Altan
tengah bersandar di badan motor besarnya, kedua tangannya ia masukkan ke dalam
saku celana jeans hitamnya, menatap lurus-lurus ke arah dua orang yang sedang
berjalan di pinggir lapangan. Sejenak, dimiringkan kepalanya ke kanan, dengan
alis terangkat sebelah, dan menarik garis bibirnya ke atas.
Apa
yang dia lihat???
Oh
My God!
Dia hampir saja menyemburkan gelak tawanya, saat dua orang yang menangkap
tatapan matanya, menunjukkan sikap yang sama. Melirik satu sama lain, lalu
kemudian membuang tatapan mereka jauh-jauh dari dirinya.
HAHA!
Kompak sekali mereka. Begitu batin Altan menanggapinya dengan
terpingkal-pingkal.
Begitu
kedua orang yang diamatinya keluar melewati gerbang, dengan segera ia
membungkus badannya yang sudah terbalut dengan kaos putih berbahan katun dengan
jaket jeans hitam yang senada dengan warna celana jeansnya. Kemudian ia
berpamitan dengan cepat kepada teman-teman yang sedang berkumpul di dekatnya.
Sesampainya
di jalanan dekat halte depan sekolah, Agi yang melihat dirinya sudah dijemput
oleh seseorang yang bersembunyi di balik mobil sedan hitam di seberang jalan,
langsung menggumamkan kata pamit untuk Meilani, dan Meilani membalasnya dengan
tersenyum ramah. Setengah berlari, Agi menghampiri sedan hitam tersebut,
membuka pintunya, lalu menoleh kepada Meilani dan melemparkan senyum manisnya.
Meilani mengernyit sesaat, tapi diberikannya balasan untuk senyum bersahabat
dari Agi dengan lambaian tangan yang semangat.
See?
Begitu mudah kan mencari teman baru? Hanya dengan saling terbuka dan bersikap
ramah satu sama lainnya, kalian akan mendapatkan hal yang baru untuk dapat
saling mengerti dan memahami.
Meilani
hampir saja mengeluarkan organ jantungnya saat sebuah suara keras menyentaknya
di belakang. Setelah berteriak cukup keras dan sambil memegang dadanya, ia
menoleh ke belakang, menggeram jengkel pada siapa yang dilihatnya. Ia tahu,
Altan dengan sengaja menggeber motor besarnya saat dirinya berdiri di luar
jalur trotoar depan halte.
Menutup
sebentar kedua matanya untuk menetralisirkan rasa marah pada Altan karna sudah
membuatnya kaget, Meilani membuka mulutnya untuk mengeluarkan beribu macam
makian. Tapi sayang, ia telat sepersekian detik saat Altan menegur… umm…
membentak dirinya dengan cukup dingin.
“Heh!!
Lo kalo jalan tuh di trotoar, bukan disini!” matanya tajam melotot kearah
Meilani. “Diserempet baru tau rasa lo,” desisnya sinis.
Meilani
tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Altan. Apa? Siapa yang
akan menyerempet dirinya? Oh, ya! Sudah pasti orang gila di depannya ini. “Al,
mikir gak sih? Satu-satunya orang yang baru aja mau nyerempet gue tadi itu elo!”
dengan intonasi nada yang benar-benar datar dan dibuat se-SABAR mungkin Meilani
berucap. Memutar matanya dengan malas.
“Gue
gak nyerempet lo.”
“Gue
bilang MAU!”
“Nyatanya
gue gak!” bentak Altan tak mau kalah. “gue gak nyerempet atau MAU nyerempet
lo.”
Meilani
membuang mukanya kearah lain dan bergumam, “Ya Tuhan… dosa apaaa manusia yang
satu ini….” Dipalingkannya lagi mukanya kearah Altan. Menghela nafas keras,
merasa frustasi.
“Jadi
apa? Lo mau negur atau bilangin ke gue, kalo gue harusnya jalan di trotoar
gitu? Okelah kalo niat lo itu. Tapi gak pake bikin jantung gue mau loncat,
bisa?”
Altan
mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Itu cara gue. Mau apa lo?” tantangnya.
Meilani
tersenyum memaksa. “Oh, dengan senang hati gue pengen pake bangettt bunuh elo.
Sekarang, detik ini juga kalo agama gue izinin.” menantang mata Altan dengan
menaruh kedua telapak tangannya di pinggulnya, tolak pinggang. “Sekarang jauh-jauh
deh lo dari pandangan gue! Emosi gue kalo liat lo.”
Altan
menatap Meilani dalam diam. Bibirnya mengatup dengan keras. Salahkah caranya
ini? Ia bingung jika dihadapkan dengan gadis yang satu ini. Butuh kesabaran dan
kekuatan ekstra dalam menghadapinya. Bukan, bukan kesabaran atau kekuatan yang dibutuhkannya, tetapi inovasi dan
kreativitas dalam bertindak. Khusus untuk gadis special yang satu ini. Ia
merasa harus menjadi orang yang berbeda. Untuk apa, Al?
Aha!
Menarik perhatian mungkin?
Oh
? yang bener aja? Seorang Mahvin Altan Dilara yang selama ini gak pernah
mencari perhatian sama sekali untuk mendapatkan seorang gadis, kini dengan
gayanya berusaha untuk mencari perhatian? Orang yang selama hidupnya dicari
perhatiannya oleh banyak gadis-gadis lain? Sekarang?
“Lo—”
Saat
Altan ingin membalas perkataan Meilani, tepat saat itu juga, motor ninja
berwarna hijau berhenti tepat 30 senti di depan mereka. Tadinya Altan tidak
begitu perduli akan kedatangan orang tersebut dan berniat untuk melanjutkan
kata-katanya yang tertunda, tapi baru saja perhatiannya kembali kepada Meilani,
pemilik motor ninja tersebut sudah berada tepat di sebelah Meilani.
Altan
mengernyit memandang cowok yang mengendarai motor ninja itu. Dia kenal betul
siapa cowok ini. Siapa yang tidak mengenal seorang Zufar di Lagoon? Well,
walaupun Altan mempunyai sikap yang agak cuek dengan lingkungan sekitarnya,
tetapi dia masih tau mengenai orang yang berperan aktif dalam membuat nama
sekolahnya cukup terkenal di Jakarta.
Yang
menjadi pertanyaan dalam benak Altan adalah ada urusan apa dia ikut bergabung
dengannya dan Meilani? Dilihatnya Meilani melongo menatap cowok itu. Apa
Meilani kenal? Batinnya.
“Whoa!
Untung lo masih di sini. Selamat deh masa depan gue,” seru Zufar dengan lega.
Meilani
tak mengerti. Kenapa ini orang seneng banget liat dia disini?
Baru
saja meilani ingin berkomentar tentang kakak kelasnya yang tiba-tiba ada di
sebelahnya ini, tetapi sudah dipotong dengan tarikan kecil di pergelangan
tangan kirinya.
“Eh,
makasih ya udah nahan nih anak disini. Gue utang budi sama lo,” ucap Zufar
seraya menepuk bahu Altan sebanyak tiga kali. Zufar berucap dengan
sungguh-sungguh seolah Altan telah menyelamatkan harta benda yang paling
berharga miliknya dari kawanan pencuri atau bahkan pembunuh berdarah dingin.
Tak
menghiraukan ucapan terima kasih dari Zufar, Altan malah memandang tajam pada
pergelangan tangan Meilani yang digenggam erat oleh Zufar. Adakah yang
terlewatkan olehnya?
“Ayo
kita pulang,” ajak Zufar dengan mengedikkan dagunya ke arah motornya dan
menarik Meilani.
“Eh! Kak… ngapain?” tanya Meilani bingung.
Menahan langkahnya sehingga mereka tidak bergerak sedikitpun. Alis Meilani
menyatu di wajah cantiknya. Apa lagi ini? Kenapa banyak banget cowok yang
menjengkelkan di sekitarnya? “Gak mau ah.”
“Ya
nganter lo pulanglah! Emang lo mau disini terus aja gitu?” tanya Zufar
menggeram. Ia menarik kembali tangan Meilani yang masih digenggamnya, dan
kembali tertahan oleh orang yang sejak tadi tidak mengeluarkan suaranya
sedikitpun.
“Tunggu!”
Altan menahan lengan kanan Meilani. Matanya menatap tak suka pada tindakan
Zufar barusan yang memaksa Meilani. “Lo gak bisa maksa dia kali.”
Secara
reflek Zufar menarik kepalanya ke belakang. Merasa aneh dengan nada bicara
Altan. Ia memiringkan kepalanya ke kanan, melebarkan matanya menatap Altan,
bertanya melalui gerak wajahnya.
“Dia
gak mau pulang sama lo,” desis Altan.
Zufar
menyeringai geli. “Kata siapa?” tanyanya dengan nada geli yang tak bisa
ditahannya. Dengan cepat ia merubah raut muka gelinya menjadi tak terbaca. “Lo
emang siapa? Pacarnya aja bukan,” nada sinis terdengar dari ucapan Zufar ini.
“Gua
emang bukan pacarnya, tapi gua tau dia gak mau di deket lo!” balas Altan
dingin. Matanya menyipit ke arah Zufar dengan arogan. Apa-apaan kakak kelasnya
ini? Mau mengajaknya bergelut? OH! Who’s scared?
“Oh
ya?!”
Meilani
melongo menatap dua orang di samping dan depannya ini. Mulutnya menganga lebar.
Tak percaya bahwa keinginannya yang ia sampaikan pada Rere waktu di kantin dulu,
sekarang benar-benar akan terwujud. Langsung di depan dirinya sendiri.
Dengan
cepat ia harus menangani situasi di depannya saat ini. Tapi saat dirinya ingin
berkonsentrasi pada apa yang terjadi, ia malah merasa geli mengingat
perkataanya pada Rere dulu.
“Kapan ya gue bisa liat
dua evil itu fight to fight, eh, face to face, deng.. Berantem ngerebutin
kekuasaan atau adu kuat gitu?” ucapnya diselingi tawa geli.
Rere memutar matanya
dan mencibir keinginan Meilani. “Kalo itu sampe terjadi Mel, mungkin dunia di
bawah lo akan bergetar. Saking ngerinya ngeliat mereka berdua bertengkar.”
“Hahaha… gue rasa, hari
itu gue akan jadi orang yang paling seneng di dunia. Soalnya gue bisa ngeliat
pertunjukan menarik antar iblis-iblis utusan neraka, tanpa harus ada di neraka
dulu. Hahahahhaha..”
“Iya, dan saat lo sadar
lo lagi ngeliat iblis neraka berantem, saat itu juga lo pengen ada di neraka
daripada deket-deket sama iblis neraka yang lagi berantem. Sangat. Mengerikan.
Itu pasti.”
Meilani menyeringai.
“Kita liat aja nanti. Hahahaha…”
Jadi
sekarang apa yang harus dilakukannya? Memang sih, dua iblis di depannya ini
belum beradu kekuatan seperti yang dibayangkannya. Mereka hanya saling menatap
dengan tatapan dingin dan berkuasa. Hanya saling menatap pun, aura panas dalam
diri mereka tersebar langsung di sekitar Meilani. Seolah tatapan saling
membunuh itu akan mematikan segala sistem kehidupan yang ada. Menggelapkan
cahaya matahari. Menghentikan hembusan angin di udara.
Sial!
Ini seperti apa yang dibilang oleh Rere. Seketika, Meilani benar-benar ingin
pergi dari tempat ini sekarang juga. Tempat ini terlalu panas untuk dirinya.
Terlalu sedikit udara yang bisa dihirupnya. Astaga…
Ia
menggigit bibir bawahnya. Menelan ludah pun kayaknya terlalu sulit untuknya
saat ini. Suaranya tercekat dalam tenggorokannya yang tiba-tiba menjadi kering.
Zufar
mengalihkan tatapannya ke arah Meilani. “Dia siapa lo sih? Belagu banget
tampangnya,” tanya Zufar disertai cibiran sinis yang langsung keluar dalam
kalimat terakhirnya. Zufar menunggu jawaban Meilani dengan tidak sabar.
Dipelototinya Meilani yang hanya mengembungkan kedua pipinya.
Hey!
Kenapa dengan Meilani? Bukannya ini yang diinginkannya?
Duh,
Mel… mampus deh lo! tatapannya Zufar itu lebih keras daripada beton sekolah!
Menarik
nafas dalam-dalam, Meilani mulai mengatur dirinya. Satu.. dua.. tiga.. Yap!
Dirinya sudah kembali menjadi Meilani yang tak terpengaruh oleh keadaan
sekitar. Ia kali ini mementingkan egonya kembali.
“Dia
bukan siapa-siapa gue kak. Kenal aja enggak!” ujarnya lantang. Sekilas
diliriknya Altan yang kini memandangnya dengan rahang yang mengeras, dan garis
bibir yang tertekan ke dalam. Menahan emosi.
Zufar
menarik kedua alisnya ke atas. Jawaban yang sangat menggelikan, pikirnya. “Eh,
denger! Dia aja gak kenal sama lo. kok lo sewot, dia gua ajak pulang?” tanyanya
seraya memberikan senyum miringnya.
Altan
melemparkan pandangannya ke arah lain. Sedikit tertekan dengan sikap Meilani
padanya yang tak pernah berubah. “Mel, lo becanda?” tanyanya sinis. Menantang
Meilani dengan tatapannya yang penuh harap.
“Apa
lo?” tantang Meilani. Dagunya terangkat ke atas. “Gue emang gak kenal sama lo.
udah deehh, mending lo pergi aja dari hadapan gue.”
Zufar
tersenyum lebar. Diletakkan lengan kanannya di bahu Meilani, sebagai ungkapan
rasa bangga akan tindakannya barusan. “HAHA!!” tawanya mengejek. “Disuruh pergi
tuh sama bidadari guee..”
Mendengarnya,
Meilani dan Altan sama-sama menegang. Altan yang berfikir bahwa panggilan
tersebut adalah panggilan sayangnya terhadap Meilani, yang itu artinya kalau
mereka berdua sudah ‘taken’, sedangkan Meilani menganggap lelucon yang dibuat
Zufar terlalu berlebihan.
Muka
Meilani memerah dibuatnya. Masih dalam rangkulan lengan Zufar, Meilani mengerucutkan
bibirnya, cemberut.
“Dia
gak mau pergi kak. Kita aja yuk yang pergi?!” tawar Meilani pada Zufar. Dengan
senang hati Zufar menerima ajakan Meilani.
Diacak-acaknya
rambut Meilani saat rangkulannya sudah terlepas dari bahu Meilani dengan senyum
lebar penuh kemenangan. “Yuk!?”
Detik
berikutnya Zufar dan Meilani sudah enyah dari hadapan Altan yang hanya menatap
kaku pada dua orang itu.
“Damn!”
teriak Altan sambil meninju udara di depannya.
He
takes your hand
I
die a little
I
watch your eyes
And
I’m in riddles
Why
can’t you look at me like that?
When
you walk by
I
try to say it
But
then I freeze
And
never do it
My
tongue gets tied
The
words get trapped
I
hear the beat of my heart getting louder
Whenever
I’m near you
But
I see you with him slow dancing
Tearing
me apart
Cause
you don’t see
Whenever
you kiss him
I’m
breaking
Oh
how I wish that was me….
(One
Direction – I wish)
****
“Kak!
Kok lo ada di sekolah sih hari minggu gini?” tanya Meilani setengah berteriak
saat mereka berada dalam perjalanan pulang. Sebenernya gak usah teriak pun
Zufar sudah tau apa yang akan dikatakan atau ditanyakan Meilani. Apa sih yang
gak didengernya? Jeritan hati Meilani pun ia rasa bisa mendengarnya. Haha!
“Emangnya
gak boleh gitu gua ada di sekolah walaupun lagi gak ada kegiatan sekolah?”
katanya balik bertanya.
“Yeee…
gak gitu juga! Gue kan heran aja. Sekolah aja lo jarang masuk, kan? Ini masa
gak ada jadwal sekolah tau-tau lo ada di sekolah gitu. Aneh.”
Zufar
memiringkan sedikit kepalanya agar bisa melihat Meilani yang berbicara tepat di
pundak kanannya. “Gua tadi ada keperluan sebentar di sekitar situ, terus
ngeliat lo lagi marah-marah, yaa gua samperin aja.”
Meilani
mengangguk-anggukkan kepalanya. Seolah percaya pada alasan yang diberikan
Zufar. Faktanya, ia masih merasa aneh akan kemunculan kakak kelasnya ini.
Seingatnya, Rere pernah berkata padanya kalo kakaknya ini selalu menggunakan
hari minggunya untuk pergi mencari tempat surfing yang menjadi hobinya, kecuali
akhir-akhir ini sudah terlalu jarang. Apa mungkin….. ah!
“Eh,
tuh cowok tadi siapa?” tanya Zufar saat mengingat kejadian beberapa menit yang
lalu. Ia masih tidak percaya kalau Meilani tidak mengenal siapa cowok itu.
Jelas-jelas ia melihat bahwa ada kilatan rindu dan harapan di mata cowok tadi.
“Itu
Altan,” jawab Meilani spontanitas.
Zufar
mengerutkan keningnya. Altan? Sepertinya ia pernah mendengar nama itu.
Terdengar sangat familiar baginya. Tapi siapa si Altan itu?
“Altan?”
tanyanya heran. “dia temen lo?”
Meilani
mengangguk dan bergumam mengiyakan.
“Temen
sekelas atau Cuma kenal doang?”
“Iya,
sekelas,” jawabnya enggan.
“Bukan
pacar atau mantan lo kan?” tanya Zufar penasaran. Perasaan takut dan cemburu
menghantuinya.
Meilani
memutar bola matanya, merasa jengah. “Dih! Ogah banget deh. kalopun di dunia
ini cowok cuman dia atu-atunya, gue sih mending gausah pacaran sama sekali
deh,” jawabnya sinis.
Jawaban
yang didengarnya membuat bibir Zufar tertarik menjadi senyum menawan yang
dimilikinya. Ia merasa lega mendengar perkataan Meilani barusan. Ini membuat
kupu-kupu di perutnya menari-nari mengikuti irama musik yang menghentak-hentak
dari jantungnya yang berdebar-debar. Oh My God!
“Terus
tadi lo ngapain disitu sama dia?” Aduh! Pertanyaan Zufar ini udah kayak seorang
pacar yang gak rela pacarnya deket-deket sama cowok lain aja deh! terlalu
mengintrogasi. Udah kayak polisi aja.
Meilani
mengedikkan bahu kanannya. “Tau tuh! Udah kek jangan bahas dia. Males gue.
Ngomongin yang laen aja deh!” Meilani menatap ke sekelilingnya, mengecek dimana
keberadaannya. Zufar membawa motornya dengan kecepatan sedang, dan saat ini
juga Meilani baru menyadari bahwa ini sudah dekat dengan rumahnya. Kok Zufar
tau kalo arah rumahnya lewat jalan ini? Pikirnya bingung.
“Kak
lo tau daerah rumah gue atau lo tau rumah gue?” todongnya kepada Zufar.
“Dua-duanya,”
jawabnya tenang.
“Kok
bisa tauuu?? Lo stalker yaaa?!!!”
Dari
balik helmnya Zufar menyeringai. Iya, katanya dalam hati.
“Yee…
enak aja lo nuduh-nuduh! Rere cerita kalo rumah lo di daerah sini, terus waktu
itu juga gua pernah liat lo lagi jalan di depan komplek depan sana tuh,”
elaknya sambil menunjuk komplek perumahan di depan sana yang sebentar lagi akan
di masuki oleh mereka.
“Sama
aja! Lo kepo terus stalker.” Meilani tak mau kalah. “pasti lo nanya-nanya ke
Rere rumah gue dimana. Iya kan? Huuu…”
“Serahlu
deh!” mereka kini memasuki komplek tempat Meilani tinggal. “Rumah lo yang
mana?” tanya Zufar sok-sok gak tau dimana rumah Meilani. Padahal dalam hatinya
ia tertawa terbahak-bahak atas penyangkalan ke-KEPO-an dan ke-STALKER-an nya.
Ckckckkck… muna banget sih lo, Far! Bahkan dengan mata tertutup pun lo udah
apal banget dimana letak rumah Meilani. Tinggal letak kamar tidur sama kamar
mandinya aja nih yang belom dia tau.
“Tuh
yang pager item.”
***
Hari
ini berlalu dengan sangat lambat. Meilani hampir mati kebosanan karenanya.
Sudah dua jam terakhir kelasnya tidak ada guru sama sekali. Semua penghuni
kelas sibuk mondar-mandir kesana-kemari untuk mengisi waktu kosong mereka karna
Pak Deri berhalangan hadir dan kelas mereka mendapat tugas dari pak Deri yang
dikirim melalui email.
Meilani
mengeluarkan laptopnya dan tidak sampai lima belas menit tugasnya pun sudah
selesai dikerjakan. Merasa amat sangat bosan, ia memutuskan untuk membaca novel
yang dibawanya, dan dalam sekejap ia sudah tenggelam dalam nuansa cerita
romantis dalam novel tersebut.
Renald
yang menjadi ketua kelas tiba-tiba meminta perhatian kepada seluruh penghuni
kelas yang sangat ramai. Ia baru saja kembali dari ruang kesiswaan setelah beberapa
saat yang lalu selesai menghadiri rapat mendadak antar ketua kelas dengan wakil
kesiswaan.
“Mohon
perhatiannya, guys!” seru Renald
dengan gayanya yang lumayan cool. Butuh waktu lama untuk menenangkan dan
meminta perhatian dari kelas yang bisa dibilang mirip seperti pasar induk ini.
“Oke,
thanks.” ucapnya saat seluruh teman sekelasnya sudah bisa diajak kompromi.
“tadi gua disuruh nunjuk buat nyari perwakilan kelas untuk menghadiri acara di
Hotel Ritz besok,” jelas Renald to the point.
Terdengar
kasak-kusuk dari para penghuni kelas. “Acara apaan emangnya, Ren?”
“Siapa
aja yang ditunjuk?”
“Kalo
acaranya ngebete-in gue gak mau ikut ah!”
“Ssttt…
tenang dulu rakyatku yang budiman!”ujar Renald berlagak bak Patih dari Kerajaan
Antah Berantah. “ini acara seminar pendidikan yang diadain oleh Kedutaan
Jerman. Terus buat siapa aja yang bakal ngewakilin kelas ini udah gue setor
datanya ke Pak Iwan. Dan buat orang yang udah gue pilih gak usah protes lagi
ya. Ini udah keputusan bersama.”
Seminar
pendidikan? Huaa.. pasti boring banget deh, batin mereka semua. Semua orang di
ruang kelas itu menatap dengan penuh harap ke arah Renald. Menunggu siapa yang
akan menjadi orang yang beruntung untuk mengikuti acara seperti itu.
“Kelas
ini kebagian enam orang buat ngewakilin acara itu. Dan nama yang gua sebut itu
yang terpilih,” kata Renald sambil menyeringai ke seluruh penghuni kelas.
“Detha, Vino, Zidan, Meilani, gue, dan … Altan.”
Sontak
Altan menolehkan kepalanya saat ia sedang sibuk mengobrol dengan Laura. Matanya
melebar tak percaya. Senyum tertahan muncul tanpa kentara di sudut bibirnya.
Tadinya ia tak begitu perduli dengan acara menjengkelkan apapun itu namanya,
tapi begitu mengetahui samar-samar kalo nama Meilani juga masuk dalam daftar
peserta seminar, ia kini menjadi amat sangat begitu exciteddddd!!!
Sedangkan
Meilani, ia tak mendengar sama sekali apa yang diucapkan oleh Reynald. Ia masih
terhanyut oleh cerita yang sedang dibacanya. Ia baru sadar saat Rere
menegurnya.
“Mel,
lo ikut seminar tuh!” tegur Rere sambil menyenggol pelan bahu Meilani.
“Hmm—hah?”
gumamnya malas.
“Itu
tadi si Renald bilang katanya ada acara seminar pendidikan di Ritz, nah lo sama
lima yang laennya ngewakilin kelas kita,” jelas Rere dengan sabar. Ia tahu
banget kalo Meilani pasti sama sekali gak tertarik. Sudah bisa ditebak.
“Oh
— sama siapa aja emang?” bisiknya. Matanya masih sibuk membaca tiap baris kata
demi kata di novel yang sedang dibacanya.
Mata
Rere memutar dan bibirnya mengerucut. Berusaha mengingat siapa saja yang tadi
disebutkan oleh Reynald. “Umm… elo, Rey, Detha, Vino, Zidan sama Altan.”
“What?”
pekik Meilani. Tadi siapa yang terakhir disebutin? Siapa siapa siapa??? Wahhh…
males deh berurusan lagi sama Altan — walaupun Cuma acara seminar, tapi
kannnn???
“Kenapa
deh?” tanya Rere agak heran.
Meilani
buru-buru menggeleng. “Gak, gapapa.. acaranya besok?”
“He’emm…
kata Rey ngumpul disini, di sekolah. Enak lo gak belajar besok, sehari full
rekreasi.”
Meilani
melengos. “Yeehh, gue sih mending belajar aja deh disini, daripada … err … ikut
seminar, apalagi ada …” ia mengedikkan dagunya ke arah meja Altan. Rere
mengikuti arahan dari dagu Meilani. Ia mengerti, temannya ini udah kayak tikus
sama kucing banget kalo udah ketemu. Ckckckck…
“Hahaha
… sabar yaa, Mel!” ucap Rere terkiki-kikik. “segitunya banget lo sama tuh
orang.”
Meilani
menjulurkan lidahnya, tengil. “Bodo yeee!”
***
Keesokan
harinya, murid-murid yang mewakili masing-masing kelas untuk menghadiri acara
seminar pendidikan itu, sudah berkumpul membentuk barisan berkelompok menurut
kelasnya masing-masing.
Di
barisan pojok lapangan berdiri Meilani dan kawan-kawan teman sekelasnya yang
menjadi perwakilan kelas, kecuali Altan. Ia sama sekali belum menampakkan
batang hidungnya yang mancung itu, padahal jam sudah menunjukkan pukul setengah
delapan kurang. Mereka diberitahukan akan berangkat jam setengah delepan teng
menuju Hotel Ritz.
Meilani
memainkan kesepuluh jarinya, berharap cemas, semoga orang menyebalkan itu gak
dateng, Ya Tuhan…
Terdengar
suara Pak Iwan menggema di seluruh penjuru lapangan melalui pengeras suara.
“Anak-anak lima menit lagi kita berangkat. Sudah tahu kan kelas kalian berada
di bus yang mana?” tanyanya kepada anak-anak yang kali ini perhatiannya tertuju
ke dirinya.
“Sudah,
Paaaakk!!!” jawab anak-anak serentak.
“Bagus.
Nah, bagi kalian yang membawa kenadaraan pribadi — seperti mobil, dan tidak
ingin bergabung dengan bus sekolah, kalian bisa memakainya dan mengikuti bus
sekolah dari belakang,” kata Pak Iwan menawarkan kepada murid-muridnya yang
mungkin kurang nyaman jika harus berangkat dengan bus pribadi milik Lagoon High
School. “tapi ingat! Harap konfirmasi terlebih dahulu jika diantara kalian ada
yang ingin membawa kendaraan pribadi kalian. Dan sesampainya disana kalian akan
tetap di absen, sehingga saya akan tahu jika kalian ada yang berkhianat dari
kepercayaan yang sudah saya berikan. Mengerti?”
“Mengerti,
Paaaakkk!!!”
“Baiklah
sekarang kalian boleh menuju ke parkiran dan bersiap-siap.”
Sengan
serempak semua barisan bubar dengan rapi ke parkiran. Tapi tidak dengan barisan
kelas Meilani. Saat dirinya menghadap ke belakang dan bersiap-siap untuk
melangkah menuju parkiran, detik itu juga langkahnya terhenti. Ia langsung
melengos bosan sat dilihatnya Altan berdiri tepat di hadapannya.
“Kita
naek mobil gue aja ya?” tawar Altan pada semua teman sekelasnya. Sebenernya
kalo boleh jujur, tawaran ini hanya diperuntukkan untuk Meilani saja.
“Naek
mobil lo? emang gapapa?” tanya Rey. Ia sih terserah yang lainnya mau kesana
naik apa. Altan mengangguk dengan tegas. “gimana, guys?” tanya Rey, meminta
pertimbangan dari yang lain.
“Gue
sih ikut aja,” kata Zidan patuh.
“Iya
gua juga,” Vino mengikuti.
“Umm…
gue ikut Meilani aja deh! kalo Meilani ikut, ya, gue juga ikut. Masa iya gue
nanti cewek sendirian,” gerutu Detha. “gimana, Mel?”
Semua yang sedang berkumpul disitu pun menatap
Meilani dengan alis terangkat. Dan Altan menunggu keputusan Meilani dengan
menggigit bibir bawahnya. Ia tahu sangat susah untuk membujuk Meilani. Tapi mau
bagaimana lagi? Bayangan itu… masa lalu itu… membuat dirinya menjadi panas
dingin hanya dengan memikirkannya saja.
C’mon,
Meeelll… desah Altan dalam hati.
Muka
Meilani dipasang sedater mungkin. Ia tidak setuju dengan tawaran itu. Hah!
Apalagi Altan yang menawarkannya. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk
tidak berdekat-dekatan dengan si Altan Altan itu… errrr….
“Gue
mau naek bus sekolah aja. Terserah kalo lo mau pada naek apa kek. Intinya gue
mau berangkat bareng anak-anak yang lainnya aja,” tandasnya final. Ia langsung
melangkahkan kakinya, tapi sia-sia, lengannya ditahan oleh tangan Altan yang
memenuhi seluruh diameter lengannya. Cukup kuat.
“Mel,
please ikut mobil gue, ya?” pinta Altan dengan raut mukanya yang terlihat
begitu frustasi. Sekelebat bayangan masa lalu itu muncul kembali, mengingat
Meilani akan menaiki bus sekolah lagi. Cukup sudah pengalaman mengerikannya
yang menjadikan seorang teman yang sangat berharga baginya kini menjauh
darinya.
Meilani
menyentak tangan Altan dengan kasar. “Apaan sih? Gue kan udah bilang, gue
maunya ikut bus sekolah! Kalo lo sama yang lainnya mau pake mobil elo, ya
silahkan, gue gak larang kok,” ucapnya setengah berteriak.
Rahang
Altan mengeras, garis bibirnya tertekan ke dalam dan kedua tangannya bergerak
menyusuri rambut hitamnya yang berantakan. Frustasi dengan ke-keras kepalaan
Meilani. Ia menarik nafas dalam-dalam.
Diketatkannya
kembali lengan Meilani, saat Meilani mulai melangkah menjauh dari dirinya. “Ya
Tuhan, Mel! Nurut sama gue sekali-kali kenapa sih? Hah?!!” bentaknya kasar. “lo
Cuma perlu ikut mobil gue dan duduk diem di dalemnya, sampe kita semua nyampe
ke tempat tujuan! Simple, kan?”
Ditatapnya
mata Meilani tajam. Tapi lagi-lagi Meilani menunjukan wajah polosnya, wajah
datar andalannya. “Gak se-simple itu kalo sama lo!”
“Kenapa?”
Meilani
memutar bola matanya jengah. “Yaa… ya, karna lo tuh nyebelin.”
“Cuma
karna itu?” desis Altan. “Mel, lo tuh gak tau kalo lo tuh pernah—” ucapannya
terpotong saat disadarinya Meilani tidak akan mengingatnya dan tak akan mempercayainya
jika ia mengakatan apa yang menjadi latar belakang masalah pertengkaran mereka
ini.
“Lo
tuh… arrgghhhh!!! Terserah Mel, terserah kalo itu emang mau lo. gue gak bisa
maksa orang yang punya kepala batu kayak lo gini.”
Meilani
tertawa sumbang. “Emang itu mau gue. So?” ditariknya kedua alisnya ke atas.
“mau lo paksa kek gimana pun, gue bakal tetep pada pendirian gue!”
Dengan
langkah gontai Meilani membawa kaki-kakinya menuju parkiran, tempat dimana lima
bus pribadi milik sekolah bertengger disana.
Altan
menghembuskan nafas beratnya. Perdebatan kali ini cukup menguras emosinya.
Kembali kesepuluh jari tangannya menyisir rambutnya, gusar. Kemudian, ditolehkan
kepalanya pada teman-temannya yang menunggu dan menyaksikan perdebatan dirinya
dan Meilani dengan mata membelalak.
“Kita
ikut bus aja, guys!” putus Altan langsung pada teman-temannya.
#tecebok
(Ooopss… hehhehe) #tebecek yaaaaaa :’D
MASSIVE
thank you, guys!!!!
Kritiiiiiiikkkkkk,
pleaseeee!!! ;;) xxx
0 comments:
Post a Comment