Prolog
Aku, tertatih untukmu…
Aku, tersesat karenamu…
Aku, terhempas bersamamu…
Aku, tertuju hanya untukmu…
Tetapi mengapa…
Aku, terjatuh diantara kalian…
Diantara kau dan dia…
****
“Ma, kenapa aku harus ikut mobil antar-jemput itu sih?” tanya seorang anak
laki-laki berseragam sekolah―merah-putih, pada seorang ibu muda di hadapannya.
Ia merengut kesal. Entah apa yang sedang membuat anak itu merasa kesal. Mungkin
karena mamanya? Atau karena mobil antar-jemput? Ya, sepertinya begitu.
Ibu muda itu hanya tersenyum mengerti kearah anak laki-laki yang sedang
berbicara padanya. “Sayang, kamu tahukan kalo kita belom dapet supir pengganti
buat kamu?” tanya ibu muda itu. Kemudian mengingatkan, “Kamu gak lupa kan, kalo
Pak Ujang itu udah berenti kerja sama keluarga kita ini? Hmmm?”
“Iya, iya.. aku ingat Ma.. tapi apa harus aku ikut mobil itu? Mama taukan
kalo mobil antar-jemput itu lama banget nganterin aku pulang? Udah gitu kan
sempit, gerah pula,” protes anak laki-laki itu―lagi.
Mamanya yang sedang sibuk dengan laptopnya pun hanya melirik anak itu
sekilas, kemudian kembali fokus dengan apa yang sedang ia kerjakan. Tidak mau
menanggapi protes sang anak.
Mamanya memang terpaksa harus membuat keputusan seperti itu, sementara ia
belum mendapatkan pengganti supir pribadi untuk sang anak. Lagi pula, sekolah
memberikan fasilitas mobil antar-jemput untuk para muridnya yang rumahnya jauh
atau orangtuanya sibuk―sehingga tidak punya waktu untuk menjemput sang
anak―bekerja atau bahkan mereka yang tidak mempunyai supir pribadi. Semua sudah
di fasilitasi oleh pihak sekolah. Tanpa harus ada biaya tambahan, pastinya.
“Pokoknya mama gak mau tau, kamu harus ikut mobil antar-jemput itu
selama mama belum menemukan pengganti Pak Ujang. Kalo kamu tetep gak mau,
terserah, kamu mau sekolah apa enggak,” ucap sang mama.
Anak laki-laki itu berdecak sebal. Ingin memprotes lagi keputusan sang mama,
tapi ia tidak menemukan kata-kata yang pas untuk berargumen dengan sang mama.
“Dan satu lagi, mama gak mau dengar lagi kalo kamu kabur duluan sebelum
mobil antar-jemput kamu itu jemput kamu. Ngerti?
♪┗
( ・o・) ┓♪ FALL
FOR YOU! ♪┗
(・o・ ) ┓
SATU
Seorang gadis remaja sedang duduk di tepian kolam renang rumahnya itu
tiba-tiba terhenyak saat disadarinya sekarang dirinya begitu kesepian.
Matahari siang itu begitu bersemangatnya menyinari setiap lekuk wajah gadis
itu. Air-air yang menggenang di hadapannya pun sangat tenang. Sesekali
bergemericik saat gadis itu menghentak-hentakan kaki yang diceburkannya ke
dalam kolam itu.
Gadis itu tampak sedang memikirkan sesuatu. Tiba-tiba ia
mengacak rambutnya dengan gusar. Pusing dengan semua yang ada di pikirannya
saat ini. Semua orang memaksanya, semua orang mengekangnya. Dan tak ada yang
mau mendengarkan pendapatnya dan... keinginannya.
Sedetik kemudian handphone yang sedang ia genggam berbunyi nyaring,
melantunkan intro dari lagu Kiss Me milik Sixpence None The Ritcher. Setelah
melihat siapa yang menelponnya, gadis itu berdecak kesal. Dengan malas,
dijawabnya panggilan itu.
Papa Calling…
“Hallo, Pa..”
“Hallo Mel, kamu ini gimana sih?” tanya seorang laki-laki tua dari seberang
sana kepada anak semata wayangnya yang bernama Meilani Alien Alyaza.
“Gimana? Diterima gak?” tembaknya.
“Diterima, tapi―”
“Oh, ya bagus dong Pa,” potongnya langsung. Ada sedikit rasa lega juga
mendengar berita ini. Tapi Cuma sedikit, biar sang papa senang.
“Dengerin dulu! Kamu memang diterima di sekolah itu, tapi nilai tes kamu
kenapa paling bawah kayak gini, hah?”
“Udahlah, yang penting aku diterima kan? Papa gak usah bawel deh..”
masih mending aku mau ikut tes di sekolah itu, lanjutnya dalam hati.
Terdengar helaan nafas dari seberang sana. “Oke, seharusnya kamu ikut kesini
sekarang. Karena harus ada tes wawancara, tapi berhubung papa malas jemput kamu
di rumah, jadinya papa bilang sama pengawasnya kamu lagi sakit. Dan baru saja
papa gantiin kamu tes wawancara itu.. untungnya papa bisa sedikit kasih uang
tambahan… bla bla bla..” tak didengarnya lagi ocehan-ocehan gak penting
sang papa. Gadis itu memegang dengan malas ponsel yang bertengger di telinga
kanannya. Entah papanya itu bicara apa lagi, ia tak perduli dan tak mau ambil
pusing. Yang pasti beliau sedang ceramah via mobile phone.. ck ck ck..
“So, jadinya kapan aku mulai sekolah?”tanyanya setelah sang papa
menghentikan ceramah singkatnya barusan.
“Oh iya, papa lupa tanya ke kamu, Mel. Kamu mau milih sekolah di gedung
yang mana? Gedung A atau gedung B?” tanya sang papa tak menghiraukan
pertanyaan anak gadisnya.
Hah? Ada berapa gedung sih tuh sekolah? Tanya Meilani dalam hati. “Aku mau
yang deket dari rumah aja deh. biar cepet nyampe rumah.”
“Gedung A? Ooh, tapi papa maunya kamu di gedung B.. Disana gedungnya lebih
bagus daripada yang disini―gedung lama. Fasilitas disana juga bagus. Pokoknya
kamu di gedung B saja.”
Please deh pa, kalo tau papa LAGI yang nentuin semuanya, kenapa harus
nanya-nanya dulu coba? Bikin gigit jari aja. “Kata Kepala yayasannya Masa
Orientasi akan diadakan di gedung A. Semua orientasi berpusat di gedung A
soalnya. Tapi nanti kamu belajarnya di gedung B, setelah masa orientasinya
selesai,” lanjut sang papa.
“Hhh.. Terserah papa oke? Daahh..” klik,, diputusnya sambungan telpon itu.
Beginilah Meilani.. selalu saja mengalah. Papanya selalu memutuskan kehendak
tanpa meminta pendapatnya ataubahkan bertanya-tanya lagi. Seperti sekarang, ia
dipaksa sang papa untuk mengikuti tes masuk di sekolah swasta terbaik di
Jakarta. Lagoon High School. Padahal ia ingin bersekolah di sekolah pilihannya
sendiri. Sekolah di tempat yang sama bereng sahabat-sahabatnya masa SMP. Tanpa
harus ada campur tangan sang papa dalam menentukan keinginannya.
Sebenarnya ia bisa saja mengandalkan kemampuan otaknya untuk bersekolah di
tempat favoritnya melalui jalur beasiswa. Tapi sekali lagi. Papanya lah yang
punya andil dalam menentukan setiap keputusan yang akan diambil oleh sang anak.
Syukur-syukur masih disekolahin, daripada ditelantarin terus gak dianggap anak?
Pilih mana?
Meilani berdecak sebal. “Harusnya gue udah diterima juga nih di SMA Bima
Sakti. Bareng sama anak-anak yang lain―sahabat-sahabatnya. Gara-gara papa gue
jadi bakal sekolah di tempat itu―Lagoon High School.” Ia memiringkan kepalanya,
“Lagian kok gue bisa diterima sih? Harusnya kan gue gak diterima. Bukannya
jawaban tesnya udah gue asal-asalin ya? Ya ampunn, jangan-jangan… ARRRGHHH
PAPAAAAAA….”
‘,,,Untungnya papa bisa sedikit kasih uang tambahan..”
****
Setelah melewati Masa Orientasi Siswa yang diselenggarakan oleh Lagoon High
School selama tiga hari dan sekarang hari pertama ia mulai memakai seragam
putih abu-abunya. Meilani diantar oleh papanya ke sekolah Lagoon High School
gedung B yang letaknya lumayan jauh dari gedung A, bahkan rumahnya sendiri.
“Hmm.. jadi ini gedung B nya? Not badlah..” katanya berdecak kagum sambil
mengamati setiap lekuk-lekuk bagian gedung sekolahnya itu. “Papa tau aja gue
suka tempat yang asri begini… love you deh pa,” sambungnya memuji sang papa.
Benar-benar asri pemandangan di sekolah ini. Banyak pohon-pohon yang
menjulang tinggi dari depan gerbang masuk sampai mengelilingi area lapangan
utama. Tak henti-hentinya ia memandang kagum disekeliling area sekolah ini.
Gedungnya memiliki 4 lantai dengan bercat tembok warna hijau muda dipadu kuning
keemasan. Sangat memberikan kesan kedamaian. Meilani suka ini damai dan…
tenang.
BUGG!
“Awww…” aduhnya. Karena Meilani sedang sibuk berdecak penuh kekaguman
terhadap gedung sekolah barunya ini, ia jadi tidak memperhatikan sekitarnya.
Tau-tau sudah ada yang menabrak lengannya dengan kasar.
Sakit banget…
Seorang cowok menjulang tinggi di hadapan Meilani. Pantesan sakit
banget, cowok yang nabrak… ucapnya dalam hati. Meilani mengusap-usap
lengannya yang baru saja di tabrak oleh cowok yang berperawakan tinggi tegap
itu. Aduhhh,,kampreto banget nih orang. Sakit banget lagi…rintihnya kemudian.
“Sakit? Makanya jalan liat-liat. Lo pikir ini jalanan singgasana istana lo!”
bentak si cowok tersebut.
“Heh! Songong banget sih lo,” ucap Meilani sengit. “Lagian kalo lo tau gue
jalan gak liat-liat, lo nya aja tuh yang minggir. Bukannya nabrak gue,
Kampret!”
Cowok itu mengangkat sebelah alisnya dengan angkuh. “Ohyaaa? Terus gue harus
peduli gitu sama lo?” tanyanya angkuh. “Malesss bangeeet..” ia mengangkat sudut
bibir kanannya. Tersenyum sinis. Kemudian berjalan meninggalkan Meilani,
tanpa meminta maaf.
“Dish, belagu banget. Ternyata anak sekolah ini tata kramanya nol besar,
ya.” Cibir Meilani.
Meilani memandangi lagi bangunan yang menjulang tinggi di hadapannya. Ia
menatap bingung. “Terus kelas gue dimana?” gumamnya frustasi.
****
“Sepuluh-tiga… Sepuluh-empat… Hah! Itu dia kelas gue. Kelas sepuluh-lima.
Buseeett jauh banget nih kelas.” Meilani menupuk jidatnya pelan, “Hastagaaa…
Ada di lantai berapa nih? Kalo gak salah…” Meilani langsung melongokkan
kepalanya kearah bagian gedung lainnya. Ia menghitung jumlah lantai yang
dilihatnya dari balkon depan kelasnya.
SHIT! Lantai dua ternyata. Trus tadi ngapain gue capek-capek naik ke lantai
empat? Kelas gue ada di lantai dua begini? Gue pasti diboongin nih sama orang
yang tadi, rutuknya dalam hati.
Ia memang sempat bertanya pada seorang cowok yang ditemuinya di tangga.
Waktu itu, ia pikir pasti cowok itu kakak kelasnya, soalnya dilihat dari
seragamnya gak ada kesan anak barunya sama sekali, jadi dia mencoba
memberanikan diri untuk bertanya. Dan kata si cowok itu, kelas untuk anak kelas
sepuluh ada di lantai empat. Meilani percaya saja, toh siapa juga yang mau
ngerjain dia lagi? Masa Orientasi kan sudah selesai beberapa hari yang lalu.
Eh, ternyata…
Meilani terus merutuki dirinya dalam hati sambil melangkah dengan gontai ke
dalam kelasnya. Kemudian langkahnya terhenti saat disadarinya semua bangku
telah terisi penuh dan hanya menyisakan satu bangku kosong, di barisan
kedua setelah pintu, tepatnya di bangku kedua dari depan.
Meilani terlihat canggung untuk meminta izin kepada seseorang yang sudah
duduk terlebih dahulu di sebelah bangku yang kosong itu. Ia menimang-nimang,
apakah ia memang harus duduk dengan orang itu, atau tidak. Secara ia memang
belum mengenal sama sekali orang itu. Bukan karena apa, Meilani memang orang
yang susah untuk mengakrabkan diri dengan orang yang belum dikenal dan baru
dikenal.
Meilani itu sebenarnya anak yang asik untuk diajak berteman. Jika ada orang
yang sudah terlalu akrab dengannya, pasti mereka akan terbawa suasana humornya
Meilani yang kelewat nyeleneh. Tapi anehnya, jarang ada orang yang mau memulai
mengakrabkan diri dengannya. Ini mungkin disebabkan karna factor keturunan. Ia
memang menuruni raut muka dari ibu kandungnya. Raut muka Meilani itu terlihat
sangat amat jutek. Bahkan terkesan sombong. Memang sih, terkadang nada
bicaranya selalu terkesan ketus. Semua itu karena ia memang terbiasa berbicara
ketus. Tapi sekali lagi. Itu semua Cuma becanda doang. Gak serius.
Hampir semua teman-temannya waktu SMP pernah bilang, kalau pertama kali
mereka melihat Meilani, mereka mengira kalau Meilani itu orang yang sombong,
belagu, tidak enak diajak berteman. Tapi setelah mereka berteman dengan
Meilani, mereka langsung mengenyahkan kata-kata sombong, belagu, dan yang
lainnya jauh-jauh dari sosok Meilani.
“Hei! Lo duduk sendiri ya? Gue boleh duduk bareng lo gak?” tanya Meilani
agak sangsi.
“Boleh kok. Duduk aja.”
“Oke, thanks.”
“Nama lo siapa?” tanya si cewek manis berkacamata itu.
Meilani mencoba tersenyum kearah cewek itu―walau terlihat seperti senyum
yang canggung, lalu ia mengulurkan tangan kanannya dan kemudian mereka berjabat
tangan. “Meilani Alien Alyaza. Panggil aja Meilani atau Mel,” ucapnya. “Kalo
lo?”
“Gue Therresa Ibrahim. Panggil aja Rere.. atau apa kek suka-suka hati lo,”
ujarnya ringan.
“Oh, salam kenal, Re.”
Rere tersenyum hangat kearahnya, “Yaa, salam kenal juga Sam..”
♪┗
( ・o・) ┓♪ FALL
FOR YOU! ♪┗
(・o・ ) ┓
Jam pelajaran pertama digunakan para siswa untuk berkenalan di depan kelas.
Bu Darti selaku wali kelas sepuluh-lima, menyerukan anak didiknya untuk
memperkenalkan diri mereka masing-masing, setelah sebelumnya Bu Darti
memperkenalkan dirinya sendiri.
“Oke anak-anak, sekarang giliran kalian yang memperkenalkan diri kalian
masing-masing..” Bu Darti memandang sekeliling kelas. Kemudian matanya tertuju
ke seorang cewek berwajah oriental yang duduk di barisan paling belakang. “Yaa,
dimulai dari kamu. Ayo silahkan maju ke depan!”
Semua pasang mata memandang kearah cewek yang sedang berjalan ke depan kelas
itu. Senyuman manis selalu tersungging di bibir cewek itu. Cantik banget.
“Hallo teman-teman.. Perkenalkan nama aku Brigitta Chelsiyana. Biasa
dipanggil Agi. Aku dari SMP 1 Bina Nusa Jakarta. Salam kenal,” ucap Agi dengan
ceria. Kedua mata beningnya terus menatap seorang cowok di bangku paling
belakang, dengan tatapan yang berbinar-binar dan senyum yang terus merekah dari
kedua bibir mungilnya.
“Iyaa, salam kenal juga Agi. Hmm.. Ibu lihat kamu senyum-senyum terus ke
cowok itu,” tunjuk Bu Darti kearah…. Cowok yang tadi menabrak Meilani. “Kenapa?
Ada ‘something special’ kah?” tanya Bu Darti sambil mengangkat jari telunjuk
dan tengahnya membentuk tanda kutip saat mengatakan ‘something special’.
Hening. Tak ada satupun dari Agi dan cowok itu memberi penjelasan.
“Mereka pacaran kali bu…”
Bu Darti dan seisi kelas Nampak terkejut dengan celetukan seseorang yang
duduk di sebelah cowok yang menabrak Meilani. “Oh ya? Woww.. sudah berapa lama?”
tanya Bu Darti yang mulai KEPO.
Bukan Cuma Bu Darti aja sebenernya yang Kepo. Seisi kelas juga
sepertinya menunggu jawaban yang baru saja di lontakan oleh Bu Darti tadi. Bu
Darti memandang Agi dan cowok itu bergantian. Agi hanya senyum-senyum bahagia
saja kearah teman sekelasnya, sedangkan cowok itu hanya memasang tampang cuek
dan tanpa kentara ia melirik kearah Meilani yang terlihat tidak begitu
perduli dengan ke-kepo-an nya Bu Darti dan anak-anak yang lainnya.
“Dari mereka kelas 1 SMP bu..” karena Agi dan cowok itu tidak menjawab
pertanyaan yang dilontarkan oleh Bu Darti, maka secara reflek orang yang
nyeletuk pertama kali tadi yang malah menjawab pertanyaan Bu Darti.
Seisi kelas hanya ber-ohh ria, sambil berdecak penuh kagum sama pasangan
paling cocok yang pernah mereka lihat. Si cewek cantik, tinggi, dan senyumnya
manis. Sedangkan si cowok ganteng, charming abisss, cool-nya bikin semua cewek
membeku di tempat. Hah! Bener-bener best couple bangetlah.
“Baiklah, kamu boleh duduk Agi.” Bu Darti mempersilahkan Agi duduk, lalu ia
menunjuk kearah Meilani untuk maju ke depan.
Meilani melangkah gontai ke depan kelas. Inilah rutinitas yang paling
dibencinya. Perkenalan di muka umum. Mеnurutnya kan nanti bisa bеrkеnalan
secara personal atau pribadi? Kalau bеgini mah dia langsung lupa siapa-siapa
saja nama-nama mereka -_____-
“Pagi semuaaa.. Mmm,, kenalin nama gue Meilani Alien Alyaza. Biasa dipanggil
Meilani atau..." ia memiringkan kepalanya. nampak sedang berpikir sesuatu,
"... Eh, apa kek suka-suka lo pada."
“Lontong boleh?”
Ahelaah, cowok belagu itu lagi, Ck!
Meilani jadi merutuki kebodohannya berbicara seperti tadi. Maklum ia agak
kurang terbiasa berbicara di muka umum. Dan mungkin sekarang ia sedang gugup?
“Gak! Gak ada unsur lontong di nama gue,” jawab Meilani lantang. Harus ia akui
kalau sekarang ia memang sedang sangat malu. Cowok itu mau manggil dia dengan
sebutan apa tadi? Lontong? Ya ampuuunn.. memangnya penampilannya kini macam
lontong, ya? Yang bagusan dikit, kek. Gitar spanyol, gitu? Wkwkkwk..
Cowok itu hanya mengangkat bahunya, tak perduli. “Gue pikir itu suka-suka
mulut gue?” kontan semua anak-anak di kelas tertawa terbahak-bahak. Apanya yang
lucu coba?
Meilani memicingkan matanya. Menatap sinis kearah cowok itu, “Ish, apaan sih
lo. Gak lucu banget.” Meilani berusaha acuh pada si cowok sarap itu dan
langsung menyebutkan asal sekolahnya, lalu dipersilahkan duduk kembali oleh Bu
Darti.
“Oke, sekarang coba kamu yang paling ganteng itu. Ayo maju!”
Hueeeekkk! Paling ganteng apanya???? Ngeselin iyaaa!
Cowok itu berjalan dengan angkuhnya ke depan kelas. Tak dihiraukannya
tatapan kagum para teman-teman ceweknya. Matanya hitam menyala. Tatapannya
sangat tajam, bagaikan elang yang siap memangsa hewan lain yang bersedia untuk
jadi santapannya. Penampilannya sedikit berantakan. Hanya baju bagian belakang
yang tidak ia masukkan ke dalam celana abu-abunya. Dasinya pun hanya di pajang
di lehernya begitu saja. Tak dikenakannya. Badboy, jelas. Playboy? Hmm, belum
ada yang tahu. Sejauh ini sih masih setia sama sang pacar.
“Nama gue Altan. Lengkapnya Mahvin Altan Dilara. Asal sekolah gue sama kayak
pacar gue. Sekian. Terima kasih.” Singkat? Tapi seperti itulah seorang
Altan.
“Keren, ya, namanya?”
“Pasti orang kaya, deh. Tuh liat aja gayanya.”
“Tapi, orang kayak dia kok setia banget, ya, sampe bisa pacaran selama itu?”
“Siapa juga yang gak bakal setia kalo ceweknya aja udah sesempurna itu, iya
kan?” Dan begitulah komentar-komentar para cewek-cewek yang sedang menatap
penuh kagum kearah Altan yang sedang berdiri di depan kelas. Meilani yang
mendengar komentar-komentar tersebut pun Cuma bisa mencibir dalam hati. Dalam
bayangannya justru cowok kayak Altan itu, ya, pasti playboy kelas kakap. Dan
bisa jadi pacaran dengan Agi selama itu hanya untuk membuat image yang terkesan
baik, dan sempurna di mata semua orang? Bisa saja bukan?
Meilani memalingkan mukanya ke luar kelas. Ia sudah benar-benar kesal
terhadap cowok yang sok cool, itu. “Pasti selirnya banyak dimana-mana,” cibir
Meilani dalam hati.
“Oke, silahkan balik ke tempat kamu. Dan sekarang silahkan kamu yang
disana…” Bu Darti dengan sabar menyuruh anak didik yang lainnya lagi.
Kemungkinan ini hanya akan menghabiskan 1 jam pelajaran. Dan ini sangat
membosankan bagi Sameera.
♪┗
( ・o・) ┓♪ FALL
FOR YOU! ♪┗
(・o・ ) ┓
Chapter 2
0 comments:
Post a Comment