Friday, March 22, 2013

Fall For You (Chapter 18)


DELAPAN BELAS

Siang itu, ketika jam istirahat sedang berlangsung, Altan langsung menanyakan tentang bagaimana Dion mempunyai ide secermelang dan menakjubkan seperti itu, tapi tidak memberitahunya dulu.


Dion serius kalau dia tidak mau kali ini Altan merusak idenya. Jika dia memberitahukan pada Altan tentang ide kelompok belajar itu, tidak menutup kemungkinan kalau Altan akan meminta agar Dion menyusun kelompok yang hanya beranggotakan dua orang saja ditiap kelompoknya. Dan kalau itu sampai terjadi, bisa dibayangkan akan berakhir seperti apa nantinya jika Altan memilih untuk sekelompok HANYA dengan Meilani.

Oh, tentunya Dion tidak mau kalau Altan bertindak ceroboh lagi untuk kesekian kalinya.

“Tapi kalo gua tau elo punya ide bikin kelompok belajar, ngapain gua capek-capek cerita ke Nela? Bikin malu gua aja lo,” kata Altan keki.

Mereka kini berada di areal kantin luar. Kantin sekolah ini memang menyediakan spot-spot di luar ruangan. Karna terkadang kantin yang berada di dalam ruangan sudah terlalu penuh sesak dan sedikit panas walaupun disana sudah terpasang pendingin di setiap sudut. Maka dari itu, supaya menciptakan kenyamanan untuk para murid ketika sedang makan siang, pengurus kantin kantin memutuskan untuk merombak kantin. Di sebelah selatan yang tadinya tembok, sudah dibobok dan digantikan pintu kaca yang langsung bisa menuju ke luar. Yang mana dibagian luar juga terdapat sekitar 15 meja bundar berpayung yang satu mejanya dikelilingi 5 kursi kayu.

Dion menyeruput moccacinonya, melirik ke atas dimana Altan sedang menatap tajam padanya.

“Yaudah sih biarin aja. Malah bagus kan.”

“Yaa nanti kalo si Nela bocorin ke dia sama orang-orang yang lain gimana?”

Dion mendengus. “Lo tuh, ya, tampang doang dingin dan nyeremin. Sama Nela aja takut banget. Asal lo tau Al, Nela itu takut sama lo. dia gak mungkin ngambil resiko buat bocorin rahasia lo. gua yang jamin.”

Altan terdiam. Menatap lurus-lurus pada Dion. “Lagian dengan lo bujuk Nela, yaa, walaupun dengan cara bongkar rahasia lo sendiri, itu cukup ngasih lo keuntungan kan?” tanya Dion melanjutkan ucapannya tadi. “Lo liat sekarang. Kalo lo gak jujur ke Nela, emangnya dia bakalan duduk dibelakang lo sekarang? Emangnya lo bisa pendekatan kalo dia duduk di depan? Emangnya lo bisa becanda-candaan sama dia sekarang?”

Altan membenarkan dalam hati. Lalu sesaat kemudian Fadlan datang untuk bergabung dengan membawa nampan berisi makan siang yang baru saja dibelinya. Mereka tak perlu khawatir jika Fadlan tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Karena Fadlan juga sudah tahu segalanya mengenai Altan dan Meilani.

Fadlan tak perlu bersusah payah mendesak Altan untuk bercerita padanya, karna faktanya, Altan sendirilah yang mengungkapkan semua padanya. Karna mereka cukup dekat sebagai saudara sepupu. Well, walaupun Fadlan bersaudara dengan Altan, tetap hanya Dionlah yang selalu mengatur secara all out rencana untuk mendekatkan Altan pada Meilani. sedangkan Fadlan hanya membantu semampunya dan sebisanya.

Melihat Fadlan yang bergeser tempat duduk, membuat Altan memikirkan sesuatu yang sudah mengganggunya sejak mereka berhasil membuat Meilani terjebak di bangku belakang.

“Gua mau pindah kalo gitu,” ujar Altan sambil tersenyum misterius.

Dion berdecak. “Gak. Gua gak mau ya, kalo lo pindah ke tempat gua. Jangan nyusahin gua!”

“Yeh, siapa juga yang mau pindah ke tempat duduk lo?” Altan memutar matanya sinis. “Gua mau pindah ke tempat duduknya Farhan aja ah. Kalo dari situ ngeliat dianya lebih puas.”

Oh.

Dion mengedikkan bahunya. Terserah Altan  mau ngapain asalkan gak ngerusak rencana yang udah dia susun capek-capek. Dan kalo satu kali lagi Altan mengacaukan rencananya, maka Dion tak akan lagi dengan sukarela membantu sahabatnya itu untuk mendapatkan apa yang ingin dicapainya. Mendapatkan cintanya. Tak akan lagi.

“Oh iya. Ngomong-ngomong soal Farhan, lo udah baikan atau belom sama dia sih?”

“Au ah.”

Fadlan tertawa. “Seharusnya lo tendang aja, ege, tuh anak. Belagu banget gitu,” kata Fadlan memanas-manasi yang langsung menutup mulut saat mendapat tatapan tajam dari Dion.

“Eh, serius gua, nyet. Daripada tuh orang bikin lo naek darah lagi, mending dia pindah aja ke sebelah gua. Biar Fadlan duduk sama lo.”

“Terserah,” jawab Altan enggan.

“Lagian kalo Fadlan juga pindah, bisa lah ya, dikit-dikit ngalihin perhatian Meilani, biar dianya gak curiga dan keGe-eR-an karna lo pindah tempat duduk biar puas ngeliat dia.” Dion menatap Altan dengan serius sambil memainkan alisnya naik-turun menggoda. “Gimana, Dlan?” tanyanya meminta persetujuan.

Fadlan hanya mengangkat bahunya. “Yaa gua mah terserah lo pada aja dah. Yang penting jangan nyuruh gua duduk di depan.”

Altan menyaring semua ide yang dipikirkan Dion. Benar, kalau dia tiba-tiba pindah tempat duduk ke tempat Farhan –yang notabenenya tepat di depan Nela, mungkin itu akan mengundang kecurigaan pada Meilani. Apalagi dalam waktu dekat ini, dia akan benar-benar berusaha mendekati Meilani. Yang itu artinya, dia akan bertingkah lebih manis dan lembut di depan atau kepada Meilani.

“Yaudah lo taro mana kek tuh orang. Udah muak banget gua juga liatnya. Kalo perlu jauh-jauh deh dari gua.”

Dion dan Fadlan menyeringai. Mereka mempunyai pikiran yang sama rupanya. “Calm down, nyoh. Gua yang bakal bikin dia nyadar diri buat ngejauh dari elo,” janji Dion sungguh-sungguh sambil bermain mata dengan Fadlan, kemudian mereka tertawa lepas.


***___***___***



Meilani baru saja kembali dari toilet dan membeku di depan pintu kelas saat melihat Fadlan sedang duduk menempati bangkunya. Dilihat dari raut mukanya dan gesture tubuhnya, sepertinya dia sedang curhat dengan Nela. Dan sepertinya mereka tidak ingin diganggu.

Meilani perlu duduk. Tapi berhubung guru yang sedang mengajar sedang keluar kelas juga, akhirnya Meilani membelokkan dirinya pergi ke tempat duduk Friska cs yang sedang bergossip ria.

Jujur saja, Meilani malas mengganggu Fadlan yang sedang curhat, yang itu artinya dia tidak bisa duduk di tempatnya sendiri. Dan satu-satunya bangku yang kosong di dekat tempat duduknya adalah bangku yang ditinggalkan Fadlan. Disebelah…Altan.

 Akhir-akhir ini Meilani cukup mempunyai efek jika menyangkut tentang Altan. Entah kenapa, akhir-akhir ini Meilani merasa semua orang di dekatnya berbeda. Nela, Dion, Fadlan dan yang lainnya berbeda. Mereka seperti mendorong dirinya untuk berdekatan dengan Altan. Selalu menyangkutpautkan sesuatu tentangnya dengan sesuatu tentang Altan.

Dan kecurigaan Meilani dipendamnya sendiri. Tak mungkin ia menanyakan langsung kepada salah satu diantara mereka, nanti kalau ia dikira terlalu berpikir yang aneh dan melebih-lebihkan bagaimana?

Well, Meilani tetap akan melakukan apa yang harus dilakukannya sambil tetap mengamati apa yang mereka lakukan dan tawarkan padanya. Hanya menunggu dan ia akan melihatnya. Segera.

Meilani meringis dalam hati saat guru yang sempat izin keluar tadi kini telah kembali. Dan itu artinya dia harus pergi ke tempatnya sendiri. Sedangkan pada saat itu, obrolan Fadlan dan Nela semakin terlihat serius.

Ketika Meilani berdiri tepat di samping mejanya, ia berusaha mengusir Fadlan dari tempatnya. Tapi Fadlan ngotot tidak mau pindah ke tempatnya.

“Mel, gua lagi curhat dulu sama Nela nih. Lo duduk di tempat gua dulu,kek.”

Meilani melirik tempat duduk Fadlan dengan enggan. Tanpa benar-benar melirik pada orang sebelahnya, Meilani tahu kalau orang itu sedang menunggunya. Meilani berdecak. “Gak mau ahelah, Dlan. Pindah kek. Udah ada Pak Kresna nih!” rengeknya.

“Ya Tuhan, Mel. Sebentar lagi deh. Dikit lagi juga jam pelajaran Pak Kresna selesai. Lo duduk disitu dulu. Tanggung nih, penting curhatan gua,” ujar Fadlan tetap menolak Meilani.

Meilani menatap pada Nela untuk meminta bantuan mengusir Fadlan dari bangkunya, tapi Nela —yang benar-benar harus berjuang menahan tawanya— sebisa mungkin memperlihatkan mimik kecewa karna tak bisa membantu Meilani. Meilani begitu terkejut saat Nela berkata, “Iya, Mel. Duduk di depan situ dulu ya. Kasian nih Fadlan masalahnya rumit banget.”

Bodo amat, pikir Meilani saat itu. Yang Meilani khawatirkan saat ini adalah dia harus duduk disebelah Altan. Well, walaupun hanya untuk beberapa menit.

Meilani merintih sambil cemberut saat Fadlan dan Nela langsung mengabaikan kehadirannya. Mereka berdua langsung melanjutkan obrolan mereka dengan berbisik-bisik.

Tiba-tiba Meilani merasa keringat meluncur di sepanjang tulang belakangnya. Oh. My. God!

Sebelum Meilani benar-benar melangkahkan kakinya satu langkah ke depan, dengan wajah cemberut dan sedikit keras kepala, Meilani mencoba melirik Fadlan dan Nela lagi. Tapi nihil. Mereka tak menghiraukannya. Lalu melirik ke sebelahnya, dimana Dion dan Farhan sedang menyibukkan diri mereka dengan mengobrol dan tak ada satupun yang melihat ke arahnya. Menyadari kehadirannya.

Sial, Meilani kini terjebak.

“Heh, Mel, duduk! Ditegor Pak Kresna aja lo,” ucap Fadlan yang menegurnya karena masih terdiam membatu meminta pertolongan pada siapapun.

Diam-diam, Meilani melarikan pandangannya menscan seluruh ruangan kelasnya. Mencari bangku lain yang kosong. Asalkan tidak di sebalah Altan.

Saat matanya tertuju pada bangku yang tak berpenghuni di depan ujung kelas, saat itu juga Meilani dibentak oleh Fadlan yang menyuruhnya untuk duduk di tempatnya.

Meilani mengerang.

Sial, sial, sial, sial, sial. Dia benar-benar dijebak.

Dengan berat Meilani menyeret kakinya dan mendudukan pantatnya di bangku Fadlan. Sedikit takut untuk menengok ke penghuni di sebelahnya.

Oh, sial. Kenapa jantungnya kini berpacu berkali-kali lipat dibanding biasanya? Kenapa sekarang dia menjadi gugup? Kenapa dia merasa ada yang memperhatikannya?

“Lo ngapain duduk disini?” shit, ngomong apa Altan barusan?

Meilani menengok ke samping dengan terkejut. Ini dia. Orang ini selalu sukses membuatnya kesal dan keki disaat yang bersamaan.

Beruntung mood Meilani sedang tidak ingin bertengkar saat ini. Meilani menghela nafas berat. “Tuh, temen lo nguasain bangku gue,” ujarnya terdengar kesal.

Altan menengok sebentar ke belakang. Seringai kecil muncul di matanya. untung saja Meilani tidak balik mencak-mencak kepadanya, jadinya ia yakin Meilani masih akan berada disebelahnya.

Oke, tarik nafas Altan… usahakan jangan ngomong sesuatu yang buat dia naik darah. Satu…dua…tiga… Hufffff Haaaahhh!!!

“Yep. He was needed an advice, Mel. Lagi ada masalah berat tuh orang,” kata Altan cuek dan mengedikkan bahunya. Akhirnya, bisa sedikit santai juga.

Meilani mendesah sambil cemberut. “Kan bisa nanti aja lanjutin lagi.”

“Ya namanya juga lagi kepepet.” Dasar keras kepala!

“Isshh.”

Well, nampaknya Meilani benar-benar tidak mau duduk disebelahnya, pikir Altan saat itu. Tapi dia tetap harus menahan cewek itu disampingnya. Jadi dia memutuskan untuk membahas sesuatu yang menarik perhatian Meilani.

“Lo udah hafal vocab yang dikasih Gea Sensei minggu kemaren, Mel?” tanya Altan mengungkit pelajaran Bahasa Jepang minggu kemarin yang mengharuskan menghafal dan menyetor tiga puluh kosa kata berbahasa Jepang itu setelah pelajaran Pak Kresna berakhir.

Meilani menengok ke arah Altan. Mata indahnya berkeliling ke atas ke bawah karna sedang berpikir apakah dia sudah menghafal semua kosa kata itu. “Hampir,” jawabnya singkat.

Jeda cukup lama diantara mereka sampai Meilani memutuskan untuk balik bertanya demi menghargai orang yang sudah perhatian padanya menanyakan hafalan itu. “Lo? udah hafal?”

Altan tersenyum tipis. “Udahlah. Sekalian praktek gua mah. Langsung sama orang Jepangnya,” kata Altan dengan nada bangga.

Meilani mengernyit. “Praktek sama siapa?” Oops! Kenapa suara yang dikeluarkannya seperti dia sedang cemburu kepada seorang pacar?

Oh, gawat.

“Praktek sama Shizuka. Tuh pacarnya Dion.” Altan terkikik geli. Dia memang menamai pacarnya Dion dengan nama Shizuka daripada Rizuka. Dan gara-gara dia memanggil Rizuka dengan nama salah satu tokoh kartun terkenal asal Negara cewek itu, akhirnya Dion pun ikut-ikutan menamai pacarnya sendiri dengan Shizuka sebagai panggilan sayangnya. Dan Altan langsung tertawa terbahak-bahak saat Dion menyimpan kontak Rizuka dengan nama “My Shizuka” apalagi saat mendengar Rizuka memanggil Dion dengan sebutan tokoh kartun yang sangat menyukai Shizuka, yaitu Nobita. Mengingat itu membuat Altan benar-benar geli seperti digelitik.

“Bukannya namanya Rizuka, ya? Terus itu lo ngetawain apaan?” tanya Meilani menyipitkan matanya saat tiba-tiba Altan tertawa geli.

“Itu panggilan sayangnya Dion ke Shizuka, eh, maksud gue Dion ke Rizuka. Biar kayak tokoh kartun asal Jepang itu, loh, Mel.”

Reflek, Meilani menepuk lengan kiri Altan sekali. “Ah, gue pikir si Dion selingkuh sama temennya Rizuka yang dari Jepang.” Dan mereka berdua tertawa bersama.

“Yaa lagian nyari pacar orang Jepang. Udah gitu namanya nyerempet-nyerempet kan ke Shizuka?”

Meilani tersedak dari tawanya. “Kalo manggilnya diplesetin jadi Shizuka sih masih mending ya. Nah, jangan-jangan Rizuka manggil Dion jadi Nobita lagi.”

Mereka berdua melirik Dion sambil menyeringai. Altan tahu bahwa Dion berpura-pura sibuk dan pura-pura tidak memperhatikan mereka. “Kalo mau dapet faktanya sih tanya langsung ke orangnya, Mel. Tapi…kayaknya Nobita gak bakalan mau ngakuin kalo Shizuka ngasih nama kayak gitu deh,” ucap Altan keras-keras agar menarik perhatian Dion. Dan berhasil, saat mendengar nama Nobita dan Shizuka disebut, Dion langsung melebarkan matanya tak percaya.

Dion sedikit geram. Apa-apaan privasinya dan pacarnya diungkit-ungkit oleh Altan. Untuk bahan obrolan pedekatenya pula! Sialan.

“Jadi beneran si Rizuka manggil Dion jadi Nobita?”

Dion yang mendengar pekikan suara Meilani, langsung menyahut. “Heh, heh!!! Apa-apaan nih bawa-bawa Shizuka gua?” Dion berusaha terdengar geram, tapi sial, suaranya menjadi menggelikan seperti itu.

Meilani menunjuk-nunjuk Altan dengan jari telunjuknya. “Nih, Yon, nih. Dia duluan nih, Yon.”

Altan reflek menangkup jari Meilani yang menunjuk ke arahnya lalu diarahkannya ke mulutnya. Berpura-pura ingin menggigitnya. “Eh, eh, ngapa jadi gue? Lo duluan kan yang nanya-nanya.” Sial, gerakan relek Altan membuat Meilani membeku sesaat. Bener-bener awkward moment banget buat Meilani.

Altan yang menyadari Meilani membeku karna ia menggenggam jari Meilani, langsung melepasnya cepat.

Sepertinya muka Meilani berubah menjadi udang rebus.

Sesaat Meilani merasa sekelilingnya mulai memperhatikannya. Ketika ia melongokkan kepalanya ke belakang untuk mengecek keadaan, Meilani berusaha menelan air liurnya melihat Nela, Fadlan, Dion dan teman-teman yang lain di dekat tempat duduknya melongo pada dirinya dan Altan. Dalam hati Meilani meringis. Kalau Nela, Fadlan dan Dion menatap mereka seperti itu bagaimana dengan…Tika?

Sial, Meilani baru sadar kalau Tika juga berada di kelas ini. Ragu-ragu Meilani mengangkat kepalanya untuk melihat dimana tempat duduk Tika. Saat matanya bertemu dengan mata Tika yang terlihat tak suka, Meilani dengan cepat menundukkan kepalanya.

Kalau Tika melihat dia sedang duduk berdua dengan Altan dan bercanda-canda seperti tadi, Tika pasti berfikir yang tidak-tidak mengenai dirinya.

Meilani tahu betul kalau Tika masih mempunyai rasa suka dan ketertarikan pada Altan –karena jika setiap ada kesempatan, maka Tika akan mencurahkan hatinya pada Meilani. Dan kalau dia melihat dan berpikir dan menyimpulkan sesuatu yang salah, yang tidak terjadi, Meilani benar-benar merasa bersalah pada Tika dan juga pada dirinya sendiri.

Tika itu temen lo, gak seharusnya temen makan temen. Tapi dia udah putus sama Altan.

Tapi Tika tetep temen lo yang pernah jadi pacarnya Altan. Tapi sekarang dia cuman mantan.

Lo seharusnya ngejaga perasaan temen lo yang jelas-jelas masih suka sama Altan. Tapi Altan udah gak suka sama Tika.

Tapi lo tau kalo Tika masih sangat suka sama Altan! Tapi gue juga suka! Oops!!!
Perdebatan dipikirannya kini membuatnya sakit kepala.

Meilani mengabaikan Altan yang menatapnya penuh perhatian. Sebisa mungkin ia menghindari obrolan dengan Altan saat ini. Pikiran macam apa barusan?! Meilani membentak dirinya sendiri.

Ia memfokuskan dirinya pada kertas kosong di atas meja Fadlan. Untuk mengalihkan kelanjutan pikiran anehnya, Meilani memutuskan untuk mencoret-coret selembar kertas kosong itu. Dia tahu Altan memperhatikannya.

Mula-mula Meilani hanya mencoret garis-garis aneh tak berbentuk, lalu berubah menjadi beberapa kata, lalu tiba-tiba dia menulis sebuah bait lagu yang sering didengarnya.


“Am I asleep, am I awake, or somewhere in between?
I can’t believe that you are here and lying next to me
Or did I dream that we were perfectly entwined
like—”


Belum sempat Meilani menyelesaikan kalimat dari bait lagu tersebut, ia langsung tersadar dengan apa yang sedang dituliskannya. Liriknya. Artinya.

Meilani menelan ludahnya. Dengan cepat mencoret-coret kalimat yang sudah ditulisnya. Membuat garis-garis kusut yang menutupi semua kata demi kata di kertas itu. Sambil lalu Meilani mendongak ke atas. Melirik Altan yang sedang menatapnya.

Shit. Jantungnya kini sudah terlepas dari tempatnya saking kencang dan cepatnya organ itu berdetak. Keringat membanjiri tengkuk Meilani.

Mati gaya. Meilani kini mulai mati gaya. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang karna pasti Altan sudah membaca lirik yang ditulisnya tadi.

Dia takut melirik pada Altan lagi. Haduuuhhh…bagaimana ini???

Dengan gusar, Meilani membalikkan badannya ke belakang, meminta Fadlan untuk segera bertukar tempat dengannya. Se-ka-rang. Awalnya Fadlan menolak dan mencoba mengabaikan Meilani. tapi Meilani tetap mendesaknya. Sampai Altan —dengan terpaksa— membantunya.

“Heh, udah lo sini balik. Kasian nih orang mau duduk di tempatnya jugaan.”

“Gua belom selesai curhatnya, om.” Fadlan menjawab dengan malas-malasan.

Altan melotot tajam pada saudara sepupunya itu. “Sini gak lo.”

“Ck!” dengan enggan Fadlan bangkit dari tempat duduk Meilani, begitu juga Meilani.

“Takut banget tempatnya ilang, yak,” gerutu Fadlan saat bertukar tempat. Dan Meilani hanya menanggapinya dengan muka merah padam dan wajah yang cemberut.


***___***___***


Ketika jam pulang sudah lewat dari dua puluh menit yang lalu, ketika itu pula Altan, Dion, Nela, dan Fadlan masih duduk berkumpul di bangku belakang. Mengadakan brifing dari rencana pertama yang telah mereka lakukan tadi.

Mereka masih harus menyimpulkan rencana mereka tadi, apakah berjalan lancar atau tidak. Mereka juga masih harus mencari cara lainnya untuk mendorong Meilani beserta hatinya yang lembut mendekat ke hati Altan yang —terbiasa—dingin dan kaku.

“Acting yang bagus Nel, Dlan,” puji Dion. Nela menanggapinya dengan menyeringai puas.

“Padahal tadi gue mau ketawa tau,” aku Nela sambil tertawa terbahak-bahak.

“Gua juga sih,” kata Dion dan Fadlan bersamaan.

Lalu Altan menyeringai. Bayangan saat ia melihat apa yang Meilani tulis tanpa disadarinya tadi membuat hatinya membengkak diliputi rasa senang dan bangga.

“Kayaknya berhasil nih,” ledek Fadlan saat melihat sepupunya itu senyam-senyum sendiri. “Cieeee…” ledek Nela ikut-ikutan.

Mendengar dirinya sedang diledek, dengan cepat senyum Altan meredup. Altan mendesah. “Gua gak tau, ya, ini kabar baik atau buruk, tapi tadi dia sempet nyoret-nyoret…um, lirik lagu gitu. Kalo gak salah,” katanya sambil mengangkat bahu.

Nela, Dion, dan Fadlan mengernyit. “Lagu apaan?” tanya Dion.

Altan terdiam lalu mengangkat bahunya lagi.

Tiba-tiba Fadlan membungkuk ke bawah mejanya. Mengambil sebuah kertas yang sudah lecek dan kusut. “Kertas yang ini bukan, boy?” tanyanya sambil menaruh kertas itu di meja Meilani.

Dengan cepat Altan menyambar kertas lecek itu. Lalu membolak-balikannya. “Iya nih yang ini. Tapi tulisannya udah gak keliatan.”

“Coba sini Nela liat.”

Nela memeriksa kertas itu dengan cermat. Membalik-balik lalu menerawangnya dengan serius. “Kebaca dikit nih. Or somewhere… lying next… me…” Nela membaca kata-kata yang bisa diterawang sedikit-sedikit dari coretan itu. Pikirannya menerawang menyusuri lagu apa saja yang kira-kira ada lirik dengan kata-kata semacam itu. Otaknya menyaring lagu apa saja yang sering Meilani dengarkan melalui Mp3 di handphonenya.

Altan menambahkan kalimat dari lirik lagu yang sempat dibacanya tadi. “Gini nih gue hafal dikit. I can’t believe that you’re here and lying next to me,” ujar Altan sambil mengingat-ingat.

Pipi bulatnya merekah senang. “Kayaknya gue tau lagu apaan nih,” gumamnya sambil menyeringai.

“Apa???” tanya Altan, Dion dan Fadlan kompak.

Nela mengeluarkan handphone miliknya. Mencari daftar lagu di Mp3nya. Belum lama Meilani mengirimkan beberapa lagu yang direkomendasikannya pada Nela untuk didengarkan. Ketika menemukan lagu yang sempat beberapa kali diputarnya dan didengarnya, Nela memutuskan untuk menyetel lagu itu dengan volume keras.

Lagu itu mengalun dengan keras dan indah di ruangan yang hanya berpenghunikan 4 orang itu. Dengan seksama Altan mendalami lirik dari lagu tersebut. mencoba menghafalnya jauh di dalam otaknya dan hatinya.

To be continue...

0 comments:

Post a Comment

Template by:

Free Blog Templates