Sunday, March 24, 2013

Fall For You (Chapter 20)


DUA PULUH

Meilani ragu-ragu membuka pintu penumpang mobil Altan dan memasukinya. Untuk beberapa saat, Meilani terdiam di samping pintu itu sampai kemudian Altan yang tadinya sudah berada di dalam mobil keluar untuk menyadarkan Meilani dari lamunannya.

Altan berdiri di depan kap mobilnya dengan lengan yang terlipat di depan dadanya. “Heh! Malah bengong. Masuk cepet.”

Meilani menggerutu sambil melihat sekeliling tempat parkir. Khawatir akan ada yang melihat mereka dan menyimpulkan yang tidak-tidak. Daripada dia berlama-lama terdiam disini lalu membiarkan orang lain melihatnya pulang bersama Altan, lebih baik dia cepat-cepat masuk ke dalam mobil itu dan bersembunyi di dalamnya.

Dalam sekali hentakan Meilani membuka pintu penumpang dan merangkak masuk ke dalamnya. Dan segera menutup pintu di sampingnya.

Altan yang memperhatikan Meilani berdecak sekaligus merasa geli. Dia tahu pasti Meilani merasa takut dan khawatir ada orang yang melihat mereka pulang berdua. Tapi bukankah sekolah sudah sangat sepi? Buat apa takut aka nada yang melihat?

Ckck, dasar.


Saat dalam perjalanan, Meilani berkali-kali melirik Altan yang sedang melamun sambil mengemudikan mobil. Perasaan cemas dan khawatir kembali merasukinya. Dia benci ketika seseorang melamun sambil mengemudikan mobil. Kenyataan bahwa pernah ada orang yang melakukan hal itu saat mengemudi dan malah berujung tragis. Seperti ibunya.

Dulu saat dirinya masih kecil, ibunya pergi berangkat kerja dengan mengendarai mobilnya sendiri dan melamun sepanjang menuju kantornya. Tak diduga hal tersebut malah membuat ibunya mengalami kecelakaan tunggal karna tidak fokus saat sedang berkendara.

Faktanya, sang papa memberitahunya bahwa dia juga pernah mengalami kecelakaan mobil. Yang menyebabkan dirinya mengalami amnesia sampai saat ini —Meilani tak terlalu ambil pusing dengan amnesianya. Karna menurut papanya, dia mengalami amnesia saat waktu kecil. Dan menurutnya, masa kecilnya tidaklah mempunyai kesan dan kenangan apa-apa untuk diingat kembali. Jadi, Meilani menyimpan rahasia itu untuk keluarga kecil miliknya dan dirinya sendiri.

Dan karena itulah dirinya tak pernah diizinkan untuk mengendarai mobil seorang diri oleh sang papa. Walaupun sang papa mampu membelikannya mobil-mobil baru di setiap hari ulangtahunnya, papanya akan tetap tidak akan melakukannya. Meilani tahu bahwa papanya hampir mengalami trauma yang cukup parah karna kehilangan wanita yang sangat dicintanya dan hampir kehilangan gadis kecilnya karna kecelakaan mobil juga.

Altan yang menyadari Meilani menatapnya sambil termenung kemudian berdehem. “Mikirin apaan lo sambil ngeliatin gue?”

Meilani tersentak dari lamunannya. Duh, kenapa dia jadi ikut-ikutan melamun?

Meilani membersihkan tenggorokannya. “Apa?” tanyanya sambil mengernyit. Pertanyaan yang diajukan padanya beberapa detik yang lalu belum sempat diserap ke dalam otaknya.

Altan tersenyum miring sambil tetap menatap lurus ke depan. “Lo ngelamun sambil ngeliatin gue. Lo mikir yang enggak-enggak, ya?”

“Hah?!” Meilani meringis. “Dih, najong. Siapa juga yang ngeliatin lo sambil ngelamun. Apalagi mikir yang enggak-enggak. Ish, gak banget lah ya.”

Altan terkekeh. “Mikirin juga gak papa.” Perkataannya membuat Meilani melongo lebar. Lalu digantikan dengan dengusan.

“Ssuuuuutttt!! Diem. Bawel. Udah deh liat jalan aja. Gak usah pake berisik segala.”

“Ya, ya, ya,” jawab Altan malas sambil melirik Meilani yang kini menyilangkan tangannya di depan dada dan menekan garis bibirnya rapat-rapat. Menolak berbicara lebih banyak padanya.

Tak lama kemudian, handphone milik Altan berdering memecahkan keheningan.  Satu tangannya merogoh kantong celananya dan mengambil benda yang masih berdering itu. Melihat sekilas pada caller ID sang penelepon, Altan lalu memutuskan untuk mengangkatnya.

“Halo, Wo… kenapa?” tanya Altan pada orang di line telpon saat handphone sudah bertengger di salah satu telinganya.

“Lo dateng ke sini sekarang bisa gak, bro?” tanya orang itu yang ternyata adalah Dewo. Dewo adalah ketua dari perkumpulan seni mural yang diikuti oleh Altan sejak dirinya masuk sekolah menengah. Dan sekarang mereka sedang mendapatkan project untuk menggambar mural di salah satu taman komplek perumahan yang meminta mereka untuk menyampaikan pesan moral melalui gambar-gambar dan tulisan-tulisan di sepanjang tembok di sekitar taman itu.

“Gua lagi sama orang nih, bang… kenapa emangnya?” Altan melirik Meilani yang sedang menatapnya sambil menaikkan sebelah alisnya.

“Yaelah, ajak aja dulu ke sini. Gua lagi butuh lo nih. Mural lo belom selesai, sebelum jam enam sore ini udah deadline. Inget?”

Altan merutuk sambil memukul stir mobilnya. “Njir, lupa gua, Wo. Lo yang selesain aja napa,” pinta Altan tak enak hati. Sekarang ia sedang mengantar Meilani pulang ke rumah, dan dia sedikit tidak percaya diri jika mengajak dan membiarkan Meilani melihatnya menggambar di sepanjang tembok.

“Kalo gua gak ngegambar juga sih oke-oke aja gua ngerjain punya lo. Tapi sorry banget bro, kerjaan gua malah masih lebih banyak. Udahlah, kesini aja cepet! Anak-anak yang laen juga udah pada disini. Oke, bro? gua tunggu sekarang…”

“Bang —tutt tuutt tuuuttt…” belum sempat Altan berargumen lagi, panggilan telepon dari Dewo sudah berakhir secara sepihak. Altan melempar handphonenya ke atas dashbor mobil. Dia menimang-nimang, perjalanan ke rumah Meilani baru seperempat jalan sedangkan dia harus menyelesaikan tugasnya.

“Siapa Al?” tanya Meilani tak mampu menahan rasa penasarannya.

Altan menghela napas. “Temen gue, Dewo. Umm, Mel, ikut gua dulu sebentar mau gak?”

“Kemana? Ngapain?”

Altan melirik Meilani dari sudut matanya. “Gue lupa kalo ada deadline ngemural. Si Dewo nyuruh gua selesain sore ini. Gak papa kan lo ikut gue dulu?”

Mural? Altan bisa membuat mural? Serius? Dia bisa menggambar dan melukis?

Meilani mengangkat bahunya. “Terserah lo deh.” Hmmm… sebenernya penasaran juga gimana gambar mural yang dibuat Altan.

Setelah mendapat persetujuan, Altan mencari jalan untuk memutar arah mobilnya dan dengan segera menuju tempat yang ditujunya. Sesampainya di sebuah komplek perumahan yang tidak begitu elite tapi masih memberikan kesan kawasan hunian yang nyaman dan damai dan juga cukup sepi.

Altan memarkirkan mobilnya di bawah sebuah pohon rindang di depan rumah minimalis yang sangat sepi. Mematikan mesin mobilnya, lalu Altan melirik Meilani yang sedang celingak-celinguk melihat keluar kawasan komplek.

Tanpa melihat Altan, Meilani bertanya. “Kok sepi? Temen lo dimana?”

Altan mendengus tertawa. “Ayok turun!” katanya sambil mencopot seatbelt Meilani yang masih terkunci. “Lo ngemural dimana?”

Altan membuka pintu di sampingnya dan turun. Diikuti oleh Meilani setelahnya. Kemudian Altan menuju bagasi belakang mobilnya. saat remote yang tergantung bersama kunci mobilnya membuka bagasi belakang, Altan lalu mengambil tas ransel yang tidak terlalu besar kemudian disampirkannya di bahunya.

Tas itu berisi cat berbagai warna dan pilox yang baru saja dibelinya kemarin sore. Pertanyaan Meilani yang sempat diabaikannya pun dijawab,

“Di taman belakang. Kita jalan dulu kalo mau kesana.” Altan sampai di samping Meilani, lalu menganggukkan dagunya ke depan. Mengajaknya untuk mengikutinya.

“Emangnya mobil gak bisa masuk?”

“Bisa. Tapi rumah tempat gue parkir itu punya temen gue. Dari kemaren gue nitip mobil sama dia.” Altan mengedikkan bahunya. “Lebih aman aja daripada gue parkir deket taman. Banyak orang disana, so gue gak bisa ngawasin mobil gue tiap detik sementara gue mesti ngemural.”

Oh. “Mural lo gambar apaan?”

Mereka masih terus berjalan berdampingan menyusuri komplek. Sesekali Meilani melongok ke kiri dan kanan. Melihat-lihat situasi komplek itu.

“Mm, gambar orang-orang yang lagi ada di sebuah kota gitu deh. Ditambahin sedikit graffiti. Yaa…pokoknya lo liat nanti deh. Tuh, dikit lagi sampe,” ujar Altan sambil menunjuk lurus ke depan.

Disana terlihat lumayan ramai oleh orang-orang yang berlalu-lalang dan bermain menjelang sore hari seperti ini.

Meilani terpikirkan sejak kapan Altan melakukan kegiatan seperti ini. Apakah Altan selalu meluangkan waktunya untuk melakukan aktivitas yang terkadang membuat orang berpikir bahwa mural adalah kegiatan yang hanya mengotori tembok dengan gambar dan tulisan aneh yang hanya dapat dimengerti oleh orang-orang tertentu.

Mereka sampai di taman komplek yang berada di belakang komplek. Tamannya cukup luas dengan berbagai macam pohon dan bukit-bukit kecil, serta banyak terdapat bangku-bangku yang terbuat dari semen yang dihaluskan permukaannya. Dan tak lupa ada pula ayunan dan perosotan untuk sarana bermain anak-anak.

Di sepanjang pinggir taman terdapat tembok yang sekarang sudah tercover dengan berbagai warna cat dan gambar yang unik dan lucu. Jelas untuk menarik perhatian para penghuni komplek untuk sering berkunjung ke taman ini.

Meilani mengikuti Altan yang yang terus berjalan ke arah dimana sebuah tembok bergambar orang-orang disebuah kota dengan berbagai macam profesi dengan menampakkan wajah yang letih dan lelah. Mereka menginginkan hiburan. Dan ada bagian yang masih belum diselesaikan Altan di salah satu sudut. Tapi diatasnya sudah terdapat tulisan graffiti yang Meilani tak akan pernah tahu apa bacaannya jika ia tidak menanyakannya langsung.

Sangat indah dan menarik.

Altan menjatuhkan ransel dan dirinya sendiri ke tanah. Membuka dan kemudian membongkar semua isi di dalamnya. Sementara Meilani asik mengamati berbagai macam gambar di sepanjang tembok itu dengan mata yang berbinar. Ini benar-benar keren. Baru kali ini dia bisa langsung melihat bagaimana proses pembuatan mural yang baginya begitu rumit.

Meilani melihat beberapa pria yang lebih tua sedikit darinya sedang serius mengerjakan muralnya di salah satu sudut tembok. Mural 3D nya sangatlah fantastis. Meilani berdecak kagum.

Altan mengamati gambar muralnya yang belum selesai. Menghela nafas lalu memilih beberapa cat dan pilox.

Setelah memilih warna cat yang dia perlukan, Altan mulai membuka seragam sekolahnya, dan hanya memakai Tshirt putih yang digunakan sebagai dalamannya. Kemudian Altan memakai topi hijau stabilo —bertuliskan ‘Bad Boy’ dengan ukiran graffiti— yang diambilnya dari kantong depan tasnya. Memutar bagian depan topi itu ke belakang.

“Untungnya tinggal sedikit lagi mural gue selesai. Jadi lo gak perlu ditahan sama gue lama-lama disini. Lo bisa duduk kalo lo mau.” Altan menuju sisi temboknya. Meilani yang tadinya sedang melihat-lihat mulai mengalihkan pandangannya pada Altan. Dia memutuskan untuk duduk di rerumputan tepat dimana Altan meletakkan tas ranselnya.

“Gak papa. Lamain aja! Gue demen liat orang bikin ginian,” kata Meilani antusias.

“Umm, lo boleh liat-liat temen gue ngemural kalo gitu,” ucap Altan sedikit ragu. “Tapi jangan jauh-jauh,” tambahnya.

Meilani menyeringai. Tapi memutuskan untuk melihat bagaimana Altan menggambar di atas media dinding itu terlebih dahulu. Altan sangat cekatan dalam menggambar di media tembok itu. Seperti tidak ada sedikitpun kesulitan baginya.

Menit-menit berlalu, dan Meilani belum merasa bosan. Tak akan pernah bosan baginya jika melihat seseorang sedang menuangkan kreatifitas menggambarnya yang menakjubkan seperti ini.

Meilani mendongak ke atas. Awan di sore hari kini mulai berubah gelap. Sepertinya selain ingin menyambut malam tiba, akan turun hujan dalam waktu dekat. “Kayaknya mau ujan deh, Al.” Meilani menggumam.

Altan mengalihkan pandangannya dari tembok yang sedang diwarnainya dan mendongak ke atas.

“Shit!” makinya. Lalu Altan melirik cemas pada Meilani yang menatapnya bingung.

“Wo! Mendung nih, Wo,” teriak Altan pada Dewo yang juga sedang menyempurnakan muralnya.

Dewo balas berteriak. “Baru mendung, belom juga ujan, nyet. Udah lanjutin. Deadline, man!”

Altan berpaling pada Meilani. “Selow ya, Mel. Lima belas menit lagi gambar gue selesai kok,” ujar Altan sambil mengedipkan sebelah matanya pada Meilani. dan kembali memfokuskan diri pada muralnya.

Untung Altan tak melihat kalau mukanya mulai memerah saking panasnya suhu tubuhnya.

“Well, well, take your time as long as you needed.”


Ketika Altan menyelesaikan muralnya, lalu membereskan semua peralatannya, Dewo menghampiri ke tempat dimana dia dan Meilani sedang duduk. Cuaca makin lama makin gelap tertutupi awan hitam. Dinginnya hawa yang akan mulai hujan menyerap ke lapisan kulit mereka.

“Jangan balik dulu, bro. Ada yang mau diomongin sama Pak Putra sebentar. Dia lagi otw.”

Altan berdecak dan melirik Meilani sekilas. “Gak bisa, bang. Gua buru-buru. Nih anak mesti gua pulangin dulu.” Dewo menatap Meilani dari atas sampai bawah lalu kembali ke atas lagi. Menjulurkan tangannya sambil menyeringai. “Hai. Gua Dewo, temennya Altan. Lo pasti pacarnya. Iyakan? Siapa kata lo waktu itu, bro, namanya?” Dewo mengerling pada Altan.

“Apaan coba lo. kapan gua bilang sama lo kalo gua punya pacar,” gerutu Altan malu-malu.

Dewo meyenggol bahu Altan dengan bahu miliknya yang lebar. “Sepik dah lo. lo emang gak pernah bilang pacar lo siapa sama gua, sih.” Dewo berujar sambil tertawa singkat. “Jadi berarti yang ini dong ceweknya?”

“Enggak, bukan kak!” cepat-cepat Meilani menyangkal.

“Oh, berarti dikit lagi nih,” Dewo menyimpulkan. Membuat muka Altan dan Meilani sama-sama memerah. Altan menggaruk tengkuknya. “Wo, udah, Wo. Jangan bikin malu gua deh.”

Dewo tertawa lebar, lalu menatap tangannya yang masih terjulur ke arah Meilani. masih menunggu Meilani untuk menyambutnya. Meilani yang sadar kemana arah pandang Dewopun mengikutinya.

“Eh, oh iya. Nama gue Meilani, kak.” Meilani menjulurkan tangan kanannya dan menjabat tangan Dewo.

Setelah Meilani melepaskan jabatan tangannya pada Dewo, hujan mulai turun membasahi bumi. Tak tanggung-tanggung. Hujan yang turun langsung begitu deras dan lebat.

Dewo merutuk. “Sial, catnya udah kering apa belom ya.” Lalu dalam sekejap mata, dewo menghilang dari hadapan Altan dan Meilani.

“Kampret nih Dewo.” Altan menyampirkan tasnya di bahunya lalu menggandeng Meilani. mengajaknya berlari untuk mencari tempat untuk berteduh.
“Ayok Mel!”

Mereka berlari melewati taman, menyelinap melewati pintu pagar sempit dan mengarah ke perkampungan.

Meilani menyeimbangkan langkahnya dengan langkah Altan yang panjang. “Kita kok lewat sini?” kini seluruh tubuh mereka berdua basah kuyup akibat serangan air hujan yang lebat.

“Kita ke galeri,” jawab Altan berteriak. Mengalahkan suara bising hujan.

Meilani mengernyit dan tetap mengikuti kemana Altan berlari. Kemudian mereka menghentikan lari mereka di depan rumah yang cukup besar dilindungi dengan pagar berwarna coklat keemasan.

Altan membuka pagar kecil di satu sisi, dan terburu-buru melangkah masuk.

Rumah yang menggunakan dinding batu bata itu terdapat hiasan patung kayu yang tergantung di kedua pilar pintu masuk. Halaman depan terdapat kolam ikan kecil dan disebelahnya terdapat kandang yang tertutup dan terhalang pohon-pohon kecil di sekitarnya.

Meilani bertanya-tanya, binatang apa yang terdapat di dalam kandang itu.

Lalu kemudian dia menyadari bahwa dirinya sudah masuk ke dalam rumah yang dikatakan Altan sebagai galeri itu.

Tak banyak furniture yang terdapat di dalam galeri tersebut. Selain meja dan bangku kayu dari pohon mahoni yang diukir dengan sangat artistic. Dan selebihnya, tempat itu berisi penuh dengan kanvas yang disenderkan di sudut-sudut tembok dan tergantung di atas dinding.

Meilani mengamati dalam diam, sampai Altan berkata, “Sorry ya, Mel, baju lo basah. Lo duduk dulu disitu deh.” Altan menunjuk bangku panjang kayu satu-satunya. “Gue ke atas ngambil kaos dulu.”

Meilani hanya menggumam sambil mengangguk. Tak lama kemudian, Altan kembali dengan membawa kaos dan celana boxernya. Dia sudah berganti pakaian, dengan memakai kaos abu-abu dan celan jeans pendeknya. Rambut pendeknya terlihat begitu acak-acakan dan masih basah. Bibirnya yang merah berubah menjadi sedikit pucat dan bergetar karna menggigil. Sama halnya dengan Meilani.

“Sorry lama, Mel. Nih, lo ganti pake baju gue dulu ya. Daripada lo masuk angin, terus sakit.” Meilani berdiri lalu mengambil pakaian yang disodorkan Altan.

“Masih bersih kok itu,” Altan menggumam.

“Gue tau. Terus toilet lo dimana?”

“Oh. Lo ganti di toilet atas aja. Di pintu sebelah kiri. Jangan masuk ke pintu yang kanan. Soalnya…itu berantakan.”

Meilani melirik ke tangga kayu disebelah pintu yang menuju ke suatu ruangan. “Jangan masuk ke dalem ruangan samping tangga juga. Itu lebih…parah.” Altan meringis.

Meilani mengangkat bahunya. Lalu melangkah menuju tangga. Dia tidak janji tidak akan masuk ke tempat yang Altan larang. Faktanya, itu akan membuatnya semakin penasaran.

Altan menatap kepergian Meilani yang ingin berganti pakaian. Kemudian ia menepuk jidatnya. Kalo semua pakaiannya basah bahkan sampai ke dalam-dalam, lalu Meilani? ya ampunnn… dia bahkan Cuma ngasih Meilani kaos dan celana boxernya!

Mukanya bersemu merah.

Dan dengan tergesa-gesa Altan berlari menuju kamarnya di atas. Membuka lemari lebar-lebar dan menarik selimut tebal berwarna biru pucat. Kemudian Altan berlari kembali ke bawah. Meletakkan selimut tersebut di bangku kayu panjangnya, sehingga Meilani nanti bisa memakainya untuk menyelimutinya.

Altan menuju ke dapur dengan cepat saat ia mendengar pintu kamar mandi di lantai atas terbuka.

Meilani yang kurang nyaman hanya dengan memakai kaos dengan ukuran yang besar milik Altan dan celana boxer hitamnya tanpa mengenakan pakaian dalam! Ohmygod. Meilani hampir saja memutuskan untuk kembali ke lantai atas dan mengenakan pakaiannya yang basah dan lepek itu sebelum Altan berteriak dari bagian belakang galeri.

“Mel, kalo lo kedinginan selimut yang dibangku boleh lo pake! Gue lagi bikin cokelat panas di dapur.”

Meilani sadar bahwa di sampingnya tergeletak selimut tebal berwarna biru pucat. Dan sambil tersenyum kecil, Meilani membalutkan selimut di seluruh tubuhnya. Bersyukur bahwa Altan mengiranya sedang kedinginan dan membutuhkan selimut. Padahal…


Altan datang membawakan dua cangkir berisikan cokelat panas yang dibuatnya. Lalu menyerahkannya satu kepada Meilani.

“Thanks” gumam Meilani.

“Yep.”

Sambil menyesap cokelat panasnya dan menggenggamnya erat-erat, Meilani melirik Altan yang sedang memperhatikannya. Untung dia sedang kedinginan dan pucat, jadi semu merah diwajahnya tak terlalu ketara.

“Oh, iya. Ini galeri siapa?” tanya Meilani penasaran.

Altan menjawab pertanyaan Meilani sambil menyesap cokelat panasnya. “Gue.”

Alis Meilani terangkat ke atas. “Serius?” Altan menganggukan kepala.

“Semua lukisan ini? Lo yang buat?” Altan menggeleng.

“Jadi?”

“Sebenernya… Ini dulu rumah gue sebelum nyokap gue nikah lagi sama bokapnya Os—” Altan merapatkan mulutnya dengan cepat. Takut-takut melirik pada Meilani yang menatapnya dengan mata melebar. Altan terdiam menunggu reaksi Meilani.

“Trus?” tanya Meilani mendesak Altan untuk melanjutkan ceritanya.

Diam-diam Altan menghela nafas lega. Lalu menelan ludahnya dan mulai berbicara pelan-pelan dan hati-hati. Hampir saja dia keceplosan. “Jadi…nyokap gue nikah lagi, trus kita pindah rumah. Dan sejak gue SMP tempat ini gue rubah jadi galeri gue. Dan…lukisan disini bukan cuman bikinan gue, tapi temen-temen yang di taman tadi juga. Mereka kadang mampir kesini buat nyalurin hobi ngelukis mereka kalo kita lagi gak ada job mural.”

“Oooh.” Meilani menatap keluar jendela. Lalu menghela nafas karna diluar sana masih hujan deras, bahkan terdengar bunyi petir yang menyambar.

“Kayaknya lo bakal pulang malem, Mel. Kasih tau bokap lo, gih!”

Meilani mengeratkan selimut yang menempel di tubuhnya. “Bokap gue lagi keluar kota,” jawabnya acuh.

“Oh.”

“Tadi juga gue udah ngasih tau Bik Juju gue pulang telat,” tambah Meilani. ia menyandarkan punggungnya di bangku panjang kayu itu. Meluruskan kakinya yang tadi ditekuknya.

“Kalo lo ngantuk, tidur di kamar aja deh!” Altan dengan berat hati menawarkan salah satu kamarnya ketika melihat Meilani menguap.  Meilani menggeleng dan meregangkan badannya.

“Lo cerita aja deh. Sejak kapan lo bisa ngelukis kayak gitu?” tanya Meilani mengangkat alisnya.

“Umm, sejak dulu.” Altan tertawa pelan saat melihat Meilani merengut mendengar jawabannya. “Sejak gue bisa ngegambar, so, gue bisa ngelukis kayak gitu.”

“Mural?”

“Sejak SMP.”

“Coba ceritain!” Meilani berkata sambil menguap.

“Mel, lo tidur aja—”

“Ceritain!” desak Meilani menolak permintaan Altan untuk menyuruhnya memakai salah satu kamarnya dan lebih memilih untuk mendengar bagaimana Altan memulai hobinya itu.

Altan berdecak atas kekeras kepalaan Meilani. lalu memutuskan untuk bercerita mengenai hobi muralnya. Sampai lama-kelamaan dia menyadari bahwa Meilani telah tertidur dengan kepala bersandar di sandaran bangku.

Altan tersenyum miring. “Yeh, ini sih namanya gue ngedongengin nih cewek!” gerutunya geli.

Altan menatap wajah Meilani yang terlihat sangat damai saat sedang tertidur itu. Lalu tanpa mengeluarkan suara, Altan bersimpuh di depan Meilani.

Menatap wajahnya lebih dekat sambil tersenyum.

“Kalo gini caranya, gue rela deh lo gak inget apa-apa sama masa kecil kita. Yang penting kita masih bisa deket, Mel,” bisik Altan. Altan menghela nafas pelan dan membenarkan selimut yang dipakai Meilani.

“Walaupun gue harus terjatuh dulu demi deket sama lo, gue pasti bakal ngelakuin, Mel.” Altan mencondongkan wajahnya ke depan wajah Meilani. lebih mengamati wajah cantik itu dari dekat dan dekat lagi.

“Lo tau? Lo udah bikin gue jatuh.” Mencium singkat bibir Meilani, lalu Altan lanjut berbisik. “Jatuh cinta sama lo.”

Dan Altan menjauhkan dirinya dari Meilani. Menatapnya beberapa menit dalam diam. Lalu bergegas ke lantai atas untuk mengambil bantal sebagai penyangga untuk kepala Meilani.

Saat Altan menjauh, Meilani membuka satu kelopak matanya yang tertutup. Lalu menghembuskan nafas yang daritadi ditahannya.

Apa yang…tadi Altan lakukan? Jantungnya mulai berdetak tak karuan. Telinga dan wajahnya memanas. Perutnya bergejolak seperti ada ribuan kupu-kupu yang sedang menari di dalamnya.

Meilani menutup kembali matanya, dan diam-diam menggigit ujung lidahnya saat mendengar deru langkah Altan yang sedang menuruni tangga.

Dengan pelan dan hati-hati agar Meilani tidak terbangun, Altan mengatur Meilani agar tidur dengan nyaman di bangku panjang itu. Merebahkannya dengan sangat perlahan. Meilani menggeliat karna sentuhan Altan saat membenarkan posisi tidurnya. Setelah dalam posisi yang dirasa cukup nyaman, Altan meninggalkan Meilani tertidur disana sedangkan dia memasuki kamar di samping tangga. Menyelesaikan lukisannya.

Ketika pintu kamar itu tertutup, Meilani berbaring miring. Hatinya menjerit meminta pertolongan.

Astaga… ya Tuhan… bisiknya sambil memegang dadanya. Menenangkan detak jantungnya.



***


“Mel, Mel, bangun, Mel.” Altan mengguncang tubuh Meilani dengan tepukan pelan di pipinya. Meilani menggeliat dari kantuknya.

“Hmm?”

Altan berkata dengan geli. “Lo mau nginep disini apa pulang? Udah jam Sembilan malem, Mel.”

Dengan cepat Meilani sepenuhnya terbangun dari tidurnya. “Hah?! Ini dimana…” suaranya hilang saat kesadaran datang pada dirinya. Oh ya, dia berada di galeri Altan, menunggu hujan reda, lalu ketiduran, dan dalam tidurnya dia mimpi Altan menciumnya.

Astaga! Itu bukan mimpi. Alam bawah sadar Meilani membentak.

“Pulang…pulang…pulang!!!” Meilani berteriak panik.

“Ya emang mau pulang. Cuma lo beresin dulu gih baju lo yang ditinggal di kamar mandi. Nih plastiknya.” Ucap Altan seraya menyerahkan plastik hitam pada Meilani. tanpa dikomando dua kali, Meilani langsung berlari menuju lantai atas.



Saat sudah menempuh jarak yang lumayan jauh untuk sampai dimana mobil Altan terparkir, tanpa membuang waktu mereka mulai meninggalkan tempat itu dalam keheningan. Meilani melirik Altan. Ada banyak hal yang ingin ditanyanya sebenarnya. Tapi Meilani mengurungkan niatnya karna Altan belum memulai percakapan.

Altan berdehem. “Mel,” panggilnya.

“Hmm.”

“Lo jangan bilang siapa-siapa tentang hobi gue itu ya. Apalagi tentang galeri.”

Meilani mengernyit. “Kenapa?”

“Gak papa. Cuman jangan sampe banyak yang tau aja,” kata Altan sambil meliriknya sekilas.

“Bukannya emang udah banyak yang tau, ya?”

Altan menoleh ke samping. “Hah? Siapa?” dan Meilani mengangkat bahunya. “Mantan lo, mungkin? Kan banyak tuh.”

Altan mendengus sambil tertawa. “Gak ada satupun yang tau. Baru elo doang kali.” Mobil membelok keluar dari komplek.

Are you kidding me?”

No, I am. Serius, selain Dion, well, baru elo doang yang tau galeri gue.”

“Keluarga lo?”

Altan memutar matanya, jengkel. “Ya tau lah.”

“Oh. Eh, iya. Kandang yang ada di depan galeri lo binatang apaan?” tanya Meilani penasaran.

“Oh, itu kukang. Sejenis primate lucu, Mel. Warna matanya coklat terang gitu.”

“Kukang yang katanya primata langka itu? Warnanya apa?” Meilani mulai tertarik dengan bahan obrolan mereka kali ini. Altan mengangguk membenarkan.

“Warna dominan sih coklat, kalo warna rambut kepalanya keabu-abuan gitu.”

Meilani mengerutkan hidungnya. “Tapi kenapa lo kandangin? Kukang itu seharusnya dilepas aja,” sarannya pada Altan. “Kalo gue lepas, dia bisa ngacak-acak kanvas dan alat lukis gue, ege. Kan tuh rumah yang jagain gak tinggal disitu. Jadi susah buat pelihara tuh hewan tapi gak dikandangin.”

“Iya juga sih.”

Altan menyeringai. “Dan lo perlu tau kalo gue juga melihara kura-kura predator di kolam depan situ.”

“What?! Kura-kura macem apaan tuh?”

Altan mulai menjelaskan bahwa kura-kura itu adalah hewan ganas yang memiliki cangkang berduri diatas dan di sekeliling tubuhnya. Kura-kura tersebut juga cepat marah jika ada yang mengganggu atau mendekatinya. Dan kura-kura seperti itu juga adalah jenis kura-kura yang selalu menyerang sesama kura-kura yang lainnya.

“Hewan peliharaan lo yang itu kayaknya cerminan elo banget ya, Al,” gumam Meilani.

“Gue juga mikirnya gitu. Makanya gue pelihara.”

Dan tak terasa mereka sudah sampai di depan komplek rumah Meilani. mobil terus bergerak menuju rumah Meilani. mematikan mesin, lalu Altan berbalik menghadap Meilani. “Thank you, Al.” kata Meilani sambil membuka seatbeltnya.

Massive pleasure,” bisik Altan. Meilani menyempatkan diri menatap Altan dan tersenyum. Dan sebelum Altan mengatakan banyak hal, dengan cepat Meilani keluar dari mobil dan menutup pintunya. Tanpa melihat lagi ke dalam mobil, Meilani membuka pintu gerbangnya, dan menghilang dari pandangan Altan.



To be continue…


0 comments:

Post a Comment

Template by:

Free Blog Templates