Seorang
cowok tinggi, berbadan atletis serta diberkati dengan ketampanan yang begitu
menawan tengah menatap lembut gadis manis yang ada di hadapannya saat ini. Ya,
cowok itu adalah Mahvin Altan Dilara atau lebih dikenal sebagai Altan.
Ia
baru saja memberikan sebuah pernyataan yang membuat gadis tersebut terkejut
setengah mati dibuatnya. Kini ia menunggu persetujuan dari gadis tesebut atas
pernyataannya barusan dengan tenang.
“Gimana?”
tanyanya memastikan bahwa gadis di depannya menyetujui pernyataannya beberapa
menit lalu.
“Ngerebut
gue dari dia gitu?” tanya Altan memotong ucapan gadis yang sedang berbicara
padanya. “Lo tenang aja. Gue sama dia udah putus. Itu artinya gue udah gak ada
hubungan apa-apa lagi sama dia. So, terserah gue kan gue mau pacaran sama siapa
aja?”
Gadis
itu bergerak-gerak gelisah dan menggigit bibir bawahnya sambil menatap Altan
dengan bingung, takut dan senang. Bingung karena Altan tiba-tiba saja datang
padanya dan menyatakan suka padanya. Takut karena ia merasa ini sebuah lelucon
kecil yang sedang diperankan oleh murid tertampan di sekolahnya, dan takut
jikalau ia hanya dipermainkan. Sedangkan senang? Ya, tentu saja gadis ini
senang kalau cowok yang baru saja dinobatkan sebagai The Most Wanted Boy di
LHS—beberapa minggu lalu—baru saja menembaknya, menyatakan cinta padanya.
“I-iyaa
sih, tapi kamu…”
Lagi-lagi
ucapan gadis manis itu terbaca oleh Altan. “Gue serius. Gue serius banget sama
omongan gue barusan. Perlu bukti?” tantangnya.
“Bukti?
Mmm,,, boleh!”
Altan
mengangkat sebelah alisnya. Bertanya melalui gerak tubuhnya. Dan memperjelas
dengan ucapannya. “Mau bukti apa?”
“Terserah,”ucap
gadis itu seraya mengedikkan kedua bahunya. Altan terdiam sejenak. Berfikir bagaimana
supaya cewek di hadapannya ini percaya padanya. Ia memandang ke segala arah
koridor sekolah. Mencoba mencari pertunujukan apa yang akan menghasilkan
kepercayaan mendalam untuk calon gadisnya.
Tak
jauh darinya—sekitar 5 meter dari tempatnya berdiri—ia melihat sepasang kekasih
sedang bercanda-ria dengan menggunakan spidol hitam. Kemudian sang cowok
mencoret-coret lengan tangannya dan mengukir inisial dari nama sang cowok dan
cewek yang ada di sebelahnya, lalu inisial itu dilingkari dengan gambar berbentuk
Love. Altan tersenyum samar.
“Ikut
gue!” ujarnya sambil menarik gadis itu kearah parkiran.
“Eh,
kita mau kemana? Ngapain?” tanya gadis itu bingung. Altan tak menghiraukannya.
Ia tetap menggandeng gadis itu menuju parkiran. Menuju mobil kesayangannya
terparkir disana.
Sesampainya
di depan mobilnya, Altan langsung membuka pintu penumpang dan membuka laci
dashboard untuk mengambil sesuatu.
Setelah
barang yang dicarinya sudah ada dalam genggamannya, Altan kembali menutup pintu
mobilnya. Ia berdiri di sebelah calon gadisnya.
“Hah?
Pilox? Buat apaan, Al?” tanya gadis itu tak mengerti.
“Buat
bukti lah,”jawabnya santai. “Lo tau? Ini mobil kesayangan gue. Soalnya gue beli
ini pake uang gue sendiri. Terus, pilox ini buat pernyataan cinta gue ke elo.”
Altan
mengocok-ngocok botol pilox yang sedang dipegangnya berkali-kali. Kemudian ia
membuka tutup botol piloxnya seraya mengucapkan sesuatu kepada gadis
disebelahnya. “Lo liat karya gue ini!”ucapnya tanpa memandang kearah gadis itu,
tatapannya terfokus pada apa yang dilihat didepannya. Sebuah objek yang akan
menjadi bukti akan aksinya ini. Mobil Pajero Sport berwarna putih
kesayangannya.
Altan
mulai melangkahkan kakinya mendekati mobil miliknya. Ia berjongkok disebelah
mobilnya, lalu mengarahkan botol cat itu ke arah body mobilnya. Cat yang
berwarna biru tua itu mulai menghiasi bagian mobil Altan dibagian kiri mobil.
Setelah
5 menit berselang, selesailah karyanya yang membuat gadis yang sedari tadi menatapnya
tak percaya sukses membelalakkan matanya, membuat pipinya merah merona menahan
rasa malu sekaligus senang disaat bersamaan.
Altan
menatap puas hasil karya yang baru saja diselesaikannya itu. Kemudian ia
berpindah ke bagian Kap mobil depannya. Mengukir kembali karyanya dengan
tulisan yang berbeda dari yang sebelumnya. Dan setelah menyelesaikan karyanya
yang kedua, kembali ia pindah ke bagian kanan mobilnya. Mengukir kembali
kata-kata yang berbeda.
“Done!”
serunya setelah ia menyelesaikan semua hasil karyanya. Ia kembali ke sebelah
gadis manis yang sedari tadi memperhatikannya dengan ketakjuban yang luar
biasa.
Oh,
yeah! Altan kini berhasil membuat mobil kesayangannya yang mulus itu berubah
menjadi mobil yang penuh dengan tulisan-tulisan ungkapan cinta.
Altan
menggandeng tangan gadis yang ada disebelahnya kemudian mengajaknya
mengelilingi mobilnya. Melihat hasil karyanya. Menunjukkan bukti cintanya.
Ia
mulai dari bagian mobil sebelah kiri. Karya pertamanya. Disana tertulis ‘Je t’aime, Laura’ dengan beberapa
ukiran-ukiran sederhana di setiap hurufnya. “Je t’aime, Anindya. Artinya Aku
Cinta Kamu, Laura.”
Laura.
Ya, gadis itu bernama Laura Putri Gumilang. Gadis yang diminta oleh Altan
menjadi pacarnya. Ia teman sekelas Altan, Agi, dan juga Meilani. Tidak ada yang
tahu apa maksud Altan menembaknya, bahkan Altan sendiri pun tak mengerti. Yang
jelas, ia merasa kalau ia harus melakukan hal ini.
Laura
adalah gadis manis dengan lesung pipi kecil di bagian bawah bibirnya. Gadis
berambut ikal ini akan sangat terlihat manis jika ia sedang tersenyum. Dan
Laura adalah sosok pribadi yang sangat manja dan terlalu bersikap
kekanak-kanakan sebenarnya. Altan merasa… entahlah!
Laura
tahu betul apa arti dari tulisan tersebut, maka dari itu ia memandang Altan dengan
tersenyum yang sangat sangat terlihat manis. Lalu Altan mengajaknya beranjak
menuju bagian depan mobilnya. Disana hanya terdapat 2 huruf dan 1 simbol.
Ditulis sebesar-besarnya secara horizontal. A & L.
“Ini
inisial nama kita. A & L. Altan dan Laura,”ucap Altan seraya merangkul
pundak Laura.
Laura
terkekeh sebentar. “Iya, aku tau.”
Mereka
melanjutkan lagi perjalanan mereka ke bagian mobil di sisi kanan. Altan kembali
menjelaskan, “Ini ditulis pake huruf Katakana Jepang. Bacanya ‘Sekai ga owaru made, anata wa watashi no
gārufurendo kamo shirenai.’”
“Artinya?”
“You
could be my girlfriend until the world ends.” Altan mengucapkannya sambil
mengarahkan gadis yang berada dalam rangkulannya, kini menghadap kearahnya.
Memeluknya dan mendekapnya di dalam dada bidangnya.
Laura
hampir saja berhenti bernafas saat dirasanya jantungnya berdetak hebat,
mematikan beberapa saraf sadarnya, bahkan membuat lututnya lemas tak bertenaga.
Siapa
yang sangka bahwa ia akan ditembak oleh cowok tampan dengan se-romatis ini???
“Iya,
Al. aku mau kok jadi pacar kamu. Bahkan kamu gak perlu sampe ngorbanin mobil
kesayangan kamu sampe jadi kayak gini,” kata Laura sambil menatap Altan. “Aku
bakal tetep nerima kamu, kok.”
Altan
memicingkan matanya. Dilepaskan pelukannya terhadap Laura. “Kenapa gak bilang
dari tadi?” tanyanya geram. Siapa juga yang gak kesel kalo mobil yang paling
disayangnya malah dicoret-coret kayak gitu?
“Hehehe…
abisnya tadi kamu nantangin buktinya, sih! Salah sendiri, wleeee…”
Altan
menatap mobilnya yang kini dipenuhi dengan cat pilox berwarna biru itu sambil
tersenyum samar. Anjrit! Gua norak banget ya ternyata? Hahahaha… ucapnya dalam
hati.
“Al,
kamu marah ya sama aku?” tanya Laura sambil menggenggam lengan kirinya. Altan
menoleh sekilas kearah Laura dan kembali lagi menatap mobil ‘norak’nya.
“Gak!
Gue lagi mikir aja gimana caranya nih mobil jadi mulus lagi.”
“Di
pilox-in aja lagi, yaang… pake pilox yang putih,” usul Laura asal-asalan. Altan
hanya tertawa menanggapi usul dari pacar barunya tersebut. Kemudian mengacak-acak
poninya gemas.
Setelah
dirasa semuanya cukup untuk diamati dan disesali, Altan mengajak Laura kembali
ke kelas mereka. Dan saat mereka ingin beranjak dari tempat parkir itu, mereka
baru menyadari kalau aksi penembakan ini ditonton banyak siswa-siswi LHS. Tapi
Altan—tetap dengan gayanya— tak memperdulikannya. Ia tetap menggandeng Anin
menuju kelas mereka.
***
Rere
berjalan tergesa-gesa menuju kelasnya berada. Mencari teman sebangkunya untuk
mendengarkan kabar terheboh yang baru saja dilihatnya. Ia mencari Meilani. Mela
pasti akan sangat shock mendapatkan kabar yang tak pernah diduga-duga oleh
semua masyarakat LHS.
Sesampainya
di kelas, Rere langsung menuju bangkunya berada, disebelah Meilani.
“Mel,,Mel…
ada kabar paling hot loooh!” serunya semangat.
“Apa
sih, Re?” tanya Meilani malas. Entah mengapa moodnya hari ini tidak begitu
baik.
“Gue
udah tau apa penyebab Altan sama Agi itu putus!” ujar Rere berbisik-bisik. Ia
takut kalau Agi yang juga ada di ruang kelas mendengar percakapan mereka.
“Ternyata karna ada pihak ketiganya, Mey!”
Ucapan
terakhir Rere malah membuat Meilani sport jantung. Jangan-jangan yang dimaksud pihak ketiga itu
dirinya? Kalo iya bisa gawat! Batin Meilani meringis.
“Si-siapa?”
tanya Meilani hati-hati.
“Anak
kelas ini, Mel! Dan mereka baru aja jadian!”
“Hah?
Jadian?” Lohh, ini siapa sih yang
dimaksud?
Rere
mengangguk yakin. “Iya, baru banget jadian! Dan nembaknya itu… Aaaaa so
sweet-nya spekta banget deeehh!”
“Tunggu
dulu deh! Ini orang yang elo maksud tuh siapa, sih?”
Tepat
setelah Mel bertanya seperti itu, orang yang mereka sedang perbincangkan masuk
ke dalam kelas.
Semua
penghuni kelas—yang tak melihat kejadian penembakan tadi—menatap tak percaya. Termasuk
juga Agi. Kini wajahnya sudah memerah karna menahan amarah melihat dua orang
yang baru saja datang itu.
Sementara
Meilani? Ia merasa lega dan juga bingung. Lega karena ‘orang ketiga’ itu bukan
dirinya, dan bingung karena gak ada angin, hujan, badai, petir, tornado dan
semacamnya, tiba-tiba saja dua orang itu kini bergandengan tangan mesra?
Berpacaran?
Siapa
yang akan menyangka kedua orang itu bisa berpacaran tanpa pendekatan terlebih
dahulu? Ya, mereka tidak pernah melihat Altan berdekatan dengan Anin barang
sejengkal pun!!! Setidaknya menunjukan tindak-tanduk kalau mereka ada ‘affair’.
“Tuhkan?!!
bukan gue penyebabnya!” gumam Meilani pelan.
“Hah?
Apaan, Mel?” tanya Rere yang ternyata mendengar samar-samar suara Meilani tadi.
Meilani
merutuki kebodohannya menggumam seperti tadi. Hampir saja Rere mendengarnya! “Nggak!
Gapapa kok, Re.. hehehe.”
Rere
hanya mengangguk-anggukan kepalanya. “Ooh… Eh, menurut lo, mereka cocok gak?”
tanya Rere sambil mengedikkan dagunya kearah dua sejoli itu.
“Cocok
aja sih.”
“Hmm…
menurut gue gak tuh! Liat aja. Altan kan dingin gitu, trus si Laura tuh kan
anaknya manja banget. Nah, kalo mereka lagi berduaan gitu, kesannya tuh yang
cewek kelenjehan banget!” terang Rere.
“Lenjeh
gimana?”
Rere
mengangkat bahunya. “Gue sih ngeliatnya gitu. Abis si Laura manjanya gitu sih!
Sok-sok mesra padahal si Altannya diem aja gitu. Gak nanggepin gitu. Liat kan?”
tanyanya meminta pendapat.
Meilani
mencoba memperhatikan kembali. Iya sih… “Yah, biarin aja deh, Re! itu kan
haknya mereka. Ngapain sih pusing-pusingin mereka gitu.”
***
Siang
itu kelas yang dihuni oleh Meilani sedang senggang. Tidak ada guru yang
mengajar disana. Hal ini tentu saja membuat kelas tersebut menjadi ramai dengan
kegaduhan di setiap sudut ruangannya. Di bagian kanan pojok kelas banyak anak
laki-laki yang sedang berkumpul membicarakan pertandingan bola yang berlangsung
tadi malam, antara Real Madrid vs Liverpool. Sedangkan di barisan tengah, para
penghuni perempuan justru sibuk menggosipkan artis yang menjadi idola mereka. Mereka
yang sedang berkumpul tak jarang sesekali menyoraki temannya yang menurut
mereka tidak sependapat dengan apa yang mereka pikirkan.
Kelas
makin terlihat sangat ramai saat ada beberapa penghuni kelas yang sibuk
mondar-mandir atau berlari-lari kesana-kemari mengejar dan menjahili orang.
Seperti Rere yang sedang sibuk berlari mengambil buku catatannya saat Darren
mengambil bukunya tanpa pamit. Ia berlari mengikuti Darren yang berlari ke
belakang kelas.
Saking
fokusnya penglihatan Rere hanya kearah bukunya yang berada digenggaman Darren,
Rere sampai menabrak seseorang dan kehilangan keseimbangannya. Ia terjatuh dan
itu menyebabkan kacamata yang sedang dipakainya terjatuh ke lantai. Entah sial
atau memang waktunya yang sangat tepat, orang yang ditabrak Rere pun ikut
kehilangan keseimbangan dan tanpa sengaja menginjak kacamata milik Rere. Tentu
saja kacamata itu kini sudah tak berbentuk lagi. Tangkai kacamata itu kini
sudah patah dan lensa kacamata itu pun keluar dari bingkainya.
“Aaah,
kacamata gueeee…”seru Rere dengan muka terlihat sangat panik. Dengan cepat Rere
mengambil kacamatanya yang sudah tidak berbentuk itu dengan muka yang
menyedihkan. Kalau kacamatanya rusak ia tidak bisa melihat tulisan guru nanti
di papan tulis!
Sementara
orang yang ditabarak oleh Rere dan yang menyebabkan kacamatanya rusak tak
berbentuk seperti itu malah terlihat tidak suka. Ia sepertinya marah karena
perjalanannya terganggu akibat insiden seperti ini.
“Heh!
Makanya kalo jalan tuh liat-liat! Mata udah empat masih aja nabrak gue,” bentak
orang yang ditabrak oleh Rere itu. Altan. Ya, orang yang ditabrak Rere adalah
si cowok tampan berwajah sangar itu. Matilah kau, Re, berurusan sama dia!
Rere
tak dapat menanggapi bentakan dari Altan. Ia sadar kalau ini akibat ulahnya
sendiri. Kesalahannya sendiri. Rere hanya menunduk sambil meratapi nasib
kacamatanya.
Perlahan
tapi pasti dengan perasaan yang masih dongkol, Altan beranjak dari tempat itu.
Meninggalkan Rere yang masih saja duduk menunduk disana. Tidak punya perasaan.
Ya, seperti itulah Altan jika dirinya sudah merasa diganggu atau diusik.
Lihatlah, dengan santainya ia tak mengucapkan maaf sedikitpun pada Rere. Maaf
yang hanya sekedar untuk rasa bersalah? Ouch. He didn’t it.
Tak
banyak dari siswa di kelas itu yang menyaksikan insiden ini karna mereka sedang
sibuk dengan urusan—ngerumpi—mereka. Hanya ada beberapa anak yang melihat
kejadian itu. Tentu saja mereka—yang melihat—yang tempat duduknya memang di
sekitar situ. Dan mereka menjadi iba kepada Rere atas kejadian yang baru saja
menimpanya ini.
Ada
yang berinisiatif nyamperin Rere hanya untuk sekedar berbasa-basi apakah ia
baik-baik saja. Ya ampuuun, siapa yang akan baik-baik saja jika ia baru saja
terjatuh dan menyebabkan alat bantu penglihatannya rusak, bahkan orang yang
merusaknya pun tak berniat mengganti rugi atau sekedar minta maaf? Huh!
Kenyataannya orang itu malah membentak dirinya.
Meilani
yang baru saja kembali dari toilet, heran tidah menemukan Rere di bangkunya. Ia
mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas dan menangkap siluet yang
sudah diingatnya. Rere. Dia duduk di bawah lantai tepat di belakang kelas.
Langsung
saja dihampirinya temannya itu. Saat sudah dekat dengan Rere, Meilani baru
menyadari kalau ada yang aneh dengan Rere. Ia masih saja terus menundukan
kepalanya dan terus menatap kacamata yang berada di genggaman tangan kirinya.
“Loh,
Re, lo ngapain disini?” tanya Meilani ikut berjongkok di sebelah Rere.
“Ini
Mel, kacamata guee…” jawab Rere lirih dan terdengar agak serak. Ia kemudian
mendongakkan kepalanya menatap Meilani. Merah. Mata Rere terlihat sangat merah
seperti orang yang sedang menahan tangis. Meilani yang melihatnya jadi tidak
tega. Apalagi ia dikejutkan dengan bentuk kacamata Rere yang sudah terlihat
sangat tak layak pakai itu.
“Ya
ampun, Re! lo apain nih kacamata? Sampe patah kayak gini?!”
“Jatoh
terus diinjek, Mel,” jawab Rere pasrah.
“Diinjek
sama siapa?” tanya Meilani geram. Berani-beraninya merusak kacamata temannya,
gak tanggung jawab gue jitak! Kata Meilani dalam hati.
“Ngg…
itu… sama…” Rere bingung jika harus mengadukan hal ini pada Meilani. Ia tidak
bisa menyalahkan siapapun juga disini. Karena ini memang kesalahannya. Jika ia
bilang bahwa kacamatanya diinjek oleh Altan, nanti Altan pasti akan sangat
marah padanya karna ia sudah pasti tidak suka jika ia turut disalahkan dalam
insiden ini.
“Hah?
Sama siapa, sih?” Meilani semakin penasaran.
“Sama
gue!” jawab Altan. Tau-tau ia sudah ada di belakang Meilani. Berdiri tegap
menatap Meilani dan Rere yang sedang terduduk di bawah lantai dengan tatapan
yang tak bisa diartikan. Tangannya ia lipat di depan dadanya. Ini terlihat
begitu menakutkan jika dilihat dari bawah sana. “Kenapa?”
Meilani
mendongak menatap orang yang baru saja mengaku telah merusak kacamata milik
Rere. melihat tatapan Altan seperti itu, lantas membuat Meilani tidak suka. Ia
memandang Altan sengit—hanya sebentar—, tapi tidak berani mengeluarkan
kata-kata sedikitpun!
God,
siapa yang berani menantang tatapan mata elang yang sangat tajam seperti itu?
Bahkan Meilani harus menelan ludahnya saat melihat tatapan dingin itu seperti
mengulitinya. Memojokkan dirinya.
Meilani
beralih menatap Rere yang terus menunduk. “Bener, Re?” tanyanya memastikan.
“Iya
Mel. Kalo kacamatanya Rere emang diinjek sama si Altan. Tadi pas Rere lagi
lari-larian ngejar gue, terus dia jatoh nabrak Altan. Eh, kacamatanya kelepas
terus keiinjek deh,” jelas Darren yang sedari tadi juga ada disana. Duduk di
lantai meratapi kacamata Rere yang sudah rusak itu.
Mendengar
pembenaran dari Darren membuat Meilani makin geram. Makin membenci cowok itu.
Makin muak melihat tingkahnya yang sok cool dan songong itu.
“Itu
bukan salah gue! Dianya aja yang idiot. Ngapain pake lari-larian di dalem
kelas. Norak!” Altan memberikan pembelaan, tapi juga disertai cibiran, cacian,
dan makian.
Merasa
tidak terima dengan cacian seperti itu membuat Rere yang sedari tadi hanya
diam—berusaha menahan amarahnya—menjadi geram dan batas kesabarannya pun sudah
habis.
“Heh!
Gue gak nuduh lo, ya?! Bahkan gue gak minta tuh ganti rugi sama lo. Gak usah
hina gue kayak gitu bisa, kan?! Lo yang idiot, njir!” teriaknya geram.
Oh,
please Theressa Ibrahim. Lo bener-bener cari mati ngomong kayak gitu. Altan itu
orangnya sensitif, gampang kepancing, dan yang lebih parah… dia tempramental!
Altan
bergerak maju mendekati Rere. Memperkecil jarak yang tercipta. Kemudian ia
berjongkok dihadapan Rere. Tangan kanannya bergerak maju mendekati wajah Rere.
Dan tanpa diduga-duga, ia mencengkram dagu Rere dengan sangat kasar.
Rere
yang mendapat perlakuan seperti itu langsung mengkeret dibuatnya. Ini benar-benar
tak bisa berkutik.
“Lo
berani sama gue? HAH!!!?” teriak Altan menggelegar. Dan detik itu juga, semua
penghuni kelas baru menyadari ada hal yang menarik yang harus mereka tonton.
Tak perlu menunggu waktu lama, sudut belakang kelas mulai ramai dipenuhi oleh
anak-anak kelas yang penasaran ada apa sebenarnya.
“Lo
ngatain gue apa tadi?!!!” bentak Altan lagi.
Kalau
ada yang ingin tahu bagaimana ekspresi Rere saat ini. Ouch! Dia betul-betul
menyedihkan. Wajahnya pucat pasi, matanya mulai mengeluarkan kristal bening
yang terjatuh dengan indahnya dari kedua iris mata tersebut.
Meilani
yang sudah tidak tega melihat temannya diperlakukan seperti ini pun tidak
tinggal diam. Ia harus meluruskan masalah ini. Sebelum terjadi pertumpahan
darah-_-
“Al,
lo apa-apaan sih? Beraninya sama cewek kayak gitu?!” teriaknya di samping Rere.
“Lo tau apa kata yang cocok buat cowok yang beraninya sama cewek? BANCI
tauu!!!”
Altan
menoleh cepat kearah Meilani. Ia menatap gadis itu tajam dan dingin. Meilani
yang sebenarnya takut dengan Altan berusaha berani dengan balik menatapnya
tepat di manik mata cowok itu.
Hening
beberapa saat, sampai akhirnya Altan melepaskan cengkramannya pada Rere, dan
beranjak meninggalkan tempat itu setelah ia mengucapkan sesuatu kepada Meilani.
“Jaga
omongan lo! Gue bukan banci.”
Setelah
Altan pergi meninggalkan ruang kelas, semua orang sibuk berbisik-bisik dengan
orang yang disebelahnya. Bertanya ada apa, apa yang sebenarnya terjadi, dan
lain sebagainya.
Meilani
merangkul Rere—yang sedang menangis terisak-isak— kembali ke tempat duduk
mereka. Ia mencoba menenangkan temannya ini dengan mengucapkan kata “Sabar” dan
“Tabah”.
Kasihan
Rere. Ia pasti sakit hati banget diperlakukan seperti itu di depan banyak
orang. Apalagi Rere itu kan cewek. Dan cewek itu pasti sangat sensitif dan
sakit hati banget kalo dia udah ngerasa diperlakukan tidak baik oleh laki-laki.
Berdo’a sajalah supaya Rere gak mengalami depresi berkepanjangan.
Dan
saat Rere sudah mulai terlihat Sabar dan Tabah, Meilani mulai bertanya
bagaimana cerita sebenarnya. Tak banyak yang diceritakan, bahkan cerita Rere
pun sama seperti penjelasan yang diberikan oleh Darren beberapa saat yang lalu.
“Terus
lo bisa ngeliat gak nih, Re?” tanya Meilani khawatir.
“Ngeliat
elo sih bisa, Mel. Tapi ngeliat tulisan di papan tulis enggak,”jawabnya lirih.
“Yah,
yaudah ntar lo liat catetan gue aja, ya!”
“Makasih,
ya, Mel…”ucap Rere tulus.
“Iya.
Eh, nyokap lo marah gak nih kacamata lo rusak banget begini?”
“Pasti,
Mel. Apalagi ini baru dibeliin dua bulan yang lalu.”
“Ck!
Gara-gara si Altan sableng tuh! Errr… kenapa gitu harus ada cowok macam kayak
dia gitu? Gue nih yaa, kalo di dunia ini cowok tinggal dia atu-atunya yang
masih idup di bumi ini. Aseli, sumpah, Demi apa gue gak bakal mau jadi
pacarnya. Iiihhh,” gerutu Meilani menggebu-gebu.
Rere
hanya menganggukan kepalanya tanda setuju.
“Lagian
emaknya ngidam apa coba ampe punya anak galaknya ketulang-tulang?” tanya
Meilani penasaran. Ia mulai mengkhayal kalau dulu saat hamil Altan, Mamanya
pasti ngidam mau ngelus-ngelus macan, harimau, buaya, atau binatang buas
lainnya. Hal itu membuat Meilani senyum-senyum sendiri.
Hahaha…
pasti nyokapnya tekanan lahir bathin banget deh pas ngidam tuh anak! Dasar
nyebelin! Batin Meilani menertawai Altan.
0 comments:
Post a Comment