangis di saat ada orang lain yang mengungkit orang tuanya. Tapi, entah kenapa, hari ini berbeda. Ada satu alas an mengapa ia begitu sensitif mendengarnya, bahkan di saat ia telah melupakan bagian dari keluarganya tersebut.

Alesha mengepalkan tangannya di samping tubuhnya saat perkataan Darren terbang melayang bagaikan kapas putih di setiap sudut ruang memori otaknya. “Hebat! Seorang pelajar masih tetap meneruskan belajarnya demi membanggakan orang tua…” Tidak!  Dia tidak melakukan ini semua untuk orangtuanya. Tidak-pernah-terpikirkan. Dia tidak harus membanggakan orangtuanya. Dia tidak akan dan tidak mau. Itu yang terpenting! Untuk apa membanggakan orangtua yang jelas-jelas bahkan tidak memperdulikan anaknya sendiri? Membutakan mata mereka untuk melihat betapa berbakatnya anak mereka? Alesha telah mengubur semua yang akan dilakukan seorang anak terhadap orang tua untuk membahagiakan mereka jauh di dalam dasar bumi. Tak akan pernah ia gali kembali keinginan itu.

Darren melirik Alesha sekilas. Sedikit kesal saat teman sebangkunya tersebut bahkan tak berteriak memaki, memprotes, menangis atau pergi menjauh darinya. Darren pikir Alesha adalah seseorang yang tidak punya emosi yang pernah ditemuinya. Gila! Mau dikerjain macem kayak gimana lagi nih anak, biar ngerespon gue? Rutuk Darren dalam hati.

***


Sepulang sekolah, Darren berjalan santai menyusuri lorong kelas. Alisnya naik ke atas saat ia menyadari orang yang berjalan dengan canggung di depannya ini adalah Alesha. Roknya yang panjang mencirikan dirinya berbeda dengan cewek-cewek di sekolahannya. Apalagi noda merah pudar yang melekat tepat di bokongnya.

Alesha berjalan sambil menahan handphone miliknya di kuping kirinya. Darren mengernyit, ia baru sadar kalau temannya itu selalu menelpon baik di saat ia baru tiba atau akan pulang dari sekolah. Bahkan selalu rutin ia melakukan itu. Menelpon supirkah? Kalau iya, tapi kenapa Darren tidak pernah melihat cewek itu dengan mobil beserta supir pribadinya? Orang tua? Atau…pacar?

“Iya, aku udah mau pulang.” Darren lebih mendekatkan langkah kakinya untuk mencuri dengar obrolan Alesha.Shit! kepo-kepo deh, ujar Darren dalam hati.

“Iyaaa, aku selalu hati-hati… um, mungkin aku hari ini naik taksi dan sedikit pulang terlambat… berapa kali aku bilang, jangan terlalu khawatirin aku… um, ya… sshh, aku yang seharusnya khawatirin— ”

Seseorang yang melemparkan lengan kurusnya di sepanjang bahu Darren, kemudian memutar tubuhnya ke arah yang berlawanan. Membuat Darren tersentak kaget dan mengalihkan ‘kegiatan’nya kepada orang di sampingnya. Kean menyeringai bodoh hingga membuat Darren harus menahan geraman yang ingin dikeluarkan dari mulutnya.

“Apaan sih lo?”

“Lo mau kemana, bro? Loker elo kan di sebelah sana. Lo tau  si Beno dateng lebih awal hari ini!” jelas Kean mengutarakan maksud dirinya menghentikan Darren. Darren berdecak tidak setuju. Lalu memutar kepalanya ke belakang —kesepanjang lorong dimana dia mencari seseorang yang membuatnya lupa kalau sekarang ada latihan basket. Siluetnya sudah jauh tak terjangkau.

“Bangke lo!” umpat Darren pada Kean—lebih karena kesal akan intrupsinya. Kemudian Darren mencengkram kerah Kean dan menyeretnya, “Ayok!”

***



“Ren, aduh, Ren, please jangan dong! Ini lepasin gue woy!” rengekan putus asa tak henti-hentinya dipinta pada Darren yang saat itu sedang tertawa puas dan berteriak memanggil anak-anak lainnya untuk ikut berkumpul bersamanya mengelilingi sebuah pohon palem di taman sekolah.

“Guys, ayok cepet merapat! Hari ini teman kita yang paling gagah ini ulang tahun, guys!” begitulah teriakan Darren saat mengumpulkan massa pagi itu.

Darren melirik Kean sebentar kemudian mengalihkan tatapannya pada cowok kurus, berkulit putih dengan punggung menempel pada pohon palem di belakangnya. Kedua lengan cowok itu melingkar ke belakang. Memeluk pohon palem itu. “Well, kita liat, birthday boy kita hari ini punya uang berapa banyak buat neraktir kita sarapan pagi ini, hmm?”

Tanpa harus dikomando, Kean mulai menggeledah saku baju dan celana cowok bermata sipit itu. Meronta-ronta adalah satu-satunya cara yang bisa cowok malang itu lakukan, karena percuma kata-kata permohonan tak akan menghentikan aksi bullying tersebut.

Kean menemukan dompet kulit di saku celana belakang. Seringaiannya membuat cowok malang di depannya mengerang putus asa.

“Tujuh ratus tiga puluh empat ribu, Ren,” kata Kean setelah berhasil mengorek semua isi dompet si cowok malang.

“Sisain tiga ribu buat dia beli es teh.”

Kean melongo. “Tapi gak ada uang seribuan disini. Masa harus gue tukerin dulu?” tanyanya keberatan.

“Tukerin kalo gitu.” Darren menyilangkan lengannya dengan angkuh. Menyaksikan saat Kean memaksa orang di belakangnya untuk memberinya uang seribu rupiah. Tentu saja dengan sedikit ancaman.

Darren mengulurkan tangannya saat Kean memberinya selembar uang dua ribuan dan satu lembar seribuan.

Dengan sedikit dramatis, Darren merapikan dua lembar uang lecek itu kemudian memasukkannya ke dalam saku baju si cowok malang, menepuk-nepuk dadanya, tepat di sakunya.

“Darren, please, Key, please...” ratap si cowok malang.

“Gue mesti bilang kalo lo cowok paling beruntung hari ini. Kenapa? Karena kapan lagi ulang tahun lo gue rayain kayak gini? Well, walaupun gue agak kecewa karna yang di dompet lo itu jauuuuuh banget dari harapan. Lo liat?”
Darren mengibaskan tangannya kepada teman-temannya yang berkumpul membentuk lingkaran, “Traktir mereka segitu banyak mana cukup cuman tujuh ratus tiga puluh ribu?”

Darren mengerutkan bibir merah alaminya. Mendesah dramatis. “Terpaksa gue harus nombokin kalo kayak gitu.”

“Baik sekali, Darren.” Cibir Kean.

Darren mundur selangkah. “Oh, pasti. Udah gue bilang kan, dia cowok paling beruntung?”

Kean melemparkan kepalanya ke belakang. Tertawa terbahak-bahak.

C’monguys. Kalian bisa sarapan sekenyang mungkin. Pastikan cacing-cacing di perut kalian dapet asupan gizi terbaik pagi ini,” ujar Darren yang membuat kerumunan orang di sekitarnya berseru senang. “Lo bisa lepas sendiri kan ikatannya? Kan lo cowok gagah, gak klemer-klemer,” lanjutnya menatap si cowok malang yang sedang menahan tangisannya.

“Gak bisa...”erangnya. Kean mengikatnya sangat keras. Sampai kulitnya terasa perih ketika ia meronta kembali.

Darren mengepalkan satu tangannya. “Lo pasti bisa! Semangat!” katanya menggebu-gebu. Kemudian ia menepuk lengan Kean. Menyuruhnya enyah dari sana. Meninggalkan si cowok malang sendirian dengan tangan terikat di pohon.

“Eh, trus itu gesper gue gimana?” tanya Kean dengan pertanyaan bodoh yang membuat Darren melotot padanya.

“Biarin aja begitu.” Darren menyeret lengan Kean agar mengikutinya.

“Yah, tapi ntar celana gue melorot, ege.”

Bibir Darren berkedut kecil. “Trus kalo melorot lo malu gitu? Di depan gue aja lo gak malu lari-larian sambil telanjang,” papar Darren. Menggoda teman baiknya.

“Sshhhh... itu rahasia, sayang,” ujar Kean sambil menaruh jari telunjuknya di bibir Darren. Darren menangkap telunjuk Kean yang bersarang di bibirnya lalu membawa tangannya ke sekitar pinggangnya.

“Mau makan apa pagi ini, sayang?” tanya Darren selembut ketika ia bersama seorang kekasih.

 “Mau makan urat malu aja, Yang, biar akunya gak malu jalan sama kamu sambil pelukan kayak gini,” jawab Kean, menawarkan senyum paling manis yang dia bisa lakukan.

“Hmmm.”


***



Alesha berhenti berjalan saat ia melihat Anggar, teman sekelasnya dan teman seper-bully-annya di kelas, menendang-nendang mobilnya sendiri sambil memaki-maki. Sepertinya teman sekelasnya itu sedang mendapat masalah. Sering mendapat masalah lebih tepatnya. Sama seperti dirinya. Alesha ingin sekali tak menghiraukan orang itu, tapi pikirannya berubah saat ia melihat Anggar jatuh terduduk di sebelah mobilnya. Terlihat begitu frustasi.

Dengan langkah ragu, Alesha menyeret kakinya mendekat. Mungkin dia tidak dibutuhkan, pikirannya yang lain mengintrupsi.

Terlambat untuk kembali karna tubuhnya sudah menjulang tinggi di dekat Anggar.

Anggar yang melihat sepasang sepatu di depannya mendongakkan kepala. Matanya berkedip melihat Alesha berdiri disana. Memandangnya iba.

“Sorry, aku pikir kamu butuh bantuan, eh, maaf...maaf...aku gak maksud ikut campur, eh, atau apa, tapi...tapi aku pikir kamu butuh bantuan?” Alesha terengah-engah saat menyelesaikan maksud kedatangannya. Dia jarang bicara pada orang, walaupun itu teman sekelasnya. Alesha lebih suka memilih diam dan berusaha tidak ikut campur dengan orang lain, biasanya. Makanya, berbicara pada Anggar seperti ini membuatnya sulit mengatur kata-kata yang tepat.

Anggar berdiri. Mengangguk mengerti. Menyeka tulang di bawah matanya. “Gue baru aja dapet masalah di hari ulang tahun gue ini,” ungkapnya sambil mendesah.

Alesha mengernyit. “Kamu ulang tahun?”

“Ya, dan ini adalah ulang tahun -ketujuh kalinya yang- paling suram dalam hidup gue...”

Alesha menunggu untuk Anggar menyelesaikan kalimatnya karena ia melihat kobaran api di kedua mata sipitnya. Anggar melanjutkan,

“Tadi pagi gue diiket sama Darren. Dia tau hari ini adalah hari ulang tahun gue –itu karna dari kecil kita selalu di sekolah yang sama- dan dia selalu merasa perlu ngerayain ulang tahun gue dengan cara yang konyol yang menurut dia paling mengesankan buat dia. Itu ke tiga kalinya gue diiket di pohon. Dan...dan Kean ngambil semua uang yang ada di dompet gue buat neraktir sekumpulan anak-anak kelaparan.

Seharusnya ini gak terlalu jadi masalah buat gue kalo aja bahan bakar mobil gue gak habis dan uang yang gue punya cuma tiga ribu,” desah Anggar.

Pipi kurusnya seakan jatuh ke tanah. Alesha melirik mobil dan Anggar secara bergantian. Seharusnya orang seperti Anggar punya sebuah atau beberapa kartu canggih yang bisa dia gunakan untuk membayar apapun dimanapun. Bukankah setiap pom bensin mempunyai mesin pembayar kilat itu?

Alesha baru saja ingin membuka mulutnya ketika Anggar kembali berbicara. “Tolol, kan? Seharusnya gue bisa pake kartu debit atau kartu kredit gue. Tapi sial, gara-gara gue hobi maen game online, semua kartu-kartu gue gak berguna. Nyokap marah dan ngeblokir semua kartu-kartu gue karna gue ngabisin duit gue cuman buat beli chip.”

OH!

“Ugh, aku...aku turut sedih atas apa yang Darren lakuin ke kamu, Nggar.” Alesha sudah bisa menebak kalau Darren ada dibalik semua kekacauan ini. Tidak heran karena mereka berdua memang selalu menjadi target paling empuk untuk menjadi korban pembullyan. Aneh, pendiam, lemah, bahkan hanya merengek ketika seseorang sedang menyakiti mereka. Orang-orang seperti Alesha dan Anggar adalah badut terlucu yang bersekolah di sekolah elite seperti ini. Dan tentu saja –mereka yang mengaku- para penguasa sekolah bisa seenaknya menjadikan mereka berdua badut-badut kesayangan mereka. Memperlakukan dengan cara yang menurut mereka akan memuaskan hati, membuat mereka tertawa dan diakhiri dengan hinaan yang tak seharusnya keluar dari mulut mereka.

Darren menjadi salah satu dari –mereka yang menganggap diri mereka penguasa sekolah. Menggunakan kekuasaan sang ayah yang bekerja di balik meja pemilik yayasan. Bertindak sesuka hatinya tanpa mengkhawatirkan ancaman pada pendidikannya. Sang ketua basket yang tak diragukan lagi keahlian bahkan ketampanannya. Mungkin, tak akan pernah kita kehabisan topik untuk membahas cowok keren yang satu itu.
 Oke, lupakan si troublemaker.

Alesha merogoh dompet di dalam tasnya, mengeluarkan selembar uang berwarna merah. “Ini. Cukup, kan, buat beli bensin di depan jalan sana?”

Anggar membelalakkan matanya. Menatap Alesha ragu. Apa seorang wanita baru saja mengasihaninya?

“Le, sebenernya gue pengen nolak tawaran lo biar gue bisa buktiin ke Darren kalo gue bukan cowok klemer-klemer yang bisanya cuman nyusahin orang, tapi, tapi thanks banget ya!” Anggar cepat-cepat menyambar uang yang disodorkan Alesha padanya. Takut Alesha berubah pikiran dan nasib sialnya sudah bisa ditebak kembali.
Alesha tersenyum.

“Gapapa. Ambil aja. Anggap aja itu hadiah dari gue buat ulang tahun lo.”Anggar mengangguk dan tersenyum.

Dirinya seakan telah dilepaskan dari kekacauan neraka dan saat ia melangkah pulang, ia dipertemukan oleh malaikat cantik dan baik hati. Seperti perempuan di depannya sekarang.

“Lo mau ikut gue pulang? Eh, maksud gue…kita beli bensin dulu terus lo gue anter pulang?” tawar Anggar yang langsung dibalas dengan gelengan kepala oleh Alesha.

“Kenapa?” mata sipit Anggar terlihat semakin menyempit ketika ia sedang mengerutkan dahinya.

“Gak usah, Nggar. Makasih. Ap—eh, rumah aku deket kok dari sini. Naik taksi juga langsung nyampe kok.”
Anggar mengangkat bahunya. “Oke. Sekali lagi thanks banget ya, Le!” ucap Anggar sungguh-sungguh.



Dari tengah lapangan basket, Darren yang sedang memeluk bola bundar berwarna hitam-orange itu menyipitkan matanya ke arah tempat parkir. Dimana Alesha dan Anggar sedang mengobrol dengan serius di samping mobil milik si cowok game addict itu.

Kean yang baru tiba di sebelah Darren setelah ia mengganti pakaian sekolahnya menjadi seragam basket pun mengikuti arah pandang Darren. “Heh, ngapain lo ngeliatin si cupu ampe segitunya?”

Darren melirik Kean sekilas dari sudut matanya. “Mereka pacaran ya?” tanyanya penasaran. Kean hanya
mengedikkan bahu kanannya sambil merebut bola basket yang sedang dipeluk oleh Darren.

“Iya kali,” jawabnya asal. “Gak penting-penting amat buat gue. Eh, tapi kalo mereka pacaran bagus juga tuh, yekan bro, bisa langsung di jama’ tuh ngebully mereka.” Kean terkikik sendiri setelah mengatakan idenya.

Samar-samar Darren mengernyitkan dahinya. “Gue gak bisa ngebayangin gimana koplaknya gaya pacaran mereka,” ujarnya meremehkan. Darren berbalik ke arah dimana Kean sedang bersiap-siap melakukan three-point, dengan gerakan yang lincah, Darren merebut kembali bola yang dihempaskan Kean menuju ring basket. Menggagalkan usaha Kean melakukan three-point dalam waktu singkat.

Kean memaki kesal. Gerakan lincah Darren selalu saja mematahkan usaha orang lain untuk melakukan shoot ke ring basket. “Ren, lu minggir dulu deh sana! Elo nih, belom apa-apa udah patahin semangat gue aja!” sungut Kean.

Darren menyeringai. “Justru gue mau membakar semangat lo, ege! Biar lo bisa sekeren gue. Ya gak?” Darren mendribble bola basket di tangan kirinya. Ketika ia mendongak ke atas, tak sengaja tatapannya malah tertuju ke tempat dimana tadi Alesha dan Anggar berada. Tapi bahkan bayangan mereka tak ada disana.

Darren melempar bolanya ke belakang. Jatuh tepat di lubang ring basket setinggi 2 meter itu. Aksinya itu mendapatkan tepuk tangan dari beberapa siswa yang masih berkeliaran di sekolah. Kebanyakan adalah perempuan yang sedang membentuk kelompok kecil di pinggir lapangan. Sengaja meluangkan waktu mereka yang berharga untuk melihat latihan basket hari ini. Terutama Darren.

Darren memalingkan wajahnya dari para siswa perempuan yang kini berteriak-teriak menggilai dirinya. Dia paling tidak tahan mendengar seorang—apalagi beberapa—perempuan berteriak histeris dan bertepuk tangan untuk dirinya.

Darren memang bisa dikatakan pria yang sempurna bagi para perempuan yang hanya melihat dirinya dari sisi kelebihannya saja. Bukan kekurangannya. Yang mereka lihat hanya, Darren yang kerenlah, Darren yang kaya raya lah, Darren yang jago maen basketlah, Darren yang charminglah, bahkan sisi buruk Darren, mereka anggap seolah-olah itu adalah pelengkap dari kesempurnaan seorang Darren. Wajar kalo cowok ganteng itu bandel! Begitu kata mereka.

Darren begitu suka terhadap perempuan yang melihatnya seperti ia tidak mempunyai kekurangan satupun. Itu mengerikan ketika mereka tidak pernah menghiraukan kelakuan Darren yang sering mengerjai teman-temannya. Mereka malah lebih suka Darren berbuat seperti itu. Tidak ada yang menegurnya. Tidak ada yang melarangnya. Jika dalam waktu sehari mereka tidak melihat Darren membully seseorang, mereka langsung memintanya melakukannya. Darren tidak seharusnya membully temannya ketika dia sendiri tidak ingin melakukannya. Tapi mereka terus mendorong dirinya dan Darren melakukannya dengan senang hati. Dia tidak akan berhenti tanpa sebuah alasan. Dia butuh alasan untuk menghentikan perbuatan tercelanya. Sampai alasan itu menyadarkan dirinya—bahkan hati nuraninya—dia mungkin akan menjadi terus sepert ini.

*********


3 bulan yang lalu...


“Le, gue heran ya sama lo, kok elo tuh gak pernah ngerespon gitu kalo anak-anak lain –termasuk gue- ngebullylo? Lo gak ngerasa sakit hati apa?” tanya Darren disela-sela pelajaran. Sebenarnya pertanyaan ini sudah ia simpan sejak lama di kepalanya. Dan baru kali ini Darren memutuskan untuk bertanya langsung pada orangnya.

Darren kesal, dua hari yang lalu, dia mengusili temannya itu dengan menabrakkan dirinya sendiri ke badan gadis itu –berpura-pura kalau ia didorong oleh Kean dari belakang- hingga membuat handphone milik gadis itu jatuh terpental. Dan...apa yang Darren dapatkan dari reaksi gadis bernama Alesha itu? Dia hanya mengehela nafas pelan—Darren mengetahuinya saat bahu gadis itu ditarik ke atas dengan pelan- kemudian gadis itu memungut handphone-nya dan menjauh tanpa menyempatkan untuk melirik Darren.

Sudah dua bulan Darren membully gadis itu, dan sudah dua bulan juga aksinya itu hanya ditanggapi dengan helaan nafas pelan.

Kenapa cewek yang satu itu gak berteriak-teriak padanya? Bukankah semua cewek berteriak-teriak padanya?

Kenapa cewek itu gak meminta dirinya untuk berhenti mengerjai dirinya? Semua orang yang dibully olehnya pasti meminta dirinya untuk berhenti melakukannya pada mereka? Tapi?

Darren akhirnya menyerah untuk membully Alesha sekarang ini. Dimana kesenangannya jika ia membully dan
orang itu sama sekali tidak perduli dengan apa yang dilakukan orang lain pada dirinya? Darren menganggap Alesha sudah bukan kesenangannya lagi. Kalau Alesha hanya diam, itu malah membuat Darren merasa bersalah
karna sudah mengerjainya habis-habisan. Tidak ada pemberontakan. Well, melepaskan satu target bully-annya, Darren tak akan merasa rugi.

“Lo...punya perasaan kan ya?” tanyanya lagi. Masih merasa aneh.

Alesha tersenyum, sehingga garis-garis samar di bawah kedua matanya yang berbingkai tercetak indah. Seperti lesung yang kebanyakan orang miliki di kedua pipi mereka. “Yaiyalah,” jawabnya lembut.

Darren melipat siku kirinya dan menaruhnya di atas meja, sehingga telapaknya bisa ia gunakan untuk menyangga kepalanya. Memiringkan kepalanya, menatap Alesha lekat. “Terus?”

Alesha mengernyit. “Apanya?” tanya Alesha balik. Alesha tidak menatap atau bahkan melirik Darren di sampingnya. Alesha menyibukkan dirinya dengan mencatat materi pelajaran yang sedang berlangsung.

Darren memutar matanya. “Terus kenapa lo cuman diem aja? Bales kek gitu! Gak asik banget lo jadi korban bully-an,” sungut Darren.

Alesha menggelengkan kepalanya. Lagi-lagi sambil tersenyum.

“Biarin aja. Mereka juga bakalan capek sendiri nantinya.” Iya, kayak gue! Capek ngebully lo tapi gak ada tanggepan. Batin Darren.

“Kalo mereka gak bakal capek gimana?” Alesha mengedikkan bahunya.

Darren menjauhkan telapak tangan yang sedang menopang kepalanya hingga jatuh seluruhnya ke atas meja. Darren mendesah pelan. “Untung gue capek,” gumamnya pelan.


to be continue...

Monday, June 3, 2013

Around You (TEASER)

Latihan basket kali ini bener-bener nguras tenaga yang gue punya di sisa sore ini. Huh, sial! Beno gak maen-maen buat ngegenjot anak basket biar punya skill dan taktik yang bagus buat tim kami. Dia pelatih tergigih yang pernah gue kenal. Dan gue bangga.

Latihan berakhir sejak 2 menit yang lalu. Dan gue lagi nyoba buat ngatur nafas dan tenaga gue balik lagi ke raga gue dengan membungkuk dan meletakkan kedua tangan gue di masing-masing lutut kaki gue. Dari ujung rambut sampe ujung kaki semuanya basah kuyup sama keringet bercampur sebotol air mineral yang sengaja gue tumpahin ke tubuh gue sendiri.

Disaat gue lagi terengah-engah, dari lantai atas gue bisa denger kekehan nyaring dengan diikuti ejekan dan teriakan. Baru banget gue ngangkat kepala gue ke bangunan sekolah, tiba-tiba sebuah tas berwarna merah meluncur dan jatuh dengan mulusnya gak jauh dari tempat gue membungkuk.

Ngelirik ke lantai atas, gue mendengus. Untuk kesekian kalinya gue ngeliat cewek itu dibully abis-abisan sama sekumpulan cewek-cewek rese bin ngeselin di sekolah gue.
Mereka semua ketawa terbahak-bahak karna berhasil ngejailin tuh cewek dengan ngelempar tasnya dari lantai 3 ke tanah.

Satu dari cewek itu, yang gue yakin ketua gengnya, teriak ke arah gue. “Ren, tolong buang sampah itu ke tempat sampah, yaaa!!! Barang kayak gitu sih, gak layak ada di sekolah kita!” ujar Jessica—si ketua geng Beelzebub a.k.a Devil a.k.a Setan. Dan otomatis para dayang-dayang di belakangnya mengangguk setuju, mengiyakan apa kata tuh nenek lampir sambil nyemburin tawa mereka yang terdengar sangat menjengkelkan.

Tatapan gue pindah ke cewek polos yang lagi melongokkan kepalanya ke bawah—meratapi tas miliknya yang tergeletak mengenaskan di deket gue. Dia sama sekali gak ngeliat ke arah gue. Dasar cewek bego! Pasrah banget dikerjain kayak gitu sama geng setan.

Jessica teriak lagi ke gue, “Darren-ku yang ganteng...tunggu apa lagi? Cepet ambil tasnya trus buang deh ke tempat sam—ups! Kayaknya tempat sampah terlalu elite ya buat tasnya si cewek norak kita yang satu ini? Ah! Gimana kalo ke selokan ajaaa!!!”

Gue mendelik ke arah Jessica yang langsung melenggang pergi bersama keempat dayang-dayangnya sambil ketawa cekikikan. Dan gue beralih lagi buat ngelirik cewek yang udah dijailin Jessica.

Tuh cewek ngeliat ke arah gue—sambil menggelengkan kepalanya pelan dengan kedua alis yang membingkai di atas kacamatanya berkerut sedih dan pasrah. Meminta supaya gue gak buang atau ngelempar tasnya ke tempat sampah atau kemana pun, sesuai apa kata Jessica.

Saat gue gak ngasih respon apa-apa, tuh cewek buru-buru lari dari tempatnya melongo ke sepanjang lorong. Gue tebak, dia pasti mau ngambil tasnya.

Dan sebelum tuh cewek sampai ke lapangan, tas merahnya udah berada di tangan gue dan gue bawa ke suatu tempat. Ke mobil gue yang terparkir di ujung lapangan. Gue lempar tasnya ke kursi penumpang, dan gue dengan santai melenggang pergi ke kamar mandi buat ngeganti seragam basket gue dengan baju yang layak tanpa bau keringat.


***


“Darren!!!” suara teriakan lembut menggema di telinga gue. Dan gue membalikkan badan gue buat mastiin siapa yang mengintrupsi perjalanan gue ke tempat dimana mobil gue terparkir.

Alesha. Yep, cewek yang barusan manggil gue itu adalah Alesha. Yang dalam enam bulan terakhir ini menjadi temen sebangku gue yang paling polos dan mempunyai gaya yang—well, kata orang-orang—cupu abis gitu deh!

Gue menghela nafas pelan. Sebenernya Alesha itu gak cupu-cupu banget kok, kalo dia mau nunjukin sisi lain dari dirinya yang gue yakin cantik banget. Dia terkesan cupu Cuma karna dia pake kacamata bulet besar, rambut kuncir kuda, dan memakai rok panjang disaat cewek-cewek di sekolah ini sibuk mendekin rok mereka.

Alesha tiga ratus enam puluh derajat beda dari mereka. Dia lebih pendiem. Pintar. Gak banyak ngeluh. Dan yang paling gue suka dari dia adalah dua garis kecil yang tergores di bawah masing-masing mata berbingkainya—yang bisa kalian liat saat dia lagi senyum, tertawa, bicara, atau saat dia lagi mengembungkan pipi tembemnya.  Bener-bener hal yang jarang banget dia tunjukkin ke orang lain, selain ke gue.

Gue baru tau ternyata sejak dia jadi anak baru di sekolah gue, dia jadi target-paling-diminati para Bulliers. Well, seperti yang udah gue bilang tadi. Dia terlalu pendiem dan gak mau ngelawan siapapun yang udah ngebully dia.

Dua bulan pertama dia duduk di sebelah gue, gue pastiin dia juga mendapat pengalaman terbaik dibully sama gue. Hingga akhirnya dia terlalu gak perduli dan gak pusingin tindakan gue, gue malah jadi capek sendiri ngebully dia. Gak asik, gak ada respon.

Bukan berarti gue berhenti ngebully dia, orang lain ikut berhenti juga ngebully dia. Gak. Mereka dengan senang hati menggantikan posisi gue buat ngebully dia—well, sampe gue gak tega dan harus nyingkir dari kelas biar gak ngeliat lagi wajah tersiksanya karna dibully di setiap ada kesempatan.

Gue gregetan! Dia udah pernah gue kasih tau buat ngelawan ataupun ngebales orang-orang yang udah ngebully dia. Tapi gue malah mendapat jawaban apa dari dia? Sial! Dia cuman tersenyum—yang memperlihatkan goresan samar di bawah matanya—dan mengangkat bahu dan bilang “Biarin aja, Darren.” What-the-hell-f*ck-out?

Oke, terserah tuh cewek mau kayak gimana nanggepin perlakuan orang lain ke dirinya sendiri. Biarin, itu terserah dia, Ren!

Gak lama, Alesha nyampe ke depan gue dengan nafas sedikit terengah-engah. Kacamata bulet besarnya sedikit beruap dan dia gak peduliin itu karna dia lebih milih nanya sesuatu ke gue.

“Darren, kamu liat tas aku, gak?”

Gue menaikkan alis gue. Terkejut sama pertanyaannya. “Tas yang tadi dilempar sama Jessica di depan kamu itu loh, Ren? Kamu gak...ngebuangnya, kan?” katanya pelan dan ragu saat dia menyelesaikan pertanyaannya.

Dari balik bingkai kacamatanya, mata cokelat bening itu bersinar penuh kekhawatiran.

Apa? Dia ngira gue ngebuang tasnya dia? Yang bener aja!

Gue mengedikkan dagu gue ke arah dimana mobil gue terparkir. Gue ngelirik sebentar buat mastiin kalo dia nangkep arah mana yang gue tuju. Dan... sambil melenggang santai, gue bergumam, “Ada di dalem mobil gue.”

Gak perlu natap wajahnya, gue tau kalo dia sedikit terkejut dan melongo saat gue kasih tau dimana tasnya berada. Well, gue tegaskan, gue—untuk saat ini—gak pernah ada maksud buat ngerjain dia lagi. Gue ngelakuin ini semata-mata karena.....entahlah, gue ngerasa ini bener aja.


Saturday, May 4, 2013

You and I - Part 1


Tuhan, benarkah Kau tahu apa yang aku mau? 
Benarkah Tuhan, Kau bisa memberikan kebahagiaan itu untukku? 
Tuhan, kumohon... Jangan biarkan hidupku seperti ini Tuhaaaan.. 
Izinkan aku Tuhan.. Izinkan aku merasakan hidup yang benar-benar hidup. Jauh dari keterpurukan dan kesedihan yang mendalam. 

Friday, May 3, 2013

Fall For You (EPILOG)


EPILOG


Tanah merah itu kini sudah ditumbuhi rumput hijau yang tumbuh dengan subur dan selalu dipotong secara teratur tiap minggunya – sejak satu setengah tahun yang lalu. Tak ada yang berubah. Masih tetap sepi dan hening saat gadis itu mengunjunginya. Hanya wewangian harum bunga yang masih segar dari gundukan tanah sebelah yang kali ini menyambutnya.

Thursday, April 25, 2013

Fall For You (Chapter 25 - ENDING)


DUA PULUH LIMA


Hotel Dayan Radiasta. Cukup besar untuk ukuran hotel berbintang di tengah-tengah pedesaan di Ubud, Bali. Pahatan-pahatan dari patung dan ukiran-ukiran sebuah lukisan—masterpiece-nya seniman terkenal di seluruh dunia— terpajang indah di seluruh sudut hotel.

“Mel, lo tunggu sini dulu, ya. Gue sama Nurmala mau ngambil kunci kamar kita dulu sama Mrs. Ketie,” ucap Nela saat mereka baru saja menjejakkan kaki mereka turun dari bus.

Friday, April 19, 2013

Fall For You (Chapter 24)




DUA PULUH EMPAT


Altan memutuskan kembali ke kelas. Menunggu giliran namanya dipanggil untuk melaksanakan praktik Bahasa Jepang bersama dengan teman-temannya yang lain. Masih lama mungkin untuk mencapai gilirannya.

Altan berkali-kali bolak-balik keluar-masuk kelas. Berputar-putar di dalam kelas. Singgah di kerumunan sini, di kerumunan sana. Mencemaskan sesuatu. Bukan mencemaskan praktiknya, tapi lebih mencemaskan Meilani yang juga belum kembali dari tempat dimana ia mengungkap segalanya.

Fall For You (Chapter 23)


DUA PULUH TIGA


“Gue jijik deh, ih, sama Altan tadi,” ujar Nela dengan mimik muka seperti orang sedang meminum jamu yang sangaaaaat pahit. Mengedikkan tubuhnya sambil menjulurkan lidahnya.
Meilani melirik pada Nela sekilas. Ia justru berharap tadi dia tidak melihatnya. Berharap kalau Nela dan Nurmala tidak mengajaknya untuk kembali ke kelas.
“Kita pindah tempat duduk lagi, yuk, Mel. Sumpah. Enek banget gue inget Altan tadi. Untung yang mergokin kita. Coba kalo guru? Pasti mereka—”

Thursday, April 11, 2013

Fall For You (Chapter 22)




DUA PULUH DUA


Saat dirasa waktu untuk menjenguk Altan sudah cukup. Telah memastikan bahwa dirinya baik-baik saja, sehingga sekarang Mrs. Ketie dan teman-temannya yang lain berpamitan untuk pulang. Termasuk juga Meilani.

Sejak mereka keluar dari pintu rumah Altan, Tika menjauhi Meilani. Sangat nyata bahwa ia tidak ingin berada didekat Meilani saat ini. Dan Meilani cukup sadar diri kalau Tika pasti tidak ingin mengantarnya pulang ke rumah. Jadi Meilani putuskan ia akan pulangsendiri ke rumahnya.

Template by:

Free Blog Templates