Thursday, November 15, 2012

Fall For You (Chapter 4)


Seorang cowok tinggi, berbadan atletis serta diberkati dengan ketampanan yang begitu menawan tengah menatap lembut gadis manis yang ada di hadapannya saat ini. Ya, cowok itu adalah Mahvin Altan Dilara atau lebih dikenal sebagai Altan.
Ia baru saja memberikan sebuah pernyataan yang membuat gadis tersebut terkejut setengah mati dibuatnya. Kini ia menunggu persetujuan dari gadis tesebut atas pernyataannya barusan dengan tenang.
“Gimana?” tanyanya memastikan bahwa gadis di depannya menyetujui pernyataannya beberapa menit lalu.
“Eh ? T-tapi gimana sama Agi? Nanti dia pikir kalo aku—”
“Ngerebut gue dari dia gitu?” tanya Altan memotong ucapan gadis yang sedang berbicara padanya. “Lo tenang aja. Gue sama dia udah putus. Itu artinya gue udah gak ada hubungan apa-apa lagi sama dia. So, terserah gue kan gue mau pacaran sama siapa aja?”
Gadis itu bergerak-gerak gelisah dan menggigit bibir bawahnya sambil menatap Altan dengan bingung, takut dan senang. Bingung karena Altan tiba-tiba saja datang padanya dan menyatakan suka padanya. Takut karena ia merasa ini sebuah lelucon kecil yang sedang diperankan oleh murid tertampan di sekolahnya, dan takut jikalau ia hanya dipermainkan. Sedangkan senang? Ya, tentu saja gadis ini senang kalau cowok yang baru saja dinobatkan sebagai The Most Wanted Boy di LHS—beberapa minggu lalu—baru saja menembaknya, menyatakan cinta padanya.
“I-iyaa sih, tapi kamu…”
Lagi-lagi ucapan gadis manis itu terbaca oleh Altan. “Gue serius. Gue serius banget sama omongan gue barusan. Perlu bukti?” tantangnya.
“Bukti? Mmm,,, boleh!”
Altan mengangkat sebelah alisnya. Bertanya melalui gerak tubuhnya. Dan memperjelas dengan ucapannya. “Mau bukti apa?”
“Terserah,”ucap gadis itu seraya mengedikkan kedua bahunya. Altan terdiam sejenak. Berfikir bagaimana supaya cewek di hadapannya ini percaya padanya. Ia memandang ke segala arah koridor sekolah. Mencoba mencari pertunujukan apa yang akan menghasilkan kepercayaan mendalam untuk calon gadisnya.
Tak jauh darinya—sekitar 5 meter dari tempatnya berdiri—ia melihat sepasang kekasih sedang bercanda-ria dengan menggunakan spidol hitam. Kemudian sang cowok mencoret-coret lengan tangannya dan mengukir inisial dari nama sang cowok dan cewek yang ada di sebelahnya, lalu inisial itu dilingkari dengan gambar berbentuk Love. Altan tersenyum samar.
“Ikut gue!” ujarnya sambil menarik gadis itu kearah parkiran.
“Eh, kita mau kemana? Ngapain?” tanya gadis itu bingung. Altan tak menghiraukannya. Ia tetap menggandeng gadis itu menuju parkiran. Menuju mobil kesayangannya terparkir disana.
Sesampainya di depan mobilnya, Altan langsung membuka pintu penumpang dan membuka laci dashboard untuk mengambil sesuatu.
Setelah barang yang dicarinya sudah ada dalam genggamannya, Altan kembali menutup pintu mobilnya. Ia berdiri di sebelah calon gadisnya.
“Hah? Pilox? Buat apaan, Al?” tanya gadis itu tak mengerti.
“Buat bukti lah,”jawabnya santai. “Lo tau? Ini mobil kesayangan gue. Soalnya gue beli ini pake uang gue sendiri. Terus, pilox ini buat pernyataan cinta gue ke elo.”
Altan mengocok-ngocok botol pilox yang sedang dipegangnya berkali-kali. Kemudian ia membuka tutup botol piloxnya seraya mengucapkan sesuatu kepada gadis disebelahnya. “Lo liat karya gue ini!”ucapnya tanpa memandang kearah gadis itu, tatapannya terfokus pada apa yang dilihat didepannya. Sebuah objek yang akan menjadi bukti akan aksinya ini. Mobil Pajero Sport berwarna putih kesayangannya.
Altan mulai melangkahkan kakinya mendekati mobil miliknya. Ia berjongkok disebelah mobilnya, lalu mengarahkan botol cat itu ke arah body mobilnya. Cat yang berwarna biru tua itu mulai menghiasi bagian mobil Altan dibagian kiri mobil.
Setelah 5 menit berselang, selesailah karyanya yang membuat gadis yang sedari tadi menatapnya tak percaya sukses membelalakkan matanya, membuat pipinya merah merona menahan rasa malu sekaligus senang disaat bersamaan.
Altan menatap puas hasil karya yang baru saja diselesaikannya itu. Kemudian ia berpindah ke bagian Kap mobil depannya. Mengukir kembali karyanya dengan tulisan yang berbeda dari yang sebelumnya. Dan setelah menyelesaikan karyanya yang kedua, kembali ia pindah ke bagian kanan mobilnya. Mengukir kembali kata-kata yang berbeda.
“Done!” serunya setelah ia menyelesaikan semua hasil karyanya. Ia kembali ke sebelah gadis manis yang sedari tadi memperhatikannya dengan ketakjuban yang luar biasa.
Oh, yeah! Altan kini berhasil membuat mobil kesayangannya yang mulus itu berubah menjadi mobil yang penuh dengan tulisan-tulisan ungkapan cinta.
Altan menggandeng tangan gadis yang ada disebelahnya kemudian mengajaknya mengelilingi mobilnya. Melihat hasil karyanya. Menunjukkan bukti cintanya.
Ia mulai dari bagian mobil sebelah kiri. Karya pertamanya. Disana tertulis ‘Je t’aime, Laura’ dengan beberapa ukiran-ukiran sederhana di setiap hurufnya. “Je t’aime, Anindya. Artinya Aku Cinta Kamu, Laura.”
Laura. Ya, gadis itu bernama Laura Putri Gumilang. Gadis yang diminta oleh Altan menjadi pacarnya. Ia teman sekelas Altan, Agi, dan juga Meilani. Tidak ada yang tahu apa maksud Altan menembaknya, bahkan Altan sendiri pun tak mengerti. Yang jelas, ia merasa kalau ia harus melakukan hal ini.
Laura adalah gadis manis dengan lesung pipi kecil di bagian bawah bibirnya. Gadis berambut ikal ini akan sangat terlihat manis jika ia sedang tersenyum. Dan Laura adalah sosok pribadi yang sangat manja dan terlalu bersikap kekanak-kanakan sebenarnya. Altan merasa… entahlah!
Laura tahu betul apa arti dari tulisan tersebut, maka dari itu ia memandang Altan dengan tersenyum yang sangat sangat terlihat manis. Lalu Altan mengajaknya beranjak menuju bagian depan mobilnya. Disana hanya terdapat 2 huruf dan 1 simbol. Ditulis sebesar-besarnya secara horizontal. A & L.
“Ini inisial nama kita. A & L. Altan dan Laura,”ucap Altan seraya merangkul pundak Laura.
Laura terkekeh sebentar. “Iya, aku tau.”
Mereka melanjutkan lagi perjalanan mereka ke bagian mobil di sisi kanan. Altan kembali menjelaskan, “Ini ditulis pake huruf Katakana Jepang. Bacanya ‘Sekai ga owaru made, anata wa watashi no gārufurendo kamo shirenai.’
“Artinya?”
“You could be my girlfriend until the world ends.” Altan mengucapkannya sambil mengarahkan gadis yang berada dalam rangkulannya, kini menghadap kearahnya. Memeluknya dan mendekapnya di dalam dada bidangnya.
Laura hampir saja berhenti bernafas saat dirasanya jantungnya berdetak hebat, mematikan beberapa saraf sadarnya, bahkan membuat lututnya lemas tak bertenaga.
Siapa yang sangka bahwa ia akan ditembak oleh cowok tampan dengan se-romatis ini???
“Iya, Al. aku mau kok jadi pacar kamu. Bahkan kamu gak perlu sampe ngorbanin mobil kesayangan kamu sampe jadi kayak gini,” kata Laura sambil menatap Altan. “Aku bakal tetep nerima kamu, kok.”
Altan memicingkan matanya. Dilepaskan pelukannya terhadap Laura. “Kenapa gak bilang dari tadi?” tanyanya geram. Siapa juga yang gak kesel kalo mobil yang paling disayangnya malah dicoret-coret kayak gitu?
“Hehehe… abisnya tadi kamu nantangin buktinya, sih! Salah sendiri, wleeee…”
Altan menatap mobilnya yang kini dipenuhi dengan cat pilox berwarna biru itu sambil tersenyum samar. Anjrit! Gua norak banget ya ternyata? Hahahaha… ucapnya dalam hati.
“Al, kamu marah ya sama aku?” tanya Laura sambil menggenggam lengan kirinya. Altan menoleh sekilas kearah Laura dan kembali lagi menatap mobil ‘norak’nya.
“Gak! Gue lagi mikir aja gimana caranya nih mobil jadi mulus lagi.”
“Di pilox-in aja lagi, yaang… pake pilox yang putih,” usul Laura asal-asalan. Altan hanya tertawa menanggapi usul dari pacar barunya tersebut. Kemudian mengacak-acak poninya gemas.
Setelah dirasa semuanya cukup untuk diamati dan disesali, Altan mengajak Laura kembali ke kelas mereka. Dan saat mereka ingin beranjak dari tempat parkir itu, mereka baru menyadari kalau aksi penembakan ini ditonton banyak siswa-siswi LHS. Tapi Altan—tetap dengan gayanya— tak memperdulikannya. Ia tetap menggandeng Anin menuju kelas mereka.

***
Rere berjalan tergesa-gesa menuju kelasnya berada. Mencari teman sebangkunya untuk mendengarkan kabar terheboh yang baru saja dilihatnya. Ia mencari Meilani. Mela pasti akan sangat shock mendapatkan kabar yang tak pernah diduga-duga oleh semua masyarakat LHS.
Sesampainya di kelas, Rere langsung menuju bangkunya berada, disebelah Meilani.
“Mel,,Mel… ada kabar paling hot loooh!” serunya semangat.
“Apa sih, Re?” tanya Meilani malas. Entah mengapa moodnya hari ini tidak begitu baik.
“Gue udah tau apa penyebab Altan sama Agi itu putus!” ujar Rere berbisik-bisik. Ia takut kalau Agi yang juga ada di ruang kelas mendengar percakapan mereka. “Ternyata karna ada pihak ketiganya, Mey!”
Ucapan terakhir Rere malah membuat Meilani sport jantung.  Jangan-jangan yang dimaksud pihak ketiga itu dirinya? Kalo iya bisa gawat! Batin Meilani meringis.
“Si-siapa?” tanya Meilani hati-hati.
“Anak kelas ini, Mel! Dan mereka baru aja jadian!”
“Hah? Jadian?” Lohh, ini siapa  sih yang dimaksud?
Rere mengangguk yakin. “Iya, baru banget jadian! Dan nembaknya itu… Aaaaa so sweet-nya spekta banget deeehh!”
“Tunggu dulu deh! Ini orang yang elo maksud tuh siapa, sih?”
Tepat setelah Mel bertanya seperti itu, orang yang mereka sedang perbincangkan masuk ke dalam kelas.
Semua penghuni kelas—yang tak melihat kejadian penembakan tadi—menatap tak percaya. Termasuk juga Agi. Kini wajahnya sudah memerah karna menahan amarah melihat dua orang yang baru saja datang itu.
Sementara Meilani? Ia merasa lega dan juga bingung. Lega karena ‘orang ketiga’ itu bukan dirinya, dan bingung karena gak ada angin, hujan, badai, petir, tornado dan semacamnya, tiba-tiba saja dua orang itu kini bergandengan tangan mesra? Berpacaran?
Siapa yang akan menyangka kedua orang itu bisa berpacaran tanpa pendekatan terlebih dahulu? Ya, mereka tidak pernah melihat Altan berdekatan dengan Anin barang sejengkal pun!!! Setidaknya menunjukan tindak-tanduk kalau mereka ada ‘affair’.
“Tuhkan?!! bukan gue penyebabnya!” gumam Meilani pelan.
“Hah? Apaan, Mel?” tanya Rere yang ternyata mendengar samar-samar suara Meilani tadi.
Meilani merutuki kebodohannya menggumam seperti tadi. Hampir saja Rere mendengarnya! “Nggak! Gapapa kok, Re.. hehehe.”
Rere hanya mengangguk-anggukan kepalanya. “Ooh… Eh, menurut lo, mereka cocok gak?” tanya Rere sambil mengedikkan dagunya kearah dua sejoli itu.
“Cocok aja sih.”
“Hmm… menurut gue gak tuh! Liat aja. Altan kan dingin gitu, trus si Laura tuh kan anaknya manja banget. Nah, kalo mereka lagi berduaan gitu, kesannya tuh yang cewek kelenjehan banget!” terang Rere.
“Lenjeh gimana?”
Rere mengangkat bahunya. “Gue sih ngeliatnya gitu. Abis si Laura manjanya gitu sih! Sok-sok mesra padahal si Altannya diem aja gitu. Gak nanggepin gitu. Liat kan?” tanyanya meminta pendapat.
Meilani mencoba memperhatikan kembali. Iya sih… “Yah, biarin aja deh, Re! itu kan haknya mereka. Ngapain sih pusing-pusingin mereka gitu.”

***
Siang itu kelas yang dihuni oleh Meilani sedang senggang. Tidak ada guru yang mengajar disana. Hal ini tentu saja membuat kelas tersebut menjadi ramai dengan kegaduhan di setiap sudut ruangannya. Di bagian kanan pojok kelas banyak anak laki-laki yang sedang berkumpul membicarakan pertandingan bola yang berlangsung tadi malam, antara Real Madrid vs Liverpool. Sedangkan di barisan tengah, para penghuni perempuan justru sibuk menggosipkan artis yang menjadi idola mereka. Mereka yang sedang berkumpul tak jarang sesekali menyoraki temannya yang menurut mereka tidak sependapat dengan apa yang mereka pikirkan.
Kelas makin terlihat sangat ramai saat ada beberapa penghuni kelas yang sibuk mondar-mandir atau berlari-lari kesana-kemari mengejar dan menjahili orang. Seperti Rere yang sedang sibuk berlari mengambil buku catatannya saat Darren mengambil bukunya tanpa pamit. Ia berlari mengikuti Darren yang berlari ke belakang kelas.
Saking fokusnya penglihatan Rere hanya kearah bukunya yang berada digenggaman Darren, Rere sampai menabrak seseorang dan kehilangan keseimbangannya. Ia terjatuh dan itu menyebabkan kacamata yang sedang dipakainya terjatuh ke lantai. Entah sial atau memang waktunya yang sangat tepat, orang yang ditabrak Rere pun ikut kehilangan keseimbangan dan tanpa sengaja menginjak kacamata milik Rere. Tentu saja kacamata itu kini sudah tak berbentuk lagi. Tangkai kacamata itu kini sudah patah dan lensa kacamata itu pun keluar dari bingkainya.
“Aaah, kacamata gueeee…”seru Rere dengan muka terlihat sangat panik. Dengan cepat Rere mengambil kacamatanya yang sudah tidak berbentuk itu dengan muka yang menyedihkan. Kalau kacamatanya rusak ia tidak bisa melihat tulisan guru nanti di papan tulis!
Sementara orang yang ditabarak oleh Rere dan yang menyebabkan kacamatanya rusak tak berbentuk seperti itu malah terlihat tidak suka. Ia sepertinya marah karena perjalanannya terganggu akibat insiden seperti ini.
“Heh! Makanya kalo jalan tuh liat-liat! Mata udah empat masih aja nabrak gue,” bentak orang yang ditabrak oleh Rere itu. Altan. Ya, orang yang ditabrak Rere adalah si cowok tampan berwajah sangar itu. Matilah kau, Re, berurusan sama dia!
Rere tak dapat menanggapi bentakan dari Altan. Ia sadar kalau ini akibat ulahnya sendiri. Kesalahannya sendiri. Rere hanya menunduk sambil meratapi nasib kacamatanya.
Perlahan tapi pasti dengan perasaan yang masih dongkol, Altan beranjak dari tempat itu. Meninggalkan Rere yang masih saja duduk menunduk disana. Tidak punya perasaan. Ya, seperti itulah Altan jika dirinya sudah merasa diganggu atau diusik. Lihatlah, dengan santainya ia tak mengucapkan maaf sedikitpun pada Rere. Maaf yang hanya sekedar untuk rasa bersalah? Ouch. He didn’t it.
Tak banyak dari siswa di kelas itu yang menyaksikan insiden ini karna mereka sedang sibuk dengan urusan—ngerumpi—mereka. Hanya ada beberapa anak yang melihat kejadian itu. Tentu saja mereka—yang melihat—yang tempat duduknya memang di sekitar situ. Dan mereka menjadi iba kepada Rere atas kejadian yang baru saja menimpanya ini.
Ada yang berinisiatif nyamperin Rere hanya untuk sekedar berbasa-basi apakah ia baik-baik saja. Ya ampuuun, siapa yang akan baik-baik saja jika ia baru saja terjatuh dan menyebabkan alat bantu penglihatannya rusak, bahkan orang yang merusaknya pun tak berniat mengganti rugi atau sekedar minta maaf? Huh! Kenyataannya orang itu malah membentak dirinya.
Meilani yang baru saja kembali dari toilet, heran tidah menemukan Rere di bangkunya. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas dan menangkap siluet yang sudah diingatnya. Rere. Dia duduk di bawah lantai tepat di belakang kelas.
Langsung saja dihampirinya temannya itu. Saat sudah dekat dengan Rere, Meilani baru menyadari kalau ada yang aneh dengan Rere. Ia masih saja terus menundukan kepalanya dan terus menatap kacamata yang berada di genggaman tangan kirinya.
“Loh, Re, lo ngapain disini?” tanya Meilani ikut berjongkok di sebelah Rere.
“Ini Mel, kacamata guee…” jawab Rere lirih dan terdengar agak serak. Ia kemudian mendongakkan kepalanya menatap Meilani. Merah. Mata Rere terlihat sangat merah seperti orang yang sedang menahan tangis. Meilani yang melihatnya jadi tidak tega. Apalagi ia dikejutkan dengan bentuk kacamata Rere yang sudah terlihat sangat tak layak pakai itu.
“Ya ampun, Re! lo apain nih kacamata? Sampe patah kayak gini?!”
“Jatoh terus diinjek, Mel,” jawab Rere pasrah.
“Diinjek sama siapa?” tanya Meilani geram. Berani-beraninya merusak kacamata temannya, gak tanggung jawab gue jitak! Kata Meilani dalam hati.
“Ngg… itu… sama…” Rere bingung jika harus mengadukan hal ini pada Meilani. Ia tidak bisa menyalahkan siapapun juga disini. Karena ini memang kesalahannya. Jika ia bilang bahwa kacamatanya diinjek oleh Altan, nanti Altan pasti akan sangat marah padanya karna ia sudah pasti tidak suka jika ia turut disalahkan dalam insiden ini.
“Hah? Sama siapa, sih?” Meilani semakin penasaran.
“Sama gue!” jawab Altan. Tau-tau ia sudah ada di belakang Meilani. Berdiri tegap menatap Meilani dan Rere yang sedang terduduk di bawah lantai dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Tangannya ia lipat di depan dadanya. Ini terlihat begitu menakutkan jika dilihat dari bawah sana. “Kenapa?”
Meilani mendongak menatap orang yang baru saja mengaku telah merusak kacamata milik Rere. melihat tatapan Altan seperti itu, lantas membuat Meilani tidak suka. Ia memandang Altan sengit—hanya sebentar—, tapi tidak berani mengeluarkan kata-kata sedikitpun!
God, siapa yang berani menantang tatapan mata elang yang sangat tajam seperti itu? Bahkan Meilani harus menelan ludahnya saat melihat tatapan dingin itu seperti mengulitinya. Memojokkan dirinya.
Meilani beralih menatap Rere yang terus menunduk. “Bener, Re?” tanyanya memastikan.
“Iya Mel. Kalo kacamatanya Rere emang diinjek sama si Altan. Tadi pas Rere lagi lari-larian ngejar gue, terus dia jatoh nabrak Altan. Eh, kacamatanya kelepas terus keiinjek deh,” jelas Darren yang sedari tadi juga ada disana. Duduk di lantai meratapi kacamata Rere yang sudah rusak itu.
Mendengar pembenaran dari Darren membuat Meilani makin geram. Makin membenci cowok itu. Makin muak melihat tingkahnya yang sok cool dan songong itu.
“Itu bukan salah gue! Dianya aja yang idiot. Ngapain pake lari-larian di dalem kelas. Norak!” Altan memberikan pembelaan, tapi juga disertai cibiran, cacian, dan makian.
Merasa tidak terima dengan cacian seperti itu membuat Rere yang sedari tadi hanya diam—berusaha menahan amarahnya—menjadi geram dan batas kesabarannya pun sudah habis.
“Heh! Gue gak nuduh lo, ya?! Bahkan gue gak minta tuh ganti rugi sama lo. Gak usah hina gue kayak gitu bisa, kan?! Lo yang idiot, njir!” teriaknya geram.
Oh, please Theressa Ibrahim. Lo bener-bener cari mati ngomong kayak gitu. Altan itu orangnya sensitif, gampang kepancing, dan yang lebih parah… dia tempramental!
Altan bergerak maju mendekati Rere. Memperkecil jarak yang tercipta. Kemudian ia berjongkok dihadapan Rere. Tangan kanannya bergerak maju mendekati wajah Rere. Dan tanpa diduga-duga, ia mencengkram dagu Rere dengan sangat kasar.
Rere yang mendapat perlakuan seperti itu langsung mengkeret dibuatnya. Ini benar-benar tak bisa berkutik.
“Lo berani sama gue? HAH!!!?” teriak Altan menggelegar. Dan detik itu juga, semua penghuni kelas baru menyadari ada hal yang menarik yang harus mereka tonton. Tak perlu menunggu waktu lama, sudut belakang kelas mulai ramai dipenuhi oleh anak-anak kelas yang penasaran ada apa sebenarnya.
“Lo ngatain gue apa tadi?!!!” bentak Altan lagi.
Kalau ada yang ingin tahu bagaimana ekspresi Rere saat ini. Ouch! Dia betul-betul menyedihkan. Wajahnya pucat pasi, matanya mulai mengeluarkan kristal bening yang terjatuh dengan indahnya dari kedua iris mata tersebut.
Meilani yang sudah tidak tega melihat temannya diperlakukan seperti ini pun tidak tinggal diam. Ia harus meluruskan masalah ini. Sebelum terjadi pertumpahan darah-_-
“Al, lo apa-apaan sih? Beraninya sama cewek kayak gitu?!” teriaknya di samping Rere. “Lo tau apa kata yang cocok buat cowok yang beraninya sama cewek? BANCI tauu!!!”
Altan menoleh cepat kearah Meilani. Ia menatap gadis itu tajam dan dingin. Meilani yang sebenarnya takut dengan Altan berusaha berani dengan balik menatapnya tepat di manik mata cowok itu.
Hening beberapa saat, sampai akhirnya Altan melepaskan cengkramannya pada Rere, dan beranjak meninggalkan tempat itu setelah ia mengucapkan sesuatu kepada Meilani.
“Jaga omongan lo! Gue bukan banci.”

Setelah Altan pergi meninggalkan ruang kelas, semua orang sibuk berbisik-bisik dengan orang yang disebelahnya. Bertanya ada apa, apa yang sebenarnya terjadi, dan lain sebagainya.
Meilani merangkul Rere—yang sedang menangis terisak-isak— kembali ke tempat duduk mereka. Ia mencoba menenangkan temannya ini dengan mengucapkan kata “Sabar” dan “Tabah”.
Kasihan Rere. Ia pasti sakit hati banget diperlakukan seperti itu di depan banyak orang. Apalagi Rere itu kan cewek. Dan cewek itu pasti sangat sensitif dan sakit hati banget kalo dia udah ngerasa diperlakukan tidak baik oleh laki-laki. Berdo’a sajalah supaya Rere gak mengalami depresi berkepanjangan.
Dan saat Rere sudah mulai terlihat Sabar dan Tabah, Meilani mulai bertanya bagaimana cerita sebenarnya. Tak banyak yang diceritakan, bahkan cerita Rere pun sama seperti penjelasan yang diberikan oleh Darren beberapa saat yang lalu.
“Terus lo bisa ngeliat gak nih, Re?” tanya Meilani khawatir.
“Ngeliat elo sih bisa, Mel. Tapi ngeliat tulisan di papan tulis enggak,”jawabnya lirih.
“Yah, yaudah ntar lo liat catetan gue aja, ya!”
“Makasih, ya, Mel…”ucap Rere tulus.
“Iya. Eh, nyokap lo marah gak nih kacamata lo rusak banget begini?”
“Pasti, Mel. Apalagi ini baru dibeliin dua bulan yang lalu.”
“Ck! Gara-gara si Altan sableng tuh! Errr… kenapa gitu harus ada cowok macam kayak dia gitu? Gue nih yaa, kalo di dunia ini cowok tinggal dia atu-atunya yang masih idup di bumi ini. Aseli, sumpah, Demi apa gue gak bakal mau jadi pacarnya. Iiihhh,” gerutu Meilani menggebu-gebu.
Rere hanya menganggukan kepalanya tanda setuju.
“Lagian emaknya ngidam apa coba ampe punya anak galaknya ketulang-tulang?” tanya Meilani penasaran. Ia mulai mengkhayal kalau dulu saat hamil Altan, Mamanya pasti ngidam mau ngelus-ngelus macan, harimau, buaya, atau binatang buas lainnya. Hal itu membuat Meilani senyum-senyum sendiri.
Hahaha… pasti nyokapnya tekanan lahir bathin banget deh pas ngidam tuh anak! Dasar nyebelin! Batin Meilani menertawai Altan.



0 comments:

Post a Comment