“Bener-bener
hari yang sial!” gerutu gue. Gue menghempaskan tubuh gue di sofa hitam yang
emang ada di dalam kamar gue. Emang hari ini bener-bener sial parah! Dimulai
dari gue yang terlambat ke sekolah, dibikin jengkel sama satpam cengengesan,
diberi petuah sama Voldemort—dalam hal ini yang gue maksud itu Bu Berty—,
sebangku sama cowok gak punya perasaan, kelaparan, kemudian pingsan, setelah
sadar malah ditinggal pulang sama si cowok gak punya perasaan itu, pulang ke
rumah
dalam keadaan tragis—muka pucet, bibir pecah-pecah dan susah buang air
besar—, karna gue gak kuat harus desak-desakan diangkot terpaksalah gue pulang
naik taksi—ini sama aja pemborosan—, sampe di rumah gak ada orang... eh, ada
ding, ada Mbok Yeni… tapi emangnya dia bisa gue ajak curhat? Nyambung juga
kagak kalo gue ngobrol sama dia-_-
Hah! Hidup gue emang hapless banget, ya?
Ngomong-ngomong
soal pingsan, gue jadi inget kalo tadi pas gue pingsan, gue sempet mimpi
tentang Kak Edo sama adiknya yang tengil bernama Eja. Ya ampuuunn, mereka
sekarang tinggal dimana, ya? Gue kangen!
Dulu
waktu gue masih kecil, cuma mereka temen gue yang paling deket dan akrab sama
gue. Iya, gue sama mereka akrab sejak kejadian pemberian batu sapphire blue
itu. Sejak Kak Edo ngasih sapphire blue-nya ke gue di Taman waktu itu—tapi
direbut sama Eja— gue ngerasa jadi punya temen buat main. Gue jadi sering main
ke Taman Komplek cuma buat ketemu lagi sama mereka. Dan tempat main mereka
emang disitu, jadinya dengan gue sengaja, kita suka main-main ala anak komplek
disana—main-main anak komplek seperti: main monopoli, main boneka Barbie yang
dipasangin sama robot-robotan punya Eja, main sepeda, ayunan, pasir-pasiran,
dan lain-lain… ahay banget, yekaaan? Wk.
Tapi
itu gak berlangsung lama. Mereka pergi ninggalin gue dan pindah ke kota lain.
***
◊○◊ Flashback On ◊○◊
Sameera.
Seorang gadis kecil yang sedang duduk di Taman kompleks rumahnya itu terlihat sangat
gelisah. Sudah satu jam ia duduk di bangku Taman—tempat ia biasa menghabiskan
waktu sorenya. Disana ia sedang menunggu teman sepermainannya dengan wajah yang
cemas. Berharap bahwa sore ini akan dilewatinya dengan riang gembira.
Lagi,
ia menghembuskan nafas berat. Orang yang ditunggunya tak kunjung datang
menemaninya bermain.
“Huffttt…
Kak Edo sama Eja kemana, ya?” gumamnya.
Semenjak
ia tertangkap sedang menangis oleh Edo dan bertengkar dengan Eja karena masalah
Sapphire Blue itu, ia jadi sering bermain ke taman ini hanya untuk sekedar
bersenang-senang bersama dua orang itu. Sebenarnya tujuannya bermain dengan
mereka adalah untuk mendapatkan kembali Batu Sapphire itu ke tangannya setelah
direbut paksa oleh Eja. Eja benar-benar keras kepala. Ia bahkan membawa kabur
batu biru itu pulang dan menyembunyikannya dari Edo kakaknya.
Tapi
Sameera berusaha untuk bersikap acuh dengan batu itu. Ia lebih suka bermain
dengan Edo dan Eja ketimbang memilih batu biru itu. Karena ini adalah pertama
kalinya ia mempunyai orang yang sangat perhatian kepadanya. Edo yang selalu
melindunginya dari kejailan Eja, dan tentu saja Eja yang selalu menjailinya
setiap ia sedang bermain dengan Edo.
Jika
sudah berada diluar rumahnya, Sameera merasa sangat bebas. Ia seakan lupa
dengan keadaan rumahnya yang begitu dingin. Papanya yang selalu sibuk dengan
pekerjaannya dan jarang ada di rumah. Mamanya yang tak pernah menganggapnya
ada. Bahkan Sameera merasa ia sering sekali mendapatkan perlakuan yang
mendiskriminasi dirinya dengan sang kakak, Zeto, dan juga Keysha—adiknya yang
masih balita. Ia merasa mamanya lebih sayang kepada Zeto dan Keysha dibandingkan
dengan dirinya. Sedangkan kakak laki-lakinya, Zeto, amat sangat jahat
terhadapnya. Zeto selalu berprilaku manja di depan mamanya untuk membuat
Sameera iri dan merasa tertekan karena merasa tak ada yang menyayanginya.
Sameera selalu merasa dianak tirikan oleh mamanya, tapi berbeda dengan papanya
yang selalu memanjakannya jika ia sedang berada di rumah. Sam sangat sayang
dengan papanya juga sangat sayang pada adiknya Keysha, karena baginya walaupun
Keysha yang menyebabkan perhatian sang mama teralih olehnya, bagaimanapun juga
ia tetap adiknya. Adiknya yang tak mengerti apa-apa. Sayang, papanya yang
sangat amat disayangnya berada di rumah hanya setahun dua kali, jadi bisa
kalian bayangkan bagaimana hidup Sameera sekarang?
“Ejaaaa!”
seru Sameera riang saat dilihatnya Eja berlari menghampiri dirinya. Senyum
penuh keceriaan terus tersungging dari bibirnya yang mungil. Tapi kali ini Eja
datang hanya sendiri. Tidak dengan kakaknya, Edo. Kemana dia?
Eja
berhasil sampai di depan Sameera dengan nafas terengah-engah. Kedua tangannya
memegang lututnya sambil membungkukkan badannya. Mencoba menetralisir rasa
capeknya karena berlari dari rumah menuju taman.
“Ja,
kok kamu sendiri? Kak Edo mana?” tanya Sameera heran.
“Hhhh…
ini buat kamu.” Eja menyerahkan batu berwarna biru kepada Sameera. Hey! Sapphire
blue itu diberikan kembali oleh Eja tanpa diminta? Sameera memandang batu yang
disodorkan Eja dengan senang.
“Kamu
serius, Ja?” Eja menjawabnya dengan mengangguk. Mata Sameera semakin
berbinar-binar. Ia mengambil batu biru itu dengan riang. “Makasih, ya, Ja!”
ucapnya tulus.
“Iya.
Yaudah ya, aku mau balik lagi. Jaga baik-baik batu itu, oke? Daaaahhh,” Eja berlari
meninggalkan Sameera.
“EJAAAA,
KAMU KOK GAK MAU MAIN SAMA AKU?” teriak Sameera saat Eja belum terlalu jauh
dari pandangannya. Eja yang mendengar teriakan Sameera berhenti berlari dan
berbalik menghadap Sameera. Dijawabnya pertanyaan Sameera dengan teriakan yang
juga tak kalah kencangnya.
“AKU
BUKANNYA GAK MAU MAIN SAMA KAMU, TAPI AKU SAMA KAK EDO MAU PERGI JAUH!”
“TAPI
NANTI BALIK LAGI KAN? MAIN LAGI SAMA AKU KAN?” tanya Sameera yang tak tahu Eja
dan Edo akan pergi kemana.
“MAAF
YAAA… AKU GAK TAU!” jawab Eja terlihat ragu dan sedih.
Sameera
yang merasa akan kehilangan dua orang yang selama ini menemaninya bermain
langsung menundukkan kepalanya. Ia sangat sedih jika ia harus menjadi gadis
kecil yang ‘sebatang kara’. Ia mengira Eja dan kakaknya pergi karna sudah bosan
bermain dengannya lagi. Ia hampir saja menitikan air mata, tapi tidak jadi sat
ia melihat ada seseorang yang berdiri tepat dihadapannya.
Sameera
mendongakkan kepalanya menatap anak laki-laki seumurnya berdiri di depannya.
Eja kembali lagi ke tempat Sameera! Ia menatap Sameera sedih lalu mencubit pipi
Sameera dengan gemas.
“Errrhh…
Jangan nangis, cengeng! Nanti kalo kakak aku udah sembuh kita main lagi kok,”
ujar Eja dengan senyum yang sangaaaaaaaaaattt menawan. Kemudian ia mengacak-acak
poni Sameera gemas, dan dengan gerakan cepat dan tak terbaca, Eja mencium pipi
tembem milik Sameera.
Sameera
melongo dibuatnya. Dan Eja? Yaaahh, dia hanya bisa nyengir lebar menanggapi
Sameera yang sudah geram.
“Sudah,
ya? Daaahhhh!” Kini Eja kembali berlari keluar area taman. Sebenarnya ia sangat
berat meninggalkan Sameera sendirian di taman itu. Ia juga ingin bermain dengan
Sameera, mengusilinya, merusak semua mainan Barbienya. Tapi dia sudah tak punya
banyak waktu untuk itu. Di rumah orang tuanya sedang menunggunya untuk
berangkat ke Bandara dan akan terbang ke Singapore.
Dan
sejak saat itu, Sameera tidak pernah lagi bertemu dengan Edo maupun Eja. Ia tak
tahu dimana keberadaan dua makhluk itu. Sampai sekarang……..
◊○◊ Flashback Off ◊○◊
***
Ish.
Gara-gara mimpiin tuh batu biru, gue jadi kengen berombak-ombak gini nih sama
Eja sama Kak Edo. Arrrgggghhhh…. Kalian kemanaaaa????
Hmmm,
ngomong-ngomong soal Sapphire Blue, gue taro dimana ya tuh batu? Jangan sampee
deh barang paling berharga kayak gitu gue ilangin. Bener-bener apes dong gue?
Huuhuhu
Coba deh gue cari dulu. Kali aja ada di kotak
mainan gue waktu kecil.
Kotak
mainan? Ah, iya! Gue emang taro tuh batu disitu deh kayaknya. Yak, yak… dan
sekarang dimanakah kotak mainan gue berada? Aduh Sam, jadi orang kok ceroboh
banget sih lo? ck! Ampun dehhhh..
Setelah
lama berkutat di dalam kamar buat nyari kotak mainan masa kecil gue,
akhirnyaaaaaa tuh kotak ketemu juga. Dan lo tau itu dimana? Di lemari pakaian
gue!
Astagaaaa…
kok gue bisa bego pake banget, ya? Padahal lemari pakaian gue tiap hari gue
buka. Ya ampuuunn Sam, bener-bener tiarap otak lo.
Huaaaaa…
ini dia Sapphire Blue guee! Tertimbun bersama mainan gue, Barbie-barbie gue
yang udah cacad gara-gara dipretelin sama Eja, daaan robot-robotan Batman punya
Eja yang gue ambil waktu dia abis ngerusakin Barbie gue—tanpa dia tahu
pastinya.
Sayang
banget nih batu gak ada rantainya. Padahal di tengah-tengah batu ini udah ada
lubang buat rantai dan dijadiin kalung.
“Yaaah,
gak ada rantainya gak bisa gue pake dong?”
Gue
menatap batu biru itu nanar. “Hallooo Kak Edo.. Eja? Maaf yaa udah aku timbun
bertahun-tahun lamanya. Hmmm.. Kalian kapan balik?”
***
Sebenernya
pagi ini badan gue masih lemes banget, gue juga males banget berangkat sekolah,
dan dari pada gue di rumah gak ngapa-ngapain mending gue sekolah deh, nuntut
ilmu biar jadi orang sukses dan minggat dari rumah ini. Yap!
Si
Gea masih gak mau sekolah, jadi gue gak ada tebengan. Waktu gue SMS dia hari
ini sekolah apa enggak, dia bilang tanggung. Kampret! Di SMS di bilang gini,
Gw mls ke sklh, Sam.
Mau bobocan aja:)) tanggung bgt kn kmrn udh di ijinin ama bokap gak sklh grgr
skit. Mumpung surat skitnya berlaku smpe 2hr. hihihihiii *tarik selimut*
Errrrr…
Geaaaaaa!!!! Lo jadi temen asli nyebelin banget. terus gue harus naek angkot
lagi gitu? Ya iya gitu kayaknya mah….
Setelah
semua rapi, seragam dan atributnya, gue berjalan gontai ke lantai bawah. Gue
liat nyokap lagi sibuk nyuapin Keysha sarapan di ruang tv. Kalo lo nanya dimana
Kak Zeto, yaaah dia lagi molor di kamarnya pasti. Mana mungkin dia bangun
pagi-pagi gini.
Jujur,
gue males banget mesti pamitan sama nyokap. Tapi mau gimana lagi? Gue sebagai
anak yang punya iman tuh mesti hormat sama orangtua. Well, walaupun pamitan gue
kedengerannya basi banget.
“Mam,
Sam berangkat!” ucap gue datar seraya mencium tangan nyokap gue kilat.
“Hmm.”
Hanya gumaman kecil yang gue denger dari jawaban nyokap. Agak sakit sih
dengernya, tapi yaudahlah, yang penting gue udah minta izin.
Gue
ini kalo di rumah orangnya pendiem, gak mau banyak omong, dan terkesan
introvert sama lingkungan sekitar. Tapi berbeda drastis kalo gue udah ada di
lingkungan sekolah. Siapa sih yang gak kenal gue? Sameera Rayya Mayda. Anak yang paling bawel,
gak bisa diem, banyak tingkah tapi rajin dan pintar, dan juga paling cuek
seantero Lagoon High School.
Yap.
Sifat gue berubah begini karna gue gak mau hidup gue gitu-gitu aja. Gak ada
manis-manisnya. Biarlah di rumah gue bersikap introvert, asal di luar rumah gue
bisa menjadi diri gue yang apa adanya kayak sekarang.
Hari
ini gue sengaja bawa Sapphire Blue ke sekolah. Yaa gak buat apa-apa sih, Cuma
buat bikin gue semangat aja ngejalanin hari ini. Eh sekalian juga sih, niatnya
hari ini gue mau pergi ke Mall sepulang sekolah beli rantai kalung. Buat
apalagi kalo bukan buat dipasang di Sapphire Blue gue.
Nah!
Berhubung gue udah mau nyampe sekolah, nih batu gue simpen dulu deh di saku
baju gue. “Baik-baik yaa disini,” ucap gue sambil mandangin batu Sapphire yang
udah masuk ke saku gue.
Ah!
Beruntung hari ini gue gak telat lagi kayak kemaren. Soalnya kan gue emang
berangkat pagi-pagi sekali. Gue mampir ke kantin dulu buat beli air mineral dan
sebungkus roti rasa keju. Setelah gue bayar, gue langsung berjalan menuju kelas
sambil makan roti keju gue.
Eh,
tumbenan banget nih kelas masih sepi? Cuma ada… OMG. Tuh cowok rajin banget ya,
jam segini udah ngejogrok sendirian di kelas sambil maenin iPadnya. Oh iyaaa,
gue kan belom bilang makasih ya sama dia kemaren? Bilang sekarang aja apa
gimana? Tapi bilangnya gimana?
Gue
ngejatohin badan gue di bangku tempat duduk gue dan menaruh botol minum yang
dari tadi gue bawa-bawa.
Mmm..
yang enak ngomongnya gimana ya?
Gue
sapu mata gue ke sekeliling kelas. Cuma ada gue dan nih cowok doang. Lah,
kenapa gue jadi Dag Dig Dug gini? Kan gue Cuma mau bilang “Makasih” bukan
bilang “I love you.”
Sam,
santai… gue berusaha memotivasi diri gue sendiri.
“Eh,
emm,, yang kemaren itu makasih, ya?” Hah! Keluar juga tuh kata-kata walaupun
gue ngucapinnya terbata-bata dan gak natap lawan bicara gue, gue sibuk
mandangin botol minum yang ada di depan gue sambil sesekali muter-muter nih
botol dan terkadang sampe jatoh.
Nih
cowok gak ngasih gue respon sama sekali? Ck, ya ampuuunn di malah sibuk maen
game. Ish,
Kali
ini posisi gue berubah. Sekarang kepala gue, gue telungkupin diatas meja dengan
beralaskan tangan kanan gue yang jadi bantalnya. Sekarang posisi gue udah natap
nih cowok. Uwowww.. keren juga ya kalo di perhatiin..hehhehe
“Eh…
yang kemaren itu makasih yaa,” kata gue lagi sambil narik-narik ujung baju tuh
cowok. Dia mulai mengalihkan perhatiannya dari iPadnya dan menatap wajah gue
tajam.
“Apa
sih lo? iseng banget jadi cewek!” ujarnya ketus.
“Ish,
gue mau bilang makasih sama lo.” dia fokus lagi sama gamenya itu dan bergumam
gak jelas.
Gue
berdecak gak sabaran. “Eh, denger ya! Siapapun nama lo, gue dari tadi bilang
makasih sama lo karena lo udah nolongin gue kemaren. Di jawab kek! Sombong
banget lo.” aseli, gue yang tadinya ngajak ngobrol santai jadi emosi gini gak
ditanggepin.
“Eh,
lo budek ya? Lo gak denger tadi gue bilang ‘He-em’? hah?” Laaah, kok jadi dia yang marah-marah? “Lo gak
ngerti kalo ‘He-em’ itu artinya ‘Iya’?” lanjutnya ngebentak-bentak gue.
Abis
gue dimamam ama nih Singa. Cari aman deh. “Hehehehe,,” gue Cuma nyengir-nyengir
gak jelas nanggepin nih cowok. “Sorry deh sorry… oohh, jadi He-em itu artinya
iya? Yaah gue baru tauuuu” kata gue sok polos. Wk
Cowok
disebelah gue Cuma ngedengus denger jawaban gue.
“ECIEEEE
SAMMYYY SAMA RAZA AKRAB BENERRR?” tiba-tiba Jovanka dateng bareng genk-an nya
dan teriak-teriak ciyee ciyee begitu.
Yahhh,
mulai deh ngegossipnya-____-
“Eh,
siapa juga yang akrab? Gue tau namanya aja enggak!”
Jo
nyamperin gue sambil cengar-cengir gaje. “Ekhemm… Yelahh Sam, bukannya kemaren
udah kenalan di ruang kesehatan?” tanyanya mengerling nakal ke arah cowok
sebelah gue. “Iya kan, Za?”
“Gak…”
jawab cowok yang ternyata namanya Raza itu.
“Deeuuuhhh…
pake gak mau ngaku lagi. Tadi aja ngobrolnya udah tatap-tatapan mesra begitu,”
sindir Lian berlebihan.
Uhukk!
Gue batuk-batuk denger sindiran Lian, ngebuat semuanya ketawa ngakak ngeliat
gue salah tingkah. Apanya yang mesraaaaaa??? Gak liat apa tadi kita ngomongnya
sambil melotot-melototan dan tarik urat kayak gitu?
Baru
aja gue mau nanggepin sindirannya Lian, tapi Bu Ambar udah dateng. Semua yang
tadinya ngumpul di meja gue langsung pada ngacir ke tempat duduk mereka
masing-masing.
Gue
bersyukur dan menghela nafas lega. Setidaknya mulut-mulut mereka terdiam
beberapa jam karena Bu Ambar langsung ngasih kita kuis. What? KUIS? Ya Allah…
baru juga masuk semester baru, masa udah di kasih kuis? Bu Ambar bilang kuis
ini cuma buat ngetes apakah pelajaran pas semester satu kemaren masih ada yang
nyangkut apa enggak.
Ah,
bu! Move on dong bu, move on!!!! Jangan kepikiran semester satu mulu-__-
***
“Nah, ayo anak-anak… waktu kalian sudah habis. Cepat kumpulkan kertas jawaban kalian. Ibu hitung sampai 10 detik. Satuu…”
“Nah, ayo anak-anak… waktu kalian sudah habis. Cepat kumpulkan kertas jawaban kalian. Ibu hitung sampai 10 detik. Satuu…”
God!
Gue emang minta pertolongan tadi buat nyingkirin para penggossip itu dari
hadapan gue. Tapi siapa sangka kalo bala bantuan yang dikirim Tuhan begini?
“Duaaa…”
Duh! Bu Ambar berisik banget lagi. Aaaaa… gue lupa rumus ngitung PPh lagi…
“Sam,
Sam… pinjem penghapus dong!” suara Devan yang duduk di sebelah gue bikin
konsentrasi gue buyar semua. Gue langsung nyari-nyari penghapus gue yang ada di
dalam tempat pensil gue. Langsung aja gue lempar tuh penghapus ke meja Devan.
Oke,
fokus lagi…
“Limaaa…”
lah cepet banget nih Bu Ambar ngitungnya.
Gue
langsung protes. “Lah Bu, kok cepet banget sih ngitungnya? Baru juga dua tadi?”
protes gue masih sambil sibuk nyoret-nyoret lembar jawaban gue gak nyantai. Yah
salah ngitung lagi.
“Van,
penghapus gue dong!” seru gue masih tetep fokus ke lembar jawaban gue yang udah
hampir selesai. “Van, mana?” tanya gue ke arah Devan yang gak juga ngasih
penghapus gue. Gue baru sadar, ternyata seisi kelas semua panik. Ada yang lagi
garuk-garuk kepala peke tangan kanannya dan tangan kirinya digunain buat
menghitung. Ada yang ngerjain sambil setengah diri dan duduk, nahloh! Gimana
dah tuh? Oh, mungkin dia udah mau ngumpulin tapi baru inget ada jawaban yang
salah. Ada juga yang ngerjain sambil berjalan ke arah Bu Ambar dengan telapak
tangan kiri menjadi alasnya. Dan ada juga yang udah ngumpulin lembar jawabannya
ke Bu Ambar kayak si Raza.
“Tadi
udah gue lempar Sam. Jatoh ke bawah kali,” ucap Devan kalem. Ah! rese banget
nih anak!
Gue
nundukkin badan gue ke kolong meja gue, nyari-nyari penghapus gue. Dan gue
melihat tuh penghapus ada di pinggiran mejanya Raza.
Hap!
Hap! Hap! Hap! Tangan gue yang menjulur ke pinggiran mejanya Raza gak juga bisa
menggapai tuh penghapus. Ah! nyusahin nih penghapus.
“Eh,
kumpulin lembar jawaban lo. hitungannya udah nyampe sepuluh tuh!” seru Raza
yang malah asik perhatiin gue yang lagi sibuk menggapai-gapai penghapus.
“Apa?”
gue tersentak kaget pas sadar kalo Raza bilang hitungannya udah sampe sepuluh
dan akhirnya kepala gue sukses membentur kolong meja.
Dengan
wajah menyedihkan dan meringis kesakitan, gue terpaksa ngumpulin lembar jawaban
gue yang belom selesai setengah nomor(?)
Gue
balik ke tempat duduk dengan tampang yang emang bener-bener bikin orang rela
ngeluarin uang seratus ribu demi ngeliat wajah cerah dan berseri gue.
Gara-gara
nyari tuh penghapus gue jadi kejedot begini dan tanpa gue tau ada barang
berharga milik gue yang hilang entah kemana….
0 comments:
Post a Comment