Saturday, February 16, 2013

Fall For You (Chapter 13)


TIGABELAS

Meilani terkejut dengan kenyataan yang baru saja disadarinya. Sudah berhari-hari—bahkan berminggu-minggu— ia tidak pernah lagi mendapat gangguan dari orang yang paling menyebalkan baginya. Bahkan Meilani tak menyangka kalau ia membiarkan dirinya menjadi ramah pada orang itu. Sangat ramah, bahkan ia selalu mentolelir kelakuan orang itu lagi —hampir tidak perduli dan tersinggung dengan kelakuannya.

Aneh memang. Kalau biasanya setiap hari dia dan Altan selalu bertengkar, kini mereka sudah bisa bercanda bersama.

Menurut Meilani, damainya ia dan Altan tak lepas dari pengaruh gagasan seorang Tika. Tika selalu memperingatkan Altan jika Altan sudah punya gelagat aneh untuk menjahili Meilani. Dengan kepolosan dan sifat  keras kepala serta manjanya, Tika selalu bisa mengontrol Altan akhir-akhir ini. Tika pun mempunyai pemikiran yang sama dengan Meilani. Ia begitu senang saat menyadari kalau Altan bisa dikontrol oleh dirinya. Tika sangat senang karena sudah berhari-hari, Altan tak lagi mengganggu Meilani. Baginya, rencananya berjalan dengan baik. Dia berhasil.

Lain lagi dengan apa yang dipikirkan oleh Altan. Baginya, dengan Tika meminta dirinya dan Meilani untuk berdamai adalah semacam batu loncatan untuk dirinya agar bisa akrab dan lebih dekat dengan Meilani dengan cara yang lebih halus tanpa harus menurunkan kehormatannya sebagai seorang Altan yang dingin dan sedikit mengontrol egonya agar tidak bertindak bodoh untuk melakukan pendekatan dengan Meilani —seperti yang ia lakukan sebelumnya.  Dalam hati, Altan sangat bersyukur pada Tika, karna sesuai dengan prediksinya, Tika akan memintanya untuk berdamai dan tidak bertengkar lagi dengan Meilani. Dengan begitu, ia bisa berpura-pura untuk bersikap baik dengan Meilani dengan berlandaskan permintaan sang kekasih sebagai alasannya.



Meilani teringat saat ia sedang latihan Marching Band untuk tampil di acara Ulang Tahun Sekolah. Tim Marching Band Sekolah —TLPC— harus melakukan latihan intensif setiap minggunya demi kelancaran acara tersebut. Dan mereka diharuskan untuk menghafal lima lagu dan berbagai macam gerakan yang akan menyempurnakan penampilan mereka nantinya.

Saat itu latihan sedang diistirahatkan dalam waktu kurang-lebih 15 menit. Dan Meilani menghabiskan 10 menit pertamanya untuk berlatih sendiri menghafal gerakan tarian dan gerakan untuk benderanya –karena ia terpilih sebagai anggota COG (Color Of Guard) di TLPC (The Lagoon Percussion Club).

Meilani mengetuk-ngetukkan tongkat bendera yang sedang dipegangnya ke bumi. Memejamkan matanya sambil bersenandung lagu yang akan dimainkan saat Ulang Tahun Sekolah nanti dengan membayangkan gerakan tersulit yang harus dicobanya dengan sedikit tarian melompat-lompat kecil.

Tiba-tiba, suara perkusi yang sangat nyaring dan memekakkan telinga mengagetkannya. Meilani mendongak ke atas. Mencari tahu siapa orang yang dengan sengaja mengganggu konsentrasinya.

BUNG ... DUNG ... DUNG ... TAKK ... DUNGG!

“Altan!” bentak Meilani sambil berdiri. Meilani memang sedang mengasingkan dirinya dari teman-teman yang lainnya, yang sedang memanfaatkan waktu mereka untuk berlatih di tengah lapangan, sementara dirinya memilih untuk menyingkir ke pinggir lapangan. Memilih untuk berteduh di bawah pohon rindang di pinggir lapangan.

Tak heran jika ia bertemu dengan Altan di lapangan seperti ini saat sedang latihan MB. Itu sudah sering terjadi, karena Altan adalah anggota perkusi yang latihannya hanya boleh dilakukan di lapangan outdoor dan indoor. Begitu juga Meilani. Karena ia adalah anggota COG, yang membutuhkan banyak ruang gerak untuk berlatih, maka mereka diharuskan untuk berlatih hanya di lapangan outdoor/indoor atau di aula jika memang pelatih COG ingin lebih mencari latihan yang tenang. Sedangkan untuk anggota terompet dan pits, mereka diperbolehkan berlatih di dalam kelas. Dan mereka akan menggunakan lapangan outdoor/indoor untuk melakukan latihan gabungan atau gladi bersih.

Altan hanya menanggapi bentakan Meilani dengan sebuah cengiran. Yang mana malah membuat Meilani ingin sekali memukul kepalanya dengan tongkat bendera yang sedang dipegangnya.

“Ngapain si lo disini? Pergi sana! Ganggu gue aja lo.”

“Lo, ege, yang lagi ngapain disini. Sendirian mojok-mojok gak jelas,” ujarnya sambil mendengus.

“Yee...suka-suka gue dong. Masalah buat lo?”

Altan mengernyit saat ia berusaha membetulkan posisi perkusi yang sedang digendong di depan badannya menggunakan rangka besi lebar bergantung di pundaknya, dengan balutan busa halus yang melindungi pundaknya dari rasa sakit.

Badannya sedikit melengkung ke belakang karena menyesuaikan berat empat buah perkusi yang digendongnya. “Gak masalah sih. Biasa aja malah,” balas Altan cuek. “Lo pasti lagi ngapalin gerakan yang nari-nari gitu sambil muterin tongkat abis itu di lempar kan tongkatnya?”

“Kok lo tau?”

Altan tersenyum. Dan Meilani baru menyadari bahwa dirinya terhanyut dalam senyuman menyenangkan itu. “Gue daritadi ngeliat lo cuma latihan gerakan yang itu-itu doang. Pas kemaren latgab (latihan gabungan) juga lo masih salah di bagian itu, kan? Gue kan ada di belakang lo pas gerakan yang itu,” tutur Altan sambil memainkan keempat perkusinya dengan pelan.

Meilani sedikit cemberut. Lalu ia membenarkan dengan putus asa. “Temponya cepet banget. Gue susah nyeimbangin gerakan antara gue harus nari-ngelempar tongkat-sambil jalan cepat ke belakang.” Meilani menghela nafas berat. Kemudian ia melirik Altan yang tengah memperhatikannya berbicara. Dengan cepat Meilani mengalihkan pandangannya ke tengah lapangan. Lalu ia tertawa sekali dan membuat pernyataan yang meyakinkan untuk dirinya sendiri. “Tapi kayaknya gue udah hafal tuh gerakan. Secara itu doang gerakan yang gue ulang-ulang dari kemaren.”

Pelan-pelan Altan mengangkat rangka besi yang bergantung di pundaknya, melepaskan keempat perkusi yang digendongnya, lalu ditaruhnya di bawah tanah. Tanpa canggung Altan mendudukan dirinya di tanah dengan kaki yang disilangkan. Dan Meilani mengikuti Altan. Ia menempatkan dirinya di sebelah Altan tanpa ragu, pandangannya masih pada orang-orang yang berkumpul di tengah lapangan.

“Yaiyalah, Mel. Kalo gak bisa juga ya elo kebangetan banget jadi orang. Keluar aja sana lo dari Marching Band kalo gak bisa-bisa,” kata Altan sinis. Tidak, ia tidak sengaja berlaku sinis pada Meilani. Tidak. Hanya saja, Altan tidak mau terlalu terlihat begitu perduli dengan Meilani. Kata-katanya tadi malah lebih menjurus ke sebuah tantangan.

Meilani melotot ke arah Altan atas kata-kata yang meremehkannya, lalu ia berusaha untuk menghindari pertengkaran dengan Altan —hanya untuk saat ini. Entah mengapa, ia suka dengan keadaan seperti ini. Akur dengan orang yang selalu mengusilinya.

 Lalu Meilani menatap stick yang dibiarkan Altan menganggur di atas perkusinya. Mengambil stick pemukul perkusi itu tanpa dihadang oleh Altan. Iseng-iseng Meilani menggebuk-gebuk empat perkusi yang berbeda ukuran itu dengan tempo yang kacau. 

Altan berusaha merebut stick-nya dari tangan Meilani. Tapi Meilani bisa menjauhkan lengannya dari serangan Altan yang ingin mengambil kembali stick miliknya.

“Pinjem sebentar, kek,” rengek Meilani.

Altan memberikan tatapan penolakan, tapi dirinya tak beraksi apa-apa selain berkata,

“Berisik, Mel.”

“Yee...emang lo pikir daritadi lo gak berisik?” cibir Meilani. “Ajarin gue makanya!”

“Sini dulu stick-nya!” Altan menengadahkan tangan kanannya pada Meilani. Sambil berdecak, Meilani mengembalikan kedua stick milik Altan. Lalu dengan malas-malasan, Altan mengintruksikan Meilani untuk memukul drum sebelah kanan-yang ukurannya lebih besar- dengan ketukan sebanyak dua kali, kemudian berpindah ke drum di tengah yang ukurannya lebih kecil dengan ketukan yang sama tapi tempo yang berbeda, lalu mengulanginya kembali dengan dua drum yang lain, ketukan berbeda dan tempo yang berbeda pula.

Meilani memperhatikannya, dan Altan mengangkat alisnya bertanya kepada Meilani, apakah ia mengerti dengan pengajaran yang paling dasar memainkan kuarto percussion.

Meilani memperagakan pengajaran yang diberikan Altan padanya. Tak begitu sulit, karena ia sering mendengar Altan melakukan nada ini saat ia mulai berlatih. Meilani tahu bahwa ini adalah latihan dasar.

Mereka berdua tersentak kaget saat mendengar tepukan tangan dari pelatih mereka. Itu artinya akan ada pengarahan untuk mereka, dan mengharuskan mereka untuk berdiri tegak dengan sikap yang sudah ditentukan. Mereka harus bersiap di tempat dimana mereka berada saat pelatih bertepuk tangan sebanyak tiga kali.

“Sialan!”

“Mampus gue!”

Altan dan Meilani sama-sama mengeram dan merutuk saat mendengar adanya panggilan untuk pengarahan. Mereka berdua segera bangkit untuk berdiri. Menegakkan tubuh dengan kedua tangan terkepal di kedua sisi tubuh mereka.

Altan merutuki pelatihnya, karena baginya, panggilan pengarahan ini akan memotong waktunya berduaan dengan Meilani. Sedangkan Meilani merutuk karena menurut dia, pasti panggilan pengarahan ini akan berakhir dengan selesainya waktu istirahat mereka. Dan itu artinya sudah saatnya untuk latihan gabungan.




“Mel, ikut maen gak?!” tanya Tika sambil menepuk lengan Meilani, sehingga menyadarkan Meilani dari lamunannya.

“Hah?”

Tika cemberut. Lalu ia melirik Altan dan Anjas -teman sebangku Altan- yang sedang duduk menghadap kearahnya, kemudian kembali pada Meilani. “Lo jadi ikutan maen ABC 5 Dasar gak, sih? Mana tangan lo.”

“Tau nih Meilani malah ngelamun lagi lo,” gerutu Anjas yang sudah tidak sabar menyebutkan kata yang sudah dipersiapkannya di otaknya.

Altan ikut mencibir Meilani, tapi langsung diberikan tatapan tajam dari Tika sehingga ia hanya bisa mengintimidasi Meilani lewat tatapan jahatnya.

“Iyaaa, iyaa… nih… itung dah tuh!” kata Meilani sambil meletakkan keempat jari tangannya di atas meja.

Anjas dengan semangat mulai menghitung jari-jari yang tergeletak di atas meja dengan merapalkan huruf abjad. “ABC Lima Dasar … abcdef … ghi … jk … lmno … O—” Anjas mulai berpikir untuk mencari kata yang berawalan dari O.

“Ontorio!” teriak Meilani.

“Opera dari Suju,” ucap Tika berseri-seri.

“One Thing nya One Direction,” susul Altan.

“Ah! One Love punya Justin Bieber!” pekik Anjas mengakhiri tebakan dari huruf O itu. Tapi semua langsung melirik pada Meilani yang salah menyebutkan jawaban. Seharusnya ia menyebutkan judul sebuah lagu, bukan nama sebuah Negara.

“Loh, Mel, kok elo malah nama Negara, sih? Kan tema-nya sekarang judul lagu!” protes Anjas. Dan dengan semangat Altan berseru untuk menjitak Meilani. Anjas dan Tika hanya menanggapi dengan seringai licik dan mulai mempersiapkan kepalan tangan mereka untuk menjitak Meilani. Tapi untungnya Meilani langsung mengelak dari serangan Altan, Anjas dan Tika. Meilani denganterburu-buru berdiri dari duduknya.

“Diiihh… mana gue tau kalo tema-nya udah ganti? Lo gak pada bilang ke gue!” Meilani melangkah mundur menjauh. Untung saja kelasnya ini sedang tidak ada guru yang sedang mengajar, karena Bu Sekar sedang sakit. Dan anak-anak di kelasnya hanya diberikan tugas yang harus dikumpulkan saat Bu Sekar sudah masuk kembali untuk mengajar nantinya. Bukannya mengerjakan tugas, kebanyakan dari mereka malah asyik bercanda dan mengobrol dengan membentuk kelompok di meja masing-masing. Seperti yang dilakukan Altan, Tika, Meilani, dan Anjas.

“Lah, bodo amat. Dari tadi kan udah dibilang kalo tebakannya judul lagu. Elonya lemot sih, Mel,” ujar Altan tak terima protes dari Meilani. “Sini lo gue jitak dulu!”

“Ah, curang nih! Gak mau, pokoknya! Maennya pada curang,” gerutu Meilani. “gue udahan ah! Maennya daritadi curang banget.”

Tika tertawa geli. “Siapa yang curang sih, Mel? Emangnya lo liat kita daritadi nyari jawabannya di google? Gak, kan?” tanyanya masih menyeringai penuh konspirasi ke arah Anjas dan Altan. Anjas mengerling pada Tika, lalu ia ikut membenarkan ucapan Tika.

“Yaa, lagian daritadi gue mulu yang kena jitak. Udah gitu jitaknya pada pake dendam semua lagi,” kata Meilani dengan sengaja melirik Altan dengan tatapan menyindir. “Udah gitu giliran Tika yang dijitak —ah, bukan dijitak dia mah, dielus!” cibir Meilani yang membuat wajah Tika memerah, sedangkan Altan melebarkan matanya, antara terkejut, senang dan membenarkan.

Anjas tertawa terbahak-bahak mendengar cibiran dari Meilani yang ditujukan pada kedua pasangan tersebut. Orang berkulit hitam legam ini juga ikut membenarkan cibiran Meilani dengan mengangguk-anggukan kepalanya tanda setuju.

“Lah, emang kenapa? Suka-suka gue dong. Lo juga tadi jitak gue pake dendam kusumat, kan?” ucap Altan sambil berdiri. Masih tidak terima dengan Meilani yang juga tidak terima dirinya kalah.

“Eeehh… udah-udah!” ujar Tika berusaha menengahi. “Gini aja deh, Mel. Lo kan udah kalah, yaudah jitak dulu sini. Jangan maen ngundurin diri aja. Ntar kalo udah dijitak baru deh lo boleh udahan. Gimana?” tanya Tika seraya mengangkat sebelah alisnya ke atas.

Altan dan Anjas langsung menyetujuinya dan memasang tampang menyeramkan pada Meilani.
“No! beri gue waktu sedikit buat nebak,” nego Meilani kepada ketiga temannya. Dengan hati-hati ia kembali duduk di tempat duduknya.

Altan mengangkat alisnya, menantang Meilani. “Oke, lima detik. Satu … dua … tiga … empat … lima! Time out,” putus Altan. Meilani bergerak kelabakan. Dia tidak punya ide untuk mencari judul lagu yang berawalan huruf O hanya dalam waktu lima detik.

“Aaaa… tunggu bentar! O apa yaaa … umm—”

“Ah, kelamaan lo, Mel,” ujar Anjas tak sabaran. Begitu Meilani sedang memusatkan perhatiannya pada Anjas, dengan lincah Altan melayangkan kepalan tangannya ke kepala Meilani. Menjitaknya dengan cukup keras hingga membuat Meilani meringis, mengaduh kesakitan.

“Ouwww…” ringis Tika ikut merasakan betapa sakitnya jitakkan Altan barusan. Tika menepuk tangan Altan dengan sedikit nyaring. “Ih, yang. Pelan-pelan apa. kasian tau Meilani kan cewek, yang.”
“Abisnya kelamaan, yang. Bertele-tele,” ucapnya sambil tertawa jahat.

“Parah kamu mah, yang. Mel, maaf ya? Sini kepala lo. Giliran gue.” Meilani cemberut dan sedikit menjauhkan kepalanya saat kepalan tangan kecil Tika mengarah padanya. “Gue gak kenceng-kenceng kok, Mel, jitaknya. Beneran.”

Dan benar, sesuai janji, Tika menjitak Meilani pelan. Tapi ia tetap saja meringis, karna Tika menjitaknya tepat di tempat Altan menjitaknya tadi. Curang, gerutu Meilani dalam hati.

“Anjas pelan-pelan,” rengek Meilani. Karena kasihan dengan tertindasnya Meilani selama permainan ini, akhirnya Anjas tidak benar-benar menjitak Meilani. Cowok berkulit hitam itu menjitaknya sangat begitu pelan. Sampai-sampai Meilani tak merasakan kalau Anjas sudah menyentuh kepalanya.

“Udah?” tanyanya pada Anjas. Meilani membulatkan matanya dengan indah.

Anjas mendengus. “Ya udah lah. Tadi katanya suruh pelan. Mau dari ulang? Sini gue jitak yang keras.”
Meilani menyeringai bodoh. Lalu mengangkat kedua jarinya ke arah Anjas. “Peace, Njas. Peace!”

“Ayo lagi!” kata Tika dengan menepuk kedua tangannya dengan riang gembira.

Meilani mengundurkan dirinya pada putaran selanjutnya, dan hanya Tika, Altan dan Anjas yang bermain permainan menggelikan ini. Pada empat putaran berikutnya, Anjas mulai kesal karena setiap kali Tika kalah, maka hanya dirinya yang berlaku adil dengan menjitak Tika sesuai dengan aturan kekerasan, sedangkan Altan akan menji—mengelus kepala Tika dengan penuh kasih sayang. Begitu juga sebaliknya, jika Altan yang kalah, maka Tika juga melakukan hal yang sama.

Dan lama-kelamaan, Anjas mulai bosan dan meninggalkan Tika dan Altan dengan gerutuan kekecewaannya.

Meilani mendengus. “Udah gue bilang mereka tuh curang. Lo masih ikut maen aja, Njas,” teriak Meilani pada Anjas yang sedang berjalan hendak keluar kelas.

“Au ah! Gembel tuh orang dua,” maki Anjas kesal.

“Ah, item! sini lo kalo berani!?” balas Altan menantang. Menit-menit berikutnya, Meilani merasa risih duduk disebelah Tika. Karena Altan tanpa canggung berpacaran dengan Tika, tanpa menghiraukan keberadaan Meilani yang duduk di dekat mereka.

Meilani menarik nafas panjang saat Altan menggoda dan berbisik kata-kata mesra dengan Tika. Dan kalau Tika bukan temannya, Meilani mungkin akan langsung memuntahkan semua sarapan paginya di depan mereka berdua. Sangat mengganggu bagi Meilani.

Meilani berusaha tak menghiraukan kedua orang itu, tapi tetap saja, sikap pertunjukan kasih sayang Altan pada Tika membuat hampir seluruh darah di tubuhnya mendidih dan naik ke kepala.

Saat Altan dengan iseng mencondongkan tubuhnya ke bawah meja, tiba-tiba Dion meneriaki Meilani dengan suara keras.

“Mel, kesini deh!”

Meilani menengok ke tempat Dion berada. Dion sedang duduk sendiri di bangku belakang kelas. Mengisyaratkan Meilani agar datang ke tempatnya.

“Ngapain?” tanya Meilani yang masih bingung dengan ajakan Dion. Dion menganggukan kepalanya ke arah Altan yang sedang berada di bawah meja —dia sedang…entahlah— lalu masih mengisyaratkan pada Meilani agar datang ke tempat duduknya.

Tika menyikut Meilani dengan menggoda. “Ciee…dipanggil Dion. Sana, gih!” bisiknya menyeringai kepada Meilani.

Dengan sedikit rasa enggan dan lebih banyak rasa syukur, Meilani kemudian berjalan mendatangi bangku Dion.

Dion menyambut kedatangan Meilani dengan cengiran lebar di wajahnya. “Ada apa sih, Yon?” tanya Meilani merengut. Ia menyandarkan dirinya di pinggiran meja Dion, sementara Dion duduk dengan santai di bangkunya.

“Lo tuh ganggu orang pacaran aja, Mel. Mending disini aja ngobrol-ngobrol sama gue.”

Meilani melirik ke tempat duduknya berada. Dimana ia melihat Altan masih berjongkok di kolong meja Tika. Sedangkan Tika sesekali melihat ke bawah mejanya. Kalau dilihat dari belakang kelas, kelakuan Altan pasti terlihat agak …

Meilani mengerutkan dahinya, heran.

“Altan lagi ngiket tali sepatunya Tika,” kata Dion yang seakan bisa membaca pikiran Meilani hanya dengan melihat ekspresinya saja. Meilani hanya mengerucutkan bibirnya, sok-sok takperduli pada apa yang dilakukan Altan.

Lalu ia kembalikan perhatiannya pada Dion. “Norak gak sih?” tanya Meilani dengan mimik muka jijik.

Dion terkekeh geli mendengar pertanyaan Meilani barusan sambil menepuk-nepuk pahanya. “Ih, kok lo malah ketawa sih, Yon?!” sungut Meilani merasa tersendir oleh tawa Dion yang terdengar begitu menggelikan.

“Norak apanya sih, Mel?” kata Dion balik bertanya.

“Itu … lo liat dong. Sok romantis banget gitu pake ngiket-ngiketin tali sepatunya Tika segala. Udah tau si Tika emang sengaja kalo pake sepatu tali, talinya gak pernah diiket.”

Dion mengernyitkan dahinya dan berusaha menahan ledakan tawanya keluar dari bibirnya dengan cara mengulumnya. “Trus apa masalah lo? Biarin aja, kenapa? Toh, mereka ini kan yang pacaran. Mau norak, kek. Mau alay, kek. Suka-suka dia lah.”

Diam-diam Dion memandang Meilani dengan ekspresi yang tak bisa dibaca. Lalu tanpa sengaja tatapannya bertemu dengan mata hitam Altan yang memandangnya dengan ganas dari tempat duduknya. Dion mendengus dalam hati lalu mengabaikan tatapan peringatan dari Altan.

Sedangkan Meilani bersandar terpaku mendengar ucapan Dion yang sama sekali tak memperdulikan gaya pacaran sahabatnya itu. Dion benar. Buat apa dia marah-marah gak jelas melihat Altan menunjukkan kasih sayangnya pada Tika seperti itu? Bukannya itu adalah sesuatu yang bagus karna pertanda bahwa hubungan mereka akan baik-baik saja? Lalu kenapa dia begitu emosi?

Meilani menggelengkan kepalanya. Mengusir pikiran-pikiran dan perasaan aneh yang hinggap pada dirinya.

“Sini duduk kenapa, Mel. Jangan berdiri aja disitu.” Tau-tau, Dion sudah bergeser ke bangku kosong di sebelahnya. Mempersilahkan Meilani untuk duduk di bangku tempat duduknya. Meilani melirik bangku Dion dengan berdecak. Sebenarnya dia sedikit sungkan duduk dengan Dion. Selain dia baru begitu akrab dengan Dion beberapa hari ini, tempat duduk yang berada di paling belakang, ia juga tak mau mendengar gossip-gosip yang dibuat oleh teman-temannya yang sangat tidak punya kerjaan itu. Mengingat kini semua cewek di kelasnya melirik dengan diam-diam ke arah mereka.

Dengan memasang ekspresi yang sangat enggan, Meilani menghempaskan dirinya ke bangku yang dipersilahkan oleh Dion. Kemudian ia menaruh dagunya pada kedua telapak tangannya yang digunakan untuk menyangga. Dion mulai berbicara lagi,

“Mending sekarang kita cerita-cerita aja!”

Meilani menolehkan kepalanya sedikit ke kanan. “Cerita apaan? Hantu?”

“Hadeeehh … bukanlah! Cerita-cerita aja. Cowok lo siapa sekarang, Mel?” tanya Dion sambil memamerkan senyum kerennya.

“Cowok mah banyak,” kata Meilani malas membahas lebih jauh mengenai cowok atau apapun itu yang dimaksud Dion dengan pacar.

“Kalo pacar? Masih sama yang suka maen di hutan?”

Dengan cepat, Meilani melemparkan tatapan tajam pada Dion lalu menendang kakinya. “Dion!” bentaknya.

“Ehh … iya, iya, sorry sorry, Mel. Cuma mau mastiin lo udah bisa move-on atau belom. Kan kalo belom, bisa move-on ke gua,” ujar Dion sambil tertawa.

Meilani memutar matanya. Lalu mencoba untuk mengalihkan pembicaraan Dion dengan bertanya balik siapa pacarnya Dion sekarang.

“Pacar gua mah ada, Mel. Beda sekolah, sih, sayangnya. Kalo ada disini udah gua kenalin kali ke elo,” jawab Dion penuh semangat.

Meilani mengangkat alisnya. “Cakep gak?”

“Wesshh… bukan Dion namanya kalo gak bisa dapet yang cakep. Namanya Rizuka. Indo-Jepang gitu dah, Mel. Cantik deh dia orangnya, putih juga. Tapi sayang, dia gak sebohay elo,”ujar Dion mendeskripsikan semua ciri fisik pacarnya. Meilani hanya menanggapi celotehan Dion dengan pandangan meremehkan.

“Eh serius ege, Mel. Kalo elo kan kayak gitar spanyol gitu, yang bentuknya … settt … settt … seeetttt …” kata Dion sambil melekuk-lekukkan kedua tangannya mengilusikan sebuah bentuk gitar. “Kalo pacar gue sih yang sederhana aja. Kayak gitar akustik gitu, Mel. Alaupun body-nya biasa aja, tapi masih menghasilkan suara yang indah kalo dimainin.”

Meilani mendengus sekaligus tertawa.

“Nah, kalo pacarnya Altan nih,” Dion menganggukkan dagunya ke depan. “Dia itu kayak gitar apa coba kata lo?” tanya Dion dengan seringai konyolnya.

Meilani menggelengkan kepalanya sekali.

“Kayak ukulele. Tau kan, ukulele? Yang kecil gitu? Yang kalo dimainin sama Budi Doremi dikempit di dada?” Dion sedikit berbisik pada Meilani. Takut yang di depan mendengar.

Tanpa banyak kata, Meilani menyemburkan tawanya sambil menutup mukanya yang kini memerah akibat terlalu geli menahan tawa. Saat itu juga, Neva, cewek berbadan gempal bangkit dari duduknya –yang berada di depan Meilani. Berjalan menuju pintu keluar.

Dion menyikut lengan Meilani. “Nah, kalo yang tadi duduk di depan lo mirip apa, hayo?”

Dion dan Meilani saling bertatapan. Tatapan yang menggelikan.

“Gitar betot,” kata Dion dan Meilani bersamaan. Mereka berdua tertawa terbahak-bahak, sampai –sampai Meilani tak kuat menyemburkan tawanya dengan terduduk di kursi bahkan Dion masih sempat-sempatnya menirukan suara gitar betot yang jika dipetik terdengar sangat nge-bass itu. Meilani tertawa sambil berdiri lalu kemudian ia merasakan lututnya lemas. Sehingga mengakibatkan dirinya terjatuh berlutut. Masih sambil tertawa terpingkal-pingkal.

Dion melongokkan dirinya. Memeriksa Meilani yang tertawa sampai berlutut dan bersujud di lantai.

“Lah, Mel? Lo ngapa?” tanya Dion dengan sisa tawa yang masih terdengar dari bibir merahnya.

“Sialan lo, Yon! banding-bandingin cewek sama gitar!” kata Meilani sambil berusaha meredamkan suara tawa menggelegarnya.

***


“Maksud lo apa tadi?” Dion mengangkat kepalanya dari loker ke sampingnya. Dimana disana ia melihat Altan sedang menyandarkan punggungnya pada loker besi tak jauh dari tempatnya.

Dion mendengus melihat tatapan membakar dari Altan.

“Maksud yang mana?” tanya Dion polos.

“Gak usah sok polos, Yon! Maksud lo apa ngajak-ngajak dia ke tempat duduk lo terus ketawa-tawa?”

Dion memejamkan matanya sekejap. Ia tak perlu merasa tersinggung dengan nada suara Altan yang terdengar begitu dingin. Baginya itu sudah biasa.

“Gua Cuma mau nolongin dia. Umm, mungkin lebih tepatnya nyingkirin dia dari orang yang selalu bertindak bodoh kayak lo,” ucap Dion tenang.

“Bodoh? Gua bodoh kata lo?” tanya Altan dengan suara melengking kali ini. Ia sudah terbakar amarah dan rasa cemburu sejak melihat Dion dan seseorang yang dia maksud begitu bahagia.

Dion memandang Altan dengan pandangan meremehkan. Sebelah bibirnya ditarik sedikit ke atas.
“Lo selalu begitu.” Sengaja Dion tak mengatakan dengan sebuah pertanyaan, melainkan pernyataan.

Altan meledakkan emosinya. “Emang! Gua emang selalu bertindak bodoh. Apalagi kalo gua ada di deket dia! Gua gak bisa ngontrol emosi kalo sama dia. Dia kayak demam panas buat gua. Buat gua selalu menggigil, panas dingin! Sampe-sampe gua gak berdaya cuma ... walaupun cuma buat ngontrol emosi gua! Puas lo sekarang?”

Dion mengangkat alisnya. Lalu berjalan ke arah Altan. Pelan tapi pasti.

“Kontrol emosi lo, Al! Gua tau itu berat. Tapi dicoba! Lo akan lebih nyakitin dia dan banyak orang kalo lo tetep kayak gini.”

Rahang Altan mengeras. Dion benar. Semua tindakannya memang tidak ada gunanya. Jangankan untuk mengembalikan ingatan Meilani. Membuat cewek itu dekat dengannya saja membutuhkan waktu hampir setahun.

Tapi ... bukankah tindakan terakhirnya berhasil membuat Meilani berdamai dengannya? Lebih dekat dengannya dari yang sebelumnya? Bukankah kali ini dia selangkah lebih maju?

“Gua saranin mending lo konsultasi ke psikiater.”

Dion menepuk pundak Altan sebanyak tiga kali, lalu melangkah ke samping hendak meninggalkan Altan sendirian. Kemudian langkahnya terhenti dan berbalik.

“O, iya. Tadi dia sedikit cemburu ngeliat lo mesra-mesraan sama Tika. Dia gak suka ngeliat lo sujud-sujud di kaki Tika.”

Setelah mengatakan itu, Dion benar-benar membalikkan badannya dan meninggalkan Altan.

Altan tertegun sebentar. Lalu ia berteriak, “Yon, Dion! Tunggu, brengsek! Jelasin ke gua, woy!”



Dion memperlambat langkahnya saat pintu kelasnya tinggal beberapa kaki lagi dari dirinya. Tanpa diduga, pintu kelasnya terbuka dan menampakkan sosok orang yang barusaja dipertengkarkan oleh sahabatnya.

“Hey, Meilani ... gitar Spanyol-ku!” sapa Dion sambil menyeringai dan sedikit berputar untuk memastikan keberadaan Altan di belakangnya. Mendengar panggilannya untuk Meilani.

Bukannya marah, Meilani malah tertawa geli. “Dion!” pekiknya saat Dion mencubit pipinya yang menggemaskan. Dengan gerakan lincah, Dion meliukkan dirinya untuk menghindar dari serangan yang pasti akan Meilani lakukan padanya. Dan benar saja, tepat setelah Dion membuka pintu, Meilani langsung melemparkan pensil mekanik yang tanpa sadar dibawa-bawa olehnya sedari tadi.

“Dasar ganjen-lenjeh. Diooooon!” Meilani menjerit ke dalam kelas. Saat akan berbalik, tubuhnya menabrak Altan yang berdiri tepat di belakangnya. Membuat Meilani terhuyung ke belakang, tapi tidak sampai mendaratkan pantatnya ke lantai.

Altan berdecak. “Lo kebiasaan banget ya, dari dulu kerjaannya nabrak-nabrak gue mulu. Untung elo orang. Kalo mobil pasti lo cuman bisa ngerasain nabrak gue sekali seumur hidup.”

“Apaan sih lo.” Meilani sedkit agak sensitif jika ada orang yang mengungkit-ungkit tentang tabrakan. Mengingatkannya pada ...

Sambil menghentakkan kakinya, Meilani meninggalkan Altan dan melanjutkan perjalanan ke toilet yang sudah tertunda.

Altan mengeram. Lalu matanya mencari-cari dimana Dion berada. Setelah menemukan orang itu, dengan mengambil seribu langkah panjang, Altan menghampirinya.

“Diooooonnn!!!!”


***___***___***___***


Meilani dengan gusar membolak-balikkan majalah fashion yang sedang dipegangnya. Kini ia sedang berada di kamar yang semua aksesoris bahkan cat temboknya berwarna kuning cerah. Ia sengaja meluangkan waktunya sepulang sekolah untuk bermain di rumah Tika.

Dan disinilah dia sekarang. Di kamar kuning cerah mencolok namun tertata begitu rapih. Kamar Tika.
Meilani menarik nafas panjang dan membuangnya dengan cepat. Sesekali ia melirik ke arah Tika yang sedang menyandarkan dirinya di kepala tempat tidur sambil membolak-balik majalah yang tak menarik perhatiannya.

Meilani berpikir, apakah ia harus menanyakan tentang apa yang mengganggu pikirannya atau tidak.
Ia memutuskan untuk menjadi sebuah pembahasan daripada pertanyaan yang menggelikan.

“Umm...Tik,” panggilnya. Tika mengalihkan dirinya dari handphone miliknya pada Meilani. “Anak-anak pada ngomongin lo tadi,” katanya memulai pembicaraan.

“Ngomongin apa?”

Meilani menelan ludah. Membasahi kerongkongannya yang terasa kering. “Mereka pada nanyain ke gue. Lo sama Altan ngapain tadi di kelas.”

Tika mendorong kepalanya ke belakang, mengernyit. “Yang mana?”

“Eh, maksud gue...yang tadi Altan jongkok-jongkok gitu di bawah meja?”

“Ooh...tau tuh dia iseng banget! Dia masa banding-bandingin tangan sama kaki gue sama punya dia,” Tika memulai ceritanya dengan merengut dan wajah yang berbinar-binar. “udah tau tangan sama kaki gue kecil. Kata dia tangan gue kayak tangan bayi. Kecil banget. Udah gitu, Mel, dia tadinya nginjek ujung sepatu gue. Trus ujung sepatu gue kan emang masih longgar banget ya? Eh, malah diketawain sama dia.

“trus ya gitu, Mel, dia ngelepas sepatu gue, diukur sama kakinya dia. Yaa jelas gede-an kakinya dia lah, ya kan? Abis itu dia pasang lagi sepatunya, trus diiket. Gue bilang jangan diiket, soalnya gue gak suka. Eh, dia malah marahin gue.” Tika mengambil nafas sebentar untuk melanjutkan ceritanya.

“Dia emang dari dulu kerjaannya marah-marah, Tik,” cibir Meilani pelan.

“Iya, masa katanya kalo tali sepatu gue gak diiket ntar gue jatoh keinjek tali sepatu sendiri. Udah tau tali sepatu gue pendek banget. Mana bisa gue injek.”

Meilani mendengus dalam hati. Seharusnya dia gak usah membahas ini sama Tika. Meilani merasa cerita Tika sangat memuakkan. Selain panjangnya cerita yang keluar dari bibirnya, gaya bicaranya yang begitu manja membuat Meilani sedikit pening mendengarnya.

“Oh gitu ya.” Hanya itu tanggapan yang bisa dilontarkan Meilani.

Tika melanjutkan ceritanya sok-sok merengut dengan kelakuan Altan. Dan Meilani sangat bersyukur saat tiba-tiba Tika menghentikan ceritanya dan pamit untuk ke kamar mandi. Dia bilang perutnya mendadak sakit.

Tak begitu lama setelah Tika masuk ke kamar mandi. Handphone milik Tika berbunyi. Melantunkan lagu I’m Yours milik Jason Mraz.

Tika berteriak dari dalam kamar mandi. “Mel, angkatin dong telponnya!”

Dengan enggan Meilani meraba-raba kasur. Mencari ponsel Tika yang semakin lama semakin berisik. Saat sudah ditemukan. Meilani membeku. Ia menelan ludahnya.

Astaga! Angkat gak ya? Batin Meilani bergejolak.

“Meeeell...kok belom diangkat?” suara Tika samar-samar terdengar ke telinganya.

Altan Calling.........


***TEBECE***

0 comments:

Post a Comment

Template by:

Free Blog Templates