EPILOG
Tanah merah itu kini sudah ditumbuhi rumput hijau yang tumbuh dengan subur
dan selalu dipotong secara teratur tiap minggunya – sejak satu setengah tahun
yang lalu. Tak ada yang berubah. Masih tetap sepi dan hening saat gadis itu
mengunjunginya. Hanya wewangian harum bunga yang masih segar dari gundukan
tanah sebelah yang kali ini menyambutnya.
Meilani menarik nafas. Tersenyum dan mulai berjongkok di satu sisi tanah
yang menggunduk itu. Perlahan, tangannya mengusap-usap gundukan tanah yang
berselimuti rumput hijau itu dengan gerakan ke atas – ke bawah. Seperti sedang
mengusap kepala anak kecil yang imut dan menggemaskan.
Setelah membacakan doa untuk orang yang berbaring di dalam gundukan tanah
itu, Meilani kini memulai ritualnya dengan perasaan yang campur aduk. Antara
senang, bahagia, sedih juga bersalah. Entahlah. Semua yang dialaminya kini
terasa sangat...tidak masuk akal. Bagaimana bisa takdir membuatnya jatuh cinta
dengan seorang ‘adik’ dari orang yang telah membunuh kekasihnya saat itu?
Bagaimana bisa takdir juga yang membuatnya bertemu dengan teman masa kecil
–yang terlupakan—itu?
“Kak... gue... kesini mau minta maaf. Gue pasti udah ngecewain lo, ya,
kak?” Meilani bertanya lirih sambil memilin-milin helaian rumput yang terlihat
sedikit panjang di bandingkan dengan rumput-rumput yang lain. “Maaf karna gue
udah berani-beraninya pacaran sama ‘adik’ dari orang yang udah ngebunuh lo,
kak. Tapi...gue percaya kok sama dia, kak. Dia bersumpah kalo dia gak terlibat
sama aksi tabrakan waktu itu. Dia baik kok. Gue juga udah sayang banget sama
dia. Yah, walaupun kadang nyebelin. Masih suka galak juga sih. Tapi...eh,
jarang deh. Hehehe... dia itu—” belum selesai kalimat yang diucapkan oleh
Meilani pada gundukan tanah berumput itu, tiba-tiba dering handphonenya
menyentaknya di tengah suasana pemakaman yang sepi itu.
Meilani mengeluarkan handphonenya dari tas kecil yang tergeletak di
pangkuannya. Memutar matanya saat melihat Caller ID panggilan itu. “Sebentar
ya, kak. Gangguan nih,” gumam Meilani sambil menatap batu nisan berkeramik
hitam itu.
Altan Calling...
Meilani menggeser tombol hijau di layar handphonenya. “Halo?”
“Masih di sana?” tanya orang di seberang panggilan itu. Menghela nafas.
Seperti yang kita ketahui bahwa orang itu adalah Altan. Ya, Altan memang sudah
tahu kalau Meilani sedang berkunjung ke makam Zufar. Sebenarnya tadi ia
menawarkan diri untuk ikut menemani Meilani ke pemakaman, tapi Meilani
melarang. Meilani bilang dia pingin melakukan ritual rahasianya di makam itu.
Apalagi kalau bukan bercerita panjang lebar tentang kehidupannya. Saat Altan
terus memaksa untuk ikut ke pemakaman, semakin keraslah penolakan Meilani untuk
mengizinkan Altan ikut bersamanya ke pemakaman. Meilani malah ngambek dan
mengancam Altan dengan berbagai macam alasan. Akhirnya, Altan mengalah setelah
Meilani berjanji akan langsung mengunjunginya ke galeri setelah selesai
berkunjung ke pemakaman.
“Masih,” kata Meilani sedikit sabar.
Altan menghela nafas. “Kenapa lama banget, sih? Gue jemput aja deh, ya?”
tanyanya.
“Apa? Enggak, enggak, enggak... Udah, lo tunggu aja di galeri. Nanti juga
gue ke sana, kok. Lo ganggu gue lagi pacaran aja!” omel Meilani. Keceplosan.
Altan menggeram. “Mel!” tegurnya. Sensitif mendengar kalau Meilani sedang
pacaran dengan gundukan tanah yang mengering itu.
“Ergh... Iya, iya. Belom selesai. Nanti juga gue ke galeri...”
“Gue jemput lo di pemakaman!” Altan bersikeras.
“Sekali aja lo ngelangkahin kaki lo buat jemput gue disini, nih, liat aja!
Besok-besok gue males ketemu sama lo lagi,” ancam Meilani. “Awas lo!”
Altan berdecak sebal. Mencari alasan lain agar ia bisa menjemput Meilani di
pemakaman. “Lo kan baru sekali ke galeri. Emang masih inget jalan kesininya?”
Altan menyeringai di sebrang sana. Terakhir kali Meilani ke galeri, yaaa..waktu
itu. Saat ia terpaksa membawa gadis itu ikut dengannya untuk menyelesaikan
muralnya. Pasti Meilani lupa jalan menuju galeri.
“Kata siapa? Gue masih inget, kok. Weee...! udah deh. Bisa, kan, diem aja
di galeri nunggu gue? 30 menit lagi gue sampe deh. Janji!” Meilani meyakinkan
meski dia sendiri tidak yakin kalau dalam waktu 30 menit ia akan tiba di
galeri.
“20 menit,” tawar Altan. Dia paling tidak bisa disuruh menunggu orang
–apalagi Meilani—kalau dia sendiri bisa menemui orang itu tanpa harus menunggu
lama.
“Yeeh, malah nawar. Ini mau gue ke sana apa enggak nih?” Meilani bertanya
–sedikit mengancam—sambil memindahkan handphonenya ke telinga kirinya. Jengkel.
Frustasi punya pacar yang overprotektifnya lebih-lebih-lebih-lebih dari pacar
yang sebelumnya.
Lagi-lagi Altan berdecak atas ancaman dari Meilani. “Yaudah, iya! Tapi
inget, 30 menit lagi harus sampe di galeri. Jangan naek angkot, ngerti?
Berentiin taksi aja. Awas kalo—”
“Siaaaaap, bos!” potongnya cepat. “Bye!” menjauhkan handphone dari
telinganya, Meilani langsung menekan tombol merah di handphonenya. Memutuskan
panggilan telpon dari Altan.
Sambil menatap kembali gundukan tanah merah yang tertutup rumput hijau di
depannya, Meilani merengut. Cemberut.
“Denger kan, kak? Nyebelin banget masa ngelarang-larang gue mulu. Eh,
lagian kalo diperhatiin nih ya, dia sama lo tuh kayaknya emang gak beda jauh
deh. 11-12. Sama-sama suka ngelarang-larang gue. Well, walaupun Altan kayaknya
lebih gampang kalo gue ancem daripada lo. Kalo lo, gue ancem malah ngancem
balik. Ngebetein!” Meilani merenung sebentar.
“Hah! Pasti dia mikir gue juga ngebetein gara-gara suka ngancem-ngancem dia
deh. Sama kayak yang gue rasain waktu lo bales ngancem gue. Ah, tapi bodo
amatlah! Siapa suruh suka ngelarang-larang gue? Iya kan, kak? Lo pasti setuju
deh kalo gue akhirnya bisa ngancem cowok yang gak beda jauh kayak lo.
Hemmm...pasti lo disana ketawa deh gue bisa ngancem Altan. Hahaha...dia mah
badan doang gede. Ganteng. Masa gak gue sms seharian aja dikiranya gue mau
putus hahaha....” Meilani berhenti bercerita. Berhenti menjelek-jelekan Altan
saat handphonenya kembali berdering singkat. Meilani melirik sebentar, kemudian
mengabaikannya. Melanjutkan kembali ceritanya pada gundukan tanah merah
berumput di depannya itu –sampai terik matahari mulai menyengat kulitnya yang terbalut
kamisol krem berlengan panjangnya.
***___***___***___***
Altan hampir gila menunggu kedatangan Meilani ke galerinya. Sudah satu
setengah jam, tapi Meilani belum juga muncul di depan hidungnya. Sudah
berkali-kali di telpon, percuma, suara operator yang malah menyambut
panggilannya. Di SMS pun lebih percuma. Hapenya
kan mati!
Rasa khawatir itu kini sudah tak tertahankan lagi. Akhirnya Altan
memutuskan untuk menjemput Meilani ke pemakaman. Pikiran-pikiran negatif mulai
menggerogoti otaknya. Segera, ia menyambar jaket hitamnya dan menuju ke halaman
galeri. Motor ninja putihnya siap ditungganginya kapan saja ia mau.
Sebelum menaiki ninja putihnya, Altan membuka pagar coklat untuk memberinya
akses keluar dari galerinya itu. Ketika decitan roda pagar bergesekan dengan besi
tipis sepanjang pagar memekik nyaring. Ketika pintu pagar terbuka. Ketika itu
pula Altan harus menahan geramannya. Melihat Meilani di ujung jalan sedang
berjalan sambil mengamati sekitar. Berjalan tak tentu arah. Seperti sedang
mengingat sesuatu. Benar, kan, dia lupa dimana letak galerinya!
Altan melipat kedua tangannya di depan dada. Mata menyipit. Menunggu
Meilani melihat ke arahnya. Saat Meilani menemukan Altan berdiri di depan
sebuah rumah –memandangnya dengan tatapan kejengkelan yang paling parah,
Meilani langsung menciut.
Matilah dia! Pasti Altan marah banget sama dia karna tidak menepati janji.
Menelan ludah, Meilani berjalan gentar ke hadapan Altan sambil memegang
erat-erat plastik coklat yang di bawanya dari toko kue di depan jalan.
Meilani tahu pasti Altan akan marah padanya karna terlambat. Dan untuk
mencegah kemungkinan itu, Meilani sengaja mampir ke toko kue yang ia lewati
saat ia menuju ke galeri. Membeli kue kesukaan Altan. Tiramisu. Well, semoga
kue asal Italia itu bisa dijadikan alasan atas keterlambatannya. Bisa membuat
Altan mengurungkan niatnya untuk marah-marah kepadanya.
Mereka terdiam, berdiri saling berhadapan.
“Makamnya Zufar di San Diego Hills, ya?” tanya Altan sarkastik. “Lama
banget!”
Meilani melebarkan matanya. Ingin menjawab tapi Altan sudah nyerocos
duluan.
“Lo gak tau kalo gue nungguin lo hampir lumutan disini? Tadi bilangnya
dateng jam berapa?” Altan tolak pinggang. Tingkahnya seperti seorang ayah yang
sedang memarahi anak perawannya yang pulang larut malam. Menjengkelkan.
Akhirnya Meilani memberikan alasan palsunya. Mengangkat tentengan yang
dibawanya. “Tadi mampir dulu beli kue,” ucap Meilani takut-takut.
Kemudian Altan melirik tentengan yang dibawa oleh Meilani. Membaca sekilas
tulisan yang tertera di plastik tersebut. Sebuah toko kue ternama tercetak
tebal disana. “Mampir beli kue? Buat siapa sih, Mel? Di sini gak ada yang mesen
kue juga sama lo. Gue gak minta lo bawain kue juga,” ucap Altan. Suaranya masih
terdengar sedikit marah.
Seharusnya tiramisu ini buat dia! Tapi karna Meilani sudah terlanjur
jengkel dengan sikap Altan padanya, akhirnya Meilani mengelak bahwa kue itu
untuknya.
Mata Meilani mencari-cari sesuatu di sekitar galeri Altan. Mencari kambing
hitam. Satu makhluk terpikir di benaknya saat ia melihat kolam ikan di depan
galeri itu.
“Emang gak ada.
Emangnya ini buat lo? Yee... pede’ banget! Ini kan buat kura-kura predator
peliharaan lo!” kata Meilani sambil menyeruak masuk ke halaman.
Melewati Altan sambil mendelik jengkel. Buru-buru menuju kolam ikan dengan
hiasan batu alam berwarna hitam di bibir kolam. Altan mengikuti Meilani sambil
menaikkan sebelah alisnya.
Meilani berjongkok di bibir kolam. Mencari kura-kura predator yang
dipelihara Altan di kolam itu. Tidak ada apa-apa. Hanya ada beberapa ikan mas
dan koi yang berenang bebas di kolam itu. “Kura-kuranya mana?” gumam Meilani
bertanya.
Di ujung kolam, terdapat kawat yang menyekat membentuk persegi panjang.
Pasti di situ deh tempat kura-kuranya! Meilani melongok. Kosong. Tidak ada
penghuninya di dalam kawat yang bersekat itu. Kemana kura-kura predator yang
diceritakan Altan?
“Ck. Kura-kuranya udah mati. Tuh liat aja bangkenya!” ucap Altan
memberitahu Meilani sambil menunjuk bibir kolam yang dekat dengan kandang besi
berukuran besar. Di sana, di bawah kandang besar itu, seekor kura-kura
berukuran kecil tergeletak terbalik –dengan cangkang yang bergerigi— menyentuh
tanah dan kaki kecilnya terjulur ke atas. Kepala yang menjulur meneleng ke
samping. Terlihat kaku, membeku. Mati mengenaskan.
“Ya ampun! Itu kura-kura kenapa?” Meilani bertanya pada Altan.
“Ergh...” Altan mengusap-usap lehernya. Keki
juga dia menceritakan kenapa tuh kura-kura bisa mati mengenaskan seperti itu.
“Kura-kuranya...gue lempar ke tembok sana.” Altan menunjuk ke ujung tembok atas
rumahnya. Disana, Meilani melihat dengan samar goresan panjang yang menyebabkan
cat tembok mengelupas dan dindingnya retak.
Meilani meringis. “Busetdah. Lo gila? Ngelempar kura-kura dari ujung ke
ujung? Sampe mati pula. Ckck. Sarap emang.”
“Yaa, abisnya waktu itu gue lagi bete malah digigit sama tuh kura-kura
sampe berdarah. Yaudah, gue lempar aja tuh kura-kura,” jelas Altan mengakui
dengan jujur. Umm...tidak sepenuhnya jujur juga, sih. Masih ada yang ditutupi dari Altan hingga mengapa ia tega
melempar kura-kuranya sampai mati seperti itu.
“Cuma gara-gara tuh kura-kura gigit tangan lo doang, lo sampe ngelempar tuh
kura-kura sampe mati? Ya Tuhan...”
Sebenarnya waktu itu, saat malam dimana Altan merasa sangat putus asa
dengan Meilani, ia akhirnya memutuskan untuk menyendiri di galeri miliknya.
Malam itu, Altan tidak langsung masuk ke dalam galeri dan mengalihkan dirinya
pada setiap kanvas di sana. Tapi, ketika Altan tiba disana, ia malah duduk di
teras depan galerinya. Duduk bersandar di tembok dengan menekuk kedua kakinya.
Memeluk lututnya. Menggalau disana.
Entah bagaimana, tiba-tiba jari tangan kirinya –yang tergelatak di lantai
yang dingin— seperti terasa ada yang menggigit. Terasa begitu menyengat. Perih.
Ketika dilihat, kura-kura predator miliknya sedang menggeram dan menatap marah
padanya. Kura-kura predator itu seakan sama marahnya dengan pemiliknya.
Lehernya yang panjang bergerak cepat seperti ingin mematuk benda apa saja yang
ada di depannya. Mata kecilnya melebar penuh antisipasi. Dan dalam hitungan
detik, kura-kura predator itu sudah berada di genggaman tangan Altan dan
dilemparnya ke sembarang arah. Kuat dan keras. Altan melempar kura-kuranya ke
tembok yang berada paling ujung jauh di atas sana. sehingga kura-kura itu
terbentur dengan meninggalkan goresan serta retakan di tembok itu. Naas, saat
dilempar, kepala kura-kura itu masih menjulur marah, sehingga ketika tembok
keras itu membentur bagian kepala kura-kuranya, membuat kepala kecil itu
terjepit oleh cangkangnya sendiri dan juga tembok itu. Bengkok dan mengeluarkan
darah saat kura-kura itu kembali jatuh terpental setelah membentur tembok.
Altan terdiam. Memerhatikan. Kura-kuranya juga sama naasnya dengan perasaannya saat itu. Perasaannya yang
mati. Sama seperti kura-kuranya. Dan Altan hanya membiarkan kura-kura itu
tergelatak disana. Menemaninya sepanjang sisa malam. Hatinya hancur.
Kura-kuranya pun yang ikut hancur. Seakan ikut memperingati hari kehancuran
hatinya.
Altan meingis kecil saat mengingat kejadian malam itu. Tega sekali dia
membunuh makhluk tak berdosa macam kura-kura predatornya. Melampiaskan
kemarahannya.
“Bisa beli lagi ini,” kata Altan enteng.
Meilani menatap tak suka. “Hah! Yaudah, tiramisunya buat kukang peliharaan
lo aja kalo gitu.” Meilani berdiri dari duduknya di bibir kolam. Hendak menuju
kandang besar yang berada di pojok sebelah kolam. Belum sempat melangkah jauh,
pergelangan tangannya sudah ditarik kembali oleh Altan.
Meilani menoleh. “Lo pikir kukang suka makan kue kayak gitu? Lo mau racunin
binatang peliharaan gue ya,” ucap Altan. Merampas paksa plastik coklat yang
dibawa Meilani hingga terlepas.
“Ayo masuk.” Altan berbalik. Langsung berjalan menuju pintu masuk galeri.
Meilani hanya diam membeku disana. Menatap punggung Altan dengan bibir
manyun. Lalu melihat kembali tentengan plastik yang dibawanya. “Pacarnya siapa
sih? Gue apa tuh kue? Yang digandeng masuk ke dalem malahan plastik kue
bukannya gue. Errr...” desis Meilani.
Meilani memutuskan tidak masuk ke dalam. Ia malah menjatuhkan dirinya
kembali duduk di bibir kolam. Pura-pura ngambek atau malah memang ngambek
beneran. Entahlah. Pokoknya, sebelum Altan balik lagi dan mengajaknya masuk ke
dalam tidak dengan cara dingin seperti tadi, Meilani tidak akan mau masuk lagi
ke dalam galeri.
Sebuah piring porselen putih berbentuk persegi melayang di depan wajah
Meilani. Di atasnya terdapat potongan besar tiramisu beraroma kopi dengan garpu
kecil yang menancap di atas permukaan kue asal Italia itu.
Meilani melirik ke atas. Melihat Altan sedang menyodorkan tiramisu yang
dibelinya tadi di toko depan jalan. “Nih!”
Meilani membuang mukanya. Tak mau menatap Altan apalagi tiramisu yang
dibelinya. Wajahnya teralihkan seluruhnya pada ikan-ikan yang berenang bebas di
dalam kolam.
Altan menyodorkan piring porselen itu lebih dekat ke wajah Meilani.
Sehingga membaut Meilani mengelak ke samping sebagai bentuk penolakannya. Makan aja tuh kue favorit lo! Teriak
Meilani dalam hati. Mangkel.
Piring porselen pun ditarik kembali oleh Altan. Menghilang dari pandangan
Meilani. Beberapa detik kemudian, kenampakan piring itu digantikan dengan garpu
kecil yang menusuk potongan kecil tiramisu itu.
Meilani menelan ludah. Melirik lagi ke atas. Pada Altan yang melihat
dengan wajah yang sabar. Garpu itu
melayang tenang di depan bibirnya.
“Aaaaa...” gumam Altan.
Meilani menggeleng. “Ayoo, Aaaaaaa...”
katanya sekali lagi. Memaksa Meilani untuk membuka mulutnya.
Yang ada, Meilani malah semakin kuat menggeleng dan menutup rapat-rapat
bibirnya.
“Buka mulutnya, gak? Ini kue tuh dibikin buat manusia, bukan buat hewan.
Jadi ayo cepet bilang ‘Aaaaa’”
“Gak ma—” Plupp. Dengan sangat
mulus, potongan tiramisu itu masuk dengan sempurna ke dalam mulut Meilani.
Terpaksa, Meilani mengecap perlahan dessert itu. Rasa renyah dari ladyfinger
yang dicelupkan ke dalam kopi dan bubuk serta krim coklat yang bertabur diatasnya
membuat rasanya...hmm, benar-benar seperti makanan dewa. Nikmat dan lezat.
“Nah, enak, kan?” tanya Altan sambil menancapkan kembali garpu itu ke atas
potongan tiramisu yang masih tersisa di piring porselen.
“Sekarang gantian.” Altan kembali menyodorkan piring porselen itu ke depan
muka Meilani. Sambil cemberut, Meilani mengambil piring itu dengan enggan.
Altan duduk di sebelah Meilani. Di atas batuan alam berwarna hitam. Menunggu
Meilani menyuapinya.
“Nih,” tangan Meilani terjulur ke depan wajah Altan.
Mata hitam itu membelalak geli. Bibirnya bergetar menahan semburan tawa. Altan
menatap potongan tiramisu yang menancap di garpu kecil yang disodorkan Meilani.
Yang benar saja? Meilani memotong tiramisu itu dengan ukuran yang
sangat—sangaaaaattt—kecil. Bahkan biskuit ladyfingernya
pun tak terangkut dalam potongan itu. Altan menduga itu hanyalah gumpalan krim
coklat bercampur kopi. Tapi, walaupun begitu, Altan membuka mulutnya dengan
senang hati. Mendecap penuh semangat saat potongan—eh, lelehan—krim coklat dan
kopi dari kue itu.
“Yummy, deh. Ladyfingernya berasa
banget sampe ke sendi-sendi,” gumam Altan. Pura-pura bergidik saking
membayangkan menikmati kelezatan ladyfinger tiramisu itu.
Meilani tertawa. Memutar matanya dengan seringai konyol. Kembali menyendok
krim tiramisunya dan menyodorkannya pada Altan. Membuat Altan mengangkat
alisnya menantang.
Altan menunjuk ladyfinger yang terpampang jelas dalam potongan tiramisunya.
“Itu kayaknya bagian yang gak enak, Mel. Kasih kucing aja gih!” katanya
sarkastik.
Meilani terkekeh geli. Manggut-manggut menyetujui. “Gue suka bagian yang
ini. Lagipula, disini gak ada kucing. Jadi...yang ini buat gue!” kata Meilani
mengklaim ladyfingernya. Bangkit berdiri dari bibir kolam dan melenggang masuk
ke dalam galeri.
***___***___***___***
Altan melirik Meilani yang sedang duduk di lantai sambil memangku kanvas di
pahanya. Mendelik cemas pada Meilani yang terus tertawa terbahak-bahak, tak
henti-hentinya saat ia telah menyelesaikan lukisannya sendiri. Mata coklat
bening itu berbinar-binar bahkan sampai meneteskan air mata saat ia
menertawakan goresan cat di kanvasnya.
Perasaan tak enak menghampiri Altan.
30 menit yang lalu, sebenarnya Meilani sedang diajarkan melukis oleh Altan.
Duduk di kursi rotan dengan sebuah kayu panjang menyilang yang menyangga kanvas
di masing-masing kursi. Saat diajarkan melukis, Altan selalu berkomentar
tentang lukisan yang dibuat oleh Meilani. Lingkarannya tidak sempurnalah.
Gradasi warnanya berantakanlah, inilah, itulah. Membuat Meilani jengkel dan
memutuskan untuk mencabut kanvasnya dari tiang penyangga, kemudian membawanya
ke pojok ruangan. Duduk di lantai dan mulai menyelesaikan lukisannya sendiri
tanpa menginginkan komentar atau bantuan dari Altan untuk menyelesaikannya.
Sejak 30 menit yang lalu juga, Altan melirik bergantian antara Meilani dan
kanvas yang ada di depannya. Setiap Meilani menggoreskan cat di kanvasnya,
setiap itu pula Altan melihatnya tersenyum menggelikan. Pasti ada sesuatu yang
sedang digambarnya. Altan membatin.
Akhirnya setelah Meilani berhenti melukis dan meletakkan kuasnya di atas
palet kayu, Meilani mulai tertawa tak henti-henti. Kepo, apa yang menyebabkan
Meilani menertawakan hasil lukisannya, Altanpun bertanya,
“Mel, perasaan gue gak enak nih. Lo daritadi ngetawain apaan, sih? Geli
banget gitu.”
“Mau tau banget,” jawab Meilani tersendat-sendat sambil menahan tawanya.
Terus dan terus mengamati lukisannya sambil terkekeh geli, Meilani tidak
menyadari kalau Altan sudah bangkit dari atas kursi rotannya dan mulai berjalan
menghampirinya.
“Apaan sih?” Altan menyentak lukisan itu dari pangkuan Meilani. Merebutnya.
Meilani hanya mengamati dari bawah. Menggigit ujung bibirnya. Masih menahan
tawa.
“Astagah! Lo gambar penampakan hantu dimana nih, Mel? Lo muridnya Ki Kulino
yang suka ngelukis penampakan-penampakan makhluk gaib di acara ekspedisi hantu
itu, ya? Gila, mirip banget.”
Mendengar komentar polos Altan, Meilani semakin mengeraskan tawanya.
Menyeringai.
Lukisannya memang bisa dikatakan seperti gambar makhluk gaib yang sedang
menatap marah kepada siapa saja yang melihat lukisan itu. Rambut hitam
jebriknya yang berdiri seperti habis disambar petir diberi sedikit highlight
warna orange. Kedua alis yang membingkai matanya dibikin miring seperti dua
buah perosotan yang saling berhadapan. Mata hitam besarnya diberi gradasi warna
campuran merah menyala. Mulutnya terbuka seperti raja iblis yang sedang
melaknat anak buahnya. Kedua tangannya menggantung di atas pinggang. Memakai
baju hitam legam dengan sedikit tambahan warna putih seperti sebuah baju yang
agak compang-camping. Persis seperti gembel lampu merah di jalan depan.
Kakinya? Wah, kakinya benar-benar abstrak, absurd atau apapunlah itu namanya.
Ada yang gede sebelah, ada bagian yang pencot dimana-mana.
Hah. Orang yang melihat lukisan itu seharusnya takut! Tapi kenapa kalau
diperhatikan lebih dalam malah membuat tertawa, ya? Habisnya lukisan itu jika
digabung-gabung berdasarkan karakteristik yang telah disebutkan di atas, kok
malah jadi mirip ‘Raja Iblis yang menyeramkan jatuh miskin sehingga menjadi
gembel di depan lampu merah a.k.a berganti nama menjadi rajanya gembel-gembel
iblis’ ya?
Yah, whatever.
Satu yang tak luput dari lukisan itu adalah tulisan di samping tubuh raja
gembel-gembel iblis itu adalah... disana tertulis “he is was MAD” yang artinya, Dia sedang marah. Sebenarnya,
maksud Meilani adalah “Dia adalah MAD”. MAD disini bukanlah arti marah
melainkan singkatan dari nama Altan. Mahvin Altan Dilara. Sayangnya, Meilani
dengan sengaja memberi garis melintang pada tulisan ‘is’ disana dan
menggantinya dengan was. Sebuah inisial nama Meilani juga tercetak samar di
pojok bawah kanvas itu. MAT a.k.a Meilani Alyaza Taralika.
Altan tahu apa maksud dibalik tulisan itu. Ia mengangkat sebelah alisnya
dan mulai berjongkok di sebelah Meilani. Mengambil kuas yang tadi sempat
digunakan oleh Meilani.
Altan menambahkan tulisan itu dengan kalimat baru di bawahnya.
“And he’s so damn fallin in love with...” tanda panah tergores ke bawah dimana inisial nama Meilani yang sudah terukir disana sebagai tanda
tangan dari lukisan itu.
Altan menyeringai saat memberikan kembali lukisan itu pada Meilani.
“Perfect!” puji Altan. Menunggu reaksi Meilani ketika membaca tulisan yang
ditambahkannya.
Tak jauh dari tempat Altan dan Meilani berada. Terdapat dua buah boneka
kayu kecil berdiri tegak saling berhadapan. Boneka yang satu memiliki ilustrasi
warna rambut pirang panjang dan diberi warna biru untuk baju dan putih untuk
rok pendek yang dikenakannya. Sedangkan boneka yang satunya lagi diilustrasikan
seperti seorang pria dengan warna rambut coklat mengkilap dan diberi warna
putih untuk kaos yang dipakainya dan hitam untuk celana panjangnya. Tangan si
boneka pria memegang erat tengkuk si boneka wanita. Kepala yang miring ke satu
sisi. Dan bibir tipis kedua boneka itu saling bersentuhan lembut dan terlihat
begitu sempurna.
Kalau kalian tanya, siapa yang membuat boneka serasi seperti itu?
Jawabannya adalah...laki-laki yang sedang melakukan hal yang sama dengan apa
yang bonekanya lakukan.
♪♪And if you
You want me to
Let’s make a move
Yeah, so tell me girl if
every time we touch, you get this kinda rush
Baby say yeah, yeah
If you don’t wanna take
it slow
And you just wanna take
me home
Baby say yeah, yeah
And let me kiss you~
0 comments:
Post a Comment