Friday, April 19, 2013

Fall For You (Chapter 24)




DUA PULUH EMPAT


Altan memutuskan kembali ke kelas. Menunggu giliran namanya dipanggil untuk melaksanakan praktik Bahasa Jepang bersama dengan teman-temannya yang lain. Masih lama mungkin untuk mencapai gilirannya.

Altan berkali-kali bolak-balik keluar-masuk kelas. Berputar-putar di dalam kelas. Singgah di kerumunan sini, di kerumunan sana. Mencemaskan sesuatu. Bukan mencemaskan praktiknya, tapi lebih mencemaskan Meilani yang juga belum kembali dari tempat dimana ia mengungkap segalanya.


Altan menahan nafasnya saat melihat Meilani memasuki kelas. Dengan wajah yang memerah dan mata yang sembab. Meilani menangis. Itu yang dia lihat tadi. Dan itu dikarenakan dirinya yang sudah mengungkap semuanya. Kebenarannya. Mengungkap sebuah fakta. Bahwa dia mencintainya. Bahwa dia bagian dari masa lalunya. Bahwa dia memiliki ikatan dari kesalahan orang lain yang menyebabkan gadis itu terluka.

Satu hal yang mungkin akan Altan syukuri. Bahwa ia dan Meilani tidak bertengkar hebat malam ini. Bahwa Meilani belum menyalahkan dirinya atas fakta yang sangat dibencinya. Bahwa –mungkin—masih ada sedikit peluang dari Meilani untuk memaafkannya.


♪♪ The best thing about tonight’s that we’re not fighting…

Could it be that we have been this way before… 

Meilani berjalan menuju tempat duduknya. Tanpa melihat ataubahkan melirik ke arah Altan yang sedari tadi berdiri mematung di depan pintu kelas.


♪♪ I know you don’t think that I’m trying

I know you’re wearing thin down to the core… 

Altan merasa kecewa karna ternyata dengan dia mengungkapkan kebenaran, Meilani tidak bisa menerimanya. Menyakitkan. Ah, sangat menyakitkan. Ini seperti membunuh jutaan immune yang ada di dalam tubuhnya.

Tapi,walaupun terasa seperti itu, Altan ingin memastikan bahwa Meilani baik-baik saja. Kemudian Altan membawa langkah kakinya menuju meja Meilani. Dimana Meilani sedang duduk termenung disana. Sendiri.


♪♪ But hold your breath—


Saat langkahnya berhenti tepat disebelah Meilani, Meilani sama sekali tak mendongak atau menghiraukannya. Detik itu juga, Altan meyakinkan dirinya kalau Meilani tak ingin lagi melihatnya. Menyapanya. Memaafkannya. Bahkan berhubungan dengannya.

Menyerah.Altan dengan sangat terpaksa menyerah. Ia takkan lagi memaksa Meilani untuk memaafkannya.


♪♪ Because tonight will be the night

That I will FALL FOR YOU


Segera, tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada Meilani, Altan meninggalkannya. Melangkah menuju tempat duduknya sendiri.


♪♪ Over again

Don’t make me change my mind

Or I won’t live to see another day

I swear it’s true

Because a girl like you is impossible to find…

You’re impossible to find…

Dibangkunya, Altan terus memandangi punggung Meilani. Masih tetap berharap peluang itu masih ada. Sorot matanya yang tajam dan gelap kini berubah menjadi sorot mata seorang pecundang. Kalah dalam perang. Tak punya harapan.

Altan mengepalkan tangannya yang ia sembunyikan di bawah meja. Sial. Apa dia harus benar-benar menyerah?


♪♪ This is not what I intended

I always swore to you I’d never fall apart

You always thought that I was stronger

I may have failed but I have loved you from the start… 

Oh, but hold your breathe

Because tonight will be the night

That I will fall for you

Over again

Don’t make me change my mind

Or I won’t live to see another day

I swear it’s true

Because a girl like you is impossible to find…

It’s impossible— 

“Al, nama lo udah dipanggil tuh. Giliran lo praktik.” Altan mengerjapkan matanya saat melihat Dion memasuki kelas dan memberitahukan kepadanya bahwa kini gilirannya untuk praktek.

Sedikit terhuyung, Altan berdiri lalu berjalan melewati meja Meilani.

Jika sudah masuk gilirannya untuk praktek, itu artinya Meilani juga akan melakukan gilirannya. Setelah dirinya.


♪♪ So breathe in so deep

Breathe me inI’m yours to keep…


Altan menghentikan langkahnya –sekali lagi—disamping Meilani. Memerhatikan Meilani yang sedang memainkan tempat pensilnya dengan gusar. Begitu gelisah.

Altan menghela nafasnya. Meilani tak akan mau bicara dengannya lagi.


♪♪ And hold onto your words

Cause talk is cheap


Memejamkan matanya singkat. Altan menguatkan dirinya sekali lagi. Lalu dengan langkah yang diseret, ia mulai meninggalkan Meilani. Berjalan keluar kelas, menuju ruangan yang telah ditentukan.


♪♪ And remember me tonight

When you’re asleep… 

Because tonight will be the night

That I will fall for you

Over again

Don’t make me change my mind

Or I won’t live to see another day

I swear it’s true

Because a girl like you is impossible to find… 

Tonight will be the night

That I will FALL FOR YOU

Over again

Don’t make me change my mind

Or I won’t live to see another day

I swear it’s true

Because a girl like you is impossible to find…

You’re impossible to find…

(Secondhand Serenade – Fall For You)


***___***___***___***


Setelah malam itu, baik Altan maupun Meilani tak ada yang memulai untuk menyapa atau melakukan percakapan duluan jika mereka bertemu atau berpapasan di lorong sekolah. Mereka hanya akan saling melirik dan bungkam seribu bahasa. Menyerah satu sama lain. Itu yang mereka lakukan saat ini. Saling menyiksa diri sendiri.

Seharusnya tidak akan semenyakitkan ini, jika saja mereka saling jujur satu sama lain. Bahwa mereka saling mencintai satu sama lainnya. Saling memaafkan. Seharusnya Meilani memaafkan kesalahan Oscar –mengakibatkan Altan ikut merasa bersalah—yang membuat dirinya kehilangan Zufar. Dan Altan memaafkan Meilani yang telah melupakannya –tanpa sengaja.

Dion, selaku sahabat Altan, juga sudah tak punya lagi kemampuan untuk mengembalikan keadaan seperti semula. Faktanya, ia tidak pernah tahu bahwa Altan akan nekat mengungkapkan ini semua kepada Meilani. Dion pikir Altan sudah gila saat ia menceritakan semuanya. Bahkan dia tidak pernah menyarankan kepada Altan untuk melakukan itu. Mengungkapnya. Terlalu gila, menurut Dion.

Saat itu juga, Dion mulai mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke udara. Menyerah. Ia tak tahu harus membantu apa lagi. Sama seperti Altan, mungkin ia akan menyerahkan takdir sahabatnya itu kepada Tuhan. Dia sudah cukup berusaha membantu sahabatnya. Dan mengetahui sahabatnya lebih memilih untuk menyerah, pasrah, Dion hanya bisa tersenyum sabar dan menepuk pundak Altan berkali-kali. Menguatkannya. Memberinya semangat.


***


Meilani melangkah gugup memasuki ruang ujian. Sekarang. Sudah saatnya ia menunjukan apa yang sudah dipelajarinya selama 3 tahun di sekolah, akan ditentukan dengan ujian yang hanya berlangsung selama 5 hari.

Meilani mengerang dalam hati. Sial. Dia mendapat tempat duduk paling depan. Tepat di depan pengawas. Ah, shit!

Meilani melirik ke sekeliling ruangan. Ia menangkap pandangan Altan yang juga tertuju padanya. Sayangnya, Altan duduk di deretan bangku kedua jauh di seberangnya. Meilani memalingkan muka. Menggigit bibirnya.

Kenapa? Kenapa setelah sekian lama ia tak menghiraukan Altan, perasaan aneh itu masih tetap bersemayam di lubuk hatinya.

Bodoh. Jelas saja perasaan itu masih ada. Toh, selama ini, hanya fisiknya saja yang tak menghiraukan cowok itu. Tapi hatinya? Seperti kotoran membandel pada pakaian. Tak bisa dibersihkan. Tak bisa menghilang. Masih dan akan tetap menempel disana. begitulah kira-kira perasaannya pada Altan.

Meilani harus memilih. Benar-benar akan memusnahkan perasaannya atau akan mempertahankannya. Dan membiarkan keganjilan di hatinya merusak dirinya.




Di hari terakhir ujian, Meilani melangkah gontai hendak keluar gerbang sekolah. Ia lega. Sangat lega, karna ujiannya sudah berakhir hari ini. Tadi, Dion mengajaknya untuk berkumpul di rumahnya bersama teman-temannya yang lain, untuk merayakan selesainya ujian mereka. Tapi Meilani menolak. Dia tahu, disana akan ada orang yang dijauhinya mati-matian, sampai saat ini. Meilani masih belum bisa membiarkan dirinya dekat kembali dengan orang itu. Walau jauh dalam dirinya, ia menyesali keputusannya.

“Aww!” Meilani mengaduh sambil terhuyung ke depan. Tiba-tiba dari belakang, Meilani ditabrak keras oleh seseorang. Meilani mendongak ke belakang. Yah, walaupun orang yang menabraknya tidak lebih besar dari dirinya, tapi tabrakan tubuhnya cukup membuat punggungnya nyeri dan sakit.

“Eh, sorry, sorry, Mel. Ya ampun, gue gak sengaja. Suer deh!” cicit Tika meminta maaf. Tika menghela napasnya yang tak beraturan akibat berlari dari lantai tiga, turun kebawah, hendak menuju parkiran. Dan karena ia berlari begitu cepat dan paniknya, sampai-sampai ia lupa untuk mengerem saat melihat tubuh seseorang –yang ternyata adalah Meilani—menghalangi jalannya. Sehingga tertabraklah mereka berdua!

“Iya, gak papa.” Meilani meringis sambil mengusap-usap punggungnya.

“Sumpah, lo gak apa-apa, kan, yak? Sorry banget gue lagi buru-buru soalnya tadi, Mel.”

Meilani mengernyit. Tumben banget Tika mau berbicara dengannya. Padahal, sejak acara ‘menjenguk Altan’ waktu itu, Tika menjadikan dirinya layaknya musuh yang harus dihindari. Tak pernah bertegur sapa ataubahkan tersenyum kepadanya. Tapi sekarang? Aneh.

Tika menunjuk Meilani dan gerbang secara bergantian. “Lo, gak ikut ke rumah Dion buat ngerayain selesainya ujian kita, Mel? Lo mau langsung pulang, kali?”

Meilani mengangguk bingung. “Gue… lagi males aja.”

Tika mengangkat bahunya. “Oh, yaudah. Kalo gitu gue duluan ya. Udah ditungguin sama Altan,” pamit Tika.

Jantung Meilani seakan berhenti saat itu juga. Apa…?

Secepat kilat,Tika melambaikan tangannya dan meninggalkan Meilani. Mata coklat Meilani terus mengikuti kemana tubuh mungil itu berlari. Menuju ke sebuah mobil yang –bahkan nomor platnya sudah dihafalnya di luar kepala—terparkir di sudut area.

Meilani menggertakan giginya saat Tika membuka pintu penumpang dan merangkak masuk ke dalamnya.

Oh, sial. Sekarang, ia bisa mendengar retakan dari hatinya yang patah. Krek. Krek. Krek. Terbelah menjadi dua bagian. Oh, tidak, bahkan tiga. Atau empat. Ah, mungkin lebih. Jatuh terhampar dan terhempas begitu saja di dalam tubuhnya.

Meilani berpaling saat mobil itu mulai berjalan meninggalkan parkiran. Tak berani menerawang ke dalam mobil, saat mobil itu melenggang melewatinya. Setelah berbelok di ujung jalan, Meilani merasa bibirnya sedikit bergetar. Meilani menggigit ujung bibirnya. Keras-keras. Hampir membuat daging lembut itu memerah. Bengkak. Dan mengeluarkan darah segar.

Terhuyung. Meilani berjalan keluar gerbang. Saat berpapasan dengan taksi pertama yang lewat di depannya, tanpa pikir panjang, apalagi dua kali, Meilani menghentikannya. Melambaikan tangannya agar taksi itu berhenti dan mengangkutnya.

Tolong, jangan tanya mengapa dia sangat pusing hari ini. Jangan tanyakan mengapa dunianya terbelah di sekitarnya. Jangan!


***


Berminggu-minggu lamanya Meilani terkukung dalam kegelisahan. Kekacauan. Baru pertama kalinya ia merasakan sakit hati hanya karna seorang cowok. Yang sangat tak terduga adalah cowok itu adalah Altan. Musuhnya sejak dulu. Sial. Dia temannya juga sewaktu mereka kanak-kanak dulu!

Dan…terjebak dalam romansa percintaan membingungkan seperti ini membuat pikirannya menjadi tak terkendali. Suka emosian gak jelas di rumah. Pergi sendiri tanpa arah dan tujuan –jangan ditanya lagi sampai mana ia akhirnya Meilani menuju.

Terkadang, Meilani harus banyak-banyak bersyukur karna ia harus melewati liburan usai ujian di rumah saja. Tidak ke sekolah. Karna, jika ia masih berkeliaran disekolah. Entah apa yang akan dirasakannya lagi. Yah, mungkin hatinya akan menjadi butiran-butiran debu melihat kemesraan dua sejoli yang –dulu—sangat dan selalu mesra itu.


Well, setelah melewati hari libur yang amat panjang dan menyedihkan, akhirnya lusa, Meilani akan mendengar kabar yang diharapkannya akan sangat membahagiakan dirinya serta Papa tercintanya.
Yayasan LHS sudah merencanakan dari jauh-jauh hari kalau pengumuman itu akan diumumkan di Pulau Dewata, Bali. Sekalian berlibur dan melaksanakan Promnight disana. Para siswa-siswi kelas tiga beserta dewan guru dan panitia penyelenggara promnight, akan terbang ke Pulau yang indah itu siang ini.

Panitia sudah mempersiapkan segalanya untuk acara prom besok malam. Mereka akan menginap di salah satu hotel termewah yang terletak di Ubud. Suasana disana jauh dari hiruk pikuk kota. Masih pedasaan. Sengaja panitia memilih untuk melangsungkan acara di tengah pedesaan, agar seluruh siswa LHS kelas 12 yang baru selesai menghadapi ujian bisa me-refresh kembali pikiran dan otak mereka yang penat beberapa bula terakhir.

Meilani menghembuskan nafas berat saat ia sudah melakukan packing untuk semua barang-barangnya dan keperluannya selama di Bali. Hanya satu koper kecil. Hanya beberapa T-shirt, tiga pasang celana jeans, jaket kesayangannya dan gaun putih yang sudah dipersiapkannya untuk acara Promnight disana.

Meilani sampai di bandara tepat pada waktu yang ditentukan. Setelah menunggu dan melakukan berbagai macam ketentuan, akhirnya ia dan para rombongan langsung menaiki pesawat yang sudah ditentukan. Satu pesawat isinya teman-temannya semua. Sepertinya yayasan telah menyewa maskapai tersebut untuk menerbangkan tiga rombongan—mengingat banyaknya siswa LHS dari Gedung A dan B— dari siswa LHS beserta guru dan yang lainnya.

Meilani mengangkat bahu tak peduli. Urusan amat dia memikirkan itu semua. Meilani dudukdi kursi pesawat sesuai dengan nomor yang tertera di tiket pesawat.

Saat pantatnya menyentuh kursi lembut di dalam pesawat itu, Meilani baru menyadari, ada seseorang yang belum dilihatnya daritadi sejak berkumpul. Apa…orang itu tidak ikut?

Meilani menggeleng-gelengkan kepalanya. Berusaha menghilangkan pikirannya yang ngawur entah kemana. Ngapain mikirin tuh orang lagi, sih!

Meilani memalingkan wajahnya ke luar jendela. Menutup telinganya dengan headset yang memutar lagu-lagu favoritenya. Beberapa jam kemudian, ia dan rombongannya sampai di Bandara Ngurah Rai. Setelah mengurus beberapa keperluan –lagi—semua rombongan dijemput oleh pihak agen pariwisata menuju Hotel Dayan Radiasta. Cukup terkenal di tengah-tengah pedesaan disana.

Nela, meminta Meilani dan Nurmala untuk duduk bersamanya selama perjalanan ke Hotel. Meilani mengangguk mengiyakan. Setelah menaruh kopernya di bagasi bus, Meilani memutuskan untuk naik ke dalam bus duluan. Meninggalkan Nela dan Nurmala yang masih sibuk mengatur koper mereka.

Meilani memilih tempat duduk di barisan tengah. Tidak banyak alasannya, sih. Hanya saja malas berada di depan atau di belakang. Di tengah lebih nyaman aja.

Saat Meilani duduk di pinggiran kursinya, ia melihat Altan masuk ke dalam bus dari arah depan. Meilani melebarkan matanya. Apa dia salah liat? Otaknya mulai diliputi berbagai macam pertanyaan yang urung ditanyakan.

Altan, bukankah dia phobia menaiki kendaraan(darat) yang tidak disupirinya sendiri? Bukankah dia Hodophobia?

Meilaniterus menatap Altan dari kursinya, sehingga tanpa disadarinya, Altan sudahberada di sampingnya. Menatapnya tajam. Dia ikut rombongan dalam bus ini?

Meilani terhenyak saat Nela berteriak dari ujung pintu. Lalu mengalihkan matanya dari Altan. Bertanya pada Nela, “Apa?” bingung.

“Gak apa-apa, deh. Bagus, Mel, lo nempatin tempat duduk disitu.” Setelah itu Nela meloncat keluar dari bus. Menghilang disana. Meilani mendengus jengkel. Kebiasaan! Ngomong yang gak penting.

Lalu Meilani teringat Altan. Menolehkan kepalanya ke belakang. Saat ia sedang berbicara dengan Tika tadi, Altan melangkah gontai meninggalkannya. Mencari tempat duduk. Ia memilih dua bangku di belakangnya, di seberang kursinya. Memilih tempat yang diperuntukan untuk dua orang.

Altan tidak banyak bicara sejak pertama kali menjejakkan kakinya ke dalam bus. Ia lebih memilih untuk mengatur semua yang sudah diupayakannya agar tetap pada tempatnya. Memilih kursi dipojokan.

Sedikit takut. Tapi ia sudah pernah melakukan ini sekali waktu itu. Walaupun harus merasakan ketakutan yang amat menyakitkan dirinya, tapi…setidaknya dia pernah. Demi Meilani waktu itu. Sekarang? Sekarang mungkin juga. Tapi…entahlah. Melakukan ini membuatnya merasa benar.

Altan mengabaikan semuanya sejak ia memilih untuk ikut rombongan bus. Termasuk Tika yang langsung melemparkan dirinya duduk di sampingnya. Altan memejamkan matanya. Mengepalkan tangannya. Melawan rasa takutnya.   

Sebuah tangan mungil menyelusup di sela-sela jarinya. Pelan, Altan membuka matanya. menoleh ke samping dan melihat senyum ceria Tika di sampingnya. Altan tersenyum miring, kemudian melanjutkan dirinya meyakinkan bahwa perjalanan ini akan baik-baik saja. Kumohon!



Saat perjalanan menuju Hotel sudah hampir tiba, Meilani menyempatkan dirinya melongok ke bangku belakang. Nela terlihat panik. Menarik lengan Meilani agar kembali duduk. Meilani yang tidak mengerti, mengernyitkan dahinya. Ada apa?

“Lama, ya, sampe ke hotelnya! Dimana, sih, hotelnya?” Nela mencoba memberikan pertanyaan untuk mengalihkan perhatian Meilani. Ia tahu, sekali saja Meilani melongokkan kepalanya ke kursi belakang, temannya itu akan uring-uringan sepanjang hari.

Meilani mengangkat bahunya. Mana dia tahu!

Meilani memiringkan badannya. Berdiri. Saat pandangannya menyapu deretan kursi belakang, seketika itu juga, detik itu juga, Meilani langsung menyimpulkan satu hal. Mereka sudah bersama kembali. Altan benar-benar menyerah padanya.

Ia tadi memutuskan untuk memeriksa apakah Altan baik-baik saja duduk dikursi belakang sana. Dan ternyata, apa yang ditemukannya membuatnya menyesal. Benar-benar menyesal.

Tika, menyeringai saat menangkap tatapan Meilani yang tertuju pada dirinya dan Altan. Well, walaupun Altan lebih memilih menyibukkan dirinya tenggelam di pojokan kursi dengan mengubur kepalanya dengan tirai biru yang menggantung kokoh menutup jendela.

Kebekuan Meilani tersentak saat Dion berteriak padanya.

“Meeeellll…bagi makanan dong?” nyengir. Gigi putihnya yang berderet rata membuatnya terlihat sangat sempurna.

Meilani mendelik. Lalu menghempaskan dirinya kembali ke kursinya. Dalam hitungan detik, Dion muncul di sampingnya. Berdiri tegap dengan seringai khasnya. Meilani menarik bungkusan chiki yang sedang dipegang Nela. Memberikannya pada Dion dengan emosi yang menggebu-gebu. Setelah itu kembali memasang headsetnya dan menyetel keras-keras lagu yang berputar di radio.

“…Ku akui, ku sangat sangat mengharapkanmu… tapi kini ku sadar, ku di antara kalian…aku…tak mengerti… ini semua harus terjadi…” Shit! Bahkan lagu yang diputar penyiar terkenal di radio pun turut sedih merasakan betapa sedihnya hati gadis itu saat ini.

Meilani memutuskan untuk mematikan siaran radio itu. Memilih untuk mendengar lagu-lagu favoritnya saja! Itu lebih baik!



To becontinued……

0 comments:

Post a Comment

Template by:

Free Blog Templates