Dengan wajah yang terlihat gelisah dan ragu-ragu, Altan
mengikuti Meilani naik ke dalam bus berwarna abu-abu putih, dengan berhiaskan
logo Lagoon High School di kedua sisi badan bus. Altan berharap bahwa
perjalanannya kali ini akan berjalan dengan lancar dan membawanya beserta yang
lainnya sampai tujuan.
Saat menaiki bus, ia menyempatkan untuk melirik sang supir.
Bayangan kejadian naas itu muncul kembali dengan sendirinya…
___***___***___***___
“Den Avin kok lama banget keluar dari kelasnya? Yang lain
udah pada nungguin, mau pulang, mamang juga udah agak pusing ini, den, dari
tadi,” ucap Mang Engkus. Supir bus sekolah Tirta Utama Elementary School.
Saat itu mereka sudah
hampir satu jam menunggu Avin keluar dari kelasnya. Banyak anak yang sudah
protes agar mereka pulang duluan saja dan meninggalkan Avin, tapi Mang Engkus
sudah diamanatkan oleh pihak sekolah untuk menunggu anak yang satu itu.
Sebenarnya tidak usah diprotes pun, ia ingin sekali segera mengantarkan
bocah-bocah itu pulang ke rumah. Ia sudah merasa tidak enak badan dan matanya
terasa buram berkunang-kunang, ditambah teriakan bocah-bocah yang sudah tidak
sabar untuk cepat pulang. Terasa akan pecah detik itu juga kepalanya Mang
Engkus.
“Siapa suruh nungguin aku. Pulang duluan kan bisa,” kata
Avin ketus. Ia dibantu Mang Engkus naik ke dalam bus. Mang Engkus tak
menghiraukan ucapan Avin yang bisa dibilang tidak menghormati dan punya sopan
santun sama sekali pada dirinya. Ia hanya ingin cepat-cepat menempatkan
bocah-bocah yang berisik dan tidak bisa diam itu ke rumah mereka masing-masing,
setelah itu ia bisa dengan tenang beristirahat dan tidur untuk menetralisir
rasa pusingnya.
Avin merangkak cepat ke tempat dimana ia biasa duduk. Ia
tersenyum lebar saat ia melihat gadis kecil nan imut yang sepantaran dengannya
sudah duduk tenang dipojok kanan.
Gadis imut itu mendongakkan kepalanya menatap sosok teman
se-bisnya yang sudah sedari tadi ditunggunya, ia mengalihkan kesibukkannya saat
sedang membaca komik Sailormoon volume ke-7 untuk menyapa satu-satunya teman
yang paling akrab dengannya di bus itu.
“Lama banget kamu, Vin. Ngapain sih?” tanyanya lugu dan ada
nada bosan dalam suaranya. “Aku tau kamu udah keluar dari tadi, kan?”
Avin makin tersenyum lebar. Inilah alasan ia masih tetap
menggunakan jasa bus sekolah untuk menjemput dan mengantarnya pulang sekolah. Karena
ada gadis imut ini —karena ada Meila. Padahal perjanjiannya dan mamanya hanya
sampai sang mama menemukan pengganti Mang Ujang menemukan supir baru, dan pada
saat mamanya sudah menemukan penggantinya, ternyata Avin sudah terlanjur nyaman
dengan bus antar-jemput sekolah. Terlanjur nyaman berteman dengan Meila.
“Tadi aku ke atap dulu. Nih, mau ngambil ini nih..” ujarnya
sambil menunjukkan sebuah boneka yang terbuat dari kayu berbentuk seperti
manusia. Badan kayu yang ukurannya lebih besar itu ditempel kayu lainnya yang
ukurannya agak kecil di kedua sisi kayu —terlihat seperti tangan, dan kayu
pipih lainnya berada dibagian bawah kayu yang terlihat seperti kaki. Kayu itu sepertinya
baru diberi cat dasar berwarna putih. Sepertinya Avin ingin membuat sosok
manusia tiga dimensi dari kayu itu, tepatnya boneka kayu. Hanya tinggal diberi
ukiran berbentuk wajah dan diberi cat lagi, maka akan menjadi sebuah karya
indah dari sebuah kayu biasa.
“Ini tadi lagi dijemur di atap. Pas aku mau ambil ternyata
belom kering, yaudah aku tungguin sampe kering.” Meila mengambil kayu itu dari
telapak tangan Avin, ingin mencoba mengamatinya.
“Hmm… pantes kamu lama banget! Eh tapi ini bagus, Vin. Kamu
yang buat?” tanya Meila sambil melirik Avin yang berada disebelahnya.
“Iya dooong… tapi ini belom jadi,” terang Avin. Meila
mengangguk tanda setuju. Ia juga tahu kalau karya kayu tiga dimensi ini belum
selesai sepenuhnya.
“Buat siapa nih? Buat aku yaaaa???” pinta Meila dengan trik
andalannya, memasang tampang paling imut dan menggemaskan dengan mata yang
berbinar-binar. Lesung pipinya terlihat saat ia menarik kedua pipi chubby-nya
membentuk senyuman.
Avin menjulurkan lidahnya kearah Meila, lalu merebut kembali
hasil karyanya itu, “wooo.. ini belom jadi. Nanti aja kalo udah selesai aku
gambar, baru deh aku kasih ke kamu.”
Meila yang merasa tidak berhasil membujuk Avin untuk
memberikannya boneka kayu itu berganti memasang tampang cemberut. Memonyongkan
bibirnya ke depan dan mengalihkan tatapannya dari Avin pada komik yang berada
dalam pangkuannya. Membuka komiknya dan berpura-pura membacanya.
Avin tertawa terbahak-bahak. Ini juga alasan mengapa ia
memilih bus sekolah. Ia suka menggoda atau meledek Meila, seperti saat ini.
Avin kemudian menjawil dagu Meila, menggoda gadis imut itu
lagi. “Cieee, marah nih yee sama Avin..”
“Siapa yang marah,” elak Meila dengan memasang ekspresi tak
perduli, “aku ngambek tau.”
“Oh, ngambek. Yaudah kalo Meila ngambek ntar boneka kayunya
buat Avin aja… hahaha” ucap Avin diikuti gelak tawa.
Meila tak bereaksi apa-apa, ia tetap bergelut dengan
komiknya dan menghiraukan Avin. Saat Avin ingin merebut komik itu dari tangan
Meila, tiba-tiba saja terdengar suara Mang Engkus yang menggeram kesakitan dan
semua anak-anak yang berada di dalam mobil itu pun ikut berteriak panik.
Sakit kepala Mang Engkus yang sudah tak tertahankan
mengakibatkan dirinya hilang kesadaran dan kemudi bus itu menjadi tak
terkendali. Bus itu berjalan tak tentu arah, tak ada yang bisa mengemudikannya.
Sampai saat yang tak terduga, bus itu menabrakan diri pada trotoar tengah jalan
dan terguling-guling sepanjang dua meter, bahkan bus tersebut sampai keluar
jalur dan menabrak 2 pengendara sepeda motor dan satu mobil yang bagian
sampingnya penyok ke dalam.
Warga sekitar yang berada di dekat tempat kejadian langsung
mengerubungi bus, motor dan mobil yang menjadi korban dari tabrakan beruntun
itu. Mereka mencoba untuk menyelamatkan semua korban yang ada di dalamnya.
Saat pintu bus dibuka dan mereka mencoba mengeluarkan
delapan orang siswa yang berada di dalamnya tak sadarkan diri dan mengalami
luka berat, banyak darah bercucuran di sekitar pelipis anak-anak itu akibat
benturan keras saat bus terguling di jalan —tak terkecuali Meila dan Avin. Dan
parahnya, hanya Mang Engkus yang meninggal di tempat kejadian kecelakaan itu.
Mereka dengan segera membawa para korban ke rumah sakit
terdekat untuk mendapatkan perawatan medis.
Beruntung sebagian anak-anak itu hanya mengalami luka parah
dan retak pada tulang di bagian kaki dan tangan mereka. Tapi yang membuat
mereka sedih akibat kecelakaan itu adalah Meila yang tak juga sadarkan diri.
Bahkan sudah lebih dari seminggu sejak kecelakaan itu terjadi. Akhirnya
keluarganya membawanya ke rumah sakit di Singapura untuk pengobatan yang lebih
intensif.
Avin yang mendengar bahwa Meila belum sadarkan diri dan
dibawa ke luar negeri sangat terpukul akan kejadian ini. Ia mengasumsikan ini
semua salahnya. Salahnya karena terlambat untuk bergegas pulang dengan bus yang
sudah menunggunya. Salahnya karena menyebabkan Mang Engkus menahan rasa sakit
di kepala saat sedang menunggunya. Salahnya karena ia tak bisa menjaga Meila
saat kecelakaan itu terjadi. Salahnya karena pada saat itu ia membuat Meila
marah dan belum sempat meminta maaf.
Sejak saat itu, ia tak pernah melihat Meila kembali ke
sekolah. Dan sejak saat itu pula ia benci dan takut untuk naik bus —apapun
jenis bus itu, dan ia benci di supiri. Ia tak pernah disupiri oleh orang lain,
selain orang tuanya. Jadi, selama ia belum bisa mengendarai mobil sendiri, ia
selalu diantar oleh orang tuanya, kemanapun ia pergi.
___***___***___***___
Rahang Altan mengeras. Dengan setengah hati ia melawan rasa
takutnya untuk berada dalam bus ini, dan berjalan ke arah tempat duduk yang
sudah diatur tempatnya sesuai dengan nama yang sudah di labelkan nama
masing-masing murid di kursi penumpang.
Meilani menggeram tak suka saat ia menemukan namanya
bersebelahan dengan nama Altan. Ia ingin bertukar tempat duduk dengan yang
lain, tapi Altan dengan sengaja mendorongnya masuk ke bagian kursi paling pojok
dan ia menjatuhkan dirinya sendiri di sebelah Meilani. Mengunci Meilani agar
tak berada jauh dari jangkauannya. Ia ingin menyelamatkan Meilani, jika kali
ini terjadi…
“Duduk aja distu, gak pake protes-protes!” kata Altan dengan
memberikan tatapan tajam pada Meilani yang melongo terhadap perlakuannya
barusan.
“Nyuruh duduk sih nyuruh duduk, tapi gak usah pake
dorong-dorong kali,” gerutu Meilani, “dasar jahat,” cibirnya kemudian.
Altan tak menghiraukan gerutuan Meilani. Ia sibuk menata
adrenalinnya untuk berperang melawan ketakutan terbesarnya selama ini.
Tangannya menjadi dingin dan telapaknya menjadi basah karna rasa gugup yang
menjalar disekitar tubuhnya. Keringat menetes di pelipisnya. Bisakah dia?
Altan ingin sekali menyeret Meilani keluar dari dalam bus
ini. Ia khawatir akan terjadi kembali kejadian yang paling mengerikan di
hidupnya.
Bus mulai berjalan beriringan dengan bus-bus yang lainnya.
Altan bersandar pada kursinya dan memejamkan matanya, merapalkan kalimat yang
bisa menenangkannya.
Tenang Altan… tenang… Ya Tuhan, jangan terjadi apa-apa…
Meilani melirik Altan yang sedang memejamkan matanya. Merasa
aneh dengan sikap Altan. Kalau diperhatikan sepertinya ia tidak suka dan..
takut?
Meilani mengernyitkan keningnya. Dasar aneh, cibirnya sambil
mendengus.
“Gue tau lo lagi perhatiin gue,” ucap Altan tiba-tiba. Ia
membuka matanya dan menemukan Meilani tergagap-gagap dengan reaksi Altan yang
tiba-tiba itu. Seulas senyum terpatri di wajah Altan.
“Gausah Ke-gr-an deh lo.”
“Emang bener, kan? Buktinya lo kayak Aziz Gagap gitu,
hahaha..”
Meilani memutar matanya pada Altan, “ha ha!” mengejek Altan
dengan tawa garingnya.
Meilani memutuskan untuk menghiraukan keberadaan Altan dan
mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Beberapa menit kemudia, tiba-tiba bus
mereka berhenti mendadak karena injakan pada pedal rem secara tiba-tiba.
Seluruh penumpang terbentur pada kursi di depannya dan berteriak mengaduh
kesakitan. Terdengar sang supir menyumpahi kendaraan yang hampir saja
ditabraknya.
Saat itu juga jantung Altan berpacu berkali-kali lipat. Ia
berdiri tergesa dari kursi duduknya. “Shit!
Ini yang gua khawatirin.” Dengan sekali sentakan, Altan menarik Meilani keluar
dari kursinya dan menyeretnya berjalan ke bagian depan bus. “ayo keluar, Mel.”
Meilani meronta dalam genggaman tangan Altan yang membuat
pergelangan tangannya terasa sakit. Ia memaki dan menyumpahi Altan dengan
segala kata-kata yang terjangkau dalam kosakata terburuknya. “Lepasiiiiinnn.”
Penumpang bus yang lain mendongakkan kepala mereka untuk
melihat apa yang sedang terjadi, bahkan ada yang berdiri dari kursi mereka.
Altan tetap menyeret Meilani. Ia menyuruh sang supir untuk menghentikan
perjalanan mereka. Guru yang menjadi pendamping di dalam bus tersebut pun sudah
mencoba untuk menahan Altan, tapi sia-sia, karena Altan sama sekali tak
menghiraukan ancaman dari guru itu.
Ia menyentak Meilani untuk mengikutinya keluar dari bus.
Meilani meringis kesakitan pada pergelangan tangannya yang sudah mulai terlihat
memerah. Ia tidak mengerti apa yang menyebabkan Altan begitu ingin mengajaknya
keluar dari bus ini. Hanya karna hampir menabrak pengendara yang lain, ia
seperti kesurupan seperti ini??? Oh my God!
“Altan sakiiiiittt,” erang Meilani. Altan menariknya seperti
orang yang hilang arah. Pergi menjauh dari bus, dan membawa Meilani ke sebuah
taman di dekat situ.
Altan berbalik dan menatap Meilani yang meringis. Kemudian
ia melepaskan pergelangan tangan Meilani dan bergumam meminta maaf.
Meilani hampir menangis akan perlakuan kasar Altan padanya.
Altan juga sudah mempermalukannya di depan siswa yang lainnya saat di bus tadi.
Ia meniup-niup pergelangannya untuk mengurangi rasa perih pada tangannya yang
berbekas kemerahan itu.
“Mel, sorry banget Mel… gue.. gue Cuma mau nyelametin lo aja
kok,” ujar Altan dengan rasa bersalah.
“Nyelametin apanya?! Lo udah nyakitin gue, sialan!” bentak
Meilani kasar. Suaranya berubah menjadi parau akibat menahan sakit dan menahan
tangis.
Altan menangkup dagu Meilani, “Percaya sama gue. Kali ini
gue nyelametin lo, Mel.”
Memandang Altan dengan mata yang terbakar, Meilani menyentak
tangan Altan dari dagunya. Ia benar-benar marah pada Altan. Apa-apaan seenaknya
saja menyeret dirinya dengan paksa seperti tadi?!
“Pergi lo! jangan urusin gue,” Meilani dengan mantap
melangkah menjauh dari Altan, tapi lengannya kini kembali di tarik oleh Altan.
“Tunggu! Gue obatin dulu tangan lo itu,” katanya lembut.
“Gak perlu!”
Altan kembali menyentak Meilani ke arah pohon di dekat
mereka berdiri. Mengurung Meilani dalam dekapan badan tinggi berisinya, dengan
tangan yang menahan lengan Meilani memberontak dalam kungkungannnya.
Altan menatap pada mata milik Meilani. Menelusuri
lekuk-lekuk wajah Meilani yang dekat, yang terjangkau dari bola matanya.
Meilani menahan nafas atas tindakan Altan yang membuatnya
terkejut seperti ini. Jujur,ia sangat sangat terkejut dan kini merasakan
jantungnya berpacu dengan keras. Ia menyumpahi dalam hati tindakan Altan ini. Entah
kenapa sekarang ia susah untuk mengeluarkan kata-kata.
Altan menyandarkan dahinya pada dahi milik Meilani. Ia menikmati
Meilani yang terpenjara dalam dekapannya. Ia menikmati ekspresi Meilani yang
melebarkan matanya dengan waspada. Ia menikmati Meilani yang lumpuh atas
perlakuannya. Ia menikmati Meilani yang menahan nafasnya seperti saat ini.
Dan ia menikmati Meilani yang tak memberontak atas
perlakuannya kali ini. Dengan cepat Altan mengeluarkan BlackBerry miliknya,
menghubungi seseorang disana. Tangan kirinya masih memegang erat lengan
Meilani. Dan posisi mereka tak berubah sama sekali.
“Halo, Bang Ujo, bawain mobil ke taman di daerah Kemanggisan…
ya, sekarang.. cepet!”
Altan menutup telponnya, memasukkan BlackBerry nya ke dalam
saku celananya dan menatap Meilani kembali. Menyeringai sebagai bentuk
kemenangan dan kesenangan.
Meilani berkedip dua kali menatap Altan. Astaga… dia sanggup
menahan nafas selama ini?
“Nafas Meilani…” ujar Altan parau.
0 comments:
Post a Comment