Friday, November 23, 2012

Fall For You (Chapter 7)


Dengan wajah yang terlihat gelisah dan ragu-ragu, Altan mengikuti Meilani naik ke dalam bus berwarna abu-abu putih, dengan berhiaskan logo Lagoon High School di kedua sisi badan bus. Altan berharap bahwa perjalanannya kali ini akan berjalan dengan lancar dan membawanya beserta yang lainnya sampai tujuan.
Saat menaiki bus, ia menyempatkan untuk melirik sang supir. Bayangan kejadian naas itu muncul kembali dengan sendirinya…


___***___***___***___

“Den Avin kok lama banget keluar dari kelasnya? Yang lain udah pada nungguin, mau pulang, mamang juga udah agak pusing ini, den, dari tadi,” ucap Mang Engkus. Supir bus sekolah Tirta Utama Elementary School.
Saat itu mereka  sudah hampir satu jam menunggu Avin keluar dari kelasnya. Banyak anak yang sudah protes agar mereka pulang duluan saja dan meninggalkan Avin, tapi Mang Engkus sudah diamanatkan oleh pihak sekolah untuk menunggu anak yang satu itu. Sebenarnya tidak usah diprotes pun, ia ingin sekali segera mengantarkan bocah-bocah itu pulang ke rumah. Ia sudah merasa tidak enak badan dan matanya terasa buram berkunang-kunang, ditambah teriakan bocah-bocah yang sudah tidak sabar untuk cepat pulang. Terasa akan pecah detik itu juga kepalanya Mang Engkus.
“Siapa suruh nungguin aku. Pulang duluan kan bisa,” kata Avin ketus. Ia dibantu Mang Engkus naik ke dalam bus. Mang Engkus tak menghiraukan ucapan Avin yang bisa dibilang tidak menghormati dan punya sopan santun sama sekali pada dirinya. Ia hanya ingin cepat-cepat menempatkan bocah-bocah yang berisik dan tidak bisa diam itu ke rumah mereka masing-masing, setelah itu ia bisa dengan tenang beristirahat dan tidur untuk menetralisir rasa pusingnya.
Avin merangkak cepat ke tempat dimana ia biasa duduk. Ia tersenyum lebar saat ia melihat gadis kecil nan imut yang sepantaran dengannya sudah duduk tenang dipojok kanan.
Gadis imut itu mendongakkan kepalanya menatap sosok teman se-bisnya yang sudah sedari tadi ditunggunya, ia mengalihkan kesibukkannya saat sedang membaca komik Sailormoon volume ke-7 untuk menyapa satu-satunya teman yang paling akrab dengannya di bus itu.
“Lama banget kamu, Vin. Ngapain sih?” tanyanya lugu dan ada nada bosan dalam suaranya. “Aku tau kamu udah keluar dari tadi, kan?”
Avin makin tersenyum lebar. Inilah alasan ia masih tetap menggunakan jasa bus sekolah untuk menjemput dan mengantarnya pulang sekolah. Karena ada gadis imut ini —karena ada Meila. Padahal perjanjiannya dan mamanya hanya sampai sang mama menemukan pengganti Mang Ujang menemukan supir baru, dan pada saat mamanya sudah menemukan penggantinya, ternyata Avin sudah terlanjur nyaman dengan bus antar-jemput sekolah. Terlanjur nyaman berteman dengan Meila.
“Tadi aku ke atap dulu. Nih, mau ngambil ini nih..” ujarnya sambil menunjukkan sebuah boneka yang terbuat dari kayu berbentuk seperti manusia. Badan kayu yang ukurannya lebih besar itu ditempel kayu lainnya yang ukurannya agak kecil di kedua sisi kayu —terlihat seperti tangan, dan kayu pipih lainnya berada dibagian bawah kayu yang terlihat seperti kaki. Kayu itu sepertinya baru diberi cat dasar berwarna putih. Sepertinya Avin ingin membuat sosok manusia tiga dimensi dari kayu itu, tepatnya boneka kayu. Hanya tinggal diberi ukiran berbentuk wajah dan diberi cat lagi, maka akan menjadi sebuah karya indah dari sebuah kayu biasa.
“Ini tadi lagi dijemur di atap. Pas aku mau ambil ternyata belom kering, yaudah aku tungguin sampe kering.” Meila mengambil kayu itu dari telapak tangan Avin, ingin mencoba mengamatinya.
“Hmm… pantes kamu lama banget! Eh tapi ini bagus, Vin. Kamu yang buat?” tanya Meila sambil melirik Avin yang berada disebelahnya.
“Iya dooong… tapi ini belom jadi,” terang Avin. Meila mengangguk tanda setuju. Ia juga tahu kalau karya kayu tiga dimensi ini belum selesai sepenuhnya.
“Buat siapa nih? Buat aku yaaaa???” pinta Meila dengan trik andalannya, memasang tampang paling imut dan menggemaskan dengan mata yang berbinar-binar. Lesung pipinya terlihat saat ia menarik kedua pipi chubby-nya membentuk senyuman.
Avin menjulurkan lidahnya kearah Meila, lalu merebut kembali hasil karyanya itu, “wooo.. ini belom jadi. Nanti aja kalo udah selesai aku gambar, baru deh aku kasih ke kamu.”
Meila yang merasa tidak berhasil membujuk Avin untuk memberikannya boneka kayu itu berganti memasang tampang cemberut. Memonyongkan bibirnya ke depan dan mengalihkan tatapannya dari Avin pada komik yang berada dalam pangkuannya. Membuka komiknya dan berpura-pura membacanya.
Avin tertawa terbahak-bahak. Ini juga alasan mengapa ia memilih bus sekolah. Ia suka menggoda atau meledek Meila, seperti saat ini.
Avin kemudian menjawil dagu Meila, menggoda gadis imut itu lagi. “Cieee, marah nih yee sama Avin..”
“Siapa yang marah,” elak Meila dengan memasang ekspresi tak perduli, “aku ngambek tau.”
“Oh, ngambek. Yaudah kalo Meila ngambek ntar boneka kayunya buat Avin aja… hahaha” ucap Avin diikuti gelak tawa.
Meila tak bereaksi apa-apa, ia tetap bergelut dengan komiknya dan menghiraukan Avin. Saat Avin ingin merebut komik itu dari tangan Meila, tiba-tiba saja terdengar suara Mang Engkus yang menggeram kesakitan dan semua anak-anak yang berada di dalam mobil itu pun ikut berteriak panik.
Sakit kepala Mang Engkus yang sudah tak tertahankan mengakibatkan dirinya hilang kesadaran dan kemudi bus itu menjadi tak terkendali. Bus itu berjalan tak tentu arah, tak ada yang bisa mengemudikannya. Sampai saat yang tak terduga, bus itu menabrakan diri pada trotoar tengah jalan dan terguling-guling sepanjang dua meter, bahkan bus tersebut sampai keluar jalur dan menabrak 2 pengendara sepeda motor dan satu mobil yang bagian sampingnya penyok ke dalam.
Warga sekitar yang berada di dekat tempat kejadian langsung mengerubungi bus, motor dan mobil yang menjadi korban dari tabrakan beruntun itu. Mereka mencoba untuk menyelamatkan semua korban yang ada di dalamnya.
Saat pintu bus dibuka dan mereka mencoba mengeluarkan delapan orang siswa yang berada di dalamnya tak sadarkan diri dan mengalami luka berat, banyak darah bercucuran di sekitar pelipis anak-anak itu akibat benturan keras saat bus terguling di jalan —tak terkecuali Meila dan Avin. Dan parahnya, hanya Mang Engkus yang meninggal di tempat kejadian kecelakaan itu.
Mereka dengan segera membawa para korban ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan medis.
Beruntung sebagian anak-anak itu hanya mengalami luka parah dan retak pada tulang di bagian kaki dan tangan mereka. Tapi yang membuat mereka sedih akibat kecelakaan itu adalah Meila yang tak juga sadarkan diri. Bahkan sudah lebih dari seminggu sejak kecelakaan itu terjadi. Akhirnya keluarganya membawanya ke rumah sakit di Singapura untuk pengobatan yang lebih intensif.
Avin yang mendengar bahwa Meila belum sadarkan diri dan dibawa ke luar negeri sangat terpukul akan kejadian ini. Ia mengasumsikan ini semua salahnya. Salahnya karena terlambat untuk bergegas pulang dengan bus yang sudah menunggunya. Salahnya karena menyebabkan Mang Engkus menahan rasa sakit di kepala saat sedang menunggunya. Salahnya karena ia tak bisa menjaga Meila saat kecelakaan itu terjadi. Salahnya karena pada saat itu ia membuat Meila marah dan belum sempat meminta maaf.
Sejak saat itu, ia tak pernah melihat Meila kembali ke sekolah. Dan sejak saat itu pula ia benci dan takut untuk naik bus —apapun jenis bus itu, dan ia benci di supiri. Ia tak pernah disupiri oleh orang lain, selain orang tuanya. Jadi, selama ia belum bisa mengendarai mobil sendiri, ia selalu diantar oleh orang tuanya, kemanapun ia pergi.

___***___***___***___

Rahang Altan mengeras. Dengan setengah hati ia melawan rasa takutnya untuk berada dalam bus ini, dan berjalan ke arah tempat duduk yang sudah diatur tempatnya sesuai dengan nama yang sudah di labelkan nama masing-masing murid di kursi penumpang.
Meilani menggeram tak suka saat ia menemukan namanya bersebelahan dengan nama Altan. Ia ingin bertukar tempat duduk dengan yang lain, tapi Altan dengan sengaja mendorongnya masuk ke bagian kursi paling pojok dan ia menjatuhkan dirinya sendiri di sebelah Meilani. Mengunci Meilani agar tak berada jauh dari jangkauannya. Ia ingin menyelamatkan Meilani, jika kali ini terjadi…
“Duduk aja distu, gak pake protes-protes!” kata Altan dengan memberikan tatapan tajam pada Meilani yang melongo terhadap perlakuannya barusan.
“Nyuruh duduk sih nyuruh duduk, tapi gak usah pake dorong-dorong kali,” gerutu Meilani, “dasar jahat,” cibirnya kemudian.
Altan tak menghiraukan gerutuan Meilani. Ia sibuk menata adrenalinnya untuk berperang melawan ketakutan terbesarnya selama ini. Tangannya menjadi dingin dan telapaknya menjadi basah karna rasa gugup yang menjalar disekitar tubuhnya. Keringat menetes di pelipisnya. Bisakah dia?
Altan ingin sekali menyeret Meilani keluar dari dalam bus ini. Ia khawatir akan terjadi kembali kejadian yang paling mengerikan di hidupnya.
Bus mulai berjalan beriringan dengan bus-bus yang lainnya. Altan bersandar pada kursinya dan memejamkan matanya, merapalkan kalimat yang bisa menenangkannya.

Tenang Altan… tenang… Ya Tuhan, jangan terjadi apa-apa…

Meilani melirik Altan yang sedang memejamkan matanya. Merasa aneh dengan sikap Altan. Kalau diperhatikan sepertinya ia tidak suka dan.. takut?
Meilani mengernyitkan keningnya. Dasar aneh, cibirnya sambil mendengus.
“Gue tau lo lagi perhatiin gue,” ucap Altan tiba-tiba. Ia membuka matanya dan menemukan Meilani tergagap-gagap dengan reaksi Altan yang tiba-tiba itu. Seulas senyum terpatri di wajah Altan.
“Gausah Ke-gr-an deh lo.”
“Emang bener, kan? Buktinya lo kayak Aziz Gagap gitu, hahaha..”
Meilani memutar matanya pada Altan, “ha ha!” mengejek Altan dengan tawa garingnya.
Meilani memutuskan untuk menghiraukan keberadaan Altan dan mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Beberapa menit kemudia, tiba-tiba bus mereka berhenti mendadak karena injakan pada pedal rem secara tiba-tiba. Seluruh penumpang terbentur pada kursi di depannya dan berteriak mengaduh kesakitan. Terdengar sang supir menyumpahi kendaraan yang hampir saja ditabraknya.
Saat itu juga jantung Altan berpacu berkali-kali lipat. Ia berdiri tergesa dari kursi duduknya. “Shit! Ini yang gua khawatirin.” Dengan sekali sentakan, Altan menarik Meilani keluar dari kursinya dan menyeretnya berjalan ke bagian depan bus. “ayo keluar, Mel.”
Meilani meronta dalam genggaman tangan Altan yang membuat pergelangan tangannya terasa sakit. Ia memaki dan menyumpahi Altan dengan segala kata-kata yang terjangkau dalam kosakata terburuknya. “Lepasiiiiinnn.”
Penumpang bus yang lain mendongakkan kepala mereka untuk melihat apa yang sedang terjadi, bahkan ada yang berdiri dari kursi mereka. Altan tetap menyeret Meilani. Ia menyuruh sang supir untuk menghentikan perjalanan mereka. Guru yang menjadi pendamping di dalam bus tersebut pun sudah mencoba untuk menahan Altan, tapi sia-sia, karena Altan sama sekali tak menghiraukan ancaman dari guru itu.
Ia menyentak Meilani untuk mengikutinya keluar dari bus. Meilani meringis kesakitan pada pergelangan tangannya yang sudah mulai terlihat memerah. Ia tidak mengerti apa yang menyebabkan Altan begitu ingin mengajaknya keluar dari bus ini. Hanya karna hampir menabrak pengendara yang lain, ia seperti kesurupan seperti ini??? Oh my God!
“Altan sakiiiiittt,” erang Meilani. Altan menariknya seperti orang yang hilang arah. Pergi menjauh dari bus, dan membawa Meilani ke sebuah taman di dekat situ.
Altan berbalik dan menatap Meilani yang meringis. Kemudian ia melepaskan pergelangan tangan Meilani dan bergumam meminta maaf.
Meilani hampir menangis akan perlakuan kasar Altan padanya. Altan juga sudah mempermalukannya di depan siswa yang lainnya saat di bus tadi. Ia meniup-niup pergelangannya untuk mengurangi rasa perih pada tangannya yang berbekas kemerahan itu.
“Mel, sorry banget Mel… gue.. gue Cuma mau nyelametin lo aja kok,” ujar Altan dengan rasa bersalah.
“Nyelametin apanya?! Lo udah nyakitin gue, sialan!” bentak Meilani kasar. Suaranya berubah menjadi parau akibat menahan sakit dan menahan tangis.
Altan menangkup dagu Meilani, “Percaya sama gue. Kali ini gue nyelametin lo, Mel.”
Memandang Altan dengan mata yang terbakar, Meilani menyentak tangan Altan dari dagunya. Ia benar-benar marah pada Altan. Apa-apaan seenaknya saja menyeret dirinya dengan paksa seperti tadi?!
“Pergi lo! jangan urusin gue,” Meilani dengan mantap melangkah menjauh dari Altan, tapi lengannya kini kembali di tarik oleh Altan.
“Tunggu! Gue obatin dulu tangan lo itu,” katanya lembut.
“Gak perlu!”
Altan kembali menyentak Meilani ke arah pohon di dekat mereka berdiri. Mengurung Meilani dalam dekapan badan tinggi berisinya, dengan tangan yang menahan lengan Meilani memberontak dalam kungkungannnya.
Altan menatap pada mata milik Meilani. Menelusuri lekuk-lekuk wajah Meilani yang dekat, yang terjangkau dari bola matanya.
Meilani menahan nafas atas tindakan Altan yang membuatnya terkejut seperti ini. Jujur,ia sangat sangat terkejut dan kini merasakan jantungnya berpacu dengan keras. Ia menyumpahi dalam hati tindakan Altan ini. Entah kenapa sekarang ia susah untuk mengeluarkan kata-kata.
Altan menyandarkan dahinya pada dahi milik Meilani. Ia menikmati Meilani yang terpenjara dalam dekapannya. Ia menikmati ekspresi Meilani yang melebarkan matanya dengan waspada. Ia menikmati Meilani yang lumpuh atas perlakuannya. Ia menikmati Meilani yang menahan nafasnya seperti saat ini.
Dan ia menikmati Meilani yang tak memberontak atas perlakuannya kali ini. Dengan cepat Altan mengeluarkan BlackBerry miliknya, menghubungi seseorang disana. Tangan kirinya masih memegang erat lengan Meilani. Dan posisi mereka tak berubah sama sekali.
“Halo, Bang Ujo, bawain mobil ke taman di daerah Kemanggisan… ya, sekarang.. cepet!”
Altan menutup telponnya, memasukkan BlackBerry nya ke dalam saku celananya dan menatap Meilani kembali. Menyeringai sebagai bentuk kemenangan dan kesenangan.
Meilani berkedip dua kali menatap Altan. Astaga… dia sanggup menahan nafas selama ini?
“Nafas Meilani…” ujar Altan parau.

0 comments:

Post a Comment