DUA PULUH
SATU
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat dan
singkat. Tapi Meilani menikmati dengan senang hati dan keceriaan yang selalu
diperlihatkan di depan banyak orang di dekatnya. Kurang lebih dua minggu lagi
ia dan teman-teman lainnya akan melakukan rangkaian kegiatan menjelang Ujian
Nasional. Mulai dari Ujian Praktek, Ujian Sekolah lalu diakhiri dengan Ujian
Nasional.
Dan pagi ini, Meilani sudah berada di
kelasnya yang ramai dan penuh dengan orang-orang yang –mungkin terpaksa,
mungkin juga tidak—haus akan ilmu.
Selama akhir-akhir bulan ini Meilani yakin ia
menjadi pribadi yang sedikit berbeda. Terkadang menjadi orang yang baik, ceria,
selalu becanda tawa dengan semua teman-teman di sekelasnya; terutama dengan Altan.
Terkadang mencurigai setiap perempuan yang berusaha dekat dan sedang dengan
Altan. Terkadang Meilani terdiam, bingung mengapa ia merasakan perasaan yang
seperti itu. Dan menit berikutnya ia berusaha keras untuk tidak terlalu
memikirkan apa, bagaimana, dan mengapa perasaan itu bisa muncul dalam dirinya.
Meilani tetap diam dan berpura-pura tidak
menyadari saat Altan dan Nela berbicara berbisik-bisik di dekatnya. Mengedipkan
mata satu sama lainnya, dan beberapa saat kemudian kejutan menyapanya. Hmm, mungkin
hanya beberapa detik Meilani akan terkejut, karna dengan cepat pikiran logisnya
menyadari bahwa itu semua ulah mereka berdua. Dan sampai saat ini Meilani akan
bersikap kooperatif dengan apa yang dicurigainya.
Meilani mengernyit saat disadarinya ada sesuatu
yang kurang di sini. Sudah setengah hari Meilani melewati berbagai mata
pelajaran di sekolahnya, tapi sampai saat ini ia belum melihat Altan di
kelasnya.
Eh, Kemana
dia?
Meilani menatap Nela yang juga sejak tadi
pagi terdiam di bangkunya. Tak banyak bicara. Lalu Meilani mengurungkan niatnya
untuk bertanya pada Nela mengapa Altan tidak masuk sekolah. Sepertinya Nela
tidak mau diganggu. Apa ada yang salah?
Meilani melarikan pandangannya untuk melirik
Dion yang duduk disebrangnya. Dan Dion juga sejak tadi pagi tidak terlalu
banyak bicara. Terlalu gelisah. Bahkan jika Meilani ingat, Dion hanya sibuk
dengan handphone miliknya yang selalu di tangannya; tak pernah lepas.
Ada yang aneh juga dengan Dion. Tapi…kenapa?
Ada apa?
Baru saja Meilani ingin membuka mulutnya
untuk bertanya kepada Dion, detik itu juga Dion berdiri dari kursinya dan
berjalan cepat keluar kelas dengan handphone yang menempel di salah satu
telinganya. Berpasang-pasang mata milik Fadlan, Nela, Andri dan Andra mengikuti
kemana bayangan Dion pergi. Semuanya terlihat cemas.
Meilani terdiam menyaksikan ada apa
sebenarnya ini. Sampai saat Dion kembali dari urusannya dengan orang yang
menelponnya beberapa menit yang lalu usai, Meilani masih terus diam
memperhatikan.
“Gimana, bro?” tanya Fadlan langsung.
“Untungnya gak parah,” Dion berbisik saat ia
berdiri di sebelah Fadlan dengan wajah yang terlihat lebih lega dan keseriusan
yang sedikit menghilang daripada sebelumnya.
Fadlan menatap Dion serius. “Serius lo? terus
dimana tuh anak sekarang?”
“Ya untungnya sih udah di rumah. Lecet dikit
doang katanya. Tau dah nih. Kalo boleh izin, kita izin aja yuk?!” Dion
mengusap-usap wajahnya yang terlihat seperti baju yang belum disetrika pagi
ini. Lecet? Siapa yang kecelakaan?
Meilani mulai gusar mendengar percakapan antara Fadlan dan Dion di depannya. Jantungnya
berdebar dipenuhi rasa khawatir yang mencekat di dadanya.
Fadlan mendengus. “Ngapain pake izin sih?
Langsung cabut aja napa!”
“Udah kelas dua belas, ege. Lo mau skak mat
duluan, heh?” Dion menempeleng kepala Fadlan pelan lalu berjalan kembali ke
tempatnya tanpa melihat ke arah Meilani yang sedang menatap penuh rasa ingin
tahu terhadapnya; perbincangannya.
Nela menepuk pundak Fadlan pelan. Membuat
Fadlan menolehkan kepalanya ke belakang. Lalu Nela menganggukkan kepalanya.
Bertanya melalui isyarat gerak tubuhnya. Tanpa bertanya lagi Fadlan sudah
mengerti apa yang dimaksud Nela. Fadlan mendesah. “Gapapa. Lecet doang dia mah.
Kan punya nyawa Sembilan tuh orang.”
“Hush, sodara lo juga tuh!” ujar Nela menegur
Fadlan yang membanyol.
“Ada apaan sih, eh?” Meilani akhirnya
bertanya juga. Ia tidak kuat menahan rasa penasarannya yang hampir mencuat
melalui ubun-ubunnya.
Nela dan Fadlan saling berpandangan, lalu
menatap Meilani. Nela mengangkat bahunya. Ia diberitahukan oleh Dion untuk
tidak memberitahukan masalah ini pada Meilani.
Jadi Nela menyuruh Fadlan saja yang
menceritakannya, tapi kemudian Fadlan malah mengopernya kepada Dion untuk
memberikan Meilani penjelasan. Dion yang dipanggil Fadlan menengokkan kepalanya
ke samping.
“Eh?” tanya Dion tak berkonsentrasi dengan
apa yang diminta oleh Fadlan.
“Altan kenapa?” entah kenapa kata-kata yang
keluar dari mulutnya bukan menanyakan Siapa yang mengalami kecelakaan, malahan
menanyakan Ada apa dengan Altan. Kata hatinya mengatakan bahwa ini pasti ada
hubungannya dengan Altan.
Dion membeku. Haruskah dia memberitahu
Meilani kalau Altan mengalami kecelakaan saat hendak berangkat ke sekolah pagi
ini? Altan bilang, kalau bisa Meilani jangan sampai tahu kalau dirinya mengalami
kecelakaan. Bahkan kalau perlu jangan terlalu heboh dengan menyebarkan berita
itu ke seluruh penjuru sekolah.
“Eh, itu…Altan? Lah dia gak kenapa-napa si,”
ucap Dion tergagap-gagap.
Meilani merengut ke arah Dion. “Bohong lo ya.
Kenapa dia kecelakaan?”
“Sssshhhh!!!” Dion meletakkan jari
telunjuknya di atas bibir merahnya seraya melirik ke depan –dimana Mrs. Ketie
yang baru datang duduk di tempatnya.
“Tuhkan bener!” Meilani memekik, mengernyit
saat perasaan khawatir dan cemas lebih terasa nyata di dirinya.
Dion memejamkan matanya singkat; mengiyakan
Meilani sekaligus membuatnya untuk tetap tenang dan tidak terlalu khawatir
mendengar kabar ini. Tapi faktanya, setelah Dion mengiyakan, jantung dalam
tubuh Meilani hampir berhenti berdetak sesaat. Kemudian Meilani teringat
bisik-bisik antara Dion dan Fadlan, serta Fadlan dan Nela barusan bahwa Altan
tidak mengalami luka parah. Hanya lecet.
Tapi bagaimana bisa? “Kok bisa, Yon?” tanya
Meilani sambil menatap Dion dengan cukup serius.
Dion melirik ke depan, memeriksa apakah Mrs.
Ketie memperhatikannya yang sedang mengobrol atau tidak.
Lalu Dion menjelaskan dengan singkat, “Tadi
pagi dia telat berangkat sekolah, trus dia bawa motor. Pas sampe komplek depan
sekolahan sini nih…kan ada pool taksi, taksinya mau keluar, dia kaget, trus
banting stir ke kanan, eh malah keseret.”
Meilani menelan ludahnya. Kecelakaan karna
membawa motor? Hampir sama dengan apa yang Zufar alami, hanya saja Altan tidak
apa-apa, sedangkan Zufar meninggal. Diam-diam Meilani bersyukur karna Altan
selamat dari kecelakaan motor itu.
Dion buru-buru menambahkan saat melihat
Meilani menggigit-gigit ujung bibir bawahnya dengan cemas. “Tapi dia gak
kenapa-napa. Lecet doang tangannya gara-gara gak pake jaket juga.”
Meilani berusaha tersenyum dan menganggukkan
kepala. “Syukurlah,” bisiknya dalam hati.
Nela
tak sengaja memberitahukan bahwa Altan mengalami kecelakaan kepada Mrs. Ketie,
yang mana membuat wali kelas mereka sekaligus sebagai guru bahasa Inggris itu
menjadi panik, dan memutuskan untuk menjenguk salah satu muridnya yang
mengalami kecelakaan itu.
Mrs. Ketie mengajak semua siswanya untuk
menjenguk Altan nanti setelah pulang sekolah. Dan Meilani dengan ragu
memutuskan untuk tidak ikut dalam rombongan untuk menjenguk Altan. Ia takut
melihat betapa pucatnya orang yang baru saja mengalami kecelakaan. Betapa
merahnya darah yang keluar mengalir dari luka-luka akibat goresan aspal. Betapa
itu semua akan sangat mengingatkannya pada peristiwa setahun yang lalu.
Meilani cukup trauma untuk melihat itu semua
lagi. Jadi, ia memutuskan untuk pulang ke rumah, walaupun sebagian besar hati
dan keinginannya ingin melihat bagaimana keadaan orang itu. Apakah cukup parah
atau…sangat parah. Meilani ingin melihatnya, tapi ia menghianati dirinya
sendiri. Lagi.
Saat kakinya menjejak melewati pintu gerbang
sekolah, sebuah mobil Honda Jazz berwarna pink melambat di sampingnya. Meilani
tahu kalau itu adalah mobil Tika. Dan benar saja, saat kaca belakang penumpang
diturunkan, kepala mungil Tika melongok keluar kaca jendela.
“Mel, ikut gue yuk?!” Tika berniat untuk
mengajak Meilani menjenguk Altan. Karna kebetulan pada saat Mrs. Ketie dan
teman-temannya yang lain berangkat menuju rumah Altan, Tika sedang dipanggil
menghadap Pak Gavin yang memintanya untuk menyelesaikan tugas yang sempat
dilalaikannya. Dan Tika ditinggal oleh rombongan kelasnya yang ingin menjenguk
Altan.
Meilani menggeleng, namun hati kecilnya
mengangguk antusias. Tika berdecak. “Ayolah, Mel. Temenin gue kesananya, ya?
Masa gue kesana sendiri? Ayoo dong, Mel. Ya? Ya? Ya?” Tika tetap membujuk
Meilani yang hanya terdiam terpaku di pinggir jalan. Mulai gerah, akhirnya Tika
keluar dari mobil nyentriknya dan memaksa Meilani masuk ke dalam mobilnya.
“Lo temenin gue, pokoknya. Gue pengen liat si
Altan tuh baik-baik aja apa enggak.” Meilani merasakan seperti ada yang
melilitkan seutas tali tebal di hatinya ketika mengetahui Tika masih
–sangat—peduli dengan Altan. Dan itu terasa menyakitkan.
“Tika gue gak bisa…” Meilani mengerang.
“Kenapa sih? Ayolah, lo kan juga temennya.
Lebih akrab malah sekarang sama dia, daripada sama gue. Masa lo gak mau jenguk?”
Tika menyipitkan matanya. Sedikit mengintimidasi Meilani. Meilani menahan
langkahnya yang sedang ditarik paksa oleh Tika memasuki mobilnya.
“Tik, gue rada takut kalo liat orang abis
ketabrakan gitu. Apalagi motor…” suara serak Meilani perlahan menghilang di
akhir kalimatnya.
Tika menghela nafas perlahan. “Oke, lo gak
harus ngeliat Altan juga, kok. Lo bisa nunggu di dalem mobil kalo lo mau. Tapi,
lo temenin gue aja ke sananya. Yah?” Tika tahu kalau Meilani cukup mengelami
trauma dengan kejadian tabrakan atau kecelakaan sepeda motor. Dan Tika tidak
bisa memaksa Meilani terlalu jauh. “Tapi…kalo lo emang gak mau…yaudah, gak
papa, deh,” lanjutnya sedikit terpaksa.
Meilani berteriak dalam hatinya kalau dia
ingin sekali ikut dan datang menjenguk Altan. Tapii…kenangan pahit di masa lalu
membuatnya terkekang rasa ragu yang amat sangat dalam.
Kesempatan tidak datang dua kali, bukan?
Meilani meremas-remas kesepuluh jarinya yang
saling bertautan. “Yaudah,” gumam Meilani akhirnya.
Tika tersenyum selebar mungkin. Dan
mempersilahkan Meilani untuk masuk ke dalam mobilnya dan membiarkan dirinya
sendiri masuk setelahnya. Kemudian Tika menyuruh supirnya untuk melajukan
mobilnya ke alamat rumah Altan.
Dinginnya AC mobil siang itu lebih terasa di
tengah teriknya sinar matahari di siang bolong seperti ini. Padahal tanpa
terkena AC pun, tangan Meilani sudah dingin karena dirinya terlalu gugup.
Disepanjang jalan Tika mulai bercerita dengan gayanya yang sangat manja.
Meilani sedikit memerhatikan dan sedikit juga tidak. Pikirannya lebih suka
melayang pada imajinasinya yang mengkhawatirkan Altan.
Ketika mobil Tika mulai memasuki sebuah
komplek perumahan elite di bilangan Jakarta Selatan, Meilani menelan ludahnya.
Rumah Altan terletak paling depan di
kompleknya. Besar dan sangat mewah. Apalagi saat mobil Tika memasuki gerbang
rumah itu. Halaman depan yang luas dengan rumput hijau yang terawat, sederetan
pohon-pohon palem di pinggir-pinggir halaman, air mancur berukuran sedang
terpajang di tengah-tengah taman, lalu rumah mewah berdiri tegak di seberang
taman itu seperti sebuah benteng kerajaan yang sangat gagah. Pilar-pilar besar
melingkar di teras depan rumah; seolah menyangga rumah yang seakan dibangun di
surga.
Meilani tersentak kaget saat Tika langsung
melompat keluar ketika mobilnya berhenti di belakang sederetan mobil-mobil yang
terparkir di depan rumah. Itu pasti mobil teman-temannya yang sudah sampai
duluan di rumah ini. Meilani melihat ada mobil Dion, Fadlan, Andra dan Andri
yang terparkir terpisah di ujung halaman rumah yang kelewat megah dan luas itu.
Beberapa orang berkumpul di depan halaman, di
dekat kolam kecil yang menyempil di pinggir rumah. Meilani dengan jelas dapat
melihat Dion berada disana. Berkumpul dengan 5 cowok dan 3 cewek. Dua dari
cewek itu duduk di bangku besi panjang. Meilani bertanya-tanya, siapa cewek
yang sedang dirangkul oleh Dion dengan mesra disana.
Meilani menahan nafasnya saat melihat di
kejauhan dari kaca jendela, Tika berpapasan dengan Fadlan dan berbincang
sebentar. Lalu dengan gesit, Tika memasuki pintu ganda rumah tersebut. Dan
menghilang dibaliknya.
Meilani melihat Fadlan menatap ke mobil Tika.
Sepertinya Fadlan tahu bahwa ada Meilani bersembunyi di dalamnya karna sekarang
ia sedang berjalan menuju mobil Tika. Mengetuk-ketuk kaca mobil, meminta
Meilani untuk keluar.
Dengan perlahan, Meilani membuka pintu di
sampingnya, lalu keluar untuk menemui Fadlan. Meilani nyengi ketika melihat
Fadlan menatap marah kepadanya.
“Apa-apaan sih lo, bukannya masuk malah
ngumpet di mobil?” Fadlan langsung menyemprot ketidaksukaannya melihat Meilani
yang datang tapi tidak berniat untuk masuk ke dalam. Bibirnya mengeras menahan
emosi.
Meilani menjawab dengan tergagap. “Ya…itu…eh,
ini juga gue mau keluar kok tadinya.” Ia menatap takut-takut ke arah Fadlan.
“Lo nya aja yang udah nyamperin gue duluan.”
Fadlan menghela nafas, lalu menganggukkan
kepalanya ke arah rumah. “Ayo masuk!”
“Eh…Umm…” Meilani menggaruk-garuk tengkuknya
yang tiba-tiba merinding. Fadlan berdecak tak sabaran. Lalu menarik ujung
keliman baju Meilani yang dikeluarkannya.
Saat melewati mobil yang berderet panjang
terparkir di halaman, Meilani berpikiran untuk kabur dan lari dari sana.
Kakinya sedikit melemas seperti terbuat dari jelly.
Haruskah dia masuk? Melihat keadaan Altan?
Meilani terselamatkan saat Bayu, yang
ternyata sedang berkumpul di luar bersama Dion memanggilnya untuk
menghampirinya.
Berjalan gontai, Meilani dapat dengan jelas
kalau Dion sedang memeluk seorang cewek cantik, bermata sipit, pipi yang
tembam, rambut hitam panjang tersampir di salah satu bahunya dari belakang dan
menempelkan dagunya di bahu satunya lagi yang bebas. Sekarang Meilani yakin
kalau itu adalah Rizuka. Orang yang selalu diceritakan Dion dengan sangat
antusias.
Well, ketika melihat lebih dekat lagi,
Meilani yakin kalau mereka memang benar-benar sangat serasi. Tak diragukan
lagi, dilihat dari cara mereka mempertunjukannya dengan cara yang sangat manis.
Meilani menyeringai. Disana ada Bayu, Andra,
Ben, Indira dan Kesha yang berasal dari kelas yang berbeda dengannya, dan
beberapa orang yang tak dikenalnya.
Dion mengangkat dagunya dari bahu Rizuka.
Sedikit terkejut lalu menyeringai.
“Tadi katanya gak mau dateng… gak mau ikut,”
sindir Dion saat Meilani berdiri di dekatnya.
Meilani memerah. Malu karna Dion tadi sudah
susah payah membujuknya untuk ikut menjenguk Altan, tapi Meilani bersikeras
menolaknya. Bahkan sempat berteriak pada Dion saking kesalnya dipaksa olehnya.
“Yaudah gue pulang dah…pulang…” kata Meilani
sambil merengut.
“Dih, terus aja Mel, ngambek aja terus…” kata
Dion mendesis.
Meilani cemberut lalu teralihkan saat melihat
Fadlan duduk di sebelah Indira. Dan berangkulan mesra. Berbisik-bisik satu sama
lainnya. Meilani bertanya-tanya, jadi pacarnya Fadlan itu adalah Indira dari
kelas sebelah? Oh. Meilani baru tahu.
“Eh, iya, Mel, mau gue kenalin gak nih sama
bidadari surga?” tanya Dion seraya mengamit tangan Rizuka untuk lebih mendekat
kearahnya.
Meilani melongo. Rizuka menepuk lengan Dion
pelan, lalu tersenyum minta maaf pada Meilani. ketika tersenyum, matanya yang
sipit malah terlihat lebih tertutup rapat. Seperti sedang terpejam. “Kamu
berlebihan,” kata Rizuka dengan aksen Jepangnya yang masih sangat kental. Karena
baru dua setengah tahun Rizuka menetap di Jakarta, lalu di rumah memang
berbicara memakai bahasa kelahirannya sendiri dengan orang tuanya, dan juga di
sekolah pun Bahasa Jepang adalah salah satu bahasa wajib yang harus digunakan
dalam percakapan di kelas maupun di lingkungan sekolah, jadi sampai saat ini aksen
Jepangnya susah untuk dihilangkan.
Meilani menggigit lidahnya mendengar aksen
Rizuka. Lucu sekali. Percakapan berbahasanya sedikit baku. Meilani ingin tahu,
apa Rizuka pernah memarahi Dion dengan bahasa kelahirannya? Karna menurut
Meilani itu pasti akan terdengar sangat lucu.
“Aku gak berlebihan, Sayang.” Dion
mengedipkan matanya pada Rizuka.
“Pret, asal kamu tau aja ya, umm, Rizuka
ya?”Rizuka menganggukan kepalanya. “Masa waktu itu kamu dibilang mirip sama
gitar akus—”
Celetukkan Meilani langsung dipotong oleh
Dion. “Eh, eh, eh… Mel! Itu mulutnya gak bisa direm dikit ya! Jangan bilang
kalo gue nyamain dia sama gitar akustik dong!”
Semua orang yang berkumpul dan mendengarnya
tertawa cekikikan. Meilani tertawa terbahak-bahak melihat wajah putih bening
milik Rizuka berubah merah karna menjadi bahan candaan. Dion pura-pura terlihat
jengkel.
“Husss! Gak kok, Beb. Aku gak bilang kamu
mirip sama gitar akustik. Meilani mah jangan dipercaya. Bohong dia mah. Aku aja
dibilang jelek sama dia. Padahal kata kamu aku ganteng, ya kan?”
“Aku tidak bilang kalau kamu ganteng,”
sangkal Rizuka sambil terkikik. Membuat Dion melepaskan pegangannya dari tangan
Rizuka dan bergerak sedikit menjauh dari Rizuka. Kelakuannya terlihat seperti
anak kecil yang tidak dibelikan permen oleh orang tuanya. Mukanya berkerut
karna cemberut.
Semua yang melihat tingkah kekanak-kanakan
Dion lebih mengeraskan tawanya. Geli melihat orang pacaran yang ngambek hanya
karna hal sepele.
“Emang enak,” ejek Meilani yang merasa menang
karna Rizuka tak membela Dion.
Rizuka beringsut ke samping Dion.
Melingkarkan tangannya di pinggang Dion. “Kamu lucu sekali kalau marah.”
“Aku ngambek. Bukan marah,” Dion melirik
sinis pada Meilani yang masih tertawa geli.
“Lagian kamu ngapain sih, bukannya belain
aku, malah ikut-ikutan ngeledek aku.”
Rizuka mengerucutkan bibirnya. “Kamu bilang
aku ini gitar. Aku balas dendam tahu!” Meilani terperangah sambil menyeringai. Untuk
sementara dia lupa diri kalau sekarang ia berada di depan rumah Altan. Menjenguknya.
Dion melotot tajam pada Meilani dengan cepat.
“Liat kan, Mel! Puas bikin rumah tangga gue berantakan, hah?” Dion berteriak
seperti ibu-ibu yang mengetahui bahkan mengenal selingkuhan suaminya.
Sambil tertawa Meilani menyangkal apa yang
dituduhkan Dion. Mereka saling bercanda, mengejek dan menertawakan Dion serta
Rizuka.
Perut mereka mulai keram karna terlalu banyak
tertawa. Lalu Dion berdeham.
“Lo ngapain disini si, Mel? Bukannya masuk
sana, liat temen lo yang lagi sekarat.”
Meilani membeku. “Hah? Sekarat?” mukanya
hampir saja pucat pasi kalau saja Dion tidak buru-buru memperbaiki
kata-katanya.
“Kagak, ding. Lecet doang tuh orang. Lagian tolol
banget naik motor gak pake jaket yang tebel,” gerutu Dion.
“Helm juga gak dikancing,” tambah Fadlan.
Dion mendengus. “Emang tolol banget tuh
sodara lo. Dikiranya dia joki apa,” ucap Dion benar-benar jengkel.
“Gak ada yang patah?” tanya Meilani
penasaran.
Dion mendeskripsikan bagaimana dan dimana
saja luka-luka Altan yang tergores di tubuhnya. Mulai dari lengannya, sikutnya,
kaki kanannya bahkan seragam celana panjangnya robek dari atas dengkul sampai
betis. Mendengar cerita Dion membuat Meilani bergidik ngeri membayangkan
kulit-kulit yang terkelupas dan berdarah-darah akibat kecelakaan tunggal itu. “Makanya
masuk gih sana. Liat sendiri.”
Meilani bergidik sambil menggelengkan kepala.
“Takut,” gumamnya pelan.
“Yaelah, gak kenapa-napa si, Mel. Kagak cacat-cacat
banget lah untungnya. Masih tetep ganteng tuh orang abis kecelakaan juga.”
Meilani menatap ke dalam mata Dion. Mencari kekuatan
untuk memberinya motivasi yang meyakinkan dirinya agar tidak terlalu takut
melihatnya. Setelah beberapa menit terdiam, Meilani mendengar Fadlan mendesis.
“Kan, tolol, kan. Orang lagi sakit dia malah
keluar-luar.”
Kesembilan orang lainnya mengikuti arah
pandang Fadlan ke muka teras. Menemukan ALtan berdiri lemah disana. berdiri
sedikit membungkuk, menekuk lututnya sedikit dengan tangan kanan yang disangga
dengan tangan kirinya. Berjalan pelan-pelan dan sesekali meringis menahan
sakit. Tak mampu mendekat lebih jauh pada sekumpulan teman-temannya, Altan
berdiri di samping pilar tinggi dan besar.
Matanya bertemua pandang dengan mata indah
milik Meilani. menguncinya untuk beberapa saat. Ada sedikit rasa senang dan khawatir
melihat Meilani berdiri tercengang disana.
“Heh, ngapain pada ngumpul disitu. Masuklah!”
teriaknya sedikit parau.
Meilani memerhatikan Altan dari atas sampai
bawah. Dia bisa melihat bahwa kaki kanan Altan tergores panjang dari lutut
sampai betis. Tidak diperban. Hanya dibiarkan terbuka seperti itu. Meilani meringis
dan bergidik.
Dion mendesak Meilani. “Mel, masuk sana gih. Udah
disamperin sama yang punya rumah juga. Kasian, ege, kakinya lagi sakit.”
Meilani melirik cemas pada Dion dan yang
lainnya. “Ayo bareng?” ajaknya.
“Kita mah udah daritadi kali,” ujar Fadlan.
“Iyaaa…” kata Bayu mengiyakan ucapan Fadlan.
“Sanaaaa!” Dion mendorong Meilani menjauh. Dengan
langkah yang dipaksakan, Meilani berjalan mendekat ke arah Altan.
Semakin lama langkahnya terkikis, mendekati
cowok yang bersandar lemah di pilar itu, semakin kencang pula detak jantung
Meilani berpacu. Wajahnya memanas, tangannya berkeringat. Hatinya seperti
dipeluk ribuan malaikat saat menyadari tatapan Altan tak pernah
meninggalkannya.
Meilani menarik nafas diam-diam. Mengehembuskannya
dengan cara yang lebih teratur. Ketegangan meningkat saat ia berhadapan dengan
Altan.
“Bukannya masuk,” komentar Altan sebelum Meilani
mengucapkan satu katapun.
“Orang baru dateng.” Meilani membela diri.
Altan menyipitkan matanya. sedikit geli. “Bareng
sama Tika, kan?” Meilani mengangguk sambil menyeringai.
Meilani mengalihkan matanya, melirik sesuatu
di dekatnya. Tak mau menjawab.
“Ayo, masuk!” ajak Altan lagi.
Meilani terdiam. Menatap semua luka-luka
Altan. “Itu…sakit gak?” tanyanya polos.
Altan memerlihatkan sikunya yang memerah dan
mengkilap; habis diolesi salep. “Gak lah, gini doang mah biasa.”
Meilani mendengus mendengar jawaban Altan. “Kok
gak diperban, si?”
“Abis dikasih salep. Masih basah. Ntar lukanya
gak kering-kering, tau.”
“Oh.” Altan berjalan terpincang-pincang masuk
ke dalam rumah, sementara Meilani mengikutinya. Sedikit dibelakang.
“Katanya biasa aja, tapi jalannya pincang,”
gerutu Meilani keceplosan.
Altan berhenti mendadak, lalu berbalik
menghadap Meilani. “Pincang doang aja juga udah syukur banget, Mel. Atau…lo mau
gue masuk rumah sakit atau ma—”
“Udah cepet jalan!” Meilani menghentikan
perkataan Altan yang pasti akan mengungkit-ungkit masalah kematian. Dan dia
tidak mau mendengar itu. Tidak sekarang.
Pelan tapi pasti, mereka berdua berjalan
memasuki ruang tengah. Dimana disana ada teman-temannya dan Mrs. Ketie yang
berkumpul duduk di sofa panjang berwarna keemasan. Seluruh furniture di rumah
ini hampir berwarna emas berpadu putih dan hitam. Terlihat elegan dan nyaman.
Tak ada foto keluarga terpajang di lantai
bawah atau di ruang-ruang terbuka di lantai bawah. Suatu keuntungan untuk Altan
karna tak perlu panik saat melihat Meilani ada di rumahnya saat ini dan melihat
wajah Oscar dalam bingkai besar yang terpajang di rumahnya.
Aneh memang, tapi ruangan di lantai bawah taka
da pajangan berupa foto-foto keluarga; hanya lukisan dinding yang menghias
dimana-mana, diberbagai sudut dinding. Foto-foto keluarga hanya terpajang di
ruang keluarga di lantai atas dan di kamar orang tuanya.
Sekali lagi. Altan menghela nafas lega
menyadari itu.
Ketika sampai, Altan langsung duduk dengan
hati-hati di sebelah wanita setengah baya yang masih terlihat sangat cantik dan
anggun dengan blus berwarna peach dan rok hitam selutut.
Meilani bertanya-tanya, apa itu adalah Ibunya
Altan.
Meilani langsung mengambil tempat duduk di
sebrang Altan. Tika menyeringai disebelahnya.
“Masuk juga kan lo,” bisik Tika pada Meilani.
Meilani mengerucutkan bibirnya. Lalu mendengar
percakapan antara Mrs. Ketie dengan Ibunya Altan.
“Makanya nih, bu. Tadi pas dapet kabar dia
kecelakaan,” wanita setengah baya itu menepuk pelan punggung Altan. “saya
langsung shock. Langsung gak jadi berangkat ke kantor. Agak ngeri juga soalnya
dia pernah kecelakaan juga waktu kecil.”
Meilani dengan cepat melirik Altan. “Oh. Waktu
kecil kecelakaan? Kenapa?” tanya Mrs. Ketie penasaran.
“Iya. Waktu itu sih kecelakaan karna supir
bus sekolahnya dia ngantuk, bu. Terus bus sekolahnya ketabrakan gitu. Ih, ngeri
banget deh, bu, saya ngingetnya.” Altan menatap lembut ke arah Meilani. berharap
Meilani ingat akan kejadian itu. Tapi…tidak. Dia tidak ingat. Karna Meilani
masih serius dengan percakapan orangtuanya dan Mrs. Ketie.
“Altan itu gak sakit kan lukanya?” Mrs. Ketie
bertanya, memecahkan pikiran Altan yang berubah sedih mengingat Meilani tak
pernah mengingat kejadian waktu itu.
“Ah, gak lah, Mrs. Cuman nyeri senut-senut
gitu doang.” Altan menjawab dengan santai. Lalu tersenyum malu pada Meilani.
Meilani mengernyitkan dahinya. Berucap “sok”
dengan tak bersuara. Altan memahami dari gerak bibirnya. Dan balas menjawab “Bodo”
tanpa bersuara juga. Meilani melongo. Lalu mencoba untuk tak menghiraukan
Altan.
Tapi matanya bergerak gatal ingin melirik ke
arah Altan. Setiap ia melirik pada Altan, dengan mudah Altan akan menangkap
tatapannya dan menguncinya. Membuat Meilani bergerak-gerak gelisah di sofa.
Mereka berdua tak tahu bahwa seseorang tengah
memerhatikannya dengan jelas. Mengetatkan rahangnya saat melihat kedua orang
itu saling bertukar pandang. Hati orang itu seperti di lempar jutaan belati
yang baru diasah. Menusuk tepat di jantungnya. Tangannya mencengkram keliman
rok seragamnya, di samping tubuhnya. Matanya memanas. Berkali-kali mencoba
untuk tidak melihat, tapi hatinya menghianatinya.
Tika. Terduduk kaku di samping Meilani yang
sedang berpura-pura melotot kepada cowok yang –sampai saat ini—tak pernah ingin
dilupakannya. Dicintainya.
Sebuah kata ‘penghianatan’ terbesit
dibenaknya untuk Meilani.
To be continued……
0 comments:
Post a Comment