DUA
PULUH LIMA
Hotel Dayan Radiasta.
Cukup besar untuk ukuran hotel berbintang di tengah-tengah pedesaan di Ubud,
Bali. Pahatan-pahatan dari patung dan ukiran-ukiran sebuah lukisan—masterpiece-nya
seniman terkenal di seluruh dunia— terpajang indah di seluruh sudut hotel.
“Mel, lo tunggu sini
dulu, ya. Gue sama Nurmala mau ngambil kunci kamar kita dulu sama Mrs. Ketie,”
ucap Nela saat mereka baru saja menjejakkan kaki mereka turun dari bus.
Meilani memanyunkan
bibirnya. Dia paling males kalau disuruh menunggu. Apalagi sendirian! Baginya,
menunggu adalah hal kedua yang paling menyebalkan di dunia. Kalau yang
pertama…you all have known, eh?
“Sebentar doang, kok,”
kata Nurmala meyakinkan. Akhirnya dengan berat hati, Meilani menganggukkan
kepalanya.
“Yaudah. Tapi jangan
lama-lama, ya. Gue tunggu di tangga sana aja tuh,” ujar Meilani sambil menunjuk
bagian samping hotel yang terlihat paling sejuk. Nela dan Nurmala mengacungkan
jempol mereka, lalu beranjak pergi meninggalkan Meilani sambil menarik
koper-koper mereka.
Meilani menyeret
jalannya menuju tempat yang sangat menarik perhatiannya. Menarik nafas berat
saat melihat Tika sedang berdiri sendiri di ujung tangga. Meilani menghentikan
langkahnya. Ragu, apakah ia harus berjalan dan bertemu sapa dengan Tika sekarang.
Mengingat moodboster-nya sudah dirusak oleh Tika sejak di dalam bus tadi.
Tika menoleh ke arah
Meilani. Karna Tika sudah melihatnya berdiri disana, Meilani akhirnya
memutuskan untuk melanjutkan jalannya. Basa-basi sedikit -lagi- aja deh!
“Eh, Tik!” sapa Meilani
sambil menaikkan alisnya.
Tika tersenyum.
Meilani memerhatikan
barang-barang di sekitar Tika. Banyak koper-koper besar yang sengaja diletakkan
begitu saja di sekitarnya. “Lo bawa koper banyak banget,” komentar Meilani.
Tika memanyunkan bibirnya
sambil mengangkat bahu. “Punya anak cowok tuh. Pada nitip ke gue. Gak tau deh
mereka pada kemana,” katanya memelas.
Meilani tersenyum
tipis. “Kasian amat. Udah tinggalin aja napa,” saran Meilani.
“Gak bisa. Ada kopernya
si Altan. Gue disuruh jagain juga,” tolak Tika dengan enggan. Mendengar nama
Altan disebut, Meilani mulai mengerti. Ahhh, jadi tempat penitipan barang
rupanya, batin Meilani terkikik.
Meilani berusaha
bersikap tak peduli dengan Altan. “Yaelah, mau aja lagi lo disuruh jagain
koper, trus orangnya kemana tau. Gue sih mendingan jalan-jalan keliling hotel,
Tik. Lagian, emang lo udah dapet kamar?”
“Yah, iya ya. Gue gak
tau lagi Mel, sekamar sama siapa. Duh, gimana nih? Lo sekamar sama siapa? Sama
gue aja, yuk?” Tika terlihat sangat panik dan mulai mengguncang-guncang lengan
Meilani. Memintanya untuk menjadi teman sekamarnya.
Meilani meringis. “Yah,
sorry banget Tik. Gue udah dapet temen sekamar. Sama Nela dan Nurmala. Lo…cari
temen yang lain, gih. Yang belom dapet temen sekamar. Maksimal tiga orang
katanya temen sekamarnya,” tolak Meilani dengan halus. Sebenarnya, tak masalah
mereka memilih teman sekamar berapa orang. Mau lebih dari 5 orangpun terserah.
Hanya saja, Meilani menjadi sedikit sensi jika berada di dekat Tika akhir-akhir
ini. Bawaannya cemburuuuuu aja. Apalagi kalau melihat Tika bersama cowok
playboy itu. Huh! Kalau bukan karna mengingat mereka dulunya teman dekat,
Meilani mungkin tak akan mau berbasa-basi seperti ini dengan Tika. Apalagi
melihat tingkah Tika yang seolah tidak menghiraukan bagaimana perasaan Meilani.
Tidak peka.
“Yah, terus gimana
dong, Mel?” Meilani tersenyum sambil mengangkat kembali kedua bahunya.
Tika melihat ke atas
tangga. Lalu matanya melebar. “HEH! Koper lo nih pada. Enak aja gue disuruh
jagain. Nih…nih!! Gue belom dapet temen sekamar tau!” teriaknya pada
segerombolan cowok-cowok yang baru saja muncul di atas tangga. Hendak menuruni
tangga, menuju ke tempatnya berdiri bersama Meilani.
Meilani menolehkan
kepalanya ke atas tangga. Menyisir satu-satu gerombolan cowok itu menggunakan
matanya. Saat matanya bertemu pandang dengan orang yang mati-matian
dihindarinya untuk saat ini, Meilani membeku. Mata hitam Altan menatapnya
tajam. Menguncinya dari jarak jauh. Di setiap undakan tangga yang dituruni
Altan, tak sekejap pun ia melepaskan tatapannya dari Meilani. Meilani tersadar
dari kebekuannya saat Altan sudah berdiri di samping Tika.
Meilani secara naluriah
menundukkan kepalanya. Menelan ludah.
Seharusnya ia sudah
melangkahkan kakinya dari sana. Pergi menjauh. Tapi –sekali lagi—Meilani malah
menemukan dirinya masih membeku di depan ‘pasangan’ itu. Meilani terlalu takut
untuk melangkahkan kakinya menjauh dari sana. Ia merasa tak bisa begitu saja
pergi tanpa sepatah kata pun. Apalagi mata hitam itu masih mengawasinya. Meilani
bisa merasakan itu.
Meilani melirik ke
samping saat seseorang merangkulnya dari belakang. Dion memberikan cengiran
andalannya. Meilani menggeliat ingin melepaskan rangkulan Dion dari pundaknya.
Tapi Dion melakukan yang terbaik. Mengetatkan rangkulannya pada Meilani.
“Yon,” Meilani melotot
pada Dion. Menggeram tak suka. Sekilas Meilani melirik Altan. Seketika itu
juga, pikirannya kacau berantakan. Entah ia merasa senang Dion merangkulnya
seperti itu, karna merasa telah menyiramkan bensin pada api-api cemburu di diri
Altan. Atau merasa bersalah, layaknya orang yang tetangkap sedang melakukan
perselingkuhan. Altan menunjukan tatapan tidak sukanya pada mereka berdua.
Sangat kentara. Aura permusuhan keluar dari setiap pori-pori kulitnya.
Dion tak memperdulikan
penolakan Meilani. Lalu memilih untuk menggoda Meilani. “Mel, temen sekamar lo
siapa? Sama gue aja, yuk?” ajaknya bercanda.
Meilani semakin
melebarkan matanya. Menginjak kaki Dion sekuat yang ia bisa. Sehingga Dion
melepaskan rangkulannya dan berpaling mengusap-usap kakinya yang sakit akibat
diinjak oleh Meilani. “Makan tuh sekamar sama lo.” Meilani memanfaatkan
kesempatan lumpuhnya Dion dengan melarikan diri dari sana, lalu Meilani
menyeret koper miliknya menjauh. Mengangkatnya saat akan menaiki tangga.
Dion menegakkan
tubuhnya, berusaha menggapai-gapai Meilani dengan tangannya. Sayang Meilani
sudah bergerak menjauh. Dion tertawa terbahak-bahak. “Yah, Mel, mau kemana?
Ayok, ke kamar aja!” teriaknya menggoda.
Meilani balas berteriak
dari atas tangga. “Au gelap.”
“Yah, tau aja Mel, kalo
enakan gelap-gelapan di kamar apalagi kalo sama hummmppptt hmmmpptt…” tak
terdengar lagi apa yang sedang diucapkan oleh Dion karena Altan dengan sigap
membekap mulutnya. Hampir membuat Dion tak bisa bernapas.
***
Akhirnya, setelah bisa
lolos dari Tika dan Altan, Meilani langsung dihampiri oleh Nela dan Nurmala.
Lalu mereka bergegas menuju kamar mereka yang telah dipersiapkan oleh pihak
hotel.
Meilani, Nela, dan
Nurmala harus menaiki lift untuk mencapai kamar mereka yang terletak di lantai
4. Setelah lift berdenting tepat di lantai 4, Meilani, Tika, dan Nurmala
mencari kamar yang sesuai dengan nomor yang tertera di kunci. Kamar nomor 415.
Meilani seharian
mengurung diri di dalam kamar hotel. Tidak ingin keluar dari tempat itu
meskipun sudah waktunya makan malam, atau sekedar berjalan-jalan mengelilingi
hotel bersama Tika dan Nurmala.
Hatinya sungguh kacau.
Tidak merasa baik berada disini dengan perasaan yang menggantung seperti ini.
Di dalam kamar, Meilani
lebih memilih untuk menggunta-ganti saluran televisi plasma yang menempel
dengan gagahnya di tembok dalam kamar.
Tika mulai menggerutu
saat keesokan paginya Meilani tetap memutuskan untuk mengurung dirinya di dalam
kamar. Tidak turun ke restoran untuk sarapan ataubahkan makan siang.
“Mel, lo gak laper dari
kemaren gak makan?” tanya Nurmala ikut khawatir.
Meilani menggeleng.
“Gue ngemil aja juga kenyang,” kata Meilani sambil mengubur kepalanya ke dalam
bantal putih empuk di atas kasur. Memposisikan dirinya tidur tengkurap. Berniat
melanjutkan tidurnya.
“Gila kali lo, Mel.
Ntar lo sakit!” teriak Nela. Meilani hanya bergumam menanggapi. Lebih sakit
lagi kalo gue liat dua orang itu lagi mesra-mesraan, Nel. Batin Meilani.
Nela
mengguncang-guncang bahu Meilani. “Mel, Mel. Tadi pas makan siang ada
pengumuman dari kepala sekolah.” Meilani masih dalam posisi tidurnya. Tapi Nela
tahu kalau Meilani mendengarkan. “Katanya, acara promnight di majuin jadi nanti
malem. Semua siswa wajib hadir, Mel,” ucap Nela melanjutkan.
Meilani membalikkan
badannya. Mengernyit menatap Nela yang duduk di pinggiran kasur. “Kok gitu?
Seharusnya kan besok malem? Nunggu pengumuman kelulusan duluan?”
“Nah, itu dia. Kata
beliau, acara prom sengaja dimajukan karena biar semua siswa Lagoon tuh ikut
ngehadirin acara itu. Biar senang-senang dulu katanya. Nanti kalo misalnya
pengumuman kelulusan duluan, trus kalo ada yang gak lulus –aduh, amit-amit
deh—pasti bakalan ada yang gak dateng ke acara promnight. Kan kasian gak ada
kenangannya di acara prom,” Nela menjelaskan apa yang dikatakan dalam
pengumuman Kepsek tadi saat selesai makan siang.
Meilani mengerang.
Sial. Berarti malam ini dia harus datang ke pesta prom, dong? Padahal niatnya
jika acara prom dilaksanakan setelah pengumuman kelulusan, ia tak ingin datang
untuk menghadiri acara itu. Menyaru di antara orang-orang yang mungkin tak akan
datang di acara prom karna dirundung kesedihan. Bedanya, orang lain sedih karna
mungkin mereka tidak lulus ujian, sedangkan dia, sedih karna hatinya hancur
berkeping-keping.
Sial, pasti sekarang
dia terlihat kacau berantakan.
Meilani balik menatap
Nela yang masih duduk memerhatikannya di pinggir tempat tidur. Lalu menatap
Nurmala yang duduk –juga menatapnya—di kursi meja rias.
“Lo mesti dateng, Mel.
Ini WA-JIB!” kata Nurmala menegaskan perkataannya. Meilani menegakkan tubuhnya.
Memandang keluar jendela yang tirainya terbuka lebar. Memperlihatkan suasana
pedasaan Ubud yang damai dan asri.
“Acaranya jam berapa?”
tanya Meilani akhirnya. Melirik bergantian Nela dan Nurmala.
“Jam 7 malam, Mel. Lo
bawa gaun lo, kan?” Nela menjawab sekaligus memberikan pertanyaan yang daritadi
mengganjal di pikirannya.
Meilani menganggukan
kepalanya ke tempat dimana kopernya tergeletak. Nela mengikuti arah anggukan
Meilani. Lalu menepuk jidatnya saat menyadari kebodohan Meilani.
“Ya ampun, Mel. Yang
bener aja, lo ngapain aja di kamar selama ini, sedangkan barang-barang lo belom
ada yang diberesin? Masih di dalem koper semua?”
Meilani mengangguk,
mengiyakan.
Nurmala dengan cepat
langsung melompat ke tempat koper Meilani tergeletak. Membukanya sambil
menggerutu.
“Lo lagi stress banget
apa, ya, Mel? Sampe gaun lo dibiarin gitu aja lecek di dalem koper.” Nurmala
berdecak.
Nela akhirnya berdiri.
Lalu mengambil gaun putih Meilani. Menempatkannya di lengannya yang besar. “Gue
bawa ke laundry di bawah, deh. Biar disetrika disana. yuk, La?” Nela mengajak
Nurmala keluar kamar.
Sebelum mereka berdua
keluar dari kamar, Nela berpesan agar Meilani mempersiapkan segalanya untuk
nanti malam.
Meilani termangu memikirkan
apa yang harus dipersiapkannya untuk nanti malam. Kemudian ia beranjak ke arah
kopernya berada. Mengeluarkan stiletto perak miliknya. Lalu apa lagi?
Ah! Make-up.
Tapi…Meilani tidak membawanya sama sekali. Barang-barang yang dibawanya untuk
acara prom hanya gaun dan stiletto miliknya. Dia lupa membawa make-up. Yah,
jelas saja dia lupa membawa make-up, secara memakai make-up saja Meilani tidak
pernah.
Meilani mengangkat
bahunya. Tak peduli. Tak usah memakai make-up pun tidak akan menjadi masalah besar
untuknya. Setelah itu Meilani melanjutkan sisa harinya bergelung di tempat
tidur. Sampai matahari mulai tenggelam, Meilani baru menurunkan kakinya ke
lantai dan bergegas ke kamar mandi.
***
Meilani, Nela dan
Nurmala berjalan pelan menuju ballroom hotel yang berada di lantai 2. Nurmala
yang memang sangat feminine diantara Nela dan Meilani berhasil melakukan
tugasnya dengan baik. Mendandani Meilani layaknya princess dari kerajaan
terhormat. Meilani sangat cocok dengan gaun yang dibawanya. Gaun putih selutut
dengan bagian bawah yang mengembang, tali spaghetti di bagian bahunya. Sangat
sempurna saat Nurmala memutuskan untuk menggulung rambut panjang Meilani ke
atas, lalu membiarkan sedikit untaian rambut jatuh di salah satu bahunya. Tak
perlu menggunakan make-up yang berlebihan, Nurmala hanya mengoleskan bedak
tipis di pipi chubby Meilani dan lipgloss sewarna dengan warna bibirnya pada
bibir sexy milik Meilani.
Nela yang tadinya cukup
minder menggunakan gaun karna bentuk tubuhnya yang besar, kini mulai percaya
diri berkat make-over dari Nurmala. Gaun cokelat miliknya dipadu dengan balero
berwarna senada dengan gaunnya. Dan melakukan make-up yang sesuai dengan
kepribadian Nela.
Dan Nurmala melakukan
yang terbaik juga pada dirinya. Ia terlihat sangat cantik menggunakan gaun
berwarna pink pucat dengan rambut yang sudah dikeriting olehnya sendiri lalu
membiarkannya tergerai begitu saja di kedua bahunya.
Saat masuk ke dalam
ballroom, Meilani mengatur nafasnya dan menenangkan dirinya sendiri agar tidak
terlihat gugup.
Ballroom hotel ini
sangatlah besar untuk acara promnight sekolah mereka. Meja-meja bundar
berpencar di sudut-sudut ruangan. Di
setiap meja bundar terdapat 8 kursi yang mengelilinginya.
Sudah setengah dari
meja-meja itu dipenuhi oleh siswa-siswi yang datang menghadiri acara promnight.
Ketiga pasang mata indah itu menyapu seluruh sudut ballroom. Mencari meja yang
masih kosong, atau setidaknya sudah terisi sebagian oleh teman mereka, sehingga
mereka bisa ikut bergabung di meja itu.
Tangan Nela melambai
pada sekumpulan perempuan yang berpenampilan tidak kalah menarik dari mereka.
Salah satu dari mereka mengirimkan signal kepada Nela, Meilani dan Nurmala
untuk bergabung di meja mereka. Dan akhirnya, setelah berjalan sambil
melemparkan senyum terindah mereka malam ini, ketiga cewek itu bisa mendapatkan
tempat duduk yang lumayan strategis di sudut ballroom tersebut.
Terdapat pintu kaca di
bagian samping ruangan yang mengarah ke lantai dansa. Disana, nanti mereka akan
berdansa jika waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Dan untuk sementara,
ruangan itu disterilkan dari orang-orang yang tidak berkepentingan.
Meilani memperhatikan.
Hampir semua perempuan disana mengenakan gaun yang indah dan sangat cocok di
tubuh mereka. Dan semua laki-laki disana –secara serentak— mengenakan jas hitam
dan kemeja putih serta dasi yang menggantung sempurna di leher mereka.
Meilani menghentikan
pengamatannya. Takut saat matanya yang sedang jelalatan ke seluruh ruangan
melihat Altan sedang menggandeng Tika atau siapapun yang menjadi pacarnya saat
ini. Meilani tidak mau melihat itu sekarang. Dia belum siap.
Sebelum acara prom
benar-benar dimulai, mereka dihidangkan menu pembuka untuk menikmati acara
hiburan yang disajikan oleh perwakilan dari masing-masing kelas terlebih
dahulu. Saat waktunya untuk makan malam, mereka dihidangkan menu makanan yang
sangat menggugah selera.
Meilani memutuskan
tidak menghabiskan makanannya karna memang ia merasa sedang tidak enak badan.
Meilani menyenderkan punggungnya ke kursi yang di selimuti kain satin berwarna
putih yang lembut.
Nela menyarankan untuk
berfoto-foto bersama terlebih dahulu. Mumpung mereka belum berpencar nanti. Dan
Meilani melakukan pose terbaiknya. Tersenyum manis ke arah kamera, merangkul
siapa saja yang berfoto di dekatnya, dan memberikan sedikit kata-kata
penyemangat kepada temannya yang menjadi sedikit nervous mengingat besok pagi
adalah hari dimana pengumuman kelulusan dari pihak sekolah.
Jujur, Meilani bahkan
sampai lupa untuk menjadi panik saat mengingat besok adalah hari pengumuman
kelulusan. Semua yang ada dipikiran Meilani saat ini hanya seorang cowok
berwajah tampan dengan kemeja putih, lengan panjang yang digulung sampai ke
siku dan dasi panjang berwarna hitam yang terpasang dengan sangat menawan di
lehernya yang panjang. Cowok itu duduk di atas stage sambil memegang gitar.
Menatap lurus ke depan.
What? Cowok itu
memegang gitar? Di atas stage? Mau ngapain?
“Ohh, jadi Altan sama
Andri, toh, yang jadi perwakilan kelas kita buat nampilin sesuatu di depan
sana,” ujar cewek berwajah oriental, bermata sipit yang satu meja dengan
Meilani. ia juga teman sekelas Meilani. Namanya Kesha.
Meilani melirik Kesha.
Lalu mengalihkan tatapannya ke atas stage. Disana juga ada Andri yang sedang
sibuk mempersiapkan perlengkapan manggung mereka. Bisa dibilang hanya Andri-lah
yang sibuk menyambungkan kabel-kabel gitar ke soundsystem di belakang.
Sementara Altan? Ia hanya duduk terpaku disana. matanya sekali-kali menyisir ke
seluruh ballroom.
Meilani memundurkan
kursinya. Menunduk. Ia tahu Altan mungkin sedang mencari dirinya. Dan saat ini,
ia hanya ingin bersembunyi dari mata hitam itu. Mata hitam yang selalu
mengintimidasinya. Mata hitam yang membuat kakinya serasa seperti jelly yang
kenyal dan susah digerakkan. Mata hitam yang membuat hatinya meleleh dan
akhirnya menjadi tumpah saking penuhnya lelehan itu.
Dua menit kemudian,
terdengar suara gitar di petik. Dan suara khas yang sangat dikenalnya mengalun
dengan indah dan senada dengan petikan gitar akustiknya. “Am I asleep, am I awake or somewhere inbetween?...” Meilani
mengangkat kepalanya saat mendengar lagu favoritnya dinyanyikan dengan sangat
sempurna oleh Altan. Apa lagu itu…untuknya? “…I can’t believe that you are here and lying next to me… or did I dream
that we were perfectly entwined… like branches in a tree or twigs caught on a vine..”
Gak, gak mungkin. Lagu
ini pasti bukan untuknya. Lagu ini pasti untuk Tika. Meilani benar-benar
menyangkal pemikiran bahwa lagu itu memang ditujukan kepadanya.
Andri yang duduk di
sebelah Altan sambil memangku gitar dan berpakain lengkap dengan jas hitamnya,
melanjutkan lagu tersebut tepat pada bagiannya. “Like all those days and weeks and months I tried to steal a kiss… and
all those sleepless nights and daydreams where I pictured this… I’m just the underdog
who finally got the girl and I am not ashamed to tell it to the world…”
Ketika Andri
menyelesaikan nyanyiannya, Meilani menangkap sosok Tika sedang berdiri dengan
bangganya di sudut panggung, tersenyum lebar dengan sebuah jas hitam tersampir
di salah satu lengannya.
“Truly madly deeply I am, foolishly completely falling, and somehow you
kicked all my walls in.. so baby, say you’ll always keep me… truly madly crazy
deeply in love…” Meilani dengan perlahan menaruh kedua tangannya di
pangkuannya. Meremas renda-renda dari taplak meja bundar yang menggantung
dipangkuannya. “…with you…in love with
you…”
Jelas. Lagu itu pasti
bukan untuknya. Secara akhir-akhir ini dia tidak lagi dekat dengan Altan. Dan
satu-satunya cewek yang sedang dekat dengannya adalah Tika.
Meilani merasa dadanya
begitu sesak. Lagu ini… lagu favoritnya… dinyanyikan oleh orang yang
disukainya… tapi bukan untuknya.
Meilani merasa wajahnya
sedikit memucat. Badannya menjadi semakin memburuk. Ia ingin muntah.
Andri dengan percaya
diri melanjutkan lagunya. “Should I put
coffee and granola on a tray in bed? And wake you up with all the words I still
haven’t said… and tender touches just to tell you how I feel… or should I act
so cool like it was no big deal…” Meilani tak akan pernah lagi melirik ke
atas panggung. Dia tidak ingin melihat Altan sedang balas tersenyum kepada Tika
disana.
“Wish I
could freeze this moment in a frame and stay like this or put this day back on
replay and keep reliving it…”
Altan menggantikan
untaian lirik yang sedang dinyanyikan oleh Andri dengan suara berbisik. Matanya
dari tadi tak pernah lepas dari sosok Meilani yang menunduk dan bersembunyi di
balik tubuh Nela. “Cause here’s the
tragic truth if you don’t feel the same… my heart would fall apart if someone
said your name…”
Petikan gitar dari
jari-jari ahli Andri dan Altan terus mengisi ruangan besar itu. Sementara
seluruh orang yang hadir sukses tercengang dengan penampilan duet maut
laki-laki tampan dari Lagoon itu.
Meilani menggertakkan
giginya. Kalau tau seperti ini, ia tidak akan pernah datang ke acara seperti
ini. Akhirnya, Meilani memutuskan untuk pergi dari ruangan itu. Menggeser
kursinya ke belakang, Meilani mencoba mengalihkan perhatian Nela atau Nurmala
atau teman-teman satu mejanya. Tapi tak ada yang memperhatikan gerakannya.
Semua orang di ruangan ini benar-benar sedang terpesona oleh dua laki-laki itu.
Terpesona oleh suara merdunya Andri dan suara seraknya Altan saat bernyanyi.
“Truly madly deeply I am, foolishly completely falling, and somehow you
kicked all my walls in.. so baby, say you’ll always keep me… truly madly crazy
deeply in love… with you… in love with you…” Andri dan Altan sama-sama
menyanyikan lagu milik boyband terkenal asal Inggris itu.
Meilani berjalan menuju
pintu kaca besar yang mengarah keluar dari ballroom. Ia benar-benar menulikan
telinganya bahkan saat Altan menyanyikan lirik terakhir dari bagiannya. “I hope I’m not casuality… hope you won’t get
up and leave… might not mean that much to you… but to me it’s everything…”
suara serak Altan bahkan berubah menjadi sangat putus asa sehingga benar-benar
menyerupai bisikan yang membuat semua tamu merinding mendengarnya.
Tepat saat Meilani
menghilang dari ruangan besar tersebut, Altan meneteskan air matanya sambil
berucap, “…everything.”
“Truly madly deeply I am, foolishly completely falling, and somehow you
kicked all my walls in.. so baby, say you’ll always keep me… truly madly crazy
deeply in love… with you… in love with you…” di bagian akhir yang
seharusnya dinyanyikan oleh Andri dan Altan, akhirnya hanya dinyanyikan oleh
Andri karna Altan sudah kehilangan konsentrasinya saat melihat Meilani berjalan
meninggalkan ruangan itu. Tanpa melihatnya.
***
Meilani memutuskan
kembali ke kamar. Melepaskan gaunnya dan langsung menggantinya dengan t-shirt
panjang dan celana panjangnya.
Kembali bergelung di
atas tempat tidur sambil meneteskan berpuluh-puluh ember air bening yang keluar
dari matanya.
Bayangan-bayangan saat
di ballroom tadi mengganggu hati dan pikirannya begitu dalam. Altan yang menyanyikan
lagu favoritnya, tapi bukan untuknya. Tika yang berdiri dengan sangat bangganya
di samping panggung, memamerkan senyum lebarnya. Semua orang yang tercengang
melihat penampilan dua orang itu. Tak ada satupun dari mereka yang
menghiraukannya.
Masa bodoh dengan acara
promnight sialan itu. Toh, belum mulai saja, dia sudah disuguhkan pemandangan
yang sangat menghancurkan dunianya. Menghancurkan hatinya berkeping-keping.
Meilani terbangun dari
tidurnya tepat jam setengah tiga pagi. Kepalanya terasa pusing akibat menangis
dengan mengubur kepalanya dalam-dalam ke bantal. Matanya bengkak saat ia
melihat ke arah cermin. Merah pula. Hah! Dia benar-benar terlihat kacau balau.
Meilani menghela nafas
saat menyadari Nela dan Nurmala sudah kembali dari acara prom itu dan sekarang
mereka sudah jatuh tertidur di atas kasur empuk yangtadi sempat diacak-acaknya.
Meilani memutuskan
untuk keluar setelah ia mencuci mukanya di kamar mandi. Berjalan keluar kamar,
menyusuri lorong yang temaram menuju ke balkon utama di lantai itu.
Meilani bersyukur ia
bisa menemukan balkon yang diceritakan oleh Nela tadi sore. Walaupun berjalan
sedikit terhuyung akibat rasa pusing di kepalanya. Untung dia memakai jaket
putih Smith miliknya. Mengingat cuaca di luar sangatlah dingin. Meilani
merapatkan jaketnya.
Berhenti di ujung
balkon, Meilani melihat pemandangan hutan kecil di sekitar hotel. Tepat di
bawah balkon terdapat kolam renang yang sangat bening airnya. Lampu-lampu di
sekitar hotel ada yang masih menyala sebagian dan sebagian lainnya sengaja
dimatikan.
Meilani menghela nafas
berat. Tiba-tiba, air matanya bergulir begitu saja melewati pipinya. Lama
Meilani menghabiskan waktu dini harinya dengan berdiri mematung sendirian di
pinggir balkon.
Pikirannya berperang
dengan perasaannya. Hatinya tiba-tiba seperti diremas dan dilemparkan begitu
saja. Sangat menyakitkan.
Deheman keras terdengar
dari arah belakang. Meilani menoleh kaget. Cepat-cepat menghapus bekas aliran
air mata di pipinya. Meilani melebarkan matanya. “Dion,” katanya sedikit lega.
“Gue kirain Kepsek lagi inspeksi mendadak kesini.”
Dion yang masih
mengenakan kemeja putih yang sudah berantakan dimana-mana, dasi yang sudah
hilang dari lehernya, dan jas yang entah sudah berada dimana, berjalan
menghampiri Meilani. Mengernyit saat harus meluruskan satu lagi yang secara
otomatis menjadi urusannya. Baru banget selesai ngasih masukan ke yang cowok,
sekarang? ceweknya malah ngegalau disini, batin Dion berdecak.
“Lo nangis, Mel?” Dion
langsung menanyakan ke pokok persoalan. Dion mendekatkan wajahnya untuk
mengamati wajah Meilani. Menatapnya dengan alis terangkat.
Meilani memalingkan
wajahnya. Menggeleng.
“Jangan bohong. Gue tau
elo banget kali, Mel. Would you like to tell me why?”
Meilani memejamkan
matanya. Menahan butiran air matanya kembali turun membasahi pipinya. “Gak
papa, Yon,” elak Meilani. Dion mendengus. Dengan cekatan memegang kedua bahu
Meilani, memutarnya lalu menghadapkannya tepat di depannya. Memaksa Meilani
untuk menatapnya.
“Lo tau? Gue baru aja
selesai ngasih saran ke orang yang mungkin adalah penyebab lo nangis kayak
gini,” kata Dion. Meilani menegakkan tubuhnya. Menatap Dion. Matanya
berputar-putar mencari kejujuran di mata Dion.
Dion mengangkat sebelah
bahunya. Tangannya masih memegang erat pundak Meilani.
“Sotoy lo, Yon,” gumam
Meilani mengomentari Dion.
Dion tertawa getir.
“Masih mau nyangkal kayak gimana juga tetep aja gue doang yang ngerti masalah
kalian berdua. Sekarang gini aja deh Mel, lo jujur-jujuran aja sama gue. Lo,
suka kan sama Altan?” tanya Dion langsung.
Meilani menggeliat.
Ingin melepaskan cengkraman Dion di pundaknya. Dion tak akan menyerah. Dengan
kuat dan hati-hati, ia memegang pundak Meilani. Memastikannya tetap menatap dan
mendengar dirinya.
Meilani menghela nafas.
“Gue gak tau, Yon.” Meilani berucap lemah.
Dion menghela nafas.
Menarik Meilani lebih dekat padanya. Memeluknya. Saat Dion memeluk Meilani,
seketika itu juga Meilani meneteskan kembali air matanya. Meilani membiarkan
Dion memeluknya. Ia memang butuh seseorang yang mengerti keadaannya saat ini.
Mungkin Dion benar. Ia memang telah jatuh cinta. Dan itu menyakitkan saat cinta
yang sudah tumbuh dengan perlahan, tapi malah tak terbalaskan.
Dion mengusap punggung
Meilani. Melihat bayangan sekejap di pintu balkon, Dion mendongak. Tangannya
terangkat, memberi isyarat kepada orang yang berdiri di depan pintu balkon agar
tak mendekat. Menyuruhnya agar tetap berada disana.
“Lo akuin aja, Mel,
kalo lo suka sama dia. Kalo lo ngehndarin dia terus, dia mana tau kalo lo suka
juga sama dia. Yang ada dia malah mikir kalo lo gak suka sama dia, jijik sama
dia, benci sama dia. Perasaan tuh gak boleh dipendam loh. Gak baik.”
“Iyaa, gue suka sama
dia.. tapi Yon, gue bingung,” aku Meilani akhirnya. Dion mengernyit. “Kenapa
mesti bingung, sih? Dia juga suka sama lo kali,” bongkar Dion.
Meilani menggeleng
dalam pelukan Dion.
“Gue bingung. Banyak
faktor yang buat gue tuh, jadi ragu sama dia. Dia bilang dia kenal gue dari
kecil. Ngalamin kecelakaan yang sama kayak gue. Dia bilang ke Nela kalo dia
suka sama gue, tapi gue gak yakin sama dia. Dia bilang dia adik dari orang yang
bikin Zufar meninggal. Dia bilang dia gak suka sama Tika lagi, tapi sekarang
dia?” Meilani mengungkapkan segalanya pada Dion. Matanya menerawang ke depan.
Dimana pemandangan kebun hotel terpampang jelas di depannya.
“Mel, dengerin gue
baik-baik, ya. Gue bakal ngelurusin beberapa hal. Pertama, dia emang temen
kecil lo. Ngalamin kecelakaaan yang sama, sama lo. Lo ingetkan dia Hodophobia?
Itu bedanya dia sama lo. Dia Hodophobia, lo amnesia gara-gara kecelakaan itu. Lo
gak inget sama dia? Itu yang bikin dia penasaran sama lo. Suka ganggu-ganggu
lo. Dan akhirnya dia jatuh cinta sama lo. Itu point-nya! Dia suka gonta-ganti
pacar selama ini tuh cuman karna buat narik perhatian lo.
Narik simpati lo. Tapi
lo malah gak peduli. Dan point bertambah. Dia malah jadi kayak orang gila kalo
ada urusan menyangkut lo. Termasuk saat dia tau kalo si Oscar gila berniat
nyelakain lo. bahkan malah ngebunuh pacar lo. Dia satu-satunya orang yang dari
keluarganya, yang bener-bener murka sama Oscar saat itu juga. Sampe gak mau
ngakuin Oscar jadi sodaranya lagi –walaupun Cuma saudara tiri.” Dion menarik
nafas. Kemudian melanjutkan penjelasannya.
Melirik sekilas ke
depan pintu balkon. Dion memejamkan matanya sekejap.
Orang yang berdiri di
depan pintu mencengkram bingkai pintu kaca di sampingnya. Mata hitamnya menatap
lurus-lurus pada dua orang yang sedang berpelukan itu. Meilani tidak menyadari
kehadirannya. Dan orang itu juga tidak bisa melihat secara langsung wajah
cantik gadis pujaannya itu.
“Yon, tapi gue gak
bisa…” Meilani mengerang. Terisak. “Gue…kalo inget itu… jadi ngerasa bersalah,”
bisik Meilani.
“Bersalah? Lo ngerasa
bersalah sama pacar lo yang udah gak ada itu—aww!
Yaa, maksud gue yang
udah meninggal itu? Hey, come on, Mel,
lo gak bisa ngerasa bersalah gitu aja karna lo udah terlanjur jatuh cinta sama
adik—adik tiri dari orang yang udah ngebunuh pacar lo. Lo gak salah. Lo gak
jatuh cinta sama orang yang ngebunuh pacar lo sendiri, kan? Altan bahkan gak
salah sama sekali tentang ini. Gue saksinya, Mel. Dia marah banget bahkan
hampir mau bales ngebunuh Oscar! Demi Tuhan, Mel, dia ngelakuin itu.”
Meilani terdiam.
Memikirkan semua perkataan Dion. Lalu bayangan mengenai Tika melayang-layang di
benaknya.
Meilani menguraikan
pelukan Dion. Menatap Dion dengan cemas. Masih tidak menyadari ada seseorang
yang sedang mereka bicarakan berdiri tak jauh darinya. Mendengarkan.
Meilani menunduk.
Menelan ludahnya. “Tapi, Yon…” Dion dengan lembut mengangkat dagu Meilani.
Memberikan kedipan. “Percaya sama gue!”
Meilani menggeleng
lagi. “Bukan…tapi, Tika?” Meilani bertanya ragu.
“Tika? Cewek kecil
manja kayak gitu lo khawatirin?” Dion menunjukkan wajah tak sukanya saat
mengucapkan nama Tika. Dia memang tak suka dengan semua cewek yang menjadi ‘pelarian’
Altan. Meskipun Tika sangat baik padanya. Dion tak peduli. Baginya, cewek-cewek
seperti Tika adalah orang yang menyebabkan kesulitan dalam hidupnya bahkan
sahabatnya.
“Nih, ya. Lo pasti tadi
liat kan Altan nyanyiin lagu favorit lo di acara pembukaan prom? Itu lagu
sebenernya buat elo, Mel. Masa lo gak nyadar sih?”
Meilani mengernyit.
Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin Altan tau kalo lagu itu adalah lagu
favoritnya?
Dion melangkah mundur.
Punggungnya membentur dinding balkon. “Lo pernah nulis lagu itu kan pas lo
sempet duduk sebangku sama dia? Inget?” Dion tersenyum. Geli saat mengingat
waktu ia dengan sengaja merencanakan agar Meilani terjebak dan duduk di sebelah
sahabatnya.
Wajah Meilani berubah
merah merona saat mengingat keisengannya mencoret-coret lirik lagu Truly Madly
Deeply milik One Direction itu.
“Lagian…” Dion
melanjutkan. “Lo berdua tuh sama-sama jaim. Nyakitin perasaan masing-masing.
Udah tau sama-sama suka. Tinggal bilang ‘I love You’ aja kayaknya susah banget,
sih,” gerutu Dion.
“Yon, gue emang suka
sama dia, tapi gue gak yakin dia suka sama gue. Dia itu—”
“Gue emang suka sama lo
kok, Mel.” Altan yang sedari tadi berdiri mematung di pintu balkon akhirnya tak
kuat menahan kesabarannya. Sengaja memotong ucapan Meilani. Altan bergerak maju
mendekati Meilani.
Meilani yang mendengar
suara lainnya di balkon itu langsung memutar dirinya dengan cepat. Menemukan
Altan –yang sudah berganti pakaian dengan mengenakan jaket jeans hitamnya yang
menutupi kaos abu-abu di tubuhnya, dan celana jeans hitam yang sepadan dengan
jaket jeansnya—berdiri tak jauh darinya.
Meilani mulai merasakan
seluruh aliran di pembuluh darahnya berhenti saat itu juga. Menelan ludahnya.
Terkesiap melihat Altan disana. Mendengarkan semua yang telah dikatakannya dan
Dion sedari tadikah?
Meilani menggigit ujung
bibirnya.
“Well, take your time, guys!” ucap Dion santai. Dion bukannya pergi
menjauh dari sana, tapi ia malah memasang headset pada kedua lubang telinganya.
Berpura-pura tidak mendengarkan.
Altan melirik Dion. Ia
tahu, Dion sengaja masih berdiri disitu hanya untuk memastikan bahwa tak aka
nada lagi kesalahpahaman di antara dirinya dan Meilani. Altan juga tahu kalau
Dion hanya memasang headset-nya saja. Tidak menyalakan lagu di handphone-nya.
Tak peduli dengan Dion,
Altan mengalihkan kembali tatapannya pada Meilani.
Berjalan pelan, Altan
melangkah takut-takut mendekat pada Meilani. Mengetahui bahwa Meilani tak
bereaksi apa-apa dengan kedekatannya, Altan memutuskan untuk menarik tangan
Meilani dan membawanya ke salah satu sudut balkon. Menjauh dari Dion.
Beruntung, Meilani menurut saat itu. Ia masih cukup tercengang mengetahui
kehadiran Altan disana.
Altan menaruh kedua
tangannya di pipi Meilani. Memaksa gadis itu agar menatapnya dan mendengarnya.
“Lo bilang sama gue, kenapa
lo masih ragu sama gue, padahal gue udah bilang yang sebenarnya sama lo?
hmm?” tatapan matanya seperti
mencari-cari sesuatu di mata merah –habis menangis—milik Meilani.
Meilani menggigit ujung
bibirnya. Kalau ditatap oleh mata hitam yang tajam dengan sangat intens seperti
itu, mana bisa bekerja otak Meilani. Kini, sepenuhnya, perasaannyalah yang
menguasai dirinya.
“Gue…”
“Selain semua yang udah
dijelasin Dion, hal apa lagi yang masih ngeganjel di hati lo, Mel?”
Meilani memainkan
kukunya di samping tubuhnya. “Lo…beneran gak terlibat dalam rencana pembunuhan
Zufar?”
Altan menggeleng tegas.
“For God’s shake! Apa perlu nih, kita
sambangin Oscar trus ngebalesin semua dendam lo sama dia? Yuk?!” Altan
menaikkan alisnya. Meilani cepat-cepat menggelengkan kepalanya.
“Gak! Apaan sih? Siapa
juga yang punya dendam sama Oscar,” sangkal Meilani.
“Ya, trus? Kenapa masih
dipermasalahin?”
Meilani mendelik.
“Cuman mau mastiin!”
Dion yang sedang
berdiri bersandar pada pagar balkon mengeluarkan celetukannya. “Yakyak. Cewek
butuh kepastian.”
Altan melirik ke
samping, tapi tidak menolehkan kepalanya pada Dion. Meilani melirik Dion
melewati pundak Altan. Seperti tidak ada dosa, Dion bersandar disana dengan
muka datarnya. Mengayun-ayunkan lengannya seolah mengikuti irama lagu yang
sedang di dengarnya.
Altan membelai pipi
Meilani menggunakan ibu jarinya. “Oke. Trus apa lagi?”
“Tika…” bisik Meilani.
Mendengar nama Tika, Altan malah menyatukan jidatnya pada jidat Meilani.
Tubuhnya sedikit membungkuk untuk menyamakan tinggi tubuhnya dengan Meilani.
“Ya Tuhan… maaf, Mel.
Gue emang ngehubungin dia lagi. Gue pikir… lo bener-bener gak suka gue. Gue
pikir lo gak mau kenal ataubahkan berhubungan sama gue lagi, Mel. Jadi…sumpah,
waktu itu gue lagi butuh temen yang bisa sedikit ngertiin gue –walau gue
berharap banyak, kalo orang itu elo. Tapi… Mel, maaf, Mel. Jujur waktu itu gue
putus asa banget sama lo.”
“Gitu ya,” komentar
Meilani. Meilani berusaha menarik dirinya dari Altan. Tapi tangan Altan
ternyata mengunci tengkuknya agar tak bisa melepaskan diri darinya.
“Maaf,” bisik Altan.
“Kalo bukan karna gue,
pasti tuh orang udah dibutakan hatinya sama cewek kecil nan manja itu,” celetuk
Dion sambil lalu. Ia memutuskan untuk memberikan privasi kepada dua orang
‘menyusahkan’ itu untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Jika masih terus
berada di situ, Dion pasti akan lebih banyak mengeluarkan celetukannya. Meilani
melirik dari sudut matanya. melihat Dion menghilang di pintu balkon. Kemudian,
Meilani kembali menatap Altan.
Sudah sejak beberapa
menit yang lalu, Meilani tidak merasakan jantungnya berdetak dengan baik di
tempatnya. Ya ampuuun!
“Dia suka sama lo, Al.”
Altan mengerang. “Gue
lebih suka sama lo, Mel. Gue gak peduli siapa yang suka sama gue. Gue akan
peduli kalo itu adalah elo. That’s one thing
I want to know. You love me back, aren’t you?”
Hening.
Meilani menggigit ujung
lidahnya. Menunggu kepastian itu adalah suatu hal yang paling mendebarkan di
dunia. Itulah yang terjadi pada Altan.
Cengkraman di tengkuk
Meilani semakin mengetat dan semakin erat dan semakin membawa Meilani mendekat
saat Meilani memejamkan matanya dan menganggukkan kepalanya perlahan.
***___***___***___***
Altan dan Meilani
memutuskan untuk berkeliling di sekitar hotel saat matahari menjelang. Dengan
penuh semangat, atas permintaan Meilani, Altan menceritakan kembali kenangan
masa kecilnya yang samar-samar masih diingatnya. Sambil menaikkan alis dan
banyak celetukkan, Meilani mendengar dan menanggapi cerita Altan. Tersenyum dan
tertawa mengejek saat Altan menyombongkan sesuatu yang memang sangat dikuasai
oleh dirinya.
Tepat jam 9 pagi, Altan
dan Meilani berjalan kembali menuju taman hotel. Barusan, ia mendapat BBM dari
Dion bahwa pengumuman kelulusan akan diumumkan sebentar lagi disana.
Sudah banyak
siswa-siswi yang berkumpul. Altan menarik Meilani agar tetap di dekatnya. Lalu memilih
menunggu di kerumunan paling belakang. Altan menggoyangkan tangan Meilani yang
terjalin dengan tangannya.
“Gak usah takut. Pasti
lulus kok,” kata Altan meyakinkan. Meilani menyenggol lengan Altan pelan. “Sok
tau banget sih, lo. Emangnya lo yakin bakal lulus?” ejek Meilani.
Altan menyeringai. “Yakinlah.
Gue aja bisa lulus ujian mendapatkan cinta lo. Masa ujian yang Cuma nguji
pelajaran yang cuman diulang-ulang gitu doang selama tiga tahun gitu aja gue
gak lulus? Yah, bukan gue bangetlah!” Altan mengedipkan matanya.
“Astajim… jangan buat
aku menyesali keputusanku, Tuhan…” gumam Meilani. Altan terkekeh sebentar. Lalu
memfokuskan dirinya pada Kepala Sekolah yang sebentar lagi akan mengumumkan
kelulusannya.
Dion menghampiri Altan
dan Meilani sambil membawa plastik hitam kecil. Tersenyum lebar saat menyapa
Meilani dan memberikan plastik kecil itu pada Altan.
“Udah lo beresin tuh
cewek, bro?” tanya Altan mencegah Dion yang ingin melangkah pergi. Dion mengangguk
dengan seringai jahatnya. Dan secara otomatis, Altan membiarkan Dion beranjak
pergi setelah ia mengucapkan terima kasih.
Meilani mengernyit.
Menaikkan alisnya, bertanya.
“Gue minta tolong sama
Dion, buat kasih penjelasan ke Tika kalo gue…cuma mainin perasaannya doang. Gue
bakal minta maaf secara langsung sama dia nanti. Kalo lo izinin.” Altan menatap
Meilani lembut.
“Oh, harus itu. Sama
semua cewek-cewek yang udah lo sakitin hatinya apalagi,” ujar Meilani
menyetujui. Altan tersenyum lalu mengacak-acak rambut Meilani.
Altan mengeluarkan dua
kacamata hitam dengan model yang berbeda dari kantung plastik yang diberikan
Dion. Menyerahkannya satu kepada Meilani. “Buat apaan nih?”
“Pake aja sekarang,”
perintah Altan. Kemudian ia mengeluarkan barang yang lainnya dari kantung itu.
Terdapat serbuk berwarna-warni terdapat di dalamnya. Merah, jingga, kuning,
hijau, biru, dan warna-warna lain terbungkus dalam plastik bening yang diikat
asal-asalan.
Altan menyeringai.
“Pernah nonton film India yang lagi ngerayain Festival Holi(festival
warna-warni yang selalu dirayakan umat Hindu—terutama di India), gak? Nih,
nanti pas Kepsek bilang kalo angkatan kita lulus seratus persen, kita sebarin
nih serbuk warna-warni ke orang-orang di sekitar kita,” jelas Altan.
Meilani melirik
orang-orang di dekatnya. Ada beberapa yang sudah mengenakan kacamata hitam
–kebanyakan lelaki. Berdiri diam sambil memegang plastik hitam. Menyempil di
beberapa kerumunan.
Meilani mengerti.
Ternyata Dion dan Altan tak pernah lepas dari membuat kerusuhan.
Meilani memakai
kacamata hitam yang diberikan Altan. “Idenya siapa, nih?” tanyanya.
Altan menyerahkan
serbuk berwarna kuning, biru dan hijau pada Meilani. “Ide anak-anak. Nih.”
Meilani menerima serbuk
warna dari Altan. Lalu memperhatikan Altan yang sedang memasang kacamata
hitamnya. Hati Meilani mengetat. Tersenyum, Meilani mengagumi ketampanan wajah
Altan. Altan menghentikan aktivitasnya saat menyadari Meilani sedang
menatapnya.
“Ganteng, ya?” tanyanya
narsis. Meilani menjulurkan lidahnya. Mengejek. Meilani ingin mengejek Altan
lagi, tapi suara dari toa yang dipegang oleh Kepsek LHS, mengalihkan perhatian
Meilani.
“DAN DENGAN INI SAYA
NYATAKAN BAHWA SISWA-SISWI LAGOON HIGH SCHOOL ANGKATAN 2012-2013 LULUS SERATUS
PERSEN DENGAN NILAI YANG SANGAT MEMUASKAN –BAIK DARI GEDUNG A DAN B,” teriak
Kepala Sekolah saat mengumumkan kelulusan siswanya.
“Wohoooooo…!!!”
sorak-sorai seluruh siswa yang berbahagia karena pengumuman yang melegakan hati
mereka membuat mereka berteriak tak henti-hentinya. Sampai teriakan itu
digantikan dengan jeritan kepanikan saat berbagai macam serbuk warna-warni yang
melumuri tubuh mereka.
Meilani terkesiap saat
Altan menumpahkan serbuk berwarna itu di atas kepalanya. Membuat wajahnya
dipenuhi noda berwarna-warni.
“Oh shit!” makinya. Dengan
cekatan, Meilani menyobek plastik bening yang menyelimuti serbuk-serbuk itu. Bersiap
untuk menumpahkan semuanya ke wajah Altan. Sebelum Meilani sempat melemparkan
serbuk itu, tanpa diduga, Altan mencium pipi Meilani yang dipenuhi dengan noda
warna-warni. Membisikan sesuatu;
“Love you!”
Hanya dengan dua kata
itu, Meilani mengurungkan niatnya untuk membalaskan dendamnya pada Altan. Membeku
disana. terpana.
Oh, tolong. Siapapun yang
melihat kemana hilangnya jantung Meilani saat ini, segera hubungi dan
kembalikan kepada orangnya. Dia butuh untuk meyakinkan dirinya kalau dia masih
ada di dunia. Bukan di surge dan bertemu malaikat tampan kemudian membisikan
kata cinta kepadanya.
THE
END ……
0 comments:
Post a Comment