Thursday, April 25, 2013

Fall For You (Chapter 25 - ENDING)


DUA PULUH LIMA


Hotel Dayan Radiasta. Cukup besar untuk ukuran hotel berbintang di tengah-tengah pedesaan di Ubud, Bali. Pahatan-pahatan dari patung dan ukiran-ukiran sebuah lukisan—masterpiece-nya seniman terkenal di seluruh dunia— terpajang indah di seluruh sudut hotel.

“Mel, lo tunggu sini dulu, ya. Gue sama Nurmala mau ngambil kunci kamar kita dulu sama Mrs. Ketie,” ucap Nela saat mereka baru saja menjejakkan kaki mereka turun dari bus.


Meilani memanyunkan bibirnya. Dia paling males kalau disuruh menunggu. Apalagi sendirian! Baginya, menunggu adalah hal kedua yang paling menyebalkan di dunia. Kalau yang pertama…you all have known, eh?

“Sebentar doang, kok,” kata Nurmala meyakinkan. Akhirnya dengan berat hati, Meilani menganggukkan kepalanya.

“Yaudah. Tapi jangan lama-lama, ya. Gue tunggu di tangga sana aja tuh,” ujar Meilani sambil menunjuk bagian samping hotel yang terlihat paling sejuk. Nela dan Nurmala mengacungkan jempol mereka, lalu beranjak pergi meninggalkan Meilani sambil menarik koper-koper mereka.

Meilani menyeret jalannya menuju tempat yang sangat menarik perhatiannya. Menarik nafas berat saat melihat Tika sedang berdiri sendiri di ujung tangga. Meilani menghentikan langkahnya. Ragu, apakah ia harus berjalan dan bertemu sapa dengan Tika sekarang. Mengingat moodboster-nya sudah dirusak oleh Tika sejak di dalam bus tadi.

Tika menoleh ke arah Meilani. Karna Tika sudah melihatnya berdiri disana, Meilani akhirnya memutuskan untuk melanjutkan jalannya. Basa-basi sedikit -lagi- aja deh!

“Eh, Tik!” sapa Meilani sambil menaikkan alisnya.

Tika tersenyum.

Meilani memerhatikan barang-barang di sekitar Tika. Banyak koper-koper besar yang sengaja diletakkan begitu saja di sekitarnya. “Lo bawa koper banyak banget,” komentar Meilani.

Tika memanyunkan bibirnya sambil mengangkat bahu. “Punya anak cowok tuh. Pada nitip ke gue. Gak tau deh mereka pada kemana,” katanya memelas.

Meilani tersenyum tipis. “Kasian amat. Udah tinggalin aja napa,” saran Meilani.

“Gak bisa. Ada kopernya si Altan. Gue disuruh jagain juga,” tolak Tika dengan enggan. Mendengar nama Altan disebut, Meilani mulai mengerti. Ahhh, jadi tempat penitipan barang rupanya, batin Meilani terkikik.

Meilani berusaha bersikap tak peduli dengan Altan. “Yaelah, mau aja lagi lo disuruh jagain koper, trus orangnya kemana tau. Gue sih mendingan jalan-jalan keliling hotel, Tik. Lagian, emang lo udah dapet kamar?”

“Yah, iya ya. Gue gak tau lagi Mel, sekamar sama siapa. Duh, gimana nih? Lo sekamar sama siapa? Sama gue aja, yuk?” Tika terlihat sangat panik dan mulai mengguncang-guncang lengan Meilani. Memintanya untuk menjadi teman sekamarnya.

Meilani meringis. “Yah, sorry banget Tik. Gue udah dapet temen sekamar. Sama Nela dan Nurmala. Lo…cari temen yang lain, gih. Yang belom dapet temen sekamar. Maksimal tiga orang katanya temen sekamarnya,” tolak Meilani dengan halus. Sebenarnya, tak masalah mereka memilih teman sekamar berapa orang. Mau lebih dari 5 orangpun terserah. Hanya saja, Meilani menjadi sedikit sensi jika berada di dekat Tika akhir-akhir ini. Bawaannya cemburuuuuu aja. Apalagi kalau melihat Tika bersama cowok playboy itu. Huh! Kalau bukan karna mengingat mereka dulunya teman dekat, Meilani mungkin tak akan mau berbasa-basi seperti ini dengan Tika. Apalagi melihat tingkah Tika yang seolah tidak menghiraukan bagaimana perasaan Meilani. Tidak peka.

“Yah, terus gimana dong, Mel?” Meilani tersenyum sambil mengangkat kembali kedua bahunya.

Tika melihat ke atas tangga. Lalu matanya melebar. “HEH! Koper lo nih pada. Enak aja gue disuruh jagain. Nih…nih!! Gue belom dapet temen sekamar tau!” teriaknya pada segerombolan cowok-cowok yang baru saja muncul di atas tangga. Hendak menuruni tangga, menuju ke tempatnya berdiri bersama Meilani.

Meilani menolehkan kepalanya ke atas tangga. Menyisir satu-satu gerombolan cowok itu menggunakan matanya. Saat matanya bertemu pandang dengan orang yang mati-matian dihindarinya untuk saat ini, Meilani membeku. Mata hitam Altan menatapnya tajam. Menguncinya dari jarak jauh. Di setiap undakan tangga yang dituruni Altan, tak sekejap pun ia melepaskan tatapannya dari Meilani. Meilani tersadar dari kebekuannya saat Altan sudah berdiri di samping Tika.

Meilani secara naluriah menundukkan kepalanya. Menelan ludah.

Seharusnya ia sudah melangkahkan kakinya dari sana. Pergi menjauh. Tapi –sekali lagi—Meilani malah menemukan dirinya masih membeku di depan ‘pasangan’ itu. Meilani terlalu takut untuk melangkahkan kakinya menjauh dari sana. Ia merasa tak bisa begitu saja pergi tanpa sepatah kata pun. Apalagi mata hitam itu masih mengawasinya. Meilani bisa merasakan itu.

Meilani melirik ke samping saat seseorang merangkulnya dari belakang. Dion memberikan cengiran andalannya. Meilani menggeliat ingin melepaskan rangkulan Dion dari pundaknya. Tapi Dion melakukan yang terbaik. Mengetatkan rangkulannya pada Meilani.

“Yon,” Meilani melotot pada Dion. Menggeram tak suka. Sekilas Meilani melirik Altan. Seketika itu juga, pikirannya kacau berantakan. Entah ia merasa senang Dion merangkulnya seperti itu, karna merasa telah menyiramkan bensin pada api-api cemburu di diri Altan. Atau merasa bersalah, layaknya orang yang tetangkap sedang melakukan perselingkuhan. Altan menunjukan tatapan tidak sukanya pada mereka berdua. Sangat kentara. Aura permusuhan keluar dari setiap pori-pori kulitnya.

Dion tak memperdulikan penolakan Meilani. Lalu memilih untuk menggoda Meilani. “Mel, temen sekamar lo siapa? Sama gue aja, yuk?” ajaknya bercanda.

Meilani semakin melebarkan matanya. Menginjak kaki Dion sekuat yang ia bisa. Sehingga Dion melepaskan rangkulannya dan berpaling mengusap-usap kakinya yang sakit akibat diinjak oleh Meilani. “Makan tuh sekamar sama lo.” Meilani memanfaatkan kesempatan lumpuhnya Dion dengan melarikan diri dari sana, lalu Meilani menyeret koper miliknya menjauh. Mengangkatnya saat akan menaiki tangga.

Dion menegakkan tubuhnya, berusaha menggapai-gapai Meilani dengan tangannya. Sayang Meilani sudah bergerak menjauh. Dion tertawa terbahak-bahak. “Yah, Mel, mau kemana? Ayok, ke kamar aja!” teriaknya menggoda.

Meilani balas berteriak dari atas tangga. “Au gelap.”

“Yah, tau aja Mel, kalo enakan gelap-gelapan di kamar apalagi kalo sama hummmppptt hmmmpptt…” tak terdengar lagi apa yang sedang diucapkan oleh Dion karena Altan dengan sigap membekap mulutnya. Hampir membuat Dion tak bisa bernapas.


***


Akhirnya, setelah bisa lolos dari Tika dan Altan, Meilani langsung dihampiri oleh Nela dan Nurmala. Lalu mereka bergegas menuju kamar mereka yang telah dipersiapkan oleh pihak hotel.

Meilani, Nela, dan Nurmala harus menaiki lift untuk mencapai kamar mereka yang terletak di lantai 4. Setelah lift berdenting tepat di lantai 4, Meilani, Tika, dan Nurmala mencari kamar yang sesuai dengan nomor yang tertera di kunci. Kamar nomor 415.

Meilani seharian mengurung diri di dalam kamar hotel. Tidak ingin keluar dari tempat itu meskipun sudah waktunya makan malam, atau sekedar berjalan-jalan mengelilingi hotel bersama Tika dan Nurmala.

Hatinya sungguh kacau. Tidak merasa baik berada disini dengan perasaan yang menggantung seperti ini.

Di dalam kamar, Meilani lebih memilih untuk menggunta-ganti saluran televisi plasma yang menempel dengan gagahnya di tembok dalam kamar.

Tika mulai menggerutu saat keesokan paginya Meilani tetap memutuskan untuk mengurung dirinya di dalam kamar. Tidak turun ke restoran untuk sarapan ataubahkan makan siang.

“Mel, lo gak laper dari kemaren gak makan?” tanya Nurmala ikut khawatir.

Meilani menggeleng. “Gue ngemil aja juga kenyang,” kata Meilani sambil mengubur kepalanya ke dalam bantal putih empuk di atas kasur. Memposisikan dirinya tidur tengkurap. Berniat melanjutkan tidurnya.

“Gila kali lo, Mel. Ntar lo sakit!” teriak Nela. Meilani hanya bergumam menanggapi. Lebih sakit lagi kalo gue liat dua orang itu lagi mesra-mesraan, Nel. Batin Meilani.

Nela mengguncang-guncang bahu Meilani. “Mel, Mel. Tadi pas makan siang ada pengumuman dari kepala sekolah.” Meilani masih dalam posisi tidurnya. Tapi Nela tahu kalau Meilani mendengarkan. “Katanya, acara promnight di majuin jadi nanti malem. Semua siswa wajib hadir, Mel,” ucap Nela melanjutkan.

Meilani membalikkan badannya. Mengernyit menatap Nela yang duduk di pinggiran kasur. “Kok gitu? Seharusnya kan besok malem? Nunggu pengumuman kelulusan duluan?”

“Nah, itu dia. Kata beliau, acara prom sengaja dimajukan karena biar semua siswa Lagoon tuh ikut ngehadirin acara itu. Biar senang-senang dulu katanya. Nanti kalo misalnya pengumuman kelulusan duluan, trus kalo ada yang gak lulus –aduh, amit-amit deh—pasti bakalan ada yang gak dateng ke acara promnight. Kan kasian gak ada kenangannya di acara prom,” Nela menjelaskan apa yang dikatakan dalam pengumuman Kepsek tadi saat selesai makan siang.

Meilani mengerang. Sial. Berarti malam ini dia harus datang ke pesta prom, dong? Padahal niatnya jika acara prom dilaksanakan setelah pengumuman kelulusan, ia tak ingin datang untuk menghadiri acara itu. Menyaru di antara orang-orang yang mungkin tak akan datang di acara prom karna dirundung kesedihan. Bedanya, orang lain sedih karna mungkin mereka tidak lulus ujian, sedangkan dia, sedih karna hatinya hancur berkeping-keping.

Sial, pasti sekarang dia terlihat kacau berantakan.

Meilani balik menatap Nela yang masih duduk memerhatikannya di pinggir tempat tidur. Lalu menatap Nurmala yang duduk –juga menatapnya—di kursi meja rias.

“Lo mesti dateng, Mel. Ini WA-JIB!” kata Nurmala menegaskan perkataannya. Meilani menegakkan tubuhnya. Memandang keluar jendela yang tirainya terbuka lebar. Memperlihatkan suasana pedasaan Ubud yang damai dan asri.

“Acaranya jam berapa?” tanya Meilani akhirnya. Melirik bergantian Nela dan Nurmala.

“Jam 7 malam, Mel. Lo bawa gaun lo, kan?” Nela menjawab sekaligus memberikan pertanyaan yang daritadi mengganjal di pikirannya.

Meilani menganggukan kepalanya ke tempat dimana kopernya tergeletak. Nela mengikuti arah anggukan Meilani. Lalu menepuk jidatnya saat menyadari kebodohan Meilani.

“Ya ampun, Mel. Yang bener aja, lo ngapain aja di kamar selama ini, sedangkan barang-barang lo belom ada yang diberesin? Masih di dalem koper semua?”

Meilani mengangguk, mengiyakan.

Nurmala dengan cepat langsung melompat ke tempat koper Meilani tergeletak. Membukanya sambil menggerutu.

“Lo lagi stress banget apa, ya, Mel? Sampe gaun lo dibiarin gitu aja lecek di dalem koper.” Nurmala berdecak.

Nela akhirnya berdiri. Lalu mengambil gaun putih Meilani. Menempatkannya di lengannya yang besar. “Gue bawa ke laundry di bawah, deh. Biar disetrika disana. yuk, La?” Nela mengajak Nurmala keluar kamar.

Sebelum mereka berdua keluar dari kamar, Nela berpesan agar Meilani mempersiapkan segalanya untuk nanti malam.

Meilani termangu memikirkan apa yang harus dipersiapkannya untuk nanti malam. Kemudian ia beranjak ke arah kopernya berada. Mengeluarkan stiletto perak miliknya. Lalu apa lagi?

Ah! Make-up. Tapi…Meilani tidak membawanya sama sekali. Barang-barang yang dibawanya untuk acara prom hanya gaun dan stiletto miliknya. Dia lupa membawa make-up. Yah, jelas saja dia lupa membawa make-up, secara memakai make-up saja Meilani tidak pernah.

Meilani mengangkat bahunya. Tak peduli. Tak usah memakai make-up pun tidak akan menjadi masalah besar untuknya. Setelah itu Meilani melanjutkan sisa harinya bergelung di tempat tidur. Sampai matahari mulai tenggelam, Meilani baru menurunkan kakinya ke lantai dan bergegas ke kamar mandi.


***


Meilani, Nela dan Nurmala berjalan pelan menuju ballroom hotel yang berada di lantai 2. Nurmala yang memang sangat feminine diantara Nela dan Meilani berhasil melakukan tugasnya dengan baik. Mendandani Meilani layaknya princess dari kerajaan terhormat. Meilani sangat cocok dengan gaun yang dibawanya. Gaun putih selutut dengan bagian bawah yang mengembang, tali spaghetti di bagian bahunya. Sangat sempurna saat Nurmala memutuskan untuk menggulung rambut panjang Meilani ke atas, lalu membiarkan sedikit untaian rambut jatuh di salah satu bahunya. Tak perlu menggunakan make-up yang berlebihan, Nurmala hanya mengoleskan bedak tipis di pipi chubby Meilani dan lipgloss sewarna dengan warna bibirnya pada bibir sexy milik Meilani.

Nela yang tadinya cukup minder menggunakan gaun karna bentuk tubuhnya yang besar, kini mulai percaya diri berkat make-over dari Nurmala. Gaun cokelat miliknya dipadu dengan balero berwarna senada dengan gaunnya. Dan melakukan make-up yang sesuai dengan kepribadian Nela.

Dan Nurmala melakukan yang terbaik juga pada dirinya. Ia terlihat sangat cantik menggunakan gaun berwarna pink pucat dengan rambut yang sudah dikeriting olehnya sendiri lalu membiarkannya tergerai begitu saja di kedua bahunya.


Saat masuk ke dalam ballroom, Meilani mengatur nafasnya dan menenangkan dirinya sendiri agar tidak terlihat gugup.

Ballroom hotel ini sangatlah besar untuk acara promnight sekolah mereka. Meja-meja bundar berpencar di sudut-sudut ruangan.  Di setiap meja bundar terdapat 8 kursi yang mengelilinginya.

Sudah setengah dari meja-meja itu dipenuhi oleh siswa-siswi yang datang menghadiri acara promnight. Ketiga pasang mata indah itu menyapu seluruh sudut ballroom. Mencari meja yang masih kosong, atau setidaknya sudah terisi sebagian oleh teman mereka, sehingga mereka bisa ikut bergabung di meja itu.

Tangan Nela melambai pada sekumpulan perempuan yang berpenampilan tidak kalah menarik dari mereka. Salah satu dari mereka mengirimkan signal kepada Nela, Meilani dan Nurmala untuk bergabung di meja mereka. Dan akhirnya, setelah berjalan sambil melemparkan senyum terindah mereka malam ini, ketiga cewek itu bisa mendapatkan tempat duduk yang lumayan strategis di sudut ballroom tersebut.

Terdapat pintu kaca di bagian samping ruangan yang mengarah ke lantai dansa. Disana, nanti mereka akan berdansa jika waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Dan untuk sementara, ruangan itu disterilkan dari orang-orang yang tidak berkepentingan.

Meilani memperhatikan. Hampir semua perempuan disana mengenakan gaun yang indah dan sangat cocok di tubuh mereka. Dan semua laki-laki disana –secara serentak— mengenakan jas hitam dan kemeja putih serta dasi yang menggantung sempurna di leher mereka.

Meilani menghentikan pengamatannya. Takut saat matanya yang sedang jelalatan ke seluruh ruangan melihat Altan sedang menggandeng Tika atau siapapun yang menjadi pacarnya saat ini. Meilani tidak mau melihat itu sekarang. Dia belum siap.

Sebelum acara prom benar-benar dimulai, mereka dihidangkan menu pembuka untuk menikmati acara hiburan yang disajikan oleh perwakilan dari masing-masing kelas terlebih dahulu. Saat waktunya untuk makan malam, mereka dihidangkan menu makanan yang sangat menggugah selera.

Meilani memutuskan tidak menghabiskan makanannya karna memang ia merasa sedang tidak enak badan. Meilani menyenderkan punggungnya ke kursi yang di selimuti kain satin berwarna putih yang lembut.

Nela menyarankan untuk berfoto-foto bersama terlebih dahulu. Mumpung mereka belum berpencar nanti. Dan Meilani melakukan pose terbaiknya. Tersenyum manis ke arah kamera, merangkul siapa saja yang berfoto di dekatnya, dan memberikan sedikit kata-kata penyemangat kepada temannya yang menjadi sedikit nervous mengingat besok pagi adalah hari dimana pengumuman kelulusan dari pihak sekolah.

Jujur, Meilani bahkan sampai lupa untuk menjadi panik saat mengingat besok adalah hari pengumuman kelulusan. Semua yang ada dipikiran Meilani saat ini hanya seorang cowok berwajah tampan dengan kemeja putih, lengan panjang yang digulung sampai ke siku dan dasi panjang berwarna hitam yang terpasang dengan sangat menawan di lehernya yang panjang. Cowok itu duduk di atas stage sambil memegang gitar. Menatap lurus ke depan.

What? Cowok itu memegang gitar? Di atas stage? Mau ngapain?

“Ohh, jadi Altan sama Andri, toh, yang jadi perwakilan kelas kita buat nampilin sesuatu di depan sana,” ujar cewek berwajah oriental, bermata sipit yang satu meja dengan Meilani. ia juga teman sekelas Meilani. Namanya Kesha.

Meilani melirik Kesha. Lalu mengalihkan tatapannya ke atas stage. Disana juga ada Andri yang sedang sibuk mempersiapkan perlengkapan manggung mereka. Bisa dibilang hanya Andri-lah yang sibuk menyambungkan kabel-kabel gitar ke soundsystem di belakang. Sementara Altan? Ia hanya duduk terpaku disana. matanya sekali-kali menyisir ke seluruh ballroom.

Meilani memundurkan kursinya. Menunduk. Ia tahu Altan mungkin sedang mencari dirinya. Dan saat ini, ia hanya ingin bersembunyi dari mata hitam itu. Mata hitam yang selalu mengintimidasinya. Mata hitam yang membuat kakinya serasa seperti jelly yang kenyal dan susah digerakkan. Mata hitam yang membuat hatinya meleleh dan akhirnya menjadi tumpah saking penuhnya lelehan itu.

Dua menit kemudian, terdengar suara gitar di petik. Dan suara khas yang sangat dikenalnya mengalun dengan indah dan senada dengan petikan gitar akustiknya. “Am I asleep, am I awake or somewhere inbetween?...” Meilani mengangkat kepalanya saat mendengar lagu favoritnya dinyanyikan dengan sangat sempurna oleh Altan. Apa lagu itu…untuknya? “…I can’t believe that you are here and lying next to me… or did I dream that we were perfectly entwined… like branches in a tree or twigs  caught on a vine..

Gak, gak mungkin. Lagu ini pasti bukan untuknya. Lagu ini pasti untuk Tika. Meilani benar-benar menyangkal pemikiran bahwa lagu itu memang ditujukan kepadanya.

Andri yang duduk di sebelah Altan sambil memangku gitar dan berpakain lengkap dengan jas hitamnya, melanjutkan lagu tersebut tepat pada bagiannya. “Like all those days and weeks and months I tried to steal a kiss… and all those sleepless nights and daydreams where I pictured this… I’m just the underdog who finally got the girl and I am not ashamed to tell it to the world…

Ketika Andri menyelesaikan nyanyiannya, Meilani menangkap sosok Tika sedang berdiri dengan bangganya di sudut panggung, tersenyum lebar dengan sebuah jas hitam tersampir di salah satu lengannya.

Truly madly deeply I am, foolishly completely falling, and somehow you kicked all my walls in.. so baby, say you’ll always keep me… truly madly crazy deeply in love…” Meilani dengan perlahan menaruh kedua tangannya di pangkuannya. Meremas renda-renda dari taplak meja bundar yang menggantung dipangkuannya. “…with you…in love with you…

Jelas. Lagu itu pasti bukan untuknya. Secara akhir-akhir ini dia tidak lagi dekat dengan Altan. Dan satu-satunya cewek yang sedang dekat dengannya adalah Tika.

Meilani merasa dadanya begitu sesak. Lagu ini… lagu favoritnya… dinyanyikan oleh orang yang disukainya… tapi bukan untuknya.

Meilani merasa wajahnya sedikit memucat. Badannya menjadi semakin memburuk. Ia ingin muntah.

Andri dengan percaya diri melanjutkan lagunya. “Should I put coffee and granola on a tray in bed? And wake you up with all the words I still haven’t said… and tender touches just to tell you how I feel… or should I act so cool like it was no big deal…” Meilani tak akan pernah lagi melirik ke atas panggung. Dia tidak ingin melihat Altan sedang balas tersenyum kepada Tika disana.

 “Wish I could freeze this moment in a frame and stay like this or put this day back on replay and keep reliving it…”

Altan menggantikan untaian lirik yang sedang dinyanyikan oleh Andri dengan suara berbisik. Matanya dari tadi tak pernah lepas dari sosok Meilani yang menunduk dan bersembunyi di balik tubuh Nela. “Cause here’s the tragic truth if you don’t feel the same… my heart would fall apart if someone said your name…”

Petikan gitar dari jari-jari ahli Andri dan Altan terus mengisi ruangan besar itu. Sementara seluruh orang yang hadir sukses tercengang dengan penampilan duet maut laki-laki tampan dari Lagoon itu.

Meilani menggertakkan giginya. Kalau tau seperti ini, ia tidak akan pernah datang ke acara seperti ini. Akhirnya, Meilani memutuskan untuk pergi dari ruangan itu. Menggeser kursinya ke belakang, Meilani mencoba mengalihkan perhatian Nela atau Nurmala atau teman-teman satu mejanya. Tapi tak ada yang memperhatikan gerakannya. Semua orang di ruangan ini benar-benar sedang terpesona oleh dua laki-laki itu. Terpesona oleh suara merdunya Andri dan suara seraknya Altan saat bernyanyi.

Truly madly deeply I am, foolishly completely falling, and somehow you kicked all my walls in.. so baby, say you’ll always keep me… truly madly crazy deeply in love… with you… in love with you…” Andri dan Altan sama-sama menyanyikan lagu milik boyband terkenal asal Inggris itu.

Meilani berjalan menuju pintu kaca besar yang mengarah keluar dari ballroom. Ia benar-benar menulikan telinganya bahkan saat Altan menyanyikan lirik terakhir dari bagiannya. “I hope I’m not casuality… hope you won’t get up and leave… might not mean that much to you… but to me it’s everything…” suara serak Altan bahkan berubah menjadi sangat putus asa sehingga benar-benar menyerupai bisikan yang membuat semua tamu merinding mendengarnya.

Tepat saat Meilani menghilang dari ruangan besar tersebut, Altan meneteskan air matanya sambil berucap, “…everything.”

Truly madly deeply I am, foolishly completely falling, and somehow you kicked all my walls in.. so baby, say you’ll always keep me… truly madly crazy deeply in love… with you… in love with you…” di bagian akhir yang seharusnya dinyanyikan oleh Andri dan Altan, akhirnya hanya dinyanyikan oleh Andri karna Altan sudah kehilangan konsentrasinya saat melihat Meilani berjalan meninggalkan ruangan itu. Tanpa melihatnya.


***


Meilani memutuskan kembali ke kamar. Melepaskan gaunnya dan langsung menggantinya dengan t-shirt panjang dan celana panjangnya.

Kembali bergelung di atas tempat tidur sambil meneteskan berpuluh-puluh ember air bening yang keluar dari matanya.

Bayangan-bayangan saat di ballroom tadi mengganggu hati dan pikirannya begitu dalam. Altan yang menyanyikan lagu favoritnya, tapi bukan untuknya. Tika yang berdiri dengan sangat bangganya di samping panggung, memamerkan senyum lebarnya. Semua orang yang tercengang melihat penampilan dua orang itu. Tak ada satupun dari mereka yang menghiraukannya.

Masa bodoh dengan acara promnight sialan itu. Toh, belum mulai saja, dia sudah disuguhkan pemandangan yang sangat menghancurkan dunianya. Menghancurkan hatinya berkeping-keping.



Meilani terbangun dari tidurnya tepat jam setengah tiga pagi. Kepalanya terasa pusing akibat menangis dengan mengubur kepalanya dalam-dalam ke bantal. Matanya bengkak saat ia melihat ke arah cermin. Merah pula. Hah! Dia benar-benar terlihat kacau balau.

Meilani menghela nafas saat menyadari Nela dan Nurmala sudah kembali dari acara prom itu dan sekarang mereka sudah jatuh tertidur di atas kasur empuk yangtadi sempat diacak-acaknya.

Meilani memutuskan untuk keluar setelah ia mencuci mukanya di kamar mandi. Berjalan keluar kamar, menyusuri lorong yang temaram menuju ke balkon utama di lantai itu.

Meilani bersyukur ia bisa menemukan balkon yang diceritakan oleh Nela tadi sore. Walaupun berjalan sedikit terhuyung akibat rasa pusing di kepalanya. Untung dia memakai jaket putih Smith miliknya. Mengingat cuaca di luar sangatlah dingin. Meilani merapatkan jaketnya.

Berhenti di ujung balkon, Meilani melihat pemandangan hutan kecil di sekitar hotel. Tepat di bawah balkon terdapat kolam renang yang sangat bening airnya. Lampu-lampu di sekitar hotel ada yang masih menyala sebagian dan sebagian lainnya sengaja dimatikan.

Meilani menghela nafas berat. Tiba-tiba, air matanya bergulir begitu saja melewati pipinya. Lama Meilani menghabiskan waktu dini harinya dengan berdiri mematung sendirian di pinggir balkon.

Pikirannya berperang dengan perasaannya. Hatinya tiba-tiba seperti diremas dan dilemparkan begitu saja. Sangat menyakitkan.

Deheman keras terdengar dari arah belakang. Meilani menoleh kaget. Cepat-cepat menghapus bekas aliran air mata di pipinya. Meilani melebarkan matanya. “Dion,” katanya sedikit lega. “Gue kirain Kepsek lagi inspeksi mendadak kesini.”

Dion yang masih mengenakan kemeja putih yang sudah berantakan dimana-mana, dasi yang sudah hilang dari lehernya, dan jas yang entah sudah berada dimana, berjalan menghampiri Meilani. Mengernyit saat harus meluruskan satu lagi yang secara otomatis menjadi urusannya. Baru banget selesai ngasih masukan ke yang cowok, sekarang? ceweknya malah ngegalau disini, batin Dion berdecak.

“Lo nangis, Mel?” Dion langsung menanyakan ke pokok persoalan. Dion mendekatkan wajahnya untuk mengamati wajah Meilani. Menatapnya dengan alis terangkat.

Meilani memalingkan wajahnya. Menggeleng.

“Jangan bohong. Gue tau elo banget kali, Mel. Would you like to tell me why?”

Meilani memejamkan matanya. Menahan butiran air matanya kembali turun membasahi pipinya. “Gak papa, Yon,” elak Meilani. Dion mendengus. Dengan cekatan memegang kedua bahu Meilani, memutarnya lalu menghadapkannya tepat di depannya. Memaksa Meilani untuk menatapnya.

“Lo tau? Gue baru aja selesai ngasih saran ke orang yang mungkin adalah penyebab lo nangis kayak gini,” kata Dion. Meilani menegakkan tubuhnya. Menatap Dion. Matanya berputar-putar mencari kejujuran di mata Dion.

Dion mengangkat sebelah bahunya. Tangannya masih memegang erat pundak Meilani.

“Sotoy lo, Yon,” gumam Meilani mengomentari Dion.

Dion tertawa getir. “Masih mau nyangkal kayak gimana juga tetep aja gue doang yang ngerti masalah kalian berdua. Sekarang gini aja deh Mel, lo jujur-jujuran aja sama gue. Lo, suka kan sama Altan?” tanya Dion langsung.

Meilani menggeliat. Ingin melepaskan cengkraman Dion di pundaknya. Dion tak akan menyerah. Dengan kuat dan hati-hati, ia memegang pundak Meilani. Memastikannya tetap menatap dan mendengar dirinya.

Meilani menghela nafas. “Gue gak tau, Yon.” Meilani berucap lemah.

Dion menghela nafas. Menarik Meilani lebih dekat padanya. Memeluknya. Saat Dion memeluk Meilani, seketika itu juga Meilani meneteskan kembali air matanya. Meilani membiarkan Dion memeluknya. Ia memang butuh seseorang yang mengerti keadaannya saat ini. Mungkin Dion benar. Ia memang telah jatuh cinta. Dan itu menyakitkan saat cinta yang sudah tumbuh dengan perlahan, tapi malah tak terbalaskan.

Dion mengusap punggung Meilani. Melihat bayangan sekejap di pintu balkon, Dion mendongak. Tangannya terangkat, memberi isyarat kepada orang yang berdiri di depan pintu balkon agar tak mendekat. Menyuruhnya agar tetap berada disana.

“Lo akuin aja, Mel, kalo lo suka sama dia. Kalo lo ngehndarin dia terus, dia mana tau kalo lo suka juga sama dia. Yang ada dia malah mikir kalo lo gak suka sama dia, jijik sama dia, benci sama dia. Perasaan tuh gak boleh dipendam loh. Gak baik.”

“Iyaa, gue suka sama dia.. tapi Yon, gue bingung,” aku Meilani akhirnya. Dion mengernyit. “Kenapa mesti bingung, sih? Dia juga suka sama lo kali,” bongkar Dion.

Meilani menggeleng dalam pelukan Dion.

“Gue bingung. Banyak faktor yang buat gue tuh, jadi ragu sama dia. Dia bilang dia kenal gue dari kecil. Ngalamin kecelakaan yang sama kayak gue. Dia bilang ke Nela kalo dia suka sama gue, tapi gue gak yakin sama dia. Dia bilang dia adik dari orang yang bikin Zufar meninggal. Dia bilang dia gak suka sama Tika lagi, tapi sekarang dia?” Meilani mengungkapkan segalanya pada Dion. Matanya menerawang ke depan. Dimana pemandangan kebun hotel terpampang jelas di depannya.

“Mel, dengerin gue baik-baik, ya. Gue bakal ngelurusin beberapa hal. Pertama, dia emang temen kecil lo. Ngalamin kecelakaaan yang sama, sama lo. Lo ingetkan dia Hodophobia? Itu bedanya dia sama lo. Dia Hodophobia, lo amnesia gara-gara kecelakaan itu. Lo gak inget sama dia? Itu yang bikin dia penasaran sama lo. Suka ganggu-ganggu lo. Dan akhirnya dia jatuh cinta sama lo. Itu point-nya! Dia suka gonta-ganti pacar selama ini tuh cuman karna buat narik perhatian lo.

Narik simpati lo. Tapi lo malah gak peduli. Dan point bertambah. Dia malah jadi kayak orang gila kalo ada urusan menyangkut lo. Termasuk saat dia tau kalo si Oscar gila berniat nyelakain lo. bahkan malah ngebunuh pacar lo. Dia satu-satunya orang yang dari keluarganya, yang bener-bener murka sama Oscar saat itu juga. Sampe gak mau ngakuin Oscar jadi sodaranya lagi –walaupun Cuma saudara tiri.” Dion menarik nafas. Kemudian melanjutkan penjelasannya.

Melirik sekilas ke depan pintu balkon. Dion memejamkan matanya sekejap.

Orang yang berdiri di depan pintu mencengkram bingkai pintu kaca di sampingnya. Mata hitamnya menatap lurus-lurus pada dua orang yang sedang berpelukan itu. Meilani tidak menyadari kehadirannya. Dan orang itu juga tidak bisa melihat secara langsung wajah cantik gadis pujaannya itu.

“Yon, tapi gue gak bisa…” Meilani mengerang. Terisak. “Gue…kalo inget itu… jadi ngerasa bersalah,” bisik Meilani.

“Bersalah? Lo ngerasa bersalah sama pacar lo yang udah gak ada itu—aww!

Yaa, maksud gue yang udah meninggal itu? Hey, come on, Mel, lo gak bisa ngerasa bersalah gitu aja karna lo udah terlanjur jatuh cinta sama adik—adik tiri dari orang yang udah ngebunuh pacar lo. Lo gak salah. Lo gak jatuh cinta sama orang yang ngebunuh pacar lo sendiri, kan? Altan bahkan gak salah sama sekali tentang ini. Gue saksinya, Mel. Dia marah banget bahkan hampir mau bales ngebunuh Oscar! Demi Tuhan, Mel, dia ngelakuin itu.”

Meilani terdiam. Memikirkan semua perkataan Dion. Lalu bayangan mengenai Tika melayang-layang di benaknya.

Meilani menguraikan pelukan Dion. Menatap Dion dengan cemas. Masih tidak menyadari ada seseorang yang sedang mereka bicarakan berdiri tak jauh darinya. Mendengarkan.

Meilani menunduk. Menelan ludahnya. “Tapi, Yon…” Dion dengan lembut mengangkat dagu Meilani. Memberikan kedipan. “Percaya sama gue!”

Meilani menggeleng lagi. “Bukan…tapi, Tika?” Meilani bertanya ragu.

“Tika? Cewek kecil manja kayak gitu lo khawatirin?” Dion menunjukkan wajah tak sukanya saat mengucapkan nama Tika. Dia memang tak suka dengan semua cewek yang menjadi ‘pelarian’ Altan. Meskipun Tika sangat baik padanya. Dion tak peduli. Baginya, cewek-cewek seperti Tika adalah orang yang menyebabkan kesulitan dalam hidupnya bahkan sahabatnya.

“Nih, ya. Lo pasti tadi liat kan Altan nyanyiin lagu favorit lo di acara pembukaan prom? Itu lagu sebenernya buat elo, Mel. Masa lo gak nyadar sih?”

Meilani mengernyit. Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin Altan tau kalo lagu itu adalah lagu favoritnya?

Dion melangkah mundur. Punggungnya membentur dinding balkon. “Lo pernah nulis lagu itu kan pas lo sempet duduk sebangku sama dia? Inget?” Dion tersenyum. Geli saat mengingat waktu ia dengan sengaja merencanakan agar Meilani terjebak dan duduk di sebelah sahabatnya.

Wajah Meilani berubah merah merona saat mengingat keisengannya mencoret-coret lirik lagu Truly Madly Deeply milik One Direction itu.

“Lagian…” Dion melanjutkan. “Lo berdua tuh sama-sama jaim. Nyakitin perasaan masing-masing. Udah tau sama-sama suka. Tinggal bilang ‘I love You’ aja kayaknya susah banget, sih,” gerutu Dion.

“Yon, gue emang suka sama dia, tapi gue gak yakin dia suka sama gue. Dia itu—”

“Gue emang suka sama lo kok, Mel.” Altan yang sedari tadi berdiri mematung di pintu balkon akhirnya tak kuat menahan kesabarannya. Sengaja memotong ucapan Meilani. Altan bergerak maju mendekati Meilani.

Meilani yang mendengar suara lainnya di balkon itu langsung memutar dirinya dengan cepat. Menemukan Altan –yang sudah berganti pakaian dengan mengenakan jaket jeans hitamnya yang menutupi kaos abu-abu di tubuhnya, dan celana jeans hitam yang sepadan dengan jaket jeansnya—berdiri tak jauh darinya.

Meilani mulai merasakan seluruh aliran di pembuluh darahnya berhenti saat itu juga. Menelan ludahnya. Terkesiap melihat Altan disana. Mendengarkan semua yang telah dikatakannya dan Dion sedari tadikah?

Meilani menggigit ujung bibirnya.

Well, take your time, guys!” ucap Dion santai. Dion bukannya pergi menjauh dari sana, tapi ia malah memasang headset pada kedua lubang telinganya. Berpura-pura tidak mendengarkan.

Altan melirik Dion. Ia tahu, Dion sengaja masih berdiri disitu hanya untuk memastikan bahwa tak aka nada lagi kesalahpahaman di antara dirinya dan Meilani. Altan juga tahu kalau Dion hanya memasang headset-nya saja. Tidak menyalakan lagu di handphone-nya.

Tak peduli dengan Dion, Altan mengalihkan kembali tatapannya pada Meilani.

Berjalan pelan, Altan melangkah takut-takut mendekat pada Meilani. Mengetahui bahwa Meilani tak bereaksi apa-apa dengan kedekatannya, Altan memutuskan untuk menarik tangan Meilani dan membawanya ke salah satu sudut balkon. Menjauh dari Dion. Beruntung, Meilani menurut saat itu. Ia masih cukup tercengang mengetahui kehadiran Altan disana.

Altan menaruh kedua tangannya di pipi Meilani. Memaksa gadis itu agar menatapnya dan mendengarnya.

“Lo bilang sama gue, kenapa lo masih ragu sama gue, padahal gue udah bilang yang sebenarnya sama lo? hmm?”  tatapan matanya seperti mencari-cari sesuatu di mata merah –habis menangis—milik Meilani.

Meilani menggigit ujung bibirnya. Kalau ditatap oleh mata hitam yang tajam dengan sangat intens seperti itu, mana bisa bekerja otak Meilani. Kini, sepenuhnya, perasaannyalah yang menguasai dirinya.

“Gue…”

“Selain semua yang udah dijelasin Dion, hal apa lagi yang masih ngeganjel di hati lo, Mel?”

Meilani memainkan kukunya di samping tubuhnya. “Lo…beneran gak terlibat dalam rencana pembunuhan Zufar?”

Altan menggeleng tegas. “For God’s shake! Apa perlu nih, kita sambangin Oscar trus ngebalesin semua dendam lo sama dia? Yuk?!” Altan menaikkan alisnya. Meilani cepat-cepat menggelengkan kepalanya.

“Gak! Apaan sih? Siapa juga yang punya dendam sama Oscar,” sangkal Meilani.

“Ya, trus? Kenapa masih dipermasalahin?”

Meilani mendelik. “Cuman mau mastiin!”

Dion yang sedang berdiri bersandar pada pagar balkon mengeluarkan celetukannya. “Yakyak. Cewek butuh kepastian.”

Altan melirik ke samping, tapi tidak menolehkan kepalanya pada Dion. Meilani melirik Dion melewati pundak Altan. Seperti tidak ada dosa, Dion bersandar disana dengan muka datarnya. Mengayun-ayunkan lengannya seolah mengikuti irama lagu yang sedang di dengarnya.

Altan membelai pipi Meilani menggunakan ibu jarinya. “Oke. Trus apa lagi?”

“Tika…” bisik Meilani. Mendengar nama Tika, Altan malah menyatukan jidatnya pada jidat Meilani. Tubuhnya sedikit membungkuk untuk menyamakan tinggi tubuhnya dengan Meilani.

“Ya Tuhan… maaf, Mel. Gue emang ngehubungin dia lagi. Gue pikir… lo bener-bener gak suka gue. Gue pikir lo gak mau kenal ataubahkan berhubungan sama gue lagi, Mel. Jadi…sumpah, waktu itu gue lagi butuh temen yang bisa sedikit ngertiin gue –walau gue berharap banyak, kalo orang itu elo. Tapi… Mel, maaf, Mel. Jujur waktu itu gue putus asa banget sama lo.”

“Gitu ya,” komentar Meilani. Meilani berusaha menarik dirinya dari Altan. Tapi tangan Altan ternyata mengunci tengkuknya agar tak bisa melepaskan diri darinya.

“Maaf,” bisik Altan.

“Kalo bukan karna gue, pasti tuh orang udah dibutakan hatinya sama cewek kecil nan manja itu,” celetuk Dion sambil lalu. Ia memutuskan untuk memberikan privasi kepada dua orang ‘menyusahkan’ itu untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Jika masih terus berada di situ, Dion pasti akan lebih banyak mengeluarkan celetukannya. Meilani melirik dari sudut matanya. melihat Dion menghilang di pintu balkon. Kemudian, Meilani kembali menatap Altan.

Sudah sejak beberapa menit yang lalu, Meilani tidak merasakan jantungnya berdetak dengan baik di tempatnya. Ya ampuuun!

“Dia suka sama lo, Al.”

Altan mengerang. “Gue lebih suka sama lo, Mel. Gue gak peduli siapa yang suka sama gue. Gue akan peduli kalo itu adalah elo. That’s one thing I want to know. You love me back, aren’t you?”

Hening.

Meilani menggigit ujung lidahnya. Menunggu kepastian itu adalah suatu hal yang paling mendebarkan di dunia. Itulah yang terjadi pada Altan.

Cengkraman di tengkuk Meilani semakin mengetat dan semakin erat dan semakin membawa Meilani mendekat saat Meilani memejamkan matanya dan menganggukkan kepalanya perlahan.


***___***___***___***


Altan dan Meilani memutuskan untuk berkeliling di sekitar hotel saat matahari menjelang. Dengan penuh semangat, atas permintaan Meilani, Altan menceritakan kembali kenangan masa kecilnya yang samar-samar masih diingatnya. Sambil menaikkan alis dan banyak celetukkan, Meilani mendengar dan menanggapi cerita Altan. Tersenyum dan tertawa mengejek saat Altan menyombongkan sesuatu yang memang sangat dikuasai oleh dirinya.

Tepat jam 9 pagi, Altan dan Meilani berjalan kembali menuju taman hotel. Barusan, ia mendapat BBM dari Dion bahwa pengumuman kelulusan akan diumumkan sebentar lagi disana.

Sudah banyak siswa-siswi yang berkumpul. Altan menarik Meilani agar tetap di dekatnya. Lalu memilih menunggu di kerumunan paling belakang. Altan menggoyangkan tangan Meilani yang terjalin dengan tangannya.

“Gak usah takut. Pasti lulus kok,” kata Altan meyakinkan. Meilani menyenggol lengan Altan pelan. “Sok tau banget sih, lo. Emangnya lo yakin bakal lulus?” ejek Meilani.

Altan menyeringai. “Yakinlah. Gue aja bisa lulus ujian mendapatkan cinta lo. Masa ujian yang Cuma nguji pelajaran yang cuman diulang-ulang gitu doang selama tiga tahun gitu aja gue gak lulus? Yah, bukan gue bangetlah!” Altan mengedipkan matanya.

“Astajim… jangan buat aku menyesali keputusanku, Tuhan…” gumam Meilani. Altan terkekeh sebentar. Lalu memfokuskan dirinya pada Kepala Sekolah yang sebentar lagi akan mengumumkan kelulusannya.

Dion menghampiri Altan dan Meilani sambil membawa plastik hitam kecil. Tersenyum lebar saat menyapa Meilani dan memberikan plastik kecil itu pada Altan.

“Udah lo beresin tuh cewek, bro?” tanya Altan mencegah Dion yang ingin melangkah pergi. Dion mengangguk dengan seringai jahatnya. Dan secara otomatis, Altan membiarkan Dion beranjak pergi setelah ia mengucapkan terima kasih.

Meilani mengernyit. Menaikkan alisnya, bertanya.

“Gue minta tolong sama Dion, buat kasih penjelasan ke Tika kalo gue…cuma mainin perasaannya doang. Gue bakal minta maaf secara langsung sama dia nanti. Kalo lo izinin.” Altan menatap Meilani lembut.

“Oh, harus itu. Sama semua cewek-cewek yang udah lo sakitin hatinya apalagi,” ujar Meilani menyetujui. Altan tersenyum lalu mengacak-acak rambut Meilani.

Altan mengeluarkan dua kacamata hitam dengan model yang berbeda dari kantung plastik yang diberikan Dion. Menyerahkannya satu kepada Meilani. “Buat apaan nih?”

“Pake aja sekarang,” perintah Altan. Kemudian ia mengeluarkan barang yang lainnya dari kantung itu. Terdapat serbuk berwarna-warni terdapat di dalamnya. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, dan warna-warna lain terbungkus dalam plastik bening yang diikat asal-asalan.

Altan menyeringai. “Pernah nonton film India yang lagi ngerayain Festival Holi(festival warna-warni yang selalu dirayakan umat Hindu—terutama di India), gak? Nih, nanti pas Kepsek bilang kalo angkatan kita lulus seratus persen, kita sebarin nih serbuk warna-warni ke orang-orang di sekitar kita,” jelas Altan.

Meilani melirik orang-orang di dekatnya. Ada beberapa yang sudah mengenakan kacamata hitam –kebanyakan lelaki. Berdiri diam sambil memegang plastik hitam. Menyempil di beberapa kerumunan.

Meilani mengerti. Ternyata Dion dan Altan tak pernah lepas dari membuat kerusuhan.

Meilani memakai kacamata hitam yang diberikan Altan. “Idenya siapa, nih?” tanyanya.

Altan menyerahkan serbuk berwarna kuning, biru dan hijau pada Meilani. “Ide anak-anak. Nih.”

Meilani menerima serbuk warna dari Altan. Lalu memperhatikan Altan yang sedang memasang kacamata hitamnya. Hati Meilani mengetat. Tersenyum, Meilani mengagumi ketampanan wajah Altan. Altan menghentikan aktivitasnya saat menyadari Meilani sedang menatapnya.

“Ganteng, ya?” tanyanya narsis. Meilani menjulurkan lidahnya. Mengejek. Meilani ingin mengejek Altan lagi, tapi suara dari toa yang dipegang oleh Kepsek LHS, mengalihkan perhatian Meilani.

“DAN DENGAN INI SAYA NYATAKAN BAHWA SISWA-SISWI LAGOON HIGH SCHOOL ANGKATAN 2012-2013 LULUS SERATUS PERSEN DENGAN NILAI YANG SANGAT MEMUASKAN –BAIK DARI GEDUNG A DAN B,” teriak Kepala Sekolah saat mengumumkan kelulusan siswanya.

“Wohoooooo…!!!” sorak-sorai seluruh siswa yang berbahagia karena pengumuman yang melegakan hati mereka membuat mereka berteriak tak henti-hentinya. Sampai teriakan itu digantikan dengan jeritan kepanikan saat berbagai macam serbuk warna-warni yang melumuri tubuh mereka.

Meilani terkesiap saat Altan menumpahkan serbuk berwarna itu di atas kepalanya. Membuat wajahnya dipenuhi noda berwarna-warni.

“Oh shit!” makinya. Dengan cekatan, Meilani menyobek plastik bening yang menyelimuti serbuk-serbuk itu. Bersiap untuk menumpahkan semuanya ke wajah Altan. Sebelum Meilani sempat melemparkan serbuk itu, tanpa diduga, Altan mencium pipi Meilani yang dipenuhi dengan noda warna-warni. Membisikan sesuatu;

“Love you!”

Hanya dengan dua kata itu, Meilani mengurungkan niatnya untuk membalaskan dendamnya pada Altan. Membeku disana. terpana.

Oh, tolong. Siapapun yang melihat kemana hilangnya jantung Meilani saat ini, segera hubungi dan kembalikan kepada orangnya. Dia butuh untuk meyakinkan dirinya kalau dia masih ada di dunia. Bukan di surge dan bertemu malaikat tampan kemudian membisikan kata cinta kepadanya.



THE END ……    


0 comments:

Post a Comment

Template by:

Free Blog Templates