Thursday, November 15, 2012

Fall For You (Chapter 6)


Altan tengah bersandar di badan motor besarnya, kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana jeans hitamnya, menatap lurus-lurus ke arah dua orang yang sedang berjalan di pinggir lapangan. Sejenak, dimiringkan kepalanya ke kanan, dengan alis terangkat sebelah, dan menarik garis bibirnya ke atas.

Apa yang dia lihat???

Oh My God!
Dia hampir saja menyemburkan gelak tawanya, saat dua orang yang menangkap tatapan matanya, menunjukkan sikap yang sama. Melirik satu sama lain, lalu kemudian membuang tatapan mereka jauh-jauh dari dirinya.

HAHA! Kompak sekali mereka. Begitu batin Altan menanggapinya dengan terpingkal-pingkal.

Begitu kedua orang yang diamatinya keluar melewati gerbang, dengan segera ia membungkus badannya yang sudah terbalut dengan kaos putih berbahan katun dengan jaket jeans hitam yang senada dengan warna celana jeansnya. Kemudian ia berpamitan dengan cepat kepada teman-teman yang sedang berkumpul di dekatnya.



Sesampainya di jalanan dekat halte depan sekolah, Agi yang melihat dirinya sudah dijemput oleh seseorang yang bersembunyi di balik mobil sedan hitam di seberang jalan, langsung menggumamkan kata pamit untuk Meilani, dan Meilani membalasnya dengan tersenyum ramah. Setengah berlari, Agi menghampiri sedan hitam tersebut, membuka pintunya, lalu menoleh kepada Meilani dan melemparkan senyum manisnya. Meilani mengernyit sesaat, tapi diberikannya balasan untuk senyum bersahabat dari Agi dengan lambaian tangan yang semangat.

See? Begitu mudah kan mencari teman baru? Hanya dengan saling terbuka dan bersikap ramah satu sama lainnya, kalian akan mendapatkan hal yang baru untuk dapat saling mengerti dan memahami.

Meilani hampir saja mengeluarkan organ jantungnya saat sebuah suara keras menyentaknya di belakang. Setelah berteriak cukup keras dan sambil memegang dadanya, ia menoleh ke belakang, menggeram jengkel pada siapa yang dilihatnya. Ia tahu, Altan dengan sengaja menggeber motor besarnya saat dirinya berdiri di luar jalur trotoar depan halte.

Menutup sebentar kedua matanya untuk menetralisirkan rasa marah pada Altan karna sudah membuatnya kaget, Meilani membuka mulutnya untuk mengeluarkan beribu macam makian. Tapi sayang, ia telat sepersekian detik saat Altan menegur… umm… membentak dirinya dengan cukup dingin.

“Heh!! Lo kalo jalan tuh di trotoar, bukan disini!” matanya tajam melotot kearah Meilani. “Diserempet baru tau rasa lo,” desisnya sinis.

Meilani tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Altan. Apa? Siapa yang akan menyerempet dirinya? Oh, ya! Sudah pasti orang gila di depannya ini. “Al, mikir gak sih? Satu-satunya orang yang baru aja mau nyerempet gue tadi itu elo!” dengan intonasi nada yang benar-benar datar dan dibuat se-SABAR mungkin Meilani berucap. Memutar matanya dengan malas.

“Gue gak nyerempet lo.”

“Gue bilang MAU!”

“Nyatanya gue gak!” bentak Altan tak mau kalah. “gue gak nyerempet atau MAU nyerempet lo.”

Meilani membuang mukanya kearah lain dan bergumam, “Ya Tuhan… dosa apaaa manusia yang satu ini….” Dipalingkannya lagi mukanya kearah Altan. Menghela nafas keras, merasa frustasi.

“Jadi apa? Lo mau negur atau bilangin ke gue, kalo gue harusnya jalan di trotoar gitu? Okelah kalo niat lo itu. Tapi gak pake bikin jantung gue mau loncat, bisa?”

Altan mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Itu cara gue. Mau apa lo?” tantangnya.

Meilani tersenyum memaksa. “Oh, dengan senang hati gue pengen pake bangettt bunuh elo. Sekarang, detik ini juga kalo agama gue izinin.” menantang mata Altan dengan menaruh kedua telapak tangannya di pinggulnya, tolak pinggang. “Sekarang jauh-jauh deh lo dari pandangan gue! Emosi gue kalo liat lo.”

Altan menatap Meilani dalam diam. Bibirnya mengatup dengan keras. Salahkah caranya ini? Ia bingung jika dihadapkan dengan gadis yang satu ini. Butuh kesabaran dan kekuatan ekstra dalam menghadapinya. Bukan, bukan kesabaran atau kekuatan  yang dibutuhkannya, tetapi inovasi dan kreativitas dalam bertindak. Khusus untuk gadis special yang satu ini. Ia merasa harus menjadi orang yang berbeda. Untuk apa, Al?

Aha! Menarik perhatian mungkin?

Oh ? yang bener aja? Seorang Mahvin Altan Dilara yang selama ini gak pernah mencari perhatian sama sekali untuk mendapatkan seorang gadis, kini dengan gayanya berusaha untuk mencari perhatian? Orang yang selama hidupnya dicari perhatiannya oleh banyak gadis-gadis lain? Sekarang?

“Lo—”

Saat Altan ingin membalas perkataan Meilani, tepat saat itu juga, motor ninja berwarna hijau berhenti tepat 30 senti di depan mereka. Tadinya Altan tidak begitu perduli akan kedatangan orang tersebut dan berniat untuk melanjutkan kata-katanya yang tertunda, tapi baru saja perhatiannya kembali kepada Meilani, pemilik motor ninja tersebut sudah berada tepat di sebelah Meilani.

Altan mengernyit memandang cowok yang mengendarai motor ninja itu. Dia kenal betul siapa cowok ini. Siapa yang tidak mengenal seorang Zufar di Lagoon? Well, walaupun Altan mempunyai sikap yang agak cuek dengan lingkungan sekitarnya, tetapi dia masih tau mengenai orang yang berperan aktif dalam membuat nama sekolahnya cukup terkenal di Jakarta.

Yang menjadi pertanyaan dalam benak Altan adalah ada urusan apa dia ikut bergabung dengannya dan Meilani? Dilihatnya Meilani melongo menatap cowok itu. Apa Meilani kenal? Batinnya.

“Whoa! Untung lo masih di sini. Selamat deh masa depan gue,” seru Zufar dengan lega.

Meilani tak mengerti. Kenapa ini orang seneng banget liat dia disini? 

Baru saja meilani ingin berkomentar tentang kakak kelasnya yang tiba-tiba ada di sebelahnya ini, tetapi sudah dipotong dengan tarikan kecil di pergelangan tangan kirinya.

“Eh, makasih ya udah nahan nih anak disini. Gue utang budi sama lo,” ucap Zufar seraya menepuk bahu Altan sebanyak tiga kali. Zufar berucap dengan sungguh-sungguh seolah Altan telah menyelamatkan harta benda yang paling berharga miliknya dari kawanan pencuri atau bahkan pembunuh berdarah dingin.

Tak menghiraukan ucapan terima kasih dari Zufar, Altan malah memandang tajam pada pergelangan tangan Meilani yang digenggam erat oleh Zufar. Adakah yang terlewatkan olehnya?

“Ayo kita pulang,” ajak Zufar dengan mengedikkan dagunya ke arah motornya dan menarik Meilani.

 “Eh! Kak… ngapain?” tanya Meilani bingung. Menahan langkahnya sehingga mereka tidak bergerak sedikitpun. Alis Meilani menyatu di wajah cantiknya. Apa lagi ini? Kenapa banyak banget cowok yang menjengkelkan di sekitarnya? “Gak mau ah.”

“Ya nganter lo pulanglah! Emang lo mau disini terus aja gitu?” tanya Zufar menggeram. Ia menarik kembali tangan Meilani yang masih digenggamnya, dan kembali tertahan oleh orang yang sejak tadi tidak mengeluarkan suaranya sedikitpun.

“Tunggu!” Altan menahan lengan kanan Meilani. Matanya menatap tak suka pada tindakan Zufar barusan yang memaksa Meilani. “Lo gak bisa maksa dia kali.”

Secara reflek Zufar menarik kepalanya ke belakang. Merasa aneh dengan nada bicara Altan. Ia memiringkan kepalanya ke kanan, melebarkan matanya menatap Altan, bertanya melalui gerak wajahnya.

“Dia gak mau pulang sama lo,” desis Altan.

Zufar menyeringai geli. “Kata siapa?” tanyanya dengan nada geli yang tak bisa ditahannya. Dengan cepat ia merubah raut muka gelinya menjadi tak terbaca. “Lo emang siapa? Pacarnya aja bukan,” nada sinis terdengar dari ucapan Zufar ini.

“Gua emang bukan pacarnya, tapi gua tau dia gak mau di deket lo!” balas Altan dingin. Matanya menyipit ke arah Zufar dengan arogan. Apa-apaan kakak kelasnya ini? Mau mengajaknya bergelut? OH! Who’s scared?

“Oh ya?!”

Meilani melongo menatap dua orang di samping dan depannya ini. Mulutnya menganga lebar. Tak percaya bahwa keinginannya yang ia sampaikan pada Rere waktu di kantin dulu, sekarang benar-benar akan terwujud. Langsung di depan dirinya sendiri.

Dengan cepat ia harus menangani situasi di depannya saat ini. Tapi saat dirinya ingin berkonsentrasi pada apa yang terjadi, ia malah merasa geli mengingat perkataanya pada Rere dulu.

“Kapan ya gue bisa liat dua evil itu fight to fight, eh, face to face, deng.. Berantem ngerebutin kekuasaan atau adu kuat gitu?” ucapnya diselingi tawa geli.

Rere memutar matanya dan mencibir keinginan Meilani. “Kalo itu sampe terjadi Mel, mungkin dunia di bawah lo akan bergetar. Saking ngerinya ngeliat mereka berdua bertengkar.”

“Hahaha… gue rasa, hari itu gue akan jadi orang yang paling seneng di dunia. Soalnya gue bisa ngeliat pertunjukan menarik antar iblis-iblis utusan neraka, tanpa harus ada di neraka dulu. Hahahahhaha..”

“Iya, dan saat lo sadar lo lagi ngeliat iblis neraka berantem, saat itu juga lo pengen ada di neraka daripada deket-deket sama iblis neraka yang lagi berantem. Sangat. Mengerikan. Itu pasti.”

Meilani menyeringai. “Kita liat aja nanti. Hahahaha…”


Jadi sekarang apa yang harus dilakukannya? Memang sih, dua iblis di depannya ini belum beradu kekuatan seperti yang dibayangkannya. Mereka hanya saling menatap dengan tatapan dingin dan berkuasa. Hanya saling menatap pun, aura panas dalam diri mereka tersebar langsung di sekitar Meilani. Seolah tatapan saling membunuh itu akan mematikan segala sistem kehidupan yang ada. Menggelapkan cahaya matahari. Menghentikan hembusan angin di udara.

Sial! Ini seperti apa yang dibilang oleh Rere. Seketika, Meilani benar-benar ingin pergi dari tempat ini sekarang juga. Tempat ini terlalu panas untuk dirinya. Terlalu sedikit udara yang bisa dihirupnya. Astaga…

Ia menggigit bibir bawahnya. Menelan ludah pun kayaknya terlalu sulit untuknya saat ini. Suaranya tercekat dalam tenggorokannya yang tiba-tiba menjadi kering.

Zufar mengalihkan tatapannya ke arah Meilani. “Dia siapa lo sih? Belagu banget tampangnya,” tanya Zufar disertai cibiran sinis yang langsung keluar dalam kalimat terakhirnya. Zufar menunggu jawaban Meilani dengan tidak sabar. Dipelototinya Meilani yang hanya mengembungkan kedua pipinya.

Hey! Kenapa dengan Meilani? Bukannya ini yang diinginkannya?

Duh, Mel… mampus deh lo! tatapannya Zufar itu lebih keras daripada beton sekolah!

Menarik nafas dalam-dalam, Meilani mulai mengatur dirinya. Satu.. dua.. tiga.. Yap! Dirinya sudah kembali menjadi Meilani yang tak terpengaruh oleh keadaan sekitar. Ia kali ini mementingkan egonya kembali.

“Dia bukan siapa-siapa gue kak. Kenal aja enggak!” ujarnya lantang. Sekilas diliriknya Altan yang kini memandangnya dengan rahang yang mengeras, dan garis bibir yang tertekan ke dalam. Menahan emosi.

Zufar menarik kedua alisnya ke atas. Jawaban yang sangat menggelikan, pikirnya. “Eh, denger! Dia aja gak kenal sama lo. kok lo sewot, dia gua ajak pulang?” tanyanya seraya memberikan senyum miringnya.

Altan melemparkan pandangannya ke arah lain. Sedikit tertekan dengan sikap Meilani padanya yang tak pernah berubah. “Mel, lo becanda?” tanyanya sinis. Menantang Meilani dengan tatapannya yang penuh harap.

“Apa lo?” tantang Meilani. Dagunya terangkat ke atas. “Gue emang gak kenal sama lo. udah deehh, mending lo pergi aja dari hadapan gue.”

Zufar tersenyum lebar. Diletakkan lengan kanannya di bahu Meilani, sebagai ungkapan rasa bangga akan tindakannya barusan. “HAHA!!” tawanya mengejek. “Disuruh pergi tuh sama bidadari guee..”

Mendengarnya, Meilani dan Altan sama-sama menegang. Altan yang berfikir bahwa panggilan tersebut adalah panggilan sayangnya terhadap Meilani, yang itu artinya kalau mereka berdua sudah ‘taken’, sedangkan Meilani menganggap lelucon yang dibuat Zufar terlalu berlebihan.

Muka Meilani memerah dibuatnya. Masih dalam rangkulan lengan Zufar, Meilani mengerucutkan bibirnya, cemberut.

“Dia gak mau pergi kak. Kita aja yuk yang pergi?!” tawar Meilani pada Zufar. Dengan senang hati Zufar menerima ajakan Meilani.

Diacak-acaknya rambut Meilani saat rangkulannya sudah terlepas dari bahu Meilani dengan senyum lebar penuh kemenangan. “Yuk!?”

Detik berikutnya Zufar dan Meilani sudah enyah dari hadapan Altan yang hanya menatap kaku pada dua orang itu.

“Damn!” teriak Altan sambil meninju udara di depannya.


He takes your hand
I die a little
I watch your eyes
And I’m in riddles
Why can’t you look at me like that?
When you walk by
I try to say it
But then I freeze
And never do it
My tongue gets tied
The words get trapped
I hear the beat of my heart getting louder
Whenever I’m near you
But I see you with him slow dancing
Tearing me apart
Cause you don’t see
Whenever you kiss him
I’m breaking
Oh how I wish that was me….
(One Direction – I wish)


****


“Kak! Kok lo ada di sekolah sih hari minggu gini?” tanya Meilani setengah berteriak saat mereka berada dalam perjalanan pulang. Sebenernya gak usah teriak pun Zufar sudah tau apa yang akan dikatakan atau ditanyakan Meilani. Apa sih yang gak didengernya? Jeritan hati Meilani pun ia rasa bisa mendengarnya. Haha!

“Emangnya gak boleh gitu gua ada di sekolah walaupun lagi gak ada kegiatan sekolah?” katanya balik bertanya.

“Yeee… gak gitu juga! Gue kan heran aja. Sekolah aja lo jarang masuk, kan? Ini masa gak ada jadwal sekolah tau-tau lo ada di sekolah gitu. Aneh.”

Zufar memiringkan sedikit kepalanya agar bisa melihat Meilani yang berbicara tepat di pundak kanannya. “Gua tadi ada keperluan sebentar di sekitar situ, terus ngeliat lo lagi marah-marah, yaa gua samperin aja.”

Meilani mengangguk-anggukkan kepalanya. Seolah percaya pada alasan yang diberikan Zufar. Faktanya, ia masih merasa aneh akan kemunculan kakak kelasnya ini. Seingatnya, Rere pernah berkata padanya kalo kakaknya ini selalu menggunakan hari minggunya untuk pergi mencari tempat surfing yang menjadi hobinya, kecuali akhir-akhir ini sudah terlalu jarang. Apa mungkin….. ah!

“Eh, tuh cowok tadi siapa?” tanya Zufar saat mengingat kejadian beberapa menit yang lalu. Ia masih tidak percaya kalau Meilani tidak mengenal siapa cowok itu. Jelas-jelas ia melihat bahwa ada kilatan rindu dan harapan di mata cowok tadi.

“Itu Altan,” jawab Meilani spontanitas.

Zufar mengerutkan keningnya. Altan? Sepertinya ia pernah mendengar nama itu. Terdengar sangat familiar baginya. Tapi siapa si Altan itu?

“Altan?” tanyanya heran. “dia temen lo?”

Meilani mengangguk dan bergumam mengiyakan.

“Temen sekelas atau Cuma kenal doang?”

“Iya, sekelas,” jawabnya enggan.

“Bukan pacar atau mantan lo kan?” tanya Zufar penasaran. Perasaan takut dan cemburu menghantuinya.

Meilani memutar bola matanya, merasa jengah. “Dih! Ogah banget deh. kalopun di dunia ini cowok cuman dia atu-atunya, gue sih mending gausah pacaran sama sekali deh,” jawabnya sinis.

Jawaban yang didengarnya membuat bibir Zufar tertarik menjadi senyum menawan yang dimilikinya. Ia merasa lega mendengar perkataan Meilani barusan. Ini membuat kupu-kupu di perutnya menari-nari mengikuti irama musik yang menghentak-hentak dari jantungnya yang berdebar-debar. Oh My God!

“Terus tadi lo ngapain disitu sama dia?” Aduh! Pertanyaan Zufar ini udah kayak seorang pacar yang gak rela pacarnya deket-deket sama cowok lain aja deh! terlalu mengintrogasi. Udah kayak polisi aja.

Meilani mengedikkan bahu kanannya. “Tau tuh! Udah kek jangan bahas dia. Males gue. Ngomongin yang laen aja deh!” Meilani menatap ke sekelilingnya, mengecek dimana keberadaannya. Zufar membawa motornya dengan kecepatan sedang, dan saat ini juga Meilani baru menyadari bahwa ini sudah dekat dengan rumahnya. Kok Zufar tau kalo arah rumahnya lewat jalan ini? Pikirnya bingung.

“Kak lo tau daerah rumah gue atau lo tau rumah gue?” todongnya kepada Zufar.

“Dua-duanya,” jawabnya tenang.

“Kok bisa tauuu?? Lo stalker yaaa?!!!”

Dari balik helmnya Zufar menyeringai. Iya, katanya dalam hati.

“Yee… enak aja lo nuduh-nuduh! Rere cerita kalo rumah lo di daerah sini, terus waktu itu juga gua pernah liat lo lagi jalan di depan komplek depan sana tuh,” elaknya sambil menunjuk komplek perumahan di depan sana yang sebentar lagi akan di masuki oleh mereka.

“Sama aja! Lo kepo terus stalker.” Meilani tak mau kalah. “pasti lo nanya-nanya ke Rere rumah gue dimana. Iya kan? Huuu…”

“Serahlu deh!” mereka kini memasuki komplek tempat Meilani tinggal. “Rumah lo yang mana?” tanya Zufar sok-sok gak tau dimana rumah Meilani. Padahal dalam hatinya ia tertawa terbahak-bahak atas penyangkalan ke-KEPO-an dan ke-STALKER-an nya. Ckckckkck… muna banget sih lo, Far! Bahkan dengan mata tertutup pun lo udah apal banget dimana letak rumah Meilani. Tinggal letak kamar tidur sama kamar mandinya aja nih yang belom dia tau.

“Tuh yang pager item.”



***


Hari ini berlalu dengan sangat lambat. Meilani hampir mati kebosanan karenanya. Sudah dua jam terakhir kelasnya tidak ada guru sama sekali. Semua penghuni kelas sibuk mondar-mandir kesana-kemari untuk mengisi waktu kosong mereka karna Pak Deri berhalangan hadir dan kelas mereka mendapat tugas dari pak Deri yang dikirim melalui email.

Meilani mengeluarkan laptopnya dan tidak sampai lima belas menit tugasnya pun sudah selesai dikerjakan. Merasa amat sangat bosan, ia memutuskan untuk membaca novel yang dibawanya, dan dalam sekejap ia sudah tenggelam dalam nuansa cerita romantis dalam novel tersebut.

Renald yang menjadi ketua kelas tiba-tiba meminta perhatian kepada seluruh penghuni kelas yang sangat ramai. Ia baru saja kembali dari ruang kesiswaan setelah beberapa saat yang lalu selesai menghadiri rapat mendadak antar ketua kelas dengan wakil kesiswaan.

“Mohon perhatiannya, guys!” seru Renald dengan gayanya yang lumayan cool. Butuh waktu lama untuk menenangkan dan meminta perhatian dari kelas yang bisa dibilang mirip seperti pasar induk ini.

“Oke, thanks.” ucapnya saat seluruh teman sekelasnya sudah bisa diajak kompromi. “tadi gua disuruh nunjuk buat nyari perwakilan kelas untuk menghadiri acara di Hotel Ritz besok,” jelas Renald to the point.

Terdengar kasak-kusuk dari para penghuni kelas. “Acara apaan emangnya, Ren?”

“Siapa aja yang ditunjuk?”

“Kalo acaranya ngebete-in gue gak mau ikut ah!”

“Ssttt… tenang dulu rakyatku yang budiman!”ujar Renald berlagak bak Patih dari Kerajaan Antah Berantah. “ini acara seminar pendidikan yang diadain oleh Kedutaan Jerman. Terus buat siapa aja yang bakal ngewakilin kelas ini udah gue setor datanya ke Pak Iwan. Dan buat orang yang udah gue pilih gak usah protes lagi ya. Ini udah keputusan bersama.”

Seminar pendidikan? Huaa.. pasti boring banget deh, batin mereka semua. Semua orang di ruang kelas itu menatap dengan penuh harap ke arah Renald. Menunggu siapa yang akan menjadi orang yang beruntung untuk mengikuti acara seperti itu.

“Kelas ini kebagian enam orang buat ngewakilin acara itu. Dan nama yang gua sebut itu yang terpilih,” kata Renald sambil menyeringai ke seluruh penghuni kelas. “Detha, Vino, Zidan, Meilani, gue, dan … Altan.”

Sontak Altan menolehkan kepalanya saat ia sedang sibuk mengobrol dengan Laura. Matanya melebar tak percaya. Senyum tertahan muncul tanpa kentara di sudut bibirnya. Tadinya ia tak begitu perduli dengan acara menjengkelkan apapun itu namanya, tapi begitu mengetahui samar-samar kalo nama Meilani juga masuk dalam daftar peserta seminar, ia kini menjadi amat sangat begitu exciteddddd!!!

Sedangkan Meilani, ia tak mendengar sama sekali apa yang diucapkan oleh Reynald. Ia masih terhanyut oleh cerita yang sedang dibacanya. Ia baru sadar saat Rere menegurnya.

“Mel, lo ikut seminar tuh!” tegur Rere sambil menyenggol pelan bahu Meilani.

“Hmm—hah?” gumamnya malas.

“Itu tadi si Renald bilang katanya ada acara seminar pendidikan di Ritz, nah lo sama lima yang laennya ngewakilin kelas kita,” jelas Rere dengan sabar. Ia tahu banget kalo Meilani pasti sama sekali gak tertarik. Sudah bisa ditebak.

“Oh — sama siapa aja emang?” bisiknya. Matanya masih sibuk membaca tiap baris kata demi kata di novel yang sedang dibacanya.

Mata Rere memutar dan bibirnya mengerucut. Berusaha mengingat siapa saja yang tadi disebutkan oleh Reynald. “Umm… elo, Rey, Detha, Vino, Zidan sama Altan.”

“What?” pekik Meilani. Tadi siapa yang terakhir disebutin? Siapa siapa siapa??? Wahhh… males deh berurusan lagi sama Altan — walaupun Cuma acara seminar, tapi kannnn???

“Kenapa deh?” tanya Rere agak heran.

Meilani buru-buru menggeleng. “Gak, gapapa.. acaranya besok?”

“He’emm… kata Rey ngumpul disini, di sekolah. Enak lo gak belajar besok, sehari full rekreasi.”

Meilani melengos. “Yeehh, gue sih mending belajar aja deh disini, daripada … err … ikut seminar, apalagi ada …” ia mengedikkan dagunya ke arah meja Altan. Rere mengikuti arahan dari dagu Meilani. Ia mengerti, temannya ini udah kayak tikus sama kucing banget kalo udah ketemu. Ckckckck…

“Hahaha … sabar yaa, Mel!” ucap Rere terkiki-kikik. “segitunya banget lo sama tuh orang.”

Meilani menjulurkan lidahnya, tengil. “Bodo yeee!”



***


Keesokan harinya, murid-murid yang mewakili masing-masing kelas untuk menghadiri acara seminar pendidikan itu, sudah berkumpul membentuk barisan berkelompok menurut kelasnya masing-masing.

Di barisan pojok lapangan berdiri Meilani dan kawan-kawan teman sekelasnya yang menjadi perwakilan kelas, kecuali Altan. Ia sama sekali belum menampakkan batang hidungnya yang mancung itu, padahal jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan kurang. Mereka diberitahukan akan berangkat jam setengah delepan teng menuju Hotel Ritz.

Meilani memainkan kesepuluh jarinya, berharap cemas, semoga orang menyebalkan itu gak dateng, Ya Tuhan…

Terdengar suara Pak Iwan menggema di seluruh penjuru lapangan melalui pengeras suara. “Anak-anak lima menit lagi kita berangkat. Sudah tahu kan kelas kalian berada di bus yang mana?” tanyanya kepada anak-anak yang kali ini perhatiannya tertuju ke dirinya.

“Sudah, Paaaakk!!!” jawab anak-anak serentak.

“Bagus. Nah, bagi kalian yang membawa kenadaraan pribadi — seperti mobil, dan tidak ingin bergabung dengan bus sekolah, kalian bisa memakainya dan mengikuti bus sekolah dari belakang,” kata Pak Iwan menawarkan kepada murid-muridnya yang mungkin kurang nyaman jika harus berangkat dengan bus pribadi milik Lagoon High School. “tapi ingat! Harap konfirmasi terlebih dahulu jika diantara kalian ada yang ingin membawa kendaraan pribadi kalian. Dan sesampainya disana kalian akan tetap di absen, sehingga saya akan tahu jika kalian ada yang berkhianat dari kepercayaan yang sudah saya berikan. Mengerti?”

“Mengerti, Paaaakkk!!!”

“Baiklah sekarang kalian boleh menuju ke parkiran dan bersiap-siap.”

Sengan serempak semua barisan bubar dengan rapi ke parkiran. Tapi tidak dengan barisan kelas Meilani. Saat dirinya menghadap ke belakang dan bersiap-siap untuk melangkah menuju parkiran, detik itu juga langkahnya terhenti. Ia langsung melengos bosan sat dilihatnya Altan berdiri tepat di hadapannya.

“Kita naek mobil gue aja ya?” tawar Altan pada semua teman sekelasnya. Sebenernya kalo boleh jujur, tawaran ini hanya diperuntukkan untuk Meilani saja.

“Naek mobil lo? emang gapapa?” tanya Rey. Ia sih terserah yang lainnya mau kesana naik apa. Altan mengangguk dengan tegas. “gimana, guys?” tanya Rey, meminta pertimbangan dari yang lain.

“Gue sih ikut aja,” kata Zidan patuh.

“Iya gua juga,” Vino mengikuti.

“Umm… gue ikut Meilani aja deh! kalo Meilani ikut, ya, gue juga ikut. Masa iya gue nanti cewek sendirian,” gerutu Detha. “gimana, Mel?”

 Semua yang sedang berkumpul disitu pun menatap Meilani dengan alis terangkat. Dan Altan menunggu keputusan Meilani dengan menggigit bibir bawahnya. Ia tahu sangat susah untuk membujuk Meilani. Tapi mau bagaimana lagi? Bayangan itu… masa lalu itu… membuat dirinya menjadi panas dingin hanya dengan memikirkannya saja.

C’mon, Meeelll… desah Altan dalam hati.

Muka Meilani dipasang sedater mungkin. Ia tidak setuju dengan tawaran itu. Hah! Apalagi Altan yang menawarkannya. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak berdekat-dekatan dengan si Altan Altan itu… errrr….

“Gue mau naek bus sekolah aja. Terserah kalo lo mau pada naek apa kek. Intinya gue mau berangkat bareng anak-anak yang lainnya aja,” tandasnya final. Ia langsung melangkahkan kakinya, tapi sia-sia, lengannya ditahan oleh tangan Altan yang memenuhi seluruh diameter lengannya. Cukup kuat.

“Mel, please ikut mobil gue, ya?” pinta Altan dengan raut mukanya yang terlihat begitu frustasi. Sekelebat bayangan masa lalu itu muncul kembali, mengingat Meilani akan menaiki bus sekolah lagi. Cukup sudah pengalaman mengerikannya yang menjadikan seorang teman yang sangat berharga baginya kini menjauh darinya.

Meilani menyentak tangan Altan dengan kasar. “Apaan sih? Gue kan udah bilang, gue maunya ikut bus sekolah! Kalo lo sama yang lainnya mau pake mobil elo, ya silahkan, gue gak larang kok,” ucapnya setengah berteriak.

Rahang Altan mengeras, garis bibirnya tertekan ke dalam dan kedua tangannya bergerak menyusuri rambut hitamnya yang berantakan. Frustasi dengan ke-keras kepalaan Meilani. Ia menarik nafas dalam-dalam.

Diketatkannya kembali lengan Meilani, saat Meilani mulai melangkah menjauh dari dirinya. “Ya Tuhan, Mel! Nurut sama gue sekali-kali kenapa sih? Hah?!!” bentaknya kasar. “lo Cuma perlu ikut mobil gue dan duduk diem di dalemnya, sampe kita semua nyampe ke tempat tujuan! Simple, kan?”

Ditatapnya mata Meilani tajam. Tapi lagi-lagi Meilani menunjukan wajah polosnya, wajah datar andalannya. “Gak se-simple itu kalo sama lo!”

“Kenapa?”

Meilani memutar bola matanya jengah. “Yaa… ya, karna lo tuh nyebelin.”

“Cuma karna itu?” desis Altan. “Mel, lo tuh gak tau kalo lo tuh pernah—” ucapannya terpotong saat disadarinya Meilani tidak akan mengingatnya dan tak akan mempercayainya jika ia mengakatan apa yang menjadi latar belakang masalah pertengkaran mereka ini.

“Lo tuh… arrgghhhh!!! Terserah Mel, terserah kalo itu emang mau lo. gue gak bisa maksa orang yang punya kepala batu kayak lo gini.”

Meilani tertawa sumbang. “Emang itu mau gue. So?” ditariknya kedua alisnya ke atas. “mau lo paksa kek gimana pun, gue bakal tetep pada pendirian gue!”

Dengan langkah gontai Meilani membawa kaki-kakinya menuju parkiran, tempat dimana lima bus pribadi milik sekolah bertengger disana.

Altan menghembuskan nafas beratnya. Perdebatan kali ini cukup menguras emosinya. Kembali kesepuluh jari tangannya menyisir rambutnya, gusar. Kemudian, ditolehkan kepalanya pada teman-temannya yang menunggu dan menyaksikan perdebatan dirinya dan Meilani dengan mata membelalak.

“Kita ikut bus aja, guys!” putus Altan langsung pada teman-temannya.



#tecebok (Ooopss… hehhehe) #tebecek yaaaaaa :’D
MASSIVE thank you, guys!!!!
Kritiiiiiiikkkkkk, pleaseeee!!! ;;) xxx

0 comments:

Post a Comment