DELAPAN BELAS
Siang
itu, ketika jam istirahat sedang berlangsung, Altan langsung menanyakan tentang
bagaimana Dion mempunyai ide secermelang dan menakjubkan seperti itu, tapi
tidak memberitahunya dulu.
Dion serius kalau dia tidak mau kali ini Altan merusak idenya. Jika dia memberitahukan pada Altan tentang ide kelompok belajar itu, tidak menutup kemungkinan kalau Altan akan meminta agar Dion menyusun kelompok yang hanya beranggotakan dua orang saja ditiap kelompoknya. Dan kalau itu sampai terjadi, bisa dibayangkan akan berakhir seperti apa nantinya jika Altan memilih untuk sekelompok HANYA dengan Meilani.
Oh,
tentunya Dion tidak mau kalau Altan bertindak ceroboh lagi untuk kesekian
kalinya.
“Tapi
kalo gua tau elo punya ide bikin kelompok belajar, ngapain gua capek-capek
cerita ke Nela? Bikin malu gua aja lo,” kata Altan keki.
Mereka
kini berada di areal kantin luar. Kantin sekolah ini memang menyediakan
spot-spot di luar ruangan. Karna terkadang kantin yang berada di dalam ruangan
sudah terlalu penuh sesak dan sedikit panas walaupun disana sudah terpasang
pendingin di setiap sudut. Maka dari itu, supaya menciptakan kenyamanan untuk
para murid ketika sedang makan siang, pengurus kantin kantin memutuskan untuk
merombak kantin. Di sebelah selatan yang tadinya tembok, sudah dibobok dan
digantikan pintu kaca yang langsung bisa menuju ke luar. Yang mana dibagian
luar juga terdapat sekitar 15 meja bundar berpayung yang satu mejanya
dikelilingi 5 kursi kayu.
Dion
menyeruput moccacinonya, melirik ke
atas dimana Altan sedang menatap tajam padanya.
“Yaudah
sih biarin aja. Malah bagus kan.”
“Yaa
nanti kalo si Nela bocorin ke dia sama orang-orang yang lain gimana?”
Dion
mendengus. “Lo tuh, ya, tampang doang dingin dan nyeremin. Sama Nela aja takut
banget. Asal lo tau Al, Nela itu takut sama lo. dia gak mungkin ngambil resiko
buat bocorin rahasia lo. gua yang jamin.”
Altan
terdiam. Menatap lurus-lurus pada Dion. “Lagian dengan lo bujuk Nela, yaa,
walaupun dengan cara bongkar rahasia lo sendiri, itu cukup ngasih lo keuntungan
kan?” tanya Dion melanjutkan ucapannya tadi. “Lo liat sekarang. Kalo lo gak
jujur ke Nela, emangnya dia bakalan duduk dibelakang lo sekarang? Emangnya lo
bisa pendekatan kalo dia duduk di depan? Emangnya lo bisa becanda-candaan sama
dia sekarang?”
Altan
membenarkan dalam hati. Lalu sesaat kemudian Fadlan datang untuk bergabung
dengan membawa nampan berisi makan siang yang baru saja dibelinya. Mereka tak
perlu khawatir jika Fadlan tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Karena Fadlan
juga sudah tahu segalanya mengenai Altan dan Meilani.
Fadlan
tak perlu bersusah payah mendesak Altan untuk bercerita padanya, karna
faktanya, Altan sendirilah yang mengungkapkan semua padanya. Karna mereka cukup
dekat sebagai saudara sepupu. Well, walaupun Fadlan bersaudara dengan Altan,
tetap hanya Dionlah yang selalu mengatur secara all out rencana untuk mendekatkan Altan pada Meilani. sedangkan
Fadlan hanya membantu semampunya dan sebisanya.
Melihat
Fadlan yang bergeser tempat duduk, membuat Altan memikirkan sesuatu yang sudah
mengganggunya sejak mereka berhasil membuat Meilani terjebak di bangku
belakang.
“Gua
mau pindah kalo gitu,” ujar Altan sambil tersenyum misterius.
Dion
berdecak. “Gak. Gua gak mau ya, kalo lo pindah ke tempat gua. Jangan nyusahin
gua!”
“Yeh,
siapa juga yang mau pindah ke tempat duduk lo?” Altan memutar matanya sinis.
“Gua mau pindah ke tempat duduknya Farhan aja ah. Kalo dari situ ngeliat dianya
lebih puas.”
Oh.
Dion
mengedikkan bahunya. Terserah Altan mau
ngapain asalkan gak ngerusak rencana yang udah dia susun capek-capek. Dan kalo
satu kali lagi Altan mengacaukan rencananya, maka Dion tak akan lagi dengan
sukarela membantu sahabatnya itu untuk mendapatkan apa yang ingin dicapainya.
Mendapatkan cintanya. Tak akan lagi.
“Oh
iya. Ngomong-ngomong soal Farhan, lo udah baikan atau belom sama dia sih?”
“Au
ah.”
Fadlan
tertawa. “Seharusnya lo tendang aja, ege, tuh anak. Belagu banget gitu,” kata
Fadlan memanas-manasi yang langsung menutup mulut saat mendapat tatapan tajam
dari Dion.
“Eh,
serius gua, nyet. Daripada tuh orang bikin lo naek darah lagi, mending dia
pindah aja ke sebelah gua. Biar Fadlan duduk sama lo.”
“Terserah,”
jawab Altan enggan.
“Lagian
kalo Fadlan juga pindah, bisa lah ya, dikit-dikit ngalihin perhatian Meilani,
biar dianya gak curiga dan keGe-eR-an karna lo pindah tempat duduk biar puas
ngeliat dia.” Dion menatap Altan dengan serius sambil memainkan alisnya
naik-turun menggoda. “Gimana, Dlan?” tanyanya meminta persetujuan.
Fadlan
hanya mengangkat bahunya. “Yaa gua mah terserah lo pada aja dah. Yang penting
jangan nyuruh gua duduk di depan.”
Altan
menyaring semua ide yang dipikirkan Dion. Benar, kalau dia tiba-tiba pindah
tempat duduk ke tempat Farhan –yang notabenenya tepat di depan Nela, mungkin
itu akan mengundang kecurigaan pada Meilani. Apalagi dalam waktu dekat ini, dia
akan benar-benar berusaha mendekati Meilani. Yang itu artinya, dia akan
bertingkah lebih manis dan lembut di depan atau kepada Meilani.
“Yaudah
lo taro mana kek tuh orang. Udah muak banget gua juga liatnya. Kalo perlu
jauh-jauh deh dari gua.”
Dion
dan Fadlan menyeringai. Mereka mempunyai pikiran yang sama rupanya. “Calm down, nyoh. Gua yang bakal bikin
dia nyadar diri buat ngejauh dari elo,” janji Dion sungguh-sungguh sambil
bermain mata dengan Fadlan, kemudian mereka tertawa lepas.
***___***___***
Meilani
baru saja kembali dari toilet dan membeku di depan pintu kelas saat melihat
Fadlan sedang duduk menempati bangkunya. Dilihat dari raut mukanya dan gesture
tubuhnya, sepertinya dia sedang curhat dengan Nela. Dan sepertinya mereka tidak
ingin diganggu.
Meilani
perlu duduk. Tapi berhubung guru yang sedang mengajar sedang keluar kelas juga,
akhirnya Meilani membelokkan dirinya pergi ke tempat duduk Friska cs yang
sedang bergossip ria.
Jujur
saja, Meilani malas mengganggu Fadlan yang sedang curhat, yang itu artinya dia
tidak bisa duduk di tempatnya sendiri. Dan satu-satunya bangku yang kosong di
dekat tempat duduknya adalah bangku yang ditinggalkan Fadlan. Disebelah…Altan.
Akhir-akhir ini Meilani cukup mempunyai efek
jika menyangkut tentang Altan. Entah kenapa, akhir-akhir ini Meilani merasa
semua orang di dekatnya berbeda. Nela, Dion, Fadlan dan yang lainnya berbeda.
Mereka seperti mendorong dirinya untuk berdekatan dengan Altan. Selalu
menyangkutpautkan sesuatu tentangnya dengan sesuatu tentang Altan.
Dan
kecurigaan Meilani dipendamnya sendiri. Tak mungkin ia menanyakan langsung
kepada salah satu diantara mereka, nanti kalau ia dikira terlalu berpikir yang
aneh dan melebih-lebihkan bagaimana?
Well,
Meilani tetap akan melakukan apa yang harus dilakukannya sambil tetap mengamati
apa yang mereka lakukan dan tawarkan padanya. Hanya menunggu dan ia akan
melihatnya. Segera.
Meilani
meringis dalam hati saat guru yang sempat izin keluar tadi kini telah kembali.
Dan itu artinya dia harus pergi ke tempatnya sendiri. Sedangkan pada saat itu,
obrolan Fadlan dan Nela semakin terlihat serius.
Ketika
Meilani berdiri tepat di samping mejanya, ia berusaha mengusir Fadlan dari
tempatnya. Tapi Fadlan ngotot tidak mau pindah ke tempatnya.
“Mel,
gua lagi curhat dulu sama Nela nih. Lo duduk di tempat gua dulu,kek.”
Meilani
melirik tempat duduk Fadlan dengan enggan. Tanpa benar-benar melirik pada orang
sebelahnya, Meilani tahu kalau orang itu sedang menunggunya. Meilani berdecak.
“Gak mau ahelah, Dlan. Pindah kek. Udah ada Pak Kresna nih!” rengeknya.
“Ya
Tuhan, Mel. Sebentar lagi deh. Dikit lagi juga jam pelajaran Pak Kresna
selesai. Lo duduk disitu dulu. Tanggung nih, penting curhatan gua,” ujar Fadlan
tetap menolak Meilani.
Meilani
menatap pada Nela untuk meminta bantuan mengusir Fadlan dari bangkunya, tapi
Nela —yang benar-benar harus berjuang menahan tawanya— sebisa mungkin
memperlihatkan mimik kecewa karna tak bisa membantu Meilani. Meilani begitu
terkejut saat Nela berkata, “Iya, Mel. Duduk di depan situ dulu ya. Kasian nih
Fadlan masalahnya rumit banget.”
Bodo
amat, pikir Meilani saat itu. Yang Meilani khawatirkan saat ini adalah dia
harus duduk disebelah Altan. Well, walaupun hanya untuk beberapa menit.
Meilani
merintih sambil cemberut saat Fadlan dan Nela langsung mengabaikan
kehadirannya. Mereka berdua langsung melanjutkan obrolan mereka dengan
berbisik-bisik.
Tiba-tiba
Meilani merasa keringat meluncur di sepanjang tulang belakangnya. Oh. My. God!
Sebelum
Meilani benar-benar melangkahkan kakinya satu langkah ke depan, dengan wajah
cemberut dan sedikit keras kepala, Meilani mencoba melirik Fadlan dan Nela
lagi. Tapi nihil. Mereka tak menghiraukannya. Lalu melirik ke sebelahnya,
dimana Dion dan Farhan sedang menyibukkan diri mereka dengan mengobrol dan tak
ada satupun yang melihat ke arahnya. Menyadari kehadirannya.
Sial,
Meilani kini terjebak.
“Heh,
Mel, duduk! Ditegor Pak Kresna aja lo,” ucap Fadlan yang menegurnya karena
masih terdiam membatu meminta pertolongan pada siapapun.
Diam-diam,
Meilani melarikan pandangannya menscan seluruh ruangan kelasnya. Mencari bangku
lain yang kosong. Asalkan tidak di sebalah Altan.
Saat
matanya tertuju pada bangku yang tak berpenghuni di depan ujung kelas, saat itu
juga Meilani dibentak oleh Fadlan yang menyuruhnya untuk duduk di tempatnya.
Meilani
mengerang.
Sial,
sial, sial, sial, sial. Dia benar-benar dijebak.
Dengan
berat Meilani menyeret kakinya dan mendudukan pantatnya di bangku Fadlan.
Sedikit takut untuk menengok ke penghuni di sebelahnya.
Oh,
sial. Kenapa jantungnya kini berpacu berkali-kali lipat dibanding biasanya?
Kenapa sekarang dia menjadi gugup? Kenapa dia merasa ada yang memperhatikannya?
“Lo
ngapain duduk disini?” shit, ngomong apa Altan barusan?
Meilani
menengok ke samping dengan terkejut. Ini dia. Orang ini selalu sukses
membuatnya kesal dan keki disaat yang bersamaan.
Beruntung
mood Meilani sedang tidak ingin bertengkar saat ini. Meilani menghela nafas
berat. “Tuh, temen lo nguasain bangku gue,” ujarnya terdengar kesal.
Altan
menengok sebentar ke belakang. Seringai kecil muncul di matanya. untung saja
Meilani tidak balik mencak-mencak kepadanya, jadinya ia yakin Meilani masih
akan berada disebelahnya.
Oke,
tarik nafas Altan… usahakan jangan ngomong sesuatu yang buat dia naik darah.
Satu…dua…tiga… Hufffff Haaaahhh!!!
“Yep. He was needed an advice, Mel. Lagi ada masalah berat tuh orang,” kata Altan cuek dan
mengedikkan bahunya. Akhirnya, bisa sedikit santai juga.
Meilani
mendesah sambil cemberut. “Kan bisa nanti aja lanjutin lagi.”
“Ya
namanya juga lagi kepepet.” Dasar keras
kepala!
“Isshh.”
Well,
nampaknya Meilani benar-benar tidak mau duduk disebelahnya, pikir Altan saat
itu. Tapi dia tetap harus menahan cewek itu disampingnya. Jadi dia memutuskan
untuk membahas sesuatu yang menarik perhatian Meilani.
“Lo
udah hafal vocab yang dikasih Gea Sensei minggu kemaren, Mel?” tanya Altan
mengungkit pelajaran Bahasa Jepang minggu kemarin yang mengharuskan menghafal
dan menyetor tiga puluh kosa kata berbahasa Jepang itu setelah pelajaran Pak Kresna
berakhir.
Meilani
menengok ke arah Altan. Mata indahnya berkeliling ke atas ke bawah karna sedang
berpikir apakah dia sudah menghafal semua kosa kata itu. “Hampir,” jawabnya
singkat.
Jeda
cukup lama diantara mereka sampai Meilani memutuskan untuk balik bertanya demi
menghargai orang yang sudah perhatian padanya menanyakan hafalan itu. “Lo? udah
hafal?”
Altan
tersenyum tipis. “Udahlah. Sekalian praktek gua mah. Langsung sama orang
Jepangnya,” kata Altan dengan nada bangga.
Meilani
mengernyit. “Praktek sama siapa?” Oops! Kenapa suara yang dikeluarkannya
seperti dia sedang cemburu kepada seorang pacar?
Oh,
gawat.
“Praktek
sama Shizuka. Tuh pacarnya Dion.” Altan terkikik geli. Dia memang menamai
pacarnya Dion dengan nama Shizuka daripada Rizuka. Dan gara-gara dia memanggil
Rizuka dengan nama salah satu tokoh kartun terkenal asal Negara cewek itu,
akhirnya Dion pun ikut-ikutan menamai pacarnya sendiri dengan Shizuka sebagai
panggilan sayangnya. Dan Altan langsung tertawa terbahak-bahak saat Dion
menyimpan kontak Rizuka dengan nama “My Shizuka” apalagi saat mendengar Rizuka
memanggil Dion dengan sebutan tokoh kartun yang sangat menyukai Shizuka, yaitu
Nobita. Mengingat itu membuat Altan benar-benar geli seperti digelitik.
“Bukannya
namanya Rizuka, ya? Terus itu lo ngetawain apaan?” tanya Meilani menyipitkan
matanya saat tiba-tiba Altan tertawa geli.
“Itu
panggilan sayangnya Dion ke Shizuka, eh, maksud gue Dion ke Rizuka. Biar kayak
tokoh kartun asal Jepang itu, loh, Mel.”
Reflek,
Meilani menepuk lengan kiri Altan sekali. “Ah, gue pikir si Dion selingkuh sama
temennya Rizuka yang dari Jepang.” Dan mereka berdua tertawa bersama.
“Yaa
lagian nyari pacar orang Jepang. Udah gitu namanya nyerempet-nyerempet kan ke
Shizuka?”
Meilani
tersedak dari tawanya. “Kalo manggilnya diplesetin jadi Shizuka sih masih
mending ya. Nah, jangan-jangan Rizuka manggil Dion jadi Nobita lagi.”
Mereka
berdua melirik Dion sambil menyeringai. Altan tahu bahwa Dion berpura-pura
sibuk dan pura-pura tidak memperhatikan mereka. “Kalo mau dapet faktanya sih
tanya langsung ke orangnya, Mel. Tapi…kayaknya Nobita gak bakalan mau ngakuin
kalo Shizuka ngasih nama kayak gitu deh,” ucap Altan keras-keras agar menarik
perhatian Dion. Dan berhasil, saat mendengar nama Nobita dan Shizuka disebut,
Dion langsung melebarkan matanya tak percaya.
Dion
sedikit geram. Apa-apaan privasinya dan pacarnya diungkit-ungkit oleh Altan.
Untuk bahan obrolan pedekatenya pula! Sialan.
“Jadi
beneran si Rizuka manggil Dion jadi Nobita?”
Dion
yang mendengar pekikan suara Meilani, langsung menyahut. “Heh, heh!!! Apa-apaan
nih bawa-bawa Shizuka gua?” Dion berusaha terdengar geram, tapi sial, suaranya
menjadi menggelikan seperti itu.
Meilani
menunjuk-nunjuk Altan dengan jari telunjuknya. “Nih, Yon, nih. Dia duluan nih,
Yon.”
Altan reflek
menangkup jari Meilani yang menunjuk ke arahnya lalu diarahkannya ke mulutnya.
Berpura-pura ingin menggigitnya. “Eh, eh, ngapa jadi gue? Lo duluan kan yang
nanya-nanya.” Sial, gerakan relek Altan membuat Meilani membeku sesaat.
Bener-bener awkward moment banget buat Meilani.
Altan
yang menyadari Meilani membeku karna ia menggenggam jari Meilani, langsung
melepasnya cepat.
Sepertinya
muka Meilani berubah menjadi udang rebus.
Sesaat
Meilani merasa sekelilingnya mulai memperhatikannya. Ketika ia melongokkan
kepalanya ke belakang untuk mengecek keadaan, Meilani berusaha menelan air liurnya
melihat Nela, Fadlan, Dion dan teman-teman yang lain di dekat tempat duduknya
melongo pada dirinya dan Altan. Dalam hati Meilani meringis. Kalau Nela, Fadlan
dan Dion menatap mereka seperti itu bagaimana dengan…Tika?
Sial,
Meilani baru sadar kalau Tika juga berada di kelas ini. Ragu-ragu Meilani
mengangkat kepalanya untuk melihat dimana tempat duduk Tika. Saat matanya
bertemu dengan mata Tika yang terlihat tak suka, Meilani dengan cepat
menundukkan kepalanya.
Kalau
Tika melihat dia sedang duduk berdua dengan Altan dan bercanda-canda seperti
tadi, Tika pasti berfikir yang tidak-tidak mengenai dirinya.
Meilani
tahu betul kalau Tika masih mempunyai rasa suka dan ketertarikan pada Altan
–karena jika setiap ada kesempatan, maka Tika akan mencurahkan hatinya pada
Meilani. Dan kalau dia melihat dan berpikir dan menyimpulkan sesuatu yang
salah, yang tidak terjadi, Meilani benar-benar merasa bersalah pada Tika dan
juga pada dirinya sendiri.
Tika
itu temen lo, gak seharusnya temen makan temen. Tapi dia udah putus sama Altan.
Tapi
Tika tetep temen lo yang pernah jadi pacarnya Altan. Tapi sekarang dia cuman mantan.
Lo
seharusnya ngejaga perasaan temen lo yang jelas-jelas masih suka sama Altan. Tapi Altan udah gak suka sama Tika.
Tapi lo
tau kalo Tika masih sangat suka sama Altan! Tapi
gue juga suka! Oops!!!
Perdebatan
dipikirannya kini membuatnya sakit kepala.
Meilani
mengabaikan Altan yang menatapnya penuh perhatian. Sebisa mungkin ia
menghindari obrolan dengan Altan saat ini. Pikiran
macam apa barusan?! Meilani membentak dirinya sendiri.
Ia memfokuskan
dirinya pada kertas kosong di atas meja Fadlan. Untuk mengalihkan kelanjutan
pikiran anehnya, Meilani memutuskan untuk mencoret-coret selembar kertas kosong
itu. Dia tahu Altan memperhatikannya.
Mula-mula
Meilani hanya mencoret garis-garis aneh tak berbentuk, lalu berubah menjadi
beberapa kata, lalu tiba-tiba dia menulis sebuah bait lagu yang sering
didengarnya.
“Am I
asleep, am I awake, or somewhere in between?
I can’t
believe that you are here and lying next to me
Or did I
dream that we were perfectly entwined
like—”
Belum
sempat Meilani menyelesaikan kalimat dari bait lagu tersebut, ia langsung
tersadar dengan apa yang sedang dituliskannya. Liriknya. Artinya.
Meilani
menelan ludahnya. Dengan cepat mencoret-coret kalimat yang sudah ditulisnya.
Membuat garis-garis kusut yang menutupi semua kata demi kata di kertas itu.
Sambil lalu Meilani mendongak ke atas. Melirik Altan yang sedang menatapnya.
Shit.
Jantungnya kini sudah terlepas dari tempatnya saking kencang dan cepatnya organ
itu berdetak. Keringat membanjiri tengkuk Meilani.
Mati
gaya. Meilani kini mulai mati gaya. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya
sekarang karna pasti Altan sudah membaca lirik yang ditulisnya tadi.
Dia
takut melirik pada Altan lagi. Haduuuhhh…bagaimana ini???
Dengan
gusar, Meilani membalikkan badannya ke belakang, meminta Fadlan untuk segera
bertukar tempat dengannya. Se-ka-rang. Awalnya Fadlan menolak dan mencoba
mengabaikan Meilani. tapi Meilani tetap mendesaknya. Sampai Altan —dengan
terpaksa— membantunya.
“Heh,
udah lo sini balik. Kasian nih orang mau duduk di tempatnya jugaan.”
“Gua
belom selesai curhatnya, om.” Fadlan menjawab dengan malas-malasan.
Altan
melotot tajam pada saudara sepupunya itu. “Sini gak lo.”
“Ck!”
dengan enggan Fadlan bangkit dari tempat duduk Meilani, begitu juga Meilani.
“Takut
banget tempatnya ilang, yak,” gerutu Fadlan saat bertukar tempat. Dan Meilani
hanya menanggapinya dengan muka merah padam dan wajah yang cemberut.
***___***___***
Ketika
jam pulang sudah lewat dari dua puluh menit yang lalu, ketika itu pula Altan,
Dion, Nela, dan Fadlan masih duduk berkumpul di bangku belakang. Mengadakan
brifing dari rencana pertama yang telah mereka lakukan tadi.
Mereka
masih harus menyimpulkan rencana mereka tadi, apakah berjalan lancar atau
tidak. Mereka juga masih harus mencari cara lainnya untuk mendorong Meilani
beserta hatinya yang lembut mendekat ke hati Altan yang —terbiasa—dingin dan
kaku.
“Acting
yang bagus Nel, Dlan,” puji Dion. Nela menanggapinya dengan menyeringai puas.
“Padahal
tadi gue mau ketawa tau,” aku Nela sambil tertawa terbahak-bahak.
“Gua
juga sih,” kata Dion dan Fadlan bersamaan.
Lalu
Altan menyeringai. Bayangan saat ia melihat apa yang Meilani tulis tanpa
disadarinya tadi membuat hatinya membengkak diliputi rasa senang dan bangga.
“Kayaknya
berhasil nih,” ledek Fadlan saat melihat sepupunya itu senyam-senyum sendiri.
“Cieeee…” ledek Nela ikut-ikutan.
Mendengar
dirinya sedang diledek, dengan cepat senyum Altan meredup. Altan mendesah. “Gua
gak tau, ya, ini kabar baik atau buruk, tapi tadi dia sempet nyoret-nyoret…um,
lirik lagu gitu. Kalo gak salah,” katanya sambil mengangkat bahu.
Nela,
Dion, dan Fadlan mengernyit. “Lagu apaan?” tanya Dion.
Altan
terdiam lalu mengangkat bahunya lagi.
Tiba-tiba
Fadlan membungkuk ke bawah mejanya. Mengambil sebuah kertas yang sudah lecek
dan kusut. “Kertas yang ini bukan, boy?” tanyanya sambil menaruh kertas itu di
meja Meilani.
Dengan
cepat Altan menyambar kertas lecek itu. Lalu membolak-balikannya. “Iya nih yang
ini. Tapi tulisannya udah gak keliatan.”
“Coba
sini Nela liat.”
Nela
memeriksa kertas itu dengan cermat. Membalik-balik lalu menerawangnya dengan
serius. “Kebaca dikit nih. Or somewhere… lying next… me…” Nela membaca
kata-kata yang bisa diterawang sedikit-sedikit dari coretan itu. Pikirannya
menerawang menyusuri lagu apa saja yang kira-kira ada lirik dengan kata-kata
semacam itu. Otaknya menyaring lagu apa saja yang sering Meilani dengarkan
melalui Mp3 di handphonenya.
Altan
menambahkan kalimat dari lirik lagu yang sempat dibacanya tadi. “Gini nih gue
hafal dikit. I can’t believe that you’re
here and lying next to me,” ujar Altan sambil mengingat-ingat.
Pipi
bulatnya merekah senang. “Kayaknya gue tau lagu apaan nih,” gumamnya sambil
menyeringai.
“Apa???”
tanya Altan, Dion dan Fadlan kompak.
Nela
mengeluarkan handphone miliknya. Mencari daftar lagu di Mp3nya. Belum lama
Meilani mengirimkan beberapa lagu yang direkomendasikannya pada Nela untuk
didengarkan. Ketika menemukan lagu yang sempat beberapa kali diputarnya dan
didengarnya, Nela memutuskan untuk menyetel lagu itu dengan volume keras.
Lagu
itu mengalun dengan keras dan indah di ruangan yang hanya berpenghunikan 4
orang itu. Dengan seksama Altan mendalami lirik dari lagu tersebut. mencoba menghafalnya jauh di dalam otaknya dan hatinya.
To be continue...
To be continue...
0 comments:
Post a Comment