Thursday, April 11, 2013

Fall For You (Chapter 22)




DUA PULUH DUA


Saat dirasa waktu untuk menjenguk Altan sudah cukup. Telah memastikan bahwa dirinya baik-baik saja, sehingga sekarang Mrs. Ketie dan teman-temannya yang lain berpamitan untuk pulang. Termasuk juga Meilani.

Sejak mereka keluar dari pintu rumah Altan, Tika menjauhi Meilani. Sangat nyata bahwa ia tidak ingin berada didekat Meilani saat ini. Dan Meilani cukup sadar diri kalau Tika pasti tidak ingin mengantarnya pulang ke rumah. Jadi Meilani putuskan ia akan pulangsendiri ke rumahnya.


Jarak antara rumahnya dan rumahAltan sangatlah jauh. Meilani mungin harus naik angkot sampai 3 atau 4 kali. Meilani mengernyit sekaligus meringis. Entahlah, Meilani bahkan tak tahu angkot mana yang harus dia tumpangi.

Tika dengan cepat masuk kedalam mobilnya –tanpa melihat ataupun menawarkan tumpangan pada Meilani—dan dalam beberapa menit, mobilnya sudah hilang dari halaman rumah Altan. Meilani menghembuskan nafasnya –pasrah.

Adakah yang salah?

Lalu Meilani mengangkat kedua bahunya pelan. Tak terlalu peduli. Saat kakinya baru melangkah, suara tajam bergema di belakangnya.

“Lo gak pulang bareng Tika,Mel?” Meilani memutar badannya dan menemukan Altan sedang berdiri lemah disana,hanya 2 meter darinya dengan menancapkan tatapan yang mampu membunuh berjuta-juta kupu-kupu yang berterbangan dalam perut Meilani saat ini. Suaranya yang sangat mengintimidasi membuat Meilani harus menelan ludahnya lalu berusahatersenyum kecil.

“Eh…itu… si Tika buru-buru, jadi dia gak sempet nganterin gue balik.” Meilani melihat ke belakang tubuh Altan. Disana ia melihat Tante Ayesha –Ibunya Altan— sedang berdiri mengamati percakapan mereka. Meilani mengangguk tersenyum pada Tante Ayesha yang membalas dengan tak kalah ramahnya. “Gue sih gampang, bisa naek angkot.”

Altan mengetatkan bibirnya.Benci pada pemikiran bahwa Meilani akan pulang sendiri dengan angkot. Padahal rumahnya sangat jauh sekali dari kediamannya. “Lo gila? Rumah lo dari sini jauh banget. Gue anterin lo kalo gitu!” kata Altan membuat keputusan.

Meilani terperangah dengan kekonyolan Altan. Yang benar saja, dia bahkan hanya untuk berjalan dengan kaki sendiri aja masih pincang-pincang, ini malah mau nganterin Meilani segala lagi. Yang gila dia atau Altan, heh?

“Lo sarap ya? Jalan aja masih pincang, sok-sokan mau nganterin gue lagi. Udah deh, masuk aja sana ke dalem. Istirahat. Sakit-sakit lenjeh banget.”

Mendengar ucapan Meilani, Altan melebarkan matanya. Merasa diremehkan oleh Meilani. “Lo tuh ya, udah gue baik-baikin malah nyolot lagi.”

Altan menyeret kakinya agar tak ada lagi jarak diantara dia dan Meilani. Sebelum jarak yang terhapus antara dirinya dan Meilani lebih tipis, Ayesha sudah berada di sebelah Altan. Merangkulnya.

“Altan, tadi inget kata Dokter gak?” tanya Mamanya sambil mengangkat sebelah alisnya. Altan berdecak. “Gak tau,udah lupa kayaknya,” jawab Altan datar. Meilani ingin menyingkirkan dirinya dari sana, tapi ia malah menemukan dirinya berdiri terpana menatap Ibu dan Anak di depannya.

“Mam, Altan nganterin temen Altan dulu ya? Sebentar doang kok. Ya?” Altan meminta izin kepada ibunya dengan wajah penuh pengharapan. Ia meringis saat sengatan kecil menjalar di telinganya. Meilani yang melihatnya mengedipkan matanya berkali-kali. Benar-benar terperangah.

“Bandel, hah? Abis kecelakaan udah mau ngayab? Gak bisa. Mau nyetir pake apa kamu, tangan sengklek kayak gitu?”

“Aww, aduuh… Mama, sakit, ih!”Altan mencoba mengelak dari rangkulan lengan Mamanya.

Sebelum Ibu dan anak itu benar-benar bertengkar, Meilani mulai menyadari kebekuannya. “Tante anaknya kayaknya dikurung aja deh. Ngaco gitu masa.”  Ayesha melirik Meilani.

“Iya, kamu bener.” Meilani menyeringai pada Altan yang melotot padanya.

“Ma, tapi…”

“Istirahat atau semua kartu kamu mama blokir, dan galeri kamu mama sita? Hmm?” ancam sang mama. Altan menggeram kesal. Kalau ancamannya hanya diblokir semua kartunya sih gak masalah, tapi kalau galerinya disita? Hell No. Galeri itu adalah bagian dalam hidupnya. Bahkan jika Meilani masih belum jadi miliknya, Altan lebih memilih galeri itu menjadi belahan jiwanya. Tujuan hidupnya.

“Kok bawa-bawa galeri si ancemannya? Gak bisa gitu dong, Ma!”

“Terserah…terserah…” kata Ayesha tenang. Ketenangan suaranya membuat Altan yakin kalau sang mama benar-benar serius. Ancamannya berhasil, rupanya.

“Mama tuh, ya—”

“Biar gua aja yang nganterin Meilani, bro.” Dion tiba-tiba muncul di belakang Meilani. berjalan mendekat sambil memainkan kunci mobil miliknya. Memutar-mutar gantungan yang tersangkut di kunci itu dengan santai.

Meilani memutar tubuhnya, lagi.Tersenyum dan bersyukur karna Dion masih ada disini. Menawarkan tumpangan kepadanya.

“Nah, tuh ada Dion. Dion aja yang nganter Meilani, Al,” ucap Ayesha pada Altan.

Altan merengut. Dengan enggan mengizinkan Meilani pulang bersama Dion. Habis mau bagaimana lagi? Kalau dipaksa pun dia tidak bisa menyetir untuk saat ini. Terpaksa, daripada Meilaninya pulang sendirian, mending Dion saja yang mengantarnya.

Meilani mengernyit. Merasakan sesuatu menggelitik perutnya. Aneh. Sikap Altan kepadanya terlalu…umm… apa ya? Terlalu berlebihan mungkin untuk seorang teman?

Meilani merasakan hatinya mengetat. Ini agak canggung sebenarnya saat Altan dengan tertatih-tatih berjalan mengikutinya menuju mobil Dion.

Astaga… Meilani ingin sekali menarik otot pipinya ke kiri dan kanan. Ingin tersenyum lebar.

Dion sudah berjalan didepannya. Membuka pintu penumpang di bagian belakang mobil. Samar-samar Meilani melihat Rizuka sudah duduk manis di samping kemudi. Sebelum masuk ke mobil, Meilani menyempatkan diri untuk mengucapkan salam perpisahan pada Altan.

“Eh, pulang dulu ya. Cepet sembuh lo.” kata Meilani sambil menepuk lengan Altan yang sudah di gips. Meilani menyeringai melihat Altan meringis akibat tepukan di lengannya.

“Iya, makasih, Mel, udah nyempetin jenguk,” ucap Altan menahan rasa nyeri di lengannya.

Meilani mengacungkan kedua jempolnya. “Sipp!”

Dion menunjuk Altan dan Meilani secara bergantian. “Lah, gak pake ciuman perpisahan, nih?” katanya sok-sok polos sambil mengatupkan jari-jarinya dan membenturkannnya dengan jarinya yang lain. Mengisyaratkan seperti orang yang sedang berciuman. Menggoda keduanya.Membuat Meilani tersipu malu dan langsung merangkak masuk ke dalam mobil.

“Dion gila,” gerutu Meilani saat menutup pintu penumpang. Masih sempat mendengar kekehan geli dari Dion yang berhasil menggoda dirinya dan Altan.

Rizuka menyapa Meilani yang sudah duduk di abngku belakang. Ramah sekali. “Hai, Mel.”

Meilani tersenyum lebar atas keramahan Rizuka padanya. “Hei, Cantik,” balas Meilani.

“Nebeng boleh ya?” kata Meilani bertanya.

Rizuka mengernyit. “Apa itu…umm, nengbeng?”

“No, bukan nengbeng. Tapi ne-beng.”Meilani mengklarifikasi ucapan Rizuka yang salah menyebutkan kata nebeng dengan nengbeng. It’s sounds too weird. Ha ha.

“Yeah, itu maksud aku. Apaitu?” tanya Rizuka lagi.

“Nebeng itu…umm, numpang. Taukan? Bergabung. Just like join with youand Dion to go home.”

“Oooh.” Rizuka mengangguk mengerti. Meilani mengacungkan jempolnya. Kemudian mengalihkan matanya dari Rizuka.

Dari kaca jendela BMW hitam milik Dion, Meilani dapat melihat keadaan di luar sana. Melihat Dion yang dengan sengaja menggeplak lengan Altan. Tertawa. Lalu berlari memutari mobil dan dengan sekejap ia sudah berada di dalam mobil bersama dengan Rizuka dan Meilani.

Dion tersenyum sayang pada Rizuka yang duduk di sampingnya. “Hei sayang.”

“Hei,” jawab Rizuka dengan manisnya. Meilani berdeham tiga kali. Membuat Dion menggelengkan kepalanya dengan jengkel.

“Beb, kita anterin si Meilani dulu, ya. Gapapa, kan?” tanya Dion meminta persetujuan pada pacarnya.

Rizuka menoleh ke belakang.Tersenyum lebar. “Ya. Pasti. Meilani boleh, umm… Apa tadi kata kamu, Mel?Nebeng, ya?”

Meilani terkekeh sambil mengangguk mengiyakan. Lain dengan Dion yang mengangkat alisnya. Merasa tak begitu suka.

“Heh, Mel, lo ngajarin cewek gue apaan?”

“Apaan sih? Orang cuman kasih tau kata ‘nebeng’ doang jugaan!”

Dion meringis. “Ish, jangan ngajarin kata yang aneh-aneh deh sama dia. Nanti dia jadi gaul. Gak jadi lucu lagi ntar. Trus gue gak bisa ngebully dia lagi,” omel Dion.

Meilani tertawa terbahak-bahak.“Eh, geblek. Parah lo, pacar sendiri dilarang gaul. Dasar sarap.” Meilani melirik ke arah Rizuka yang melihat dengan penuh rasa ingin tahu.

“Sebenernya cewek lo ngerti kagak sih bahasa kita?” tanya Meilani pelan. Seperti berbisik tapi bisa dibilang tidak berbisik. Karena Rizuka masih mendengar suaranya.

Dion menggeplak tangan Meilani yang tersampir di sandaran joknya. “Ya, ngertilah. Cuman dia bingung nanggepinnya kayak gimana,” ucap Dion sambil tertawa dan mengerling ganjen pada Rizuka.

“Aku mengerti kok, Meilani,” kata Rizuka ikut terkekeh. Meilani hanya ber-Oh ria, lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran joknya. Melihat ke samping saat kaca jendela yang sedang diketuk-ketukoleh Altan. Meilani baru sadar kalau mobil Dion belum juga enyah dari halaman rumah Altan. Dan disanalah orang itu. Masih berdiri menunggunya –mungkin mobil Dion, bukan dirinya—untuk berjalan pergi.

Meilani bergeser. Mendekat ke jendela. Sebelum Meilani menekan tombol otomatis berwarna putih di pintu, ternyata jendela itu sudah bergeser ke bawah. Sedikit. Hanya menampakkan kedua mata hitam mengkilat milik Altan. Dan Dionlah yang menekan tombol putih otomatis di pintu kemudinya untuk membuka jendela belakang.

“Kampret, Yon. Turunin lagilah!” pinta Altan yang tahu bahwa Dionlah yang membuka kaca jendela untuknya. Hanya sedikit, jadi dia perlu membungkuk supaya bisa melihat ke dalam mobil.

“Mau ngapain lagi sih lo. bukannya masuk rumah, istirahat sana,” teriak Dion. Altan menggeplak kaca jendela hitam itu. “Sialan. Lo aja belom jalan-jalan juga. Ngapain sih?”tanyanya kepo.

Altan melirik pada Meilani.“Mel, turunin lagi kek kacanya.”

“Ogah,” ucap Meilani sambil menjulurkan lidahnya. Altan melebarkan matanya. dan memelototi Meilani untuk waktu yang cukup lama. Segera, Dion menghidupkan mesin mobilnya.

“Eh, buka dulu gak!”

Dion mendengus. “Pacar lo mau ngapain si, Mel?”

Meilani dengan cepat melemparkan tatapan tajam pada Dion. “Pacar dari Hongkong!” sangkalnya. Walaupun menyangkal, Meilani masih tidak bisa menyembunyikan semburat merah yang langsung menyebar di seluruh wajahnya.

Altan menahan gelak tawanya melihat Meilani yang tersipu malu. Membuat bibirnya bergetar. “Udah, jalan gih! Ngapain masih disini.”

Dion menggoda. “Kiss bye dulu dong, Al.” Meilani melotot ke arah Dion.

“Wetss… belom saatnya, broo.”Altan menatap lembut pada Meilani.

Meilani mencengkram tali pada tasnya. Tak mau lagi menatap Altan, Meilani mengalihkan pandangannya lurus ke depan. Malu melihat Altan yang masih terus menatapnya dari celah kecil kaca jendela. Tanpa melihatnya pun, Meilani tahu bahwa mata hitam itu berkilau menggodanya.

Jika dalam waktu satu menit mobil Dion belum juga berjalan menjauh, Meilani yakin mungkin kali ini dirinya akan berakhir menjadi abu. Terbakar oleh tatapan mata hitam itu.

Panas. Seluruh badannya terasa panas. Benar, dia pasti akan terbakar. Sekarang. Saat ini. God.

Meilani menyeka keringat yang membasahi kulit di atas bibirnya. Tak tahan. Dengan gugupnya melirik sekilas kesamping. Dari celah itu, Meilani bisa melihat bahwa tebakannya benar. Mata itu tersenyum menggodanya. “Yon, cabut, Yon!” katanya sedikit tercekat.

Sialsialsialsial. Ia hampir menggigil.

“Mel,” panggil Altan yang masih mencondongkan tubuhnya di samping jendela. Tak berani melirik lagi, Meilani bersyukur ia berhasil menggumam.

“Sombong banget gak mau nengok,” sindir Altan dengan suara yang menggoda.

Dion tertawa terbahak-bahak melihat tingkah Meilani yang salah tingkah. Sengaja ia mematikan mesin mobilnya. Dan menekan tombol otomatis di sampingnya. Membuka kaca jendela Meilani lebih lebar. Memberikan akses pada Altan agar lebih leluasa menggoda Meilani. Membuat Meilani memerah.

Meilani mengerang saat kaca jendela di sampingnya terbuka lebih lebar. Sehingga Altan bisa melongokkan kepalanya masuk ke dalam mobil. Menggigit bibir, Meilani memalingkan mukanya ke samping satunya lagi sambil bergeser menjauh.

“Dion jalan gak? Gue getok nih!” ancam Meilani.

Dion masih terus meledek Meilani. “Cieee.. blushing gitu.”

Gagal dengan ancamannya pada Dion, Meilani meminta Rizuka untuk membujuk Dion menghidupkan mesin mobilnya dan menjalankannya.

Bukannya menyuruh pacarnya untuk menghidupkan mesin mobilnya, Rizuka malah menawarkan Altan untuk ikut mengantar Meilani pulang. Meilani melongo tak percaya.

Se-lugu itukah Rizuka?

Frustasi. Meilani menghembuskan nafasnya dengan frustasi.

“Gak deh, kalian aja.” Kata Altan sambil menatap Meilani, dan Rizuka bergantian. Lalu melirik Dion yang masih menyeringai. “Jalan gih sana, Yon.”

Mendengarnya, Meilani menghembuskan nafas lega kali ini. Whoa.

Altan mengeluarkan kepalanya dari celah jendela. Menegakkan tubunya. Sehingga Dion bisa menutup kembali kaca jendela itu dan mengantar Meilani pulang.

“Lucu sekali,” ujar Rizuka yang berusaha menggoda Meilani yang sudah hampir terbakar lalu berubah menjadi abu.

Meilani memutar matanya. Sebal. Ia ingin menyangkal, tapi sialnya, suaranya tidak terdengar baik untuk saatini. Masih sedikit tercekat karna gugup.

Setelah memacu mobilnya keluar dari area rumah Altan, Dion mulai menggoda Meilani. Membuat wajah Meilani merah permanen. Di sepanjang perjalanan menuju rumahnya.

Tiba-tiba Rizuka bertanya dengan herannya. “Kalau Altan masih kangen sama kamu, Mel, kenapa dia tidak ikut saja dengan kita mengantar kamu?” Rizuka menatap Dion dan melirik Meilani yang duduk di belakang.

“Kangen…kangen…” gerutu Meilani sambil memonyongkan bibirnya. “Jangan dengerin Dion, Riz, dia mah sotoy.” Rizuka mengernyit. Apalagi itu arti ‘sotoy’ ?

“Apa itu ‘sotoy’ ?” Rizuka bertanya. Menuntut jawaban dengan menatap Dion.

“Sotoy itu…” baru saja Meilani ingin menjelaskan, Dion sudah memotongnya dengan cepat.

“Bukan bahasa yang penting,kok, beb. Itu bahasa kamseupay. Kamu gak usah tau.”

“Kamseupay?” Dion menepuk jidatnya saat Rizuka semakin ingin tahu segala bahasa yang tidak ia tahu. Gara-gara Meilani, dia jadi menggunakan bahasa pergaulannya sehari-hari di sekolah. Biasanya, Dion akan berupaya menjaga tutur bahasanya di depan Rizuka, agar cewek itu tidak terlalu menjengkelkan jika mereka sedang bertengkar.

Seperti yang kalian tahu. Bahasa pergaulan di Jakarta itu tidak bagus untuk tumbuh kembang Rizuka, eh, bukan..bukan… maksudnya sangat tidak bagus didengar. Dion lebih suka Rizuka memarahi atau merutuk dengan menggunakan bahasa Inggris atau bahasa Jepang. Bahasa pergaulan di Jakarta itu… terlalu kasar. Dion tidak akan pernah tahan jika ada seorang wanita –apalagi menyandang status sebagai pacarnya—memakinya dengan kata-kata yang kelewat kasar. Jika Rizuka melakukannya, Dion pasti sudah tidak tahan dan kuat menghadapinya.

“Dion?” panggil Rizuka. Meilani terkekeh melihat mereka berdua. Pantas saja Dion betah berlama-lama pacaran dengan Rizuka. Toh, ternyata Rizuka itu masih sangat polos. Terlalu polos untuk bergaul di kota Jakarta seperti ini. Karna minimnya bahasa gaul yang dia kuasai, itu membuktikan kalau Rizuka pasti jarang bermain atau nongkrong-nongkrong di luar. Sehingga tak ada kesempatan bagi Rizuka untuk melirik cowok lain yang lebih ‘beneran dikit’ daripada Dion, pikir Meilani. Mungkin hidupnya di Jakarta hanya dihabiskan untuk belajar dan mungkin quality time dengan Dion dan keluarganya.

Dion mengerang. “Gara-gara elo nih, Mel. Cewek gue jadi pengen gaul, kan. Jadi kepo.” Tuduhnya pada Meilani.

“Yahahaaa… bodo.”

Dion yang sedang menyetir hanya menyempatkan diri untuk melirik Meilani lewat kaca spion di dalam mobil. Lalu melirik Rizuka yang masih menatapnya.

“Sotoy itu sok tahu. Kamseupay itu kampungan. Udah kan?” jelas Dion dengan cepat.

Rizuka menggeleng. “Apa lagi?”tanya Dion meringis.

“Kepo. Apa itu juga?”

Dion membenturkan kepalanya pada sandaran kepala di kursi kemudinya. “Awas lo, Mel,” gumam Dion.

“Kepo itu pengen tauuuuuu banget banget banget, gitu deh!” kata Meilani dengan cepat dan riang. Senang karna berhasil membalas Dion.

“Ooh. Ya! Aku baru tahu. Sayang, kamu memang sotoy dan selalu kepo,” ucap Rizuka dengan cemberut pada Dion. Seingat Rizuka, Dion memang selalu ingin tahu apa yang sedang dilakukannya dan selalu bersikap sok tahu jika mereka sedang berdebat.

“Meilaniiiiii…” geram Dion. Meilani tertawa terbahak-bahak. Menepuk-nepuk jok kursi mobil yang terbungkus kulit berwarna abu-abu.

“Rizuka kalo mau gaul sama gue aja, yuk?!” ajak Meilani masih sambil tertawa.

Rizuka menolehkan kepalanya ke kursi belakang. Mengangguk dan tersenyum. “Terus aja, Mel… terusss!” sindir Dion geram.

Meilani berhenti tertawa saat melirik Dion dari kaca spion dan melihat Dion mengatupkan rahangnya. Ngambek. Tak mau bicara.

“Yah, dia ngambek,” keluh Meilani. “Gak asik lo, Yon.”

“Bodo,” jawab Dion dengan enggan.

“Biarkan saja, Mel. Nanti juga dia tidak marah lagi,” ujar Rizuka sambil mengerling meyakinkan Meilani.

Ada jeda yang cukup lama setelah Rizuka meyakinkan Meilani. Teringat akan pertanyaannya yang belum terjawab, Rizuka mengajukan pertanyaan itu lagi. Tetapi kali ini lebih terdengar seperti pertanyaan heran. “Oh, ya. Kenapa Altan tidak ikut kita saja tadi? Bukannya dia tadi ingin sekali mengantar kamu ya, Mel?”

Meilani mengernyit. “Mau nganter apaan? Orangnya lagi sengklek gitu juga.”

Dion menyeringai. Lupa akan kekesalannya pada Meilani dan Rizuka. “Altan mana berani. Dia itu kan Hodophobia,” ujar Dion memberitahu. Meilani dan Rizuka sama-sama mengernyit. Heran. Tak mengerti apa itu Hodophobia.

“Hodophobia itu takut dengan apa?” tanya Rizuka.

“Takut kalau dia disupirin orang lain. Orang yang mengidap Hodophobia itu lebih suka kalau dia nyetir sendiri. Yaaah, semacam lebih ngerasa aman kalau dia gak disupirin orang lain dalam perjalanan di darat,” jelas Dion.

Meilani terdiam membeku. Dia baru tahu kalau Altan punya phobia. Pantas waktu itu dia ketakutan saat menaiki bus bersamanya menuju Hotel Ritz. Jadi karna Altan mengidap Hodophobia, toh.

“Oooh. Kasihan sekali dia. Padahal tadi aku lihat dia ingin sekali mengantar kamu, Mel. Sayang kondisinya tidak memungkinkan.” Rizuka menengok ke belakang. Menatap Meilani dengan tatapan sabar-ya-Meilani-ini-adalah-cobaan-dari-Tuhan.

“Kok bisa, Yon? Sejak kapan?” tanya Meilani.

Dion melirik Meilani dari spion. Diam-diam menghela nafas. “Bisa lah. Sejak dia bisa nyetir sendiri. Yaa, sebenernya rasa takutnya muncul sejak dia abis kecelakaan, tapi karna dulu dia gak bisa nyetir karna masih kecil juga, jadi dia cuman mau dan percaya kalau dia disetirin sama nyokapnya.”

Meilani menyerap kata-kata dari Dion. Jadi seperti itu. Waktu kecil Altan pernah kecelakaan juga. Sama seperti apa yang dikatakan Ayesha, ibunya. Dan Meilani waktu kecil juga pernah mengalami kecelakaan. Bedanya, dia mengalami amnesia, sedangkan Altan mengidap Hodophobia.

“Nah, ajaibnya, Altan bisa ngendarain mobil tanpa ada yang ngajarin dia. Dia bisa sendiri. Belajar otodidak sih, kayaknya. Kata dia sih, ya, dia selalu ngeliatin cara nyokapnya nyetir. Dari situ dia tau dan belajar gimana caranya nyetir,” ungkap Dion.

“Pasti karena perasaan takut akan disupiri oleh orang lain, maka dari itu Altan diam-diam mempelajarinya dari cara Tante Ayesha mengemudi, iya kan?” tanya Rizuka berpendapat.

Dion mengangguk. “Bener, beb. Kata dr. Gilbert juga seperti itu.” Meilani menggigit ujung bibirnya. Kasihan Altan dari kecil sudah dihinggapi phobia aneh seperti itu.

“Well, Altan juga baru tau kalo dia mengidap Hodophobia setahun yang lalu, kok. Sejak gue saranin pergi ke psikolog dan psikiater, mereka bilang kalau Altan mengidap phobia aneh kayak gitu. Altan sendiri gak nyangka ternyata dia punya phobia.”

Dion melongok ke belakang. Mengecek keadaan Meilani yang sedaritadi tak mengeluarkan suara. Duduk membatu.

“Lo pernah ditarik paksa, kan,Mel, sama dia keluar dari bus?” tanya Dion memecahkan lamunan Meilani.

Meilani tersadar. “Hah? Ugh, iya.”

Sorry, ya, kalo dia nyakitin lo waktu itu. Dia gak niat kayak gitu kok, Mel. Gue jamin. Dia cuman lagi kebawa perasaan takut sama emosi aja waktu itu.”

Meilani tertegun. Astaga. Waktu itu dia mana tahu kalau Altan mengidap phobia aneh macam itu? Meilani merasa bersalah sudah keras kepala waktu itu.

“Gue gak tau kalo dia punya phobia itu,” Meilani berkata pelan. “ya ampun, gue jahat banget ya, waktu itu.”

“Waktu kejadian itu juga dia belom tau kalo dia punya phobia. Kan udah gue bilang, dia baru tau setahun terakhir ini.”

Rizuka melirik Meilani. ingin menghibur Meilani agar tidak terlalu merasa bersalah. Tapi dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Pasalnya, Rizuka tidak tahu kejadian apa pada waktu itu.

Pikiran Meilani melayang-layang. Memikirkan apakah ia harus meminta maaf untuk kejadian waktu itu? Meilani tahu pasti kalau orang phobia itu resikonya sangat berat. Bahkan bisa sampai mati jika ketakutan itu sudah tak sanggup diatasinya.

“Kalo gitu dia besok sekolah gak, Yon?” tanya Meilani.

Dion mengedikkan bahunya. “Gak tau. Kalo dia masih sengklek kayak gitu, yaa, otomatis dia gak bakal masuk sekolah sampe dia sembuh banget. Mana mau dia kalo berangkat bareng gue.”

Mengetahui kalau Altan tidak masuk sekolah untuk waktu yang cukup lama membuat perasaan gelisah menghampirinya. Meilani menghembuskan nafas pasrah. Mau bagaimana lagi.



***___***___***___***



Setelah seminggu lebih tidak masuk sekolah, kali ini Altan memaksa dirinya untuk masuk ke sekolah kembali. Badannya sudah sangat sehat. Tak lagi lemas seperti seminggu yang lalu. Memar-memarnya kini sudah menghilang. Hanya meninggalkan bekas luka yang sudah mulai mengering.

Sekarang sudah memasuki periode ujian praktek. Jadi Altan tak akan melewatkannya.


Meilani, Nela dan Nurmala memutuskan kembali ke kelas setelah giliran praktek pidato Bahasa Inggris mereka sudah selesai. Sebenarnya, mereka tidak diperbolehkan meninggalkan ruang auditorium, tetapi karna Nurmala meminta Meilani dan Nela menemaninya kembali ke kelas untuk mengambil ‘roti jepang’ miliknya yang berada di tas, akhirnya mereka bisa lolos dan meninggalkan ruang auditorium yang penuh sesak dengan murid kelas 12.

Saat sampai di pintu kelas, mereka bertiga berhenti mendadak. Terpaku. Kelas yang seharusnya sedang kosong tersebut malah menampakkan sosok Altan yang sedang merangkul Indira di pojok belakang kelas. Seperti sedang menenangkan Indira yang sedang menangis.

Meilani, Nela dan Nurmala saling bertatapan.

Nurmala meringis duluan. “Duuh, gimana nih. Gak berani masuk gue. Mana udah banjir banget lagi.”

Nela mengatupkan rahangnya. Agak marah melihat adegan itu. “Gue gak mau masuk,” tolak Nela dingin.

Nurmala manatap Meilani dengan perminataan tolong. “Please, Mel.”

Tidak ada yang tau kalau Meilani lebih mati rasa melihat Altan di pojok belakang sedang memeluk cewek lain. Hatinya mengetat. Nafasnya tercekat.

“Jangan gue,” bisik Meilani pelan.

“Yah, terus? Masa mau balik ke kantin? Jauh banget di lantai bawah.” Nurmala meringis bingung.

Nela yang kesal melihat tingkah Altan, berjalan menjauh dari pintu. Bergerak menuju pagar balkon paling ujungdi depan kelasnya. Marah pada Altan. Ia merasa dikhianati oleh Altan. Apa-apaan? Altan bilang kalau dia benar-benar suka sama Meilani, dan karna Nela percaya, dia siap membantu Altan untuk mendapatkan Meilani. tapi lihat sekarang? Altan diam-diam malah sedang berpelukan pada Indira. Indira pacarnya Fadlan, bukan?

Nurmala menatap pada Meilani yang masih membeku di pintu kelas. “Mel…”

Meilani memperhatikan Altan mengurai pelukannya pada Indira. Kemudia tangannya bergerak menghapus air mata di wajah Indira. Sekarang, seperti ada ribuan lebah menyengat hatinya.

Nafas Meilani kini mulai memburu. Kemudian, tepat saat Meilani ingin mengalihkan tatapannya dari pemandangan itu, saat itu juga Altan menangkap tatapan Meilani. menguncinyadari jarak yang cukup jauh.

Meilani kini tak mampu memindahkan bola matanya dari kuncian bola mata hitam milik Altan.

“Mau ngapain lo?” tanya Altan memecah kebisuan diantara mereka. Berteriak dari jarak jauh. Meilani tak melihat sedikitpun rasa takut dalam diri Altan karna sudah kepergok sedang berpelukan olehnya.

Karna sudah kepalang tanggung. Akhirnya Meilani memutuskan untuk mengambil pembalut di dalam tas Nurmala.

Berjalan masuk ke dalam kelas dengan wajah yang diupayakan setenang mungkin, Meilani tak sedetik pun membiarkan tatapannya jatuh ke arah Altan. Dipasangnya wajah yang benar-benar datar. Seolahtak peduli.  Meilani terus berjalan sampai di tempat dimana tas milik Nurmala berada.

Altan terus mengawasi pergerakan Meilani. sial, sepertinya sesuatu telah membuat Meilani kesal.

“Mel, lo ngapain meriksa tasnyaNurmala?” tanya Altan. Kali ini suaranya pelan. Mencoba untuk mengenyahkan pikiran buruknya.

Meilani tetap tak merespon. Bahkan melirik ke arahnya pun dia tidak melakukannya.

Altan merasakan kecemasan melanda dirinya. Kenapa Meilani bertingkah seakan-akan dia tak pernah mengenal dirinya? Sial! Meilani pasti salah paham.

“Mel, buruan!” Nela berteriak tak sabar dari depan pintu. Altan mengamati kalau Nela juga bertingkah seperti Meilani. Mengabaikan keberadaannya.

Altan berdiri dari tempat duduknya. Bergerak cepat ke arah Meilani yang mulai berjalan menjauh.

Demi Tuhan, mereka semua salah paham!

“Mel, lo kenapa sih?” Altan berhasil menarik salah satu siku Meilani. Meilani menyentak. Melotot pada Altan lalu mengalihkannya ke arah Indira –yang kini sedang menangkupkan wajahnya dan menyembunyikannya di atas meja.

Dengan sedatar dan setenang yang Meilani bisa, Meilani berucap, “Kalo lo cowok sejati, lo gak akan ngebiarin cewek nangis sampe kayak gitu.”

Altan terperangah. Melongo tak percaya. Kakinya seakan telah dipaku di lantai kelasnya melihat Meilani berjalan tergesa-gesa meninggalkannya. Keluar dari kelas.

Altan mengerang. Kesal.

Sial, apakah dia sudah mengacaukan semuanya?

Mengacaukannya lagi?

For God’s Shake! Dia tidak membuat Indira menangis seperti itu!


To be continued……..

0 comments:

Post a Comment

Template by:

Free Blog Templates