DUA PULUH
Meilani ragu-ragu membuka pintu penumpang
mobil Altan dan memasukinya. Untuk beberapa saat, Meilani terdiam di samping
pintu itu sampai kemudian Altan yang tadinya sudah berada di dalam mobil keluar
untuk menyadarkan Meilani dari lamunannya.
Altan berdiri di depan kap mobilnya dengan
lengan yang terlipat di depan dadanya. “Heh! Malah bengong. Masuk cepet.”
Dalam sekali hentakan Meilani membuka pintu
penumpang dan merangkak masuk ke dalamnya. Dan segera menutup pintu di
sampingnya.
Altan yang memperhatikan Meilani berdecak sekaligus
merasa geli. Dia tahu pasti Meilani merasa takut dan khawatir ada orang yang
melihat mereka pulang berdua. Tapi bukankah sekolah sudah sangat sepi? Buat apa
takut aka nada yang melihat?
Ckck, dasar.
Saat dalam perjalanan, Meilani berkali-kali
melirik Altan yang sedang melamun sambil mengemudikan mobil. Perasaan cemas dan
khawatir kembali merasukinya. Dia benci ketika seseorang melamun sambil
mengemudikan mobil. Kenyataan bahwa pernah ada orang yang melakukan hal itu
saat mengemudi dan malah berujung tragis. Seperti ibunya.
Dulu saat dirinya masih kecil, ibunya pergi
berangkat kerja dengan mengendarai mobilnya sendiri dan melamun sepanjang
menuju kantornya. Tak diduga hal tersebut malah membuat ibunya mengalami
kecelakaan tunggal karna tidak fokus saat sedang berkendara.
Faktanya, sang papa memberitahunya bahwa dia
juga pernah mengalami kecelakaan mobil. Yang menyebabkan dirinya mengalami
amnesia sampai saat ini —Meilani tak terlalu ambil pusing dengan amnesianya.
Karna menurut papanya, dia mengalami amnesia saat waktu kecil. Dan menurutnya,
masa kecilnya tidaklah mempunyai kesan dan kenangan apa-apa untuk diingat
kembali. Jadi, Meilani menyimpan rahasia itu untuk keluarga kecil miliknya dan
dirinya sendiri.
Dan karena itulah dirinya tak pernah
diizinkan untuk mengendarai mobil seorang diri oleh sang papa. Walaupun sang
papa mampu membelikannya mobil-mobil baru di setiap hari ulangtahunnya, papanya
akan tetap tidak akan melakukannya. Meilani tahu bahwa papanya hampir mengalami
trauma yang cukup parah karna kehilangan wanita yang sangat dicintanya dan
hampir kehilangan gadis kecilnya karna kecelakaan mobil juga.
Altan yang menyadari Meilani menatapnya
sambil termenung kemudian berdehem. “Mikirin apaan lo sambil ngeliatin gue?”
Meilani tersentak dari lamunannya. Duh,
kenapa dia jadi ikut-ikutan melamun?
Meilani membersihkan tenggorokannya. “Apa?”
tanyanya sambil mengernyit. Pertanyaan yang diajukan padanya beberapa detik
yang lalu belum sempat diserap ke dalam otaknya.
Altan tersenyum miring sambil tetap menatap
lurus ke depan. “Lo ngelamun sambil ngeliatin gue. Lo mikir yang enggak-enggak,
ya?”
“Hah?!” Meilani meringis. “Dih, najong. Siapa
juga yang ngeliatin lo sambil ngelamun. Apalagi mikir yang enggak-enggak. Ish,
gak banget lah ya.”
Altan terkekeh. “Mikirin juga gak papa.”
Perkataannya membuat Meilani melongo lebar. Lalu digantikan dengan dengusan.
“Ssuuuuutttt!! Diem. Bawel. Udah deh liat
jalan aja. Gak usah pake berisik segala.”
“Ya, ya, ya,” jawab Altan malas sambil
melirik Meilani yang kini menyilangkan tangannya di depan dada dan menekan
garis bibirnya rapat-rapat. Menolak berbicara lebih banyak padanya.
Tak lama kemudian, handphone milik Altan
berdering memecahkan keheningan. Satu
tangannya merogoh kantong celananya dan mengambil benda yang masih berdering
itu. Melihat sekilas pada caller ID sang penelepon, Altan lalu memutuskan untuk
mengangkatnya.
“Halo, Wo… kenapa?” tanya Altan pada orang di
line telpon saat handphone sudah bertengger di salah satu telinganya.
“Lo dateng ke sini sekarang bisa gak, bro?”
tanya orang itu yang ternyata adalah Dewo. Dewo adalah ketua dari perkumpulan
seni mural yang diikuti oleh Altan sejak dirinya masuk sekolah menengah. Dan
sekarang mereka sedang mendapatkan project untuk menggambar mural di salah satu
taman komplek perumahan yang meminta mereka untuk menyampaikan pesan moral
melalui gambar-gambar dan tulisan-tulisan di sepanjang tembok di sekitar taman
itu.
“Gua lagi sama orang nih, bang… kenapa
emangnya?” Altan melirik Meilani yang sedang menatapnya sambil menaikkan
sebelah alisnya.
“Yaelah, ajak aja dulu ke sini. Gua lagi
butuh lo nih. Mural lo belom selesai, sebelum jam enam sore ini udah deadline.
Inget?”
Altan merutuk sambil memukul stir mobilnya.
“Njir, lupa gua, Wo. Lo yang selesain aja napa,” pinta Altan tak enak hati.
Sekarang ia sedang mengantar Meilani pulang ke rumah, dan dia sedikit tidak
percaya diri jika mengajak dan membiarkan Meilani melihatnya menggambar di
sepanjang tembok.
“Kalo gua gak ngegambar juga sih oke-oke aja
gua ngerjain punya lo. Tapi sorry banget bro, kerjaan gua malah masih lebih
banyak. Udahlah, kesini aja cepet! Anak-anak yang laen juga udah pada disini.
Oke, bro? gua tunggu sekarang…”
“Bang —tutt
tuutt tuuuttt…” belum sempat Altan berargumen lagi, panggilan telepon dari
Dewo sudah berakhir secara sepihak. Altan melempar handphonenya ke atas dashbor
mobil. Dia menimang-nimang, perjalanan ke rumah Meilani baru seperempat jalan
sedangkan dia harus menyelesaikan tugasnya.
“Siapa Al?” tanya Meilani tak mampu menahan
rasa penasarannya.
Altan menghela napas. “Temen gue, Dewo. Umm,
Mel, ikut gua dulu sebentar mau gak?”
“Kemana? Ngapain?”
Altan melirik Meilani dari sudut matanya.
“Gue lupa kalo ada deadline ngemural. Si Dewo nyuruh gua selesain sore ini. Gak
papa kan lo ikut gue dulu?”
Mural? Altan bisa membuat mural? Serius? Dia
bisa menggambar dan melukis?
Meilani mengangkat bahunya. “Terserah lo
deh.” Hmmm… sebenernya penasaran juga gimana gambar mural yang dibuat Altan.
Setelah mendapat persetujuan, Altan mencari
jalan untuk memutar arah mobilnya dan dengan segera menuju tempat yang
ditujunya. Sesampainya di sebuah komplek perumahan yang tidak begitu elite tapi
masih memberikan kesan kawasan hunian yang nyaman dan damai dan juga cukup
sepi.
Altan memarkirkan mobilnya di bawah sebuah
pohon rindang di depan rumah minimalis yang sangat sepi. Mematikan mesin
mobilnya, lalu Altan melirik Meilani yang sedang celingak-celinguk melihat
keluar kawasan komplek.
Tanpa melihat Altan, Meilani bertanya. “Kok
sepi? Temen lo dimana?”
Altan mendengus tertawa. “Ayok turun!”
katanya sambil mencopot seatbelt Meilani yang masih terkunci. “Lo ngemural
dimana?”
Altan membuka pintu di sampingnya dan turun.
Diikuti oleh Meilani setelahnya. Kemudian Altan menuju bagasi belakang
mobilnya. saat remote yang tergantung bersama kunci mobilnya membuka bagasi
belakang, Altan lalu mengambil tas ransel yang tidak terlalu besar kemudian
disampirkannya di bahunya.
Tas itu berisi cat berbagai warna dan pilox
yang baru saja dibelinya kemarin sore. Pertanyaan Meilani yang sempat
diabaikannya pun dijawab,
“Di taman belakang. Kita jalan dulu kalo mau
kesana.” Altan sampai di samping Meilani, lalu menganggukkan dagunya ke depan.
Mengajaknya untuk mengikutinya.
“Emangnya mobil gak bisa masuk?”
“Bisa. Tapi rumah tempat gue parkir itu punya
temen gue. Dari kemaren gue nitip mobil sama dia.” Altan mengedikkan bahunya.
“Lebih aman aja daripada gue parkir deket taman. Banyak orang disana, so gue
gak bisa ngawasin mobil gue tiap detik sementara gue mesti ngemural.”
Oh. “Mural lo gambar apaan?”
Mereka masih terus berjalan berdampingan
menyusuri komplek. Sesekali Meilani melongok ke kiri dan kanan. Melihat-lihat
situasi komplek itu.
“Mm, gambar orang-orang yang lagi ada di
sebuah kota gitu deh. Ditambahin sedikit graffiti. Yaa…pokoknya lo liat nanti
deh. Tuh, dikit lagi sampe,” ujar Altan sambil menunjuk lurus ke depan.
Disana terlihat lumayan ramai oleh
orang-orang yang berlalu-lalang dan bermain menjelang sore hari seperti ini.
Meilani terpikirkan sejak kapan Altan
melakukan kegiatan seperti ini. Apakah Altan selalu meluangkan waktunya untuk
melakukan aktivitas yang terkadang membuat orang berpikir bahwa mural adalah
kegiatan yang hanya mengotori tembok dengan gambar dan tulisan aneh yang hanya
dapat dimengerti oleh orang-orang tertentu.
Mereka sampai di taman komplek yang berada di
belakang komplek. Tamannya cukup luas dengan berbagai macam pohon dan
bukit-bukit kecil, serta banyak terdapat bangku-bangku yang terbuat dari semen
yang dihaluskan permukaannya. Dan tak lupa ada pula ayunan dan perosotan untuk
sarana bermain anak-anak.
Di sepanjang pinggir taman terdapat tembok
yang sekarang sudah tercover dengan berbagai warna cat dan gambar yang unik dan
lucu. Jelas untuk menarik perhatian para penghuni komplek untuk sering
berkunjung ke taman ini.
Meilani mengikuti Altan yang yang terus
berjalan ke arah dimana sebuah tembok bergambar orang-orang disebuah kota
dengan berbagai macam profesi dengan menampakkan wajah yang letih dan lelah.
Mereka menginginkan hiburan. Dan ada bagian yang masih belum diselesaikan Altan
di salah satu sudut. Tapi diatasnya sudah terdapat tulisan graffiti yang
Meilani tak akan pernah tahu apa bacaannya jika ia tidak menanyakannya
langsung.
Sangat indah dan menarik.
Altan menjatuhkan ransel dan dirinya sendiri
ke tanah. Membuka dan kemudian membongkar semua isi di dalamnya. Sementara
Meilani asik mengamati berbagai macam gambar di sepanjang tembok itu dengan
mata yang berbinar. Ini benar-benar keren. Baru kali ini dia bisa langsung
melihat bagaimana proses pembuatan mural yang baginya begitu rumit.
Meilani melihat beberapa pria yang lebih tua
sedikit darinya sedang serius mengerjakan muralnya di salah satu sudut tembok.
Mural 3D nya sangatlah fantastis. Meilani berdecak kagum.
Altan mengamati gambar muralnya yang belum
selesai. Menghela nafas lalu memilih beberapa cat dan pilox.
Setelah memilih warna cat yang dia perlukan,
Altan mulai membuka seragam sekolahnya, dan hanya memakai Tshirt putih yang
digunakan sebagai dalamannya. Kemudian Altan memakai topi hijau stabilo —bertuliskan
‘Bad Boy’ dengan ukiran graffiti— yang diambilnya dari kantong depan tasnya.
Memutar bagian depan topi itu ke belakang.
“Untungnya tinggal sedikit lagi mural gue
selesai. Jadi lo gak perlu ditahan sama gue lama-lama disini. Lo bisa duduk
kalo lo mau.” Altan menuju sisi temboknya. Meilani yang tadinya sedang
melihat-lihat mulai mengalihkan pandangannya pada Altan. Dia memutuskan untuk
duduk di rerumputan tepat dimana Altan meletakkan tas ranselnya.
“Gak papa. Lamain aja! Gue demen liat orang
bikin ginian,” kata Meilani antusias.
“Umm, lo boleh liat-liat temen gue ngemural
kalo gitu,” ucap Altan sedikit ragu. “Tapi jangan jauh-jauh,” tambahnya.
Meilani menyeringai. Tapi memutuskan untuk
melihat bagaimana Altan menggambar di atas media dinding itu terlebih dahulu. Altan
sangat cekatan dalam menggambar di media tembok itu. Seperti tidak ada
sedikitpun kesulitan baginya.
Menit-menit berlalu, dan Meilani belum merasa
bosan. Tak akan pernah bosan baginya jika melihat seseorang sedang menuangkan
kreatifitas menggambarnya yang menakjubkan seperti ini.
Meilani mendongak ke atas. Awan di sore hari
kini mulai berubah gelap. Sepertinya selain ingin menyambut malam tiba, akan
turun hujan dalam waktu dekat. “Kayaknya mau ujan deh, Al.” Meilani menggumam.
Altan mengalihkan pandangannya dari tembok
yang sedang diwarnainya dan mendongak ke atas.
“Shit!” makinya. Lalu Altan melirik cemas
pada Meilani yang menatapnya bingung.
“Wo! Mendung nih, Wo,” teriak Altan pada Dewo
yang juga sedang menyempurnakan muralnya.
Dewo balas berteriak. “Baru mendung, belom
juga ujan, nyet. Udah lanjutin. Deadline, man!”
Altan berpaling pada Meilani. “Selow ya, Mel.
Lima belas menit lagi gambar gue selesai kok,” ujar Altan sambil mengedipkan
sebelah matanya pada Meilani. dan kembali memfokuskan diri pada muralnya.
Untung Altan tak melihat kalau mukanya mulai
memerah saking panasnya suhu tubuhnya.
“Well, well, take your time as long as you
needed.”
Ketika Altan menyelesaikan muralnya, lalu
membereskan semua peralatannya, Dewo menghampiri ke tempat dimana dia dan
Meilani sedang duduk. Cuaca makin lama makin gelap tertutupi awan hitam.
Dinginnya hawa yang akan mulai hujan menyerap ke lapisan kulit mereka.
“Jangan balik dulu, bro. Ada yang mau
diomongin sama Pak Putra sebentar. Dia lagi otw.”
Altan berdecak dan melirik Meilani sekilas.
“Gak bisa, bang. Gua buru-buru. Nih anak mesti gua pulangin dulu.” Dewo menatap
Meilani dari atas sampai bawah lalu kembali ke atas lagi. Menjulurkan tangannya
sambil menyeringai. “Hai. Gua Dewo, temennya Altan. Lo pasti pacarnya. Iyakan?
Siapa kata lo waktu itu, bro, namanya?” Dewo mengerling pada Altan.
“Apaan coba lo. kapan gua bilang sama lo kalo
gua punya pacar,” gerutu Altan malu-malu.
Dewo meyenggol bahu Altan dengan bahu
miliknya yang lebar. “Sepik dah lo. lo emang gak pernah bilang pacar lo siapa
sama gua, sih.” Dewo berujar sambil tertawa singkat. “Jadi berarti yang ini
dong ceweknya?”
“Enggak, bukan kak!” cepat-cepat Meilani
menyangkal.
“Oh, berarti dikit lagi nih,” Dewo
menyimpulkan. Membuat muka Altan dan Meilani sama-sama memerah. Altan menggaruk
tengkuknya. “Wo, udah, Wo. Jangan bikin malu gua deh.”
Dewo tertawa lebar, lalu menatap tangannya
yang masih terjulur ke arah Meilani. masih menunggu Meilani untuk menyambutnya.
Meilani yang sadar kemana arah pandang Dewopun mengikutinya.
“Eh, oh iya. Nama gue Meilani, kak.” Meilani
menjulurkan tangan kanannya dan menjabat tangan Dewo.
Setelah Meilani melepaskan jabatan tangannya
pada Dewo, hujan mulai turun membasahi bumi. Tak tanggung-tanggung. Hujan yang
turun langsung begitu deras dan lebat.
Dewo merutuk. “Sial, catnya udah kering apa
belom ya.” Lalu dalam sekejap mata, dewo menghilang dari hadapan Altan dan
Meilani.
“Kampret nih Dewo.” Altan menyampirkan tasnya
di bahunya lalu menggandeng Meilani. mengajaknya berlari untuk mencari tempat
untuk berteduh.
“Ayok Mel!”
Mereka berlari melewati taman, menyelinap
melewati pintu pagar sempit dan mengarah ke perkampungan.
Meilani menyeimbangkan langkahnya dengan
langkah Altan yang panjang. “Kita kok lewat sini?” kini seluruh tubuh mereka
berdua basah kuyup akibat serangan air hujan yang lebat.
“Kita ke galeri,” jawab Altan berteriak.
Mengalahkan suara bising hujan.
Meilani mengernyit dan tetap mengikuti kemana
Altan berlari. Kemudian mereka menghentikan lari mereka di depan rumah yang
cukup besar dilindungi dengan pagar berwarna coklat keemasan.
Altan membuka pagar kecil di satu sisi, dan
terburu-buru melangkah masuk.
Rumah yang menggunakan dinding batu bata itu
terdapat hiasan patung kayu yang tergantung di kedua pilar pintu masuk. Halaman
depan terdapat kolam ikan kecil dan disebelahnya terdapat kandang yang tertutup
dan terhalang pohon-pohon kecil di sekitarnya.
Meilani bertanya-tanya, binatang apa yang
terdapat di dalam kandang itu.
Lalu kemudian dia menyadari bahwa dirinya
sudah masuk ke dalam rumah yang dikatakan Altan sebagai galeri itu.
Tak banyak furniture yang terdapat di dalam
galeri tersebut. Selain meja dan bangku kayu dari pohon mahoni yang diukir
dengan sangat artistic. Dan selebihnya, tempat itu berisi penuh dengan kanvas
yang disenderkan di sudut-sudut tembok dan tergantung di atas dinding.
Meilani mengamati dalam diam, sampai Altan
berkata, “Sorry ya, Mel, baju lo basah. Lo duduk dulu disitu deh.” Altan
menunjuk bangku panjang kayu satu-satunya. “Gue ke atas ngambil kaos dulu.”
Meilani hanya menggumam sambil mengangguk.
Tak lama kemudian, Altan kembali dengan membawa kaos dan celana boxernya. Dia
sudah berganti pakaian, dengan memakai kaos abu-abu dan celan jeans pendeknya.
Rambut pendeknya terlihat begitu acak-acakan dan masih basah. Bibirnya yang
merah berubah menjadi sedikit pucat dan bergetar karna menggigil. Sama halnya
dengan Meilani.
“Sorry lama, Mel. Nih, lo ganti pake baju gue
dulu ya. Daripada lo masuk angin, terus sakit.” Meilani berdiri lalu mengambil
pakaian yang disodorkan Altan.
“Masih bersih kok itu,” Altan menggumam.
“Gue tau. Terus toilet lo dimana?”
“Oh. Lo ganti di toilet atas aja. Di pintu
sebelah kiri. Jangan masuk ke pintu yang kanan. Soalnya…itu berantakan.”
Meilani melirik ke tangga kayu disebelah
pintu yang menuju ke suatu ruangan. “Jangan masuk ke dalem ruangan samping
tangga juga. Itu lebih…parah.” Altan meringis.
Meilani mengangkat bahunya. Lalu melangkah
menuju tangga. Dia tidak janji tidak akan masuk ke tempat yang Altan larang.
Faktanya, itu akan membuatnya semakin penasaran.
Altan menatap kepergian Meilani yang ingin
berganti pakaian. Kemudian ia menepuk jidatnya. Kalo semua pakaiannya basah
bahkan sampai ke dalam-dalam, lalu Meilani? ya ampunnn… dia bahkan Cuma ngasih
Meilani kaos dan celana boxernya!
Mukanya bersemu merah.
Dan dengan tergesa-gesa Altan berlari menuju
kamarnya di atas. Membuka lemari lebar-lebar dan menarik selimut tebal berwarna
biru pucat. Kemudian Altan berlari kembali ke bawah. Meletakkan selimut
tersebut di bangku kayu panjangnya, sehingga Meilani nanti bisa memakainya
untuk menyelimutinya.
Altan menuju ke dapur dengan cepat saat ia
mendengar pintu kamar mandi di lantai atas terbuka.
Meilani yang kurang nyaman hanya dengan
memakai kaos dengan ukuran yang besar milik Altan dan celana boxer hitamnya
tanpa mengenakan pakaian dalam! Ohmygod. Meilani hampir saja memutuskan untuk
kembali ke lantai atas dan mengenakan pakaiannya yang basah dan lepek itu
sebelum Altan berteriak dari bagian belakang galeri.
“Mel, kalo lo kedinginan selimut yang dibangku
boleh lo pake! Gue lagi bikin cokelat panas di dapur.”
Meilani sadar bahwa di sampingnya tergeletak
selimut tebal berwarna biru pucat. Dan sambil tersenyum kecil, Meilani
membalutkan selimut di seluruh tubuhnya. Bersyukur bahwa Altan mengiranya sedang
kedinginan dan membutuhkan selimut. Padahal…
Altan datang membawakan dua cangkir berisikan
cokelat panas yang dibuatnya. Lalu menyerahkannya satu kepada Meilani.
“Thanks” gumam Meilani.
“Yep.”
Sambil menyesap cokelat panasnya dan
menggenggamnya erat-erat, Meilani melirik Altan yang sedang memperhatikannya.
Untung dia sedang kedinginan dan pucat, jadi semu merah diwajahnya tak terlalu
ketara.
“Oh, iya. Ini galeri siapa?” tanya Meilani
penasaran.
Altan menjawab pertanyaan Meilani sambil
menyesap cokelat panasnya. “Gue.”
Alis Meilani terangkat ke atas. “Serius?”
Altan menganggukan kepala.
“Semua lukisan ini? Lo yang buat?” Altan
menggeleng.
“Jadi?”
“Sebenernya… Ini dulu rumah gue sebelum
nyokap gue nikah lagi sama bokapnya Os—” Altan merapatkan mulutnya dengan
cepat. Takut-takut melirik pada Meilani yang menatapnya dengan mata melebar.
Altan terdiam menunggu reaksi Meilani.
“Trus?” tanya Meilani mendesak Altan untuk
melanjutkan ceritanya.
Diam-diam Altan menghela nafas lega. Lalu
menelan ludahnya dan mulai berbicara pelan-pelan dan hati-hati. Hampir saja dia
keceplosan. “Jadi…nyokap gue nikah lagi, trus kita pindah rumah. Dan sejak gue
SMP tempat ini gue rubah jadi galeri gue. Dan…lukisan disini bukan cuman
bikinan gue, tapi temen-temen yang di taman tadi juga. Mereka kadang mampir
kesini buat nyalurin hobi ngelukis mereka kalo kita lagi gak ada job mural.”
“Oooh.” Meilani menatap keluar jendela. Lalu
menghela nafas karna diluar sana masih hujan deras, bahkan terdengar bunyi
petir yang menyambar.
“Kayaknya lo bakal pulang malem, Mel. Kasih
tau bokap lo, gih!”
Meilani mengeratkan selimut yang menempel di
tubuhnya. “Bokap gue lagi keluar kota,” jawabnya acuh.
“Oh.”
“Tadi juga gue udah ngasih tau Bik Juju gue
pulang telat,” tambah Meilani. ia menyandarkan punggungnya di bangku panjang
kayu itu. Meluruskan kakinya yang tadi ditekuknya.
“Kalo lo ngantuk, tidur di kamar aja deh!”
Altan dengan berat hati menawarkan salah satu kamarnya ketika melihat Meilani menguap.
Meilani menggeleng dan meregangkan
badannya.
“Lo cerita aja deh. Sejak kapan lo bisa
ngelukis kayak gitu?” tanya Meilani mengangkat alisnya.
“Umm, sejak dulu.” Altan tertawa pelan saat
melihat Meilani merengut mendengar jawabannya. “Sejak gue bisa ngegambar, so,
gue bisa ngelukis kayak gitu.”
“Mural?”
“Sejak SMP.”
“Coba ceritain!” Meilani berkata sambil
menguap.
“Mel, lo tidur aja—”
“Ceritain!” desak Meilani menolak permintaan
Altan untuk menyuruhnya memakai salah satu kamarnya dan lebih memilih untuk
mendengar bagaimana Altan memulai hobinya itu.
Altan berdecak atas kekeras kepalaan Meilani.
lalu memutuskan untuk bercerita mengenai hobi muralnya. Sampai lama-kelamaan
dia menyadari bahwa Meilani telah tertidur dengan kepala bersandar di sandaran
bangku.
Altan tersenyum miring. “Yeh, ini sih namanya
gue ngedongengin nih cewek!” gerutunya geli.
Altan menatap wajah Meilani yang terlihat
sangat damai saat sedang tertidur itu. Lalu tanpa mengeluarkan suara, Altan
bersimpuh di depan Meilani.
Menatap wajahnya lebih dekat sambil
tersenyum.
“Kalo gini caranya, gue rela deh lo gak inget
apa-apa sama masa kecil kita. Yang penting kita masih bisa deket, Mel,” bisik
Altan. Altan menghela nafas pelan dan membenarkan selimut yang dipakai Meilani.
“Walaupun gue harus terjatuh dulu demi deket
sama lo, gue pasti bakal ngelakuin, Mel.” Altan mencondongkan wajahnya ke depan
wajah Meilani. lebih mengamati wajah cantik itu dari dekat dan dekat lagi.
“Lo tau? Lo udah bikin gue jatuh.” Mencium
singkat bibir Meilani, lalu Altan lanjut berbisik. “Jatuh cinta sama lo.”
Dan Altan menjauhkan dirinya dari Meilani. Menatapnya
beberapa menit dalam diam. Lalu bergegas ke lantai atas untuk mengambil bantal
sebagai penyangga untuk kepala Meilani.
Saat Altan menjauh, Meilani membuka satu
kelopak matanya yang tertutup. Lalu menghembuskan nafas yang daritadi
ditahannya.
Apa yang…tadi Altan lakukan? Jantungnya mulai
berdetak tak karuan. Telinga dan wajahnya memanas. Perutnya bergejolak seperti
ada ribuan kupu-kupu yang sedang menari di dalamnya.
Meilani menutup kembali matanya, dan
diam-diam menggigit ujung lidahnya saat mendengar deru langkah Altan yang
sedang menuruni tangga.
Dengan pelan dan hati-hati agar Meilani tidak
terbangun, Altan mengatur Meilani agar tidur dengan nyaman di bangku panjang
itu. Merebahkannya dengan sangat perlahan. Meilani menggeliat karna sentuhan
Altan saat membenarkan posisi tidurnya. Setelah dalam posisi yang dirasa cukup
nyaman, Altan meninggalkan Meilani tertidur disana sedangkan dia memasuki kamar
di samping tangga. Menyelesaikan lukisannya.
Ketika pintu kamar itu tertutup, Meilani
berbaring miring. Hatinya menjerit meminta pertolongan.
Astaga… ya Tuhan… bisiknya sambil memegang
dadanya. Menenangkan detak jantungnya.
***
“Mel, Mel, bangun, Mel.” Altan mengguncang
tubuh Meilani dengan tepukan pelan di pipinya. Meilani menggeliat dari
kantuknya.
“Hmm?”
Altan berkata dengan geli. “Lo mau nginep
disini apa pulang? Udah jam Sembilan malem, Mel.”
Dengan cepat Meilani sepenuhnya terbangun
dari tidurnya. “Hah?! Ini dimana…” suaranya hilang saat kesadaran datang pada
dirinya. Oh ya, dia berada di galeri Altan, menunggu hujan reda, lalu
ketiduran, dan dalam tidurnya dia mimpi Altan menciumnya.
Astaga! Itu bukan mimpi. Alam bawah sadar
Meilani membentak.
“Pulang…pulang…pulang!!!” Meilani berteriak panik.
“Ya emang mau pulang. Cuma lo beresin dulu
gih baju lo yang ditinggal di kamar mandi. Nih plastiknya.” Ucap Altan seraya
menyerahkan plastik hitam pada Meilani. tanpa dikomando dua kali, Meilani
langsung berlari menuju lantai atas.
Saat sudah menempuh jarak yang lumayan jauh
untuk sampai dimana mobil Altan terparkir, tanpa membuang waktu mereka mulai
meninggalkan tempat itu dalam keheningan. Meilani melirik Altan. Ada banyak hal
yang ingin ditanyanya sebenarnya. Tapi Meilani mengurungkan niatnya karna Altan
belum memulai percakapan.
Altan berdehem. “Mel,” panggilnya.
“Hmm.”
“Lo jangan bilang siapa-siapa tentang hobi
gue itu ya. Apalagi tentang galeri.”
Meilani mengernyit. “Kenapa?”
“Gak papa. Cuman jangan sampe banyak yang tau
aja,” kata Altan sambil meliriknya sekilas.
“Bukannya emang udah banyak yang tau, ya?”
Altan menoleh ke samping. “Hah? Siapa?” dan
Meilani mengangkat bahunya. “Mantan lo, mungkin? Kan banyak tuh.”
Altan mendengus sambil tertawa. “Gak ada
satupun yang tau. Baru elo doang kali.” Mobil membelok keluar dari komplek.
“Are
you kidding me?”
“No, I
am. Serius, selain Dion, well, baru elo doang yang tau galeri gue.”
“Keluarga lo?”
Altan memutar matanya, jengkel. “Ya tau lah.”
“Oh. Eh, iya. Kandang yang ada di depan
galeri lo binatang apaan?” tanya Meilani penasaran.
“Oh, itu kukang. Sejenis primate lucu, Mel. Warna
matanya coklat terang gitu.”
“Kukang yang katanya primata langka itu? Warnanya
apa?” Meilani mulai tertarik dengan bahan obrolan mereka kali ini. Altan mengangguk
membenarkan.
“Warna dominan sih coklat, kalo warna rambut
kepalanya keabu-abuan gitu.”
Meilani mengerutkan hidungnya. “Tapi kenapa
lo kandangin? Kukang itu seharusnya dilepas aja,” sarannya pada Altan. “Kalo
gue lepas, dia bisa ngacak-acak kanvas dan alat lukis gue, ege. Kan tuh rumah
yang jagain gak tinggal disitu. Jadi susah buat pelihara tuh hewan tapi gak dikandangin.”
“Iya juga sih.”
Altan menyeringai. “Dan lo perlu tau kalo gue
juga melihara kura-kura predator di kolam depan situ.”
“What?! Kura-kura macem apaan tuh?”
Altan mulai menjelaskan bahwa kura-kura itu
adalah hewan ganas yang memiliki cangkang berduri diatas dan di sekeliling
tubuhnya. Kura-kura tersebut juga cepat marah jika ada yang mengganggu atau
mendekatinya. Dan kura-kura seperti itu juga adalah jenis kura-kura yang selalu
menyerang sesama kura-kura yang lainnya.
“Hewan peliharaan lo yang itu kayaknya
cerminan elo banget ya, Al,” gumam Meilani.
“Gue juga mikirnya gitu. Makanya gue
pelihara.”
Dan tak terasa mereka sudah sampai di depan
komplek rumah Meilani. mobil terus bergerak menuju rumah Meilani. mematikan
mesin, lalu Altan berbalik menghadap Meilani. “Thank you, Al.” kata Meilani sambil membuka seatbeltnya.
“Massive
pleasure,” bisik Altan. Meilani menyempatkan diri menatap Altan dan
tersenyum. Dan sebelum Altan mengatakan banyak hal, dengan cepat Meilani keluar
dari mobil dan menutup pintunya. Tanpa melihat lagi ke dalam mobil, Meilani
membuka pintu gerbangnya, dan menghilang dari pandangan Altan.
To be continue…
0 comments:
Post a Comment