Tuesday, April 2, 2013

Fall For You (Chapter 21)


DUA PULUH SATU


Tak terasa waktu berlalu begitu cepat dan singkat. Tapi Meilani menikmati dengan senang hati dan keceriaan yang selalu diperlihatkan di depan banyak orang di dekatnya. Kurang lebih dua minggu lagi ia dan teman-teman lainnya akan melakukan rangkaian kegiatan menjelang Ujian Nasional. Mulai dari Ujian Praktek, Ujian Sekolah lalu diakhiri dengan Ujian Nasional.

Dan pagi ini, Meilani sudah berada di kelasnya yang ramai dan penuh dengan orang-orang yang –mungkin terpaksa, mungkin juga tidak—haus akan ilmu.

Selama akhir-akhir bulan ini Meilani yakin ia menjadi pribadi yang sedikit berbeda. Terkadang menjadi orang yang baik, ceria, selalu becanda tawa dengan semua teman-teman di sekelasnya; terutama dengan Altan. Terkadang mencurigai setiap perempuan yang berusaha dekat dan sedang dengan Altan. Terkadang Meilani terdiam, bingung mengapa ia merasakan perasaan yang seperti itu. Dan menit berikutnya ia berusaha keras untuk tidak terlalu memikirkan apa, bagaimana, dan mengapa perasaan itu bisa muncul dalam dirinya.

Meilani tetap diam dan berpura-pura tidak menyadari saat Altan dan Nela berbicara berbisik-bisik di dekatnya. Mengedipkan mata satu sama lainnya, dan beberapa saat kemudian kejutan menyapanya. Hmm, mungkin hanya beberapa detik Meilani akan terkejut, karna dengan cepat pikiran logisnya menyadari bahwa itu semua ulah mereka berdua. Dan sampai saat ini Meilani akan bersikap kooperatif dengan apa yang dicurigainya.

Meilani mengernyit saat disadarinya ada sesuatu yang kurang di sini. Sudah setengah hari Meilani melewati berbagai mata pelajaran di sekolahnya, tapi sampai saat ini ia belum melihat Altan di kelasnya.

Eh, Kemana dia?

Meilani menatap Nela yang juga sejak tadi pagi terdiam di bangkunya. Tak banyak bicara. Lalu Meilani mengurungkan niatnya untuk bertanya pada Nela mengapa Altan tidak masuk sekolah. Sepertinya Nela tidak mau diganggu. Apa ada yang salah?

Meilani melarikan pandangannya untuk melirik Dion yang duduk disebrangnya. Dan Dion juga sejak tadi pagi tidak terlalu banyak bicara. Terlalu gelisah. Bahkan jika Meilani ingat, Dion hanya sibuk dengan handphone miliknya yang selalu di tangannya; tak pernah lepas.

Ada yang aneh juga dengan Dion. Tapi…kenapa? Ada apa?

Baru saja Meilani ingin membuka mulutnya untuk bertanya kepada Dion, detik itu juga Dion berdiri dari kursinya dan berjalan cepat keluar kelas dengan handphone yang menempel di salah satu telinganya. Berpasang-pasang mata milik Fadlan, Nela, Andri dan Andra mengikuti kemana bayangan Dion pergi. Semuanya terlihat cemas.

Meilani terdiam menyaksikan ada apa sebenarnya ini. Sampai saat Dion kembali dari urusannya dengan orang yang menelponnya beberapa menit yang lalu usai, Meilani masih terus diam memperhatikan.

“Gimana, bro?” tanya Fadlan langsung.

“Untungnya gak parah,” Dion berbisik saat ia berdiri di sebelah Fadlan dengan wajah yang terlihat lebih lega dan keseriusan yang sedikit menghilang daripada sebelumnya.

Fadlan menatap Dion serius. “Serius lo? terus dimana tuh anak sekarang?”

“Ya untungnya sih udah di rumah. Lecet dikit doang katanya. Tau dah nih. Kalo boleh izin, kita izin aja yuk?!” Dion mengusap-usap wajahnya yang terlihat seperti baju yang belum disetrika pagi ini. Lecet? Siapa yang kecelakaan? Meilani mulai gusar mendengar percakapan antara Fadlan dan Dion di depannya. Jantungnya berdebar dipenuhi rasa khawatir yang mencekat di dadanya.

Fadlan mendengus. “Ngapain pake izin sih? Langsung cabut aja napa!”

“Udah kelas dua belas, ege. Lo mau skak mat duluan, heh?” Dion menempeleng kepala Fadlan pelan lalu berjalan kembali ke tempatnya tanpa melihat ke arah Meilani yang sedang menatap penuh rasa ingin tahu terhadapnya; perbincangannya.

Nela menepuk pundak Fadlan pelan. Membuat Fadlan menolehkan kepalanya ke belakang. Lalu Nela menganggukkan kepalanya. Bertanya melalui isyarat gerak tubuhnya. Tanpa bertanya lagi Fadlan sudah mengerti apa yang dimaksud Nela. Fadlan mendesah. “Gapapa. Lecet doang dia mah. Kan punya nyawa Sembilan tuh orang.”

“Hush, sodara lo juga tuh!” ujar Nela menegur Fadlan yang membanyol.

“Ada apaan sih, eh?” Meilani akhirnya bertanya juga. Ia tidak kuat menahan rasa penasarannya yang hampir mencuat melalui ubun-ubunnya.

Nela dan Fadlan saling berpandangan, lalu menatap Meilani. Nela mengangkat bahunya. Ia diberitahukan oleh Dion untuk tidak memberitahukan masalah ini pada Meilani.

Jadi Nela menyuruh Fadlan saja yang menceritakannya, tapi kemudian Fadlan malah mengopernya kepada Dion untuk memberikan Meilani penjelasan. Dion yang dipanggil Fadlan menengokkan kepalanya ke samping.

“Eh?” tanya Dion tak berkonsentrasi dengan apa yang diminta oleh Fadlan.

“Altan kenapa?” entah kenapa kata-kata yang keluar dari mulutnya bukan menanyakan Siapa yang mengalami kecelakaan, malahan menanyakan Ada apa dengan Altan. Kata hatinya mengatakan bahwa ini pasti ada hubungannya dengan Altan.

Dion membeku. Haruskah dia memberitahu Meilani kalau Altan mengalami kecelakaan saat hendak berangkat ke sekolah pagi ini? Altan bilang, kalau bisa Meilani jangan sampai tahu kalau dirinya mengalami kecelakaan. Bahkan kalau perlu jangan terlalu heboh dengan menyebarkan berita itu ke seluruh penjuru sekolah.

“Eh, itu…Altan? Lah dia gak kenapa-napa si,” ucap Dion tergagap-gagap.

Meilani merengut ke arah Dion. “Bohong lo ya. Kenapa dia kecelakaan?”

“Sssshhhh!!!” Dion meletakkan jari telunjuknya di atas bibir merahnya seraya melirik ke depan –dimana Mrs. Ketie yang baru datang duduk di tempatnya.

“Tuhkan bener!” Meilani memekik, mengernyit saat perasaan khawatir dan cemas lebih terasa nyata di dirinya.

Dion memejamkan matanya singkat; mengiyakan Meilani sekaligus membuatnya untuk tetap tenang dan tidak terlalu khawatir mendengar kabar ini. Tapi faktanya, setelah Dion mengiyakan, jantung dalam tubuh Meilani hampir berhenti berdetak sesaat. Kemudian Meilani teringat bisik-bisik antara Dion dan Fadlan, serta Fadlan dan Nela barusan bahwa Altan tidak mengalami luka parah. Hanya lecet.

Tapi bagaimana bisa? “Kok bisa, Yon?” tanya Meilani sambil menatap Dion dengan cukup serius.

Dion melirik ke depan, memeriksa apakah Mrs. Ketie memperhatikannya yang sedang mengobrol atau tidak.

Lalu Dion menjelaskan dengan singkat, “Tadi pagi dia telat berangkat sekolah, trus dia bawa motor. Pas sampe komplek depan sekolahan sini nih…kan ada pool taksi, taksinya mau keluar, dia kaget, trus banting stir ke kanan, eh malah keseret.”

Meilani menelan ludahnya. Kecelakaan karna membawa motor? Hampir sama dengan apa yang Zufar alami, hanya saja Altan tidak apa-apa, sedangkan Zufar meninggal. Diam-diam Meilani bersyukur karna Altan selamat dari kecelakaan motor itu.

Dion buru-buru menambahkan saat melihat Meilani menggigit-gigit ujung bibir bawahnya dengan cemas. “Tapi dia gak kenapa-napa. Lecet doang tangannya gara-gara gak pake jaket juga.”

Meilani berusaha tersenyum dan menganggukkan kepala. “Syukurlah,” bisiknya dalam hati.




 Nela tak sengaja memberitahukan bahwa Altan mengalami kecelakaan kepada Mrs. Ketie, yang mana membuat wali kelas mereka sekaligus sebagai guru bahasa Inggris itu menjadi panik, dan memutuskan untuk menjenguk salah satu muridnya yang mengalami kecelakaan itu.

Mrs. Ketie mengajak semua siswanya untuk menjenguk Altan nanti setelah pulang sekolah. Dan Meilani dengan ragu memutuskan untuk tidak ikut dalam rombongan untuk menjenguk Altan. Ia takut melihat betapa pucatnya orang yang baru saja mengalami kecelakaan. Betapa merahnya darah yang keluar mengalir dari luka-luka akibat goresan aspal. Betapa itu semua akan sangat mengingatkannya pada peristiwa setahun yang lalu.

Meilani cukup trauma untuk melihat itu semua lagi. Jadi, ia memutuskan untuk pulang ke rumah, walaupun sebagian besar hati dan keinginannya ingin melihat bagaimana keadaan orang itu. Apakah cukup parah atau…sangat parah. Meilani ingin melihatnya, tapi ia menghianati dirinya sendiri. Lagi.

Saat kakinya menjejak melewati pintu gerbang sekolah, sebuah mobil Honda Jazz berwarna pink melambat di sampingnya. Meilani tahu kalau itu adalah mobil Tika. Dan benar saja, saat kaca belakang penumpang diturunkan, kepala mungil Tika melongok keluar kaca jendela.

“Mel, ikut gue yuk?!” Tika berniat untuk mengajak Meilani menjenguk Altan. Karna kebetulan pada saat Mrs. Ketie dan teman-temannya yang lain berangkat menuju rumah Altan, Tika sedang dipanggil menghadap Pak Gavin yang memintanya untuk menyelesaikan tugas yang sempat dilalaikannya. Dan Tika ditinggal oleh rombongan kelasnya yang ingin menjenguk Altan.

Meilani menggeleng, namun hati kecilnya mengangguk antusias. Tika berdecak. “Ayolah, Mel. Temenin gue kesananya, ya? Masa gue kesana sendiri? Ayoo dong, Mel. Ya? Ya? Ya?” Tika tetap membujuk Meilani yang hanya terdiam terpaku di pinggir jalan. Mulai gerah, akhirnya Tika keluar dari mobil nyentriknya dan memaksa Meilani masuk ke dalam mobilnya.

“Lo temenin gue, pokoknya. Gue pengen liat si Altan tuh baik-baik aja apa enggak.” Meilani merasakan seperti ada yang melilitkan seutas tali tebal di hatinya ketika mengetahui Tika masih –sangat—peduli dengan Altan. Dan itu terasa menyakitkan.

“Tika gue gak bisa…” Meilani mengerang.

“Kenapa sih? Ayolah, lo kan juga temennya. Lebih akrab malah sekarang sama dia, daripada sama gue. Masa lo gak mau jenguk?” Tika menyipitkan matanya. Sedikit mengintimidasi Meilani. Meilani menahan langkahnya yang sedang ditarik paksa oleh Tika memasuki mobilnya.

“Tik, gue rada takut kalo liat orang abis ketabrakan gitu. Apalagi motor…” suara serak Meilani perlahan menghilang di akhir kalimatnya.

Tika menghela nafas perlahan. “Oke, lo gak harus ngeliat Altan juga, kok. Lo bisa nunggu di dalem mobil kalo lo mau. Tapi, lo temenin gue aja ke sananya. Yah?” Tika tahu kalau Meilani cukup mengelami trauma dengan kejadian tabrakan atau kecelakaan sepeda motor. Dan Tika tidak bisa memaksa Meilani terlalu jauh. “Tapi…kalo lo emang gak mau…yaudah, gak papa, deh,” lanjutnya sedikit terpaksa.

Meilani berteriak dalam hatinya kalau dia ingin sekali ikut dan datang menjenguk Altan. Tapii…kenangan pahit di masa lalu membuatnya terkekang rasa ragu yang amat sangat dalam.

Kesempatan tidak datang dua kali, bukan?

Meilani meremas-remas kesepuluh jarinya yang saling bertautan. “Yaudah,” gumam Meilani akhirnya.

Tika tersenyum selebar mungkin. Dan mempersilahkan Meilani untuk masuk ke dalam mobilnya dan membiarkan dirinya sendiri masuk setelahnya. Kemudian Tika menyuruh supirnya untuk melajukan mobilnya ke alamat rumah Altan.

Dinginnya AC mobil siang itu lebih terasa di tengah teriknya sinar matahari di siang bolong seperti ini. Padahal tanpa terkena AC pun, tangan Meilani sudah dingin karena dirinya terlalu gugup. Disepanjang jalan Tika mulai bercerita dengan gayanya yang sangat manja. Meilani sedikit memerhatikan dan sedikit juga tidak. Pikirannya lebih suka melayang pada imajinasinya yang mengkhawatirkan Altan.

Ketika mobil Tika mulai memasuki sebuah komplek perumahan elite di bilangan Jakarta Selatan, Meilani menelan ludahnya.

Rumah Altan terletak paling depan di kompleknya. Besar dan sangat mewah. Apalagi saat mobil Tika memasuki gerbang rumah itu. Halaman depan yang luas dengan rumput hijau yang terawat, sederetan pohon-pohon palem di pinggir-pinggir halaman, air mancur berukuran sedang terpajang di tengah-tengah taman, lalu rumah mewah berdiri tegak di seberang taman itu seperti sebuah benteng kerajaan yang sangat gagah. Pilar-pilar besar melingkar di teras depan rumah; seolah menyangga rumah yang seakan dibangun di surga.

Meilani tersentak kaget saat Tika langsung melompat keluar ketika mobilnya berhenti di belakang sederetan mobil-mobil yang terparkir di depan rumah. Itu pasti mobil teman-temannya yang sudah sampai duluan di rumah ini. Meilani melihat ada mobil Dion, Fadlan, Andra dan Andri yang terparkir terpisah di ujung halaman rumah yang kelewat megah dan luas itu.

Beberapa orang berkumpul di depan halaman, di dekat kolam kecil yang menyempil di pinggir rumah. Meilani dengan jelas dapat melihat Dion berada disana. Berkumpul dengan 5 cowok dan 3 cewek. Dua dari cewek itu duduk di bangku besi panjang. Meilani bertanya-tanya, siapa cewek yang sedang dirangkul oleh Dion dengan mesra disana.

Meilani menahan nafasnya saat melihat di kejauhan dari kaca jendela, Tika berpapasan dengan Fadlan dan berbincang sebentar. Lalu dengan gesit, Tika memasuki pintu ganda rumah tersebut. Dan menghilang dibaliknya.

Meilani melihat Fadlan menatap ke mobil Tika. Sepertinya Fadlan tahu bahwa ada Meilani bersembunyi di dalamnya karna sekarang ia sedang berjalan menuju mobil Tika. Mengetuk-ketuk kaca mobil, meminta Meilani untuk keluar.

Dengan perlahan, Meilani membuka pintu di sampingnya, lalu keluar untuk menemui Fadlan. Meilani nyengi ketika melihat Fadlan menatap marah kepadanya.

“Apa-apaan sih lo, bukannya masuk malah ngumpet di mobil?” Fadlan langsung menyemprot ketidaksukaannya melihat Meilani yang datang tapi tidak berniat untuk masuk ke dalam. Bibirnya mengeras menahan emosi.

Meilani menjawab dengan tergagap. “Ya…itu…eh, ini juga gue mau keluar kok tadinya.” Ia menatap takut-takut ke arah Fadlan. “Lo nya aja yang udah nyamperin gue duluan.”

Fadlan menghela nafas, lalu menganggukkan kepalanya ke arah rumah. “Ayo masuk!”

“Eh…Umm…” Meilani menggaruk-garuk tengkuknya yang tiba-tiba merinding. Fadlan berdecak tak sabaran. Lalu menarik ujung keliman baju Meilani yang dikeluarkannya.

Saat melewati mobil yang berderet panjang terparkir di halaman, Meilani berpikiran untuk kabur dan lari dari sana. Kakinya sedikit melemas seperti terbuat dari jelly.

Haruskah dia masuk? Melihat keadaan Altan?

Meilani terselamatkan saat Bayu, yang ternyata sedang berkumpul di luar bersama Dion memanggilnya untuk menghampirinya.

Berjalan gontai, Meilani dapat dengan jelas kalau Dion sedang memeluk seorang cewek cantik, bermata sipit, pipi yang tembam, rambut hitam panjang tersampir di salah satu bahunya dari belakang dan menempelkan dagunya di bahu satunya lagi yang bebas. Sekarang Meilani yakin kalau itu adalah Rizuka. Orang yang selalu diceritakan Dion dengan sangat antusias.

Well, ketika melihat lebih dekat lagi, Meilani yakin kalau mereka memang benar-benar sangat serasi. Tak diragukan lagi, dilihat dari cara mereka mempertunjukannya dengan cara yang sangat manis.

Meilani menyeringai. Disana ada Bayu, Andra, Ben, Indira dan Kesha yang berasal dari kelas yang berbeda dengannya, dan beberapa orang yang tak dikenalnya.

Dion mengangkat dagunya dari bahu Rizuka. Sedikit terkejut lalu menyeringai.

“Tadi katanya gak mau dateng… gak mau ikut,” sindir Dion saat Meilani berdiri di dekatnya.

Meilani memerah. Malu karna Dion tadi sudah susah payah membujuknya untuk ikut menjenguk Altan, tapi Meilani bersikeras menolaknya. Bahkan sempat berteriak pada Dion saking kesalnya dipaksa olehnya.

“Yaudah gue pulang dah…pulang…” kata Meilani sambil merengut.

“Dih, terus aja Mel, ngambek aja terus…” kata Dion mendesis.

Meilani cemberut lalu teralihkan saat melihat Fadlan duduk di sebelah Indira. Dan berangkulan mesra. Berbisik-bisik satu sama lainnya. Meilani bertanya-tanya, jadi pacarnya Fadlan itu adalah Indira dari kelas sebelah? Oh. Meilani baru tahu.

“Eh, iya, Mel, mau gue kenalin gak nih sama bidadari surga?” tanya Dion seraya mengamit tangan Rizuka untuk lebih mendekat kearahnya.

Meilani melongo. Rizuka menepuk lengan Dion pelan, lalu tersenyum minta maaf pada Meilani. ketika tersenyum, matanya yang sipit malah terlihat lebih tertutup rapat. Seperti sedang terpejam. “Kamu berlebihan,” kata Rizuka dengan aksen Jepangnya yang masih sangat kental. Karena baru dua setengah tahun Rizuka menetap di Jakarta, lalu di rumah memang berbicara memakai bahasa kelahirannya sendiri dengan orang tuanya, dan juga di sekolah pun Bahasa Jepang adalah salah satu bahasa wajib yang harus digunakan dalam percakapan di kelas maupun di lingkungan sekolah, jadi sampai saat ini aksen Jepangnya susah untuk dihilangkan.

Meilani menggigit lidahnya mendengar aksen Rizuka. Lucu sekali. Percakapan berbahasanya sedikit baku. Meilani ingin tahu, apa Rizuka pernah memarahi Dion dengan bahasa kelahirannya? Karna menurut Meilani itu pasti akan terdengar sangat lucu.

“Aku gak berlebihan, Sayang.” Dion mengedipkan matanya pada Rizuka.

“Pret, asal kamu tau aja ya, umm, Rizuka ya?”Rizuka menganggukan kepalanya. “Masa waktu itu kamu dibilang mirip sama gitar akus—”

Celetukkan Meilani langsung dipotong oleh Dion. “Eh, eh, eh… Mel! Itu mulutnya gak bisa direm dikit ya! Jangan bilang kalo gue nyamain dia sama gitar akustik dong!”

Semua orang yang berkumpul dan mendengarnya tertawa cekikikan. Meilani tertawa terbahak-bahak melihat wajah putih bening milik Rizuka berubah merah karna menjadi bahan candaan. Dion pura-pura terlihat jengkel.

“Husss! Gak kok, Beb. Aku gak bilang kamu mirip sama gitar akustik. Meilani mah jangan dipercaya. Bohong dia mah. Aku aja dibilang jelek sama dia. Padahal kata kamu aku ganteng, ya kan?”

“Aku tidak bilang kalau kamu ganteng,” sangkal Rizuka sambil terkikik. Membuat Dion melepaskan pegangannya dari tangan Rizuka dan bergerak sedikit menjauh dari Rizuka. Kelakuannya terlihat seperti anak kecil yang tidak dibelikan permen oleh orang tuanya. Mukanya berkerut karna cemberut.

Semua yang melihat tingkah kekanak-kanakan Dion lebih mengeraskan tawanya. Geli melihat orang pacaran yang ngambek hanya karna hal sepele.

“Emang enak,” ejek Meilani yang merasa menang karna Rizuka tak membela Dion.

Rizuka beringsut ke samping Dion. Melingkarkan tangannya di pinggang Dion. “Kamu lucu sekali kalau marah.”

“Aku ngambek. Bukan marah,” Dion melirik sinis pada Meilani yang masih tertawa geli.

“Lagian kamu ngapain sih, bukannya belain aku, malah ikut-ikutan ngeledek aku.”

Rizuka mengerucutkan bibirnya. “Kamu bilang aku ini gitar. Aku balas dendam tahu!” Meilani terperangah sambil menyeringai. Untuk sementara dia lupa diri kalau sekarang ia berada di depan rumah Altan. Menjenguknya.

Dion melotot tajam pada Meilani dengan cepat. “Liat kan, Mel! Puas bikin rumah tangga gue berantakan, hah?” Dion berteriak seperti ibu-ibu yang mengetahui bahkan mengenal selingkuhan suaminya.

Sambil tertawa Meilani menyangkal apa yang dituduhkan Dion. Mereka saling bercanda, mengejek dan menertawakan Dion serta Rizuka.

Perut mereka mulai keram karna terlalu banyak tertawa. Lalu Dion berdeham.

“Lo ngapain disini si, Mel? Bukannya masuk sana, liat temen lo yang lagi sekarat.”

Meilani membeku. “Hah? Sekarat?” mukanya hampir saja pucat pasi kalau saja Dion tidak buru-buru memperbaiki kata-katanya.

“Kagak, ding. Lecet doang tuh orang. Lagian tolol banget naik motor gak pake jaket yang tebel,” gerutu Dion.

“Helm juga gak dikancing,” tambah Fadlan.

Dion mendengus. “Emang tolol banget tuh sodara lo. Dikiranya dia joki apa,” ucap Dion benar-benar jengkel.

“Gak ada yang patah?” tanya Meilani penasaran.

Dion mendeskripsikan bagaimana dan dimana saja luka-luka Altan yang tergores di tubuhnya. Mulai dari lengannya, sikutnya, kaki kanannya bahkan seragam celana panjangnya robek dari atas dengkul sampai betis. Mendengar cerita Dion membuat Meilani bergidik ngeri membayangkan kulit-kulit yang terkelupas dan berdarah-darah akibat kecelakaan tunggal itu. “Makanya masuk gih sana. Liat sendiri.”

Meilani bergidik sambil menggelengkan kepala. “Takut,” gumamnya pelan.

“Yaelah, gak kenapa-napa si, Mel. Kagak cacat-cacat banget lah untungnya. Masih tetep ganteng tuh orang abis kecelakaan juga.”

Meilani menatap ke dalam mata Dion. Mencari kekuatan untuk memberinya motivasi yang meyakinkan dirinya agar tidak terlalu takut melihatnya. Setelah beberapa menit terdiam, Meilani mendengar Fadlan mendesis.

“Kan, tolol, kan. Orang lagi sakit dia malah keluar-luar.”

Kesembilan orang lainnya mengikuti arah pandang Fadlan ke muka teras. Menemukan ALtan berdiri lemah disana. berdiri sedikit membungkuk, menekuk lututnya sedikit dengan tangan kanan yang disangga dengan tangan kirinya. Berjalan pelan-pelan dan sesekali meringis menahan sakit. Tak mampu mendekat lebih jauh pada sekumpulan teman-temannya, Altan berdiri di samping pilar tinggi dan besar.

Matanya bertemua pandang dengan mata indah milik Meilani. menguncinya untuk beberapa saat. Ada sedikit rasa senang dan khawatir melihat Meilani berdiri tercengang disana.

“Heh, ngapain pada ngumpul disitu. Masuklah!” teriaknya sedikit parau.

Meilani memerhatikan Altan dari atas sampai bawah. Dia bisa melihat bahwa kaki kanan Altan tergores panjang dari lutut sampai betis. Tidak diperban. Hanya dibiarkan terbuka seperti itu. Meilani meringis dan bergidik.

Dion mendesak Meilani. “Mel, masuk sana gih. Udah disamperin sama yang punya rumah juga. Kasian, ege, kakinya lagi sakit.”

Meilani melirik cemas pada Dion dan yang lainnya. “Ayo bareng?” ajaknya.

“Kita mah udah daritadi kali,” ujar Fadlan.

“Iyaaa…” kata Bayu mengiyakan ucapan Fadlan.

“Sanaaaa!” Dion mendorong Meilani menjauh. Dengan langkah yang dipaksakan, Meilani berjalan mendekat ke arah Altan.

Semakin lama langkahnya terkikis, mendekati cowok yang bersandar lemah di pilar itu, semakin kencang pula detak jantung Meilani berpacu. Wajahnya memanas, tangannya berkeringat. Hatinya seperti dipeluk ribuan malaikat saat menyadari tatapan Altan tak pernah meninggalkannya.

Meilani menarik nafas diam-diam. Mengehembuskannya dengan cara yang lebih teratur. Ketegangan meningkat saat ia berhadapan dengan Altan.

“Bukannya masuk,” komentar Altan sebelum Meilani mengucapkan satu katapun.

“Orang baru dateng.” Meilani membela diri.

Altan menyipitkan matanya. sedikit geli. “Bareng sama Tika, kan?” Meilani mengangguk sambil menyeringai.

Meilani mengalihkan matanya, melirik sesuatu di dekatnya. Tak mau menjawab.

“Ayo, masuk!” ajak Altan lagi.

Meilani terdiam. Menatap semua luka-luka Altan. “Itu…sakit gak?” tanyanya polos.

Altan memerlihatkan sikunya yang memerah dan mengkilap; habis diolesi salep. “Gak lah, gini doang mah biasa.”

Meilani mendengus mendengar jawaban Altan. “Kok gak diperban, si?”

“Abis dikasih salep. Masih basah. Ntar lukanya gak kering-kering, tau.”

“Oh.” Altan berjalan terpincang-pincang masuk ke dalam rumah, sementara Meilani mengikutinya. Sedikit dibelakang.

“Katanya biasa aja, tapi jalannya pincang,” gerutu Meilani keceplosan.

Altan berhenti mendadak, lalu berbalik menghadap Meilani. “Pincang doang aja juga udah syukur banget, Mel. Atau…lo mau gue masuk rumah sakit atau ma—”

“Udah cepet jalan!” Meilani menghentikan perkataan Altan yang pasti akan mengungkit-ungkit masalah kematian. Dan dia tidak mau mendengar itu. Tidak sekarang.

Pelan tapi pasti, mereka berdua berjalan memasuki ruang tengah. Dimana disana ada teman-temannya dan Mrs. Ketie yang berkumpul duduk di sofa panjang berwarna keemasan. Seluruh furniture di rumah ini hampir berwarna emas berpadu putih dan hitam. Terlihat elegan dan nyaman.

Tak ada foto keluarga terpajang di lantai bawah atau di ruang-ruang terbuka di lantai bawah. Suatu keuntungan untuk Altan karna tak perlu panik saat melihat Meilani ada di rumahnya saat ini dan melihat wajah Oscar dalam bingkai besar yang terpajang di rumahnya.

Aneh memang, tapi ruangan di lantai bawah taka da pajangan berupa foto-foto keluarga; hanya lukisan dinding yang menghias dimana-mana, diberbagai sudut dinding. Foto-foto keluarga hanya terpajang di ruang keluarga di lantai atas dan di kamar orang tuanya.

Sekali lagi. Altan menghela nafas lega menyadari itu.

Ketika sampai, Altan langsung duduk dengan hati-hati di sebelah wanita setengah baya yang masih terlihat sangat cantik dan anggun dengan blus berwarna peach dan rok hitam selutut.

Meilani bertanya-tanya, apa itu adalah Ibunya Altan.

Meilani langsung mengambil tempat duduk di sebrang Altan. Tika menyeringai disebelahnya.

“Masuk juga kan lo,” bisik Tika pada Meilani.

Meilani mengerucutkan bibirnya. Lalu mendengar percakapan antara Mrs. Ketie dengan Ibunya Altan.

“Makanya nih, bu. Tadi pas dapet kabar dia kecelakaan,” wanita setengah baya itu menepuk pelan punggung Altan. “saya langsung shock. Langsung gak jadi berangkat ke kantor. Agak ngeri juga soalnya dia pernah kecelakaan juga waktu kecil.”

Meilani dengan cepat melirik Altan. “Oh. Waktu kecil kecelakaan? Kenapa?” tanya Mrs. Ketie penasaran.

“Iya. Waktu itu sih kecelakaan karna supir bus sekolahnya dia ngantuk, bu. Terus bus sekolahnya ketabrakan gitu. Ih, ngeri banget deh, bu, saya ngingetnya.” Altan menatap lembut ke arah Meilani. berharap Meilani ingat akan kejadian itu. Tapi…tidak. Dia tidak ingat. Karna Meilani masih serius dengan percakapan orangtuanya dan Mrs. Ketie.

“Altan itu gak sakit kan lukanya?” Mrs. Ketie bertanya, memecahkan pikiran Altan yang berubah sedih mengingat Meilani tak pernah mengingat kejadian waktu itu.

“Ah, gak lah, Mrs. Cuman nyeri senut-senut gitu doang.” Altan menjawab dengan santai. Lalu tersenyum malu pada Meilani.

Meilani mengernyitkan dahinya. Berucap “sok” dengan tak bersuara. Altan memahami dari gerak bibirnya. Dan balas menjawab “Bodo” tanpa bersuara juga. Meilani melongo. Lalu mencoba untuk tak menghiraukan Altan.

Tapi matanya bergerak gatal ingin melirik ke arah Altan. Setiap ia melirik pada Altan, dengan mudah Altan akan menangkap tatapannya dan menguncinya. Membuat Meilani bergerak-gerak gelisah di sofa.

Mereka berdua tak tahu bahwa seseorang tengah memerhatikannya dengan jelas. Mengetatkan rahangnya saat melihat kedua orang itu saling bertukar pandang. Hati orang itu seperti di lempar jutaan belati yang baru diasah. Menusuk tepat di jantungnya. Tangannya mencengkram keliman rok seragamnya, di samping tubuhnya. Matanya memanas. Berkali-kali mencoba untuk tidak melihat, tapi hatinya menghianatinya.

Tika. Terduduk kaku di samping Meilani yang sedang berpura-pura melotot kepada cowok yang –sampai saat ini—tak pernah ingin dilupakannya. Dicintainya.

Sebuah kata ‘penghianatan’ terbesit dibenaknya untuk Meilani.


To be continued……

0 comments:

Post a Comment

Template by:

Free Blog Templates