LIMA BELAS
Meilani tergoda untuk melongokkan kembali kepalanya ke belakang. Pasti dia salah liat. Gak mungkin Altan kan? Batinnya.
Tapi niatnya diurungkan karena guru yang digadang-gadang akan menjadi wali kelas mereka memasuki kelas.
“Oke, guys. Good morning,” sapa Mrs. Ketie –seorang guru bahasa Inggris.
“Morning, Mrs...”
“Well, kalian pasti sudah menduga kalau saya adalah wali kelas di kelas ini, right?” tanyanya dalam aksen bahasa yang bercampur-campur. Semua murid di kelas mengangguk. “Nah, berhubung saya diberikan tugas yang berat karena harus menjadi wali kelas dari kelas 12 ini, saya telah membuat beberapa aturan yang harus kalian lakukan. Kalau tidak, silahkan kalian keluar dari kelas saya, dan cari kelas yang mau menampung murid yang tak punya aturan.” Mrs. Ketie mengatakan dengan tegas, sambil menatap semua pasang mata anak murid yang akan dibimbingnya.
“Wah, Mrs, kejam banget,” ucap salah seorang murid laki-laki yang duduk di depan Meilani.
Mrs. Ketie tersenyum datar. “Atau kalian boleh bikin kelas sendiri. Silahkan. Ada yang mau jadi murid 12 IPS 6 mungkin?” tawarnya. Kelas 12 IPS 6 jelas-jelas tidak ada. Karena kelas 12 IPS 5 adalah kelas paling akhir. Maka dari itu kelas ini di tempatkan di pojokan pula.
“Divo tuh, Mrs, mau bikin kelas sendiri. Kelas 12 Boga 1. Hahahaha...” Entah itu suara Andra atau Andri. Si kembar yang kali ini di tempatkan di kelas yang sama. Andra adalah kakaknya sedangkan Andri adalah adiknya. Wajah mereka begitu mirip satu sama lain. Begitu juga dengan bentuk tubuh yang tinggi dan langsing dan mempunyai kulit sawo matang. Banyak yang mengatakan bahwa untuk membedakan mereka dapat dilihat dari tahi lalat kecil yang ada di hidung salah satu dari mereka. Hidung Andri, si adik dari Andra.
Kembaran yang lainnya menyahut. “Parah lo, Bang. Lo pikir dia mau mindahin pabrik roti bokapnya kemari.” Dapat diketahui ini adalah Andri. Karna tadi dia menyebut ‘Bang’ yang berarti Abang untuk kembarannya Andra.
Semua murid laki-laki di kelas pun tertawa. Mereka semua tahu bahwa ayah Divo adalah pemilik pabrik roti terbesar di Jakarta. Divo seringkali menjadi objek bullying oleh teman-temannya. Mereka sering mengejek tubuhnya yang seperti terkena penyakit obesitas. Mengejek ayahnya yang memberinya roti tiap harinya sehingga perutnya membengkak. Atau mencoba mengagetkan Divo, karna Divo mempunyai penyakit aneh yang jika dikejutkan akan tergagap lalu mengalami disorientasi setelahnya.
Diam-diam Mrs. Ketie menghela nafas dan menahan untuk mengelus dadanya, hampir frustasi. Ia diberitahukan tadi pagi oleh Kepala Sekolah bahwa ia harus menjadi wali kelas dari kelas 12 IPS 5. Kelas yang diberitakan akan menjadi kelas yang paling kacau dari semua kelas yang ada. Karna hampir dari semua murid laki-laki yang nakal dan pembangkang berada di kelas ini. Dan ini adalah tugas berat baginya. Baru masuk saja, dirinya sudah disuguhi aksi bullying secara psikis yang dilakukan oleh anak muridnya sendiri.
Tapi dia yakin dia bisa mengatur semua anak disini. Ia akan mencoba untuk tegas. Dan akan ada banyak cara yang harus dilakukannya untuk menyetir anak-anak ini menjadi anak yang penurut. Setidaknya kepadanya.
“Sssshhh... Andra, Andri! Kalian tidak boleh seperti itu dengan teman sendiri. Kalau kalian masih membullyDivo, saya tidak akan segan-segan mengurangi point seratus kalian. Termasuk semuanya! Yang melanggar akan saya kurangi point seratus kalian, dan kalian akan dikeluarkan. Saya tidak sedang menggertak kalian. Ingat itu!”
Setelah peringatan itu, Meilani tak lagi mendengarkan apa yang dikatakan oleh Mrs. Ketie. Baginya, apapun yang akan dilakukan Mrs. Ketie pada kelas ini pasti untuk kebaikan mereka semua.
Pikiran Meilani kembali pada majalah sialan itu, dan orang yang dimaksud di dalam ramalannya.
Meilani berpikir, apa itu benar? Karna mana mungkin semua orang yang mempunyai zodiak yang sama sepertinya mengalami hal yang sama dengannya? Mana mungkin orang yang berzodiak sama sepertinya mempunyai Secret Admirer di belakang barisan mereka? Kalau orang yang berzodiak sama dengannya itu tidak duduk di depan tapi malah di belakang, bagaimana? Siapa yang harus ditunjuk menjadi Secret Admirer kalau seperti itu?
Belum lagi, orang yang sudah bekerja dan mempunyai zodiak yang sama dengannya apa mereka akan melihat kalau mereka punya Secret Admirer di kantor mereka yang tidak berbaris seperti di kelasnya ini?
Iya. Yang membuat ramalan ini pasti gila. Dia tidak berpikir panjang untuk menuliskan ramalan aneh macam itu.
Tapi bagaimanapun juga, sisi penasaran Meilani yang paling dalam malah membenarkan ramalan itu. Bagaimanapun juga di sudut hatinya, dia mempercayai ramalan itu dan membuatnya kini gila karna memikirkannya.
Lamunan Meilani dihentikan dengan keributan dan kekacauan di sekitarnya. Semua murid menampakkan wajah kecewa dan frustasi. Lalu, Meilani mendengar suara Tika mengerang disebelahnya. Sangat frustasi.
“Eh, kenapa lo?”
Tika memutar matanya. “Ya ampun Mel, lo tuh bolot ya? Mrs. Ketie barusan bilang kalo dia bakal ngatur tempat duduk kita. Barisan bagian gue nih, dari Jimmy, gue, Tata, Randa, sama Dion,” Tika menunjuk orang yang duduk di depannya sampai tiga bangku dibelakangnya. “disuruh pindah ke barisan disebelah lo. Jadi kita disuruh tuker tempat.”
Meilani masih bingung dan belum bisa mencerna maksud dari penjelasan Tika. “Jadi kita pindah ke barisan di sebelah?”
“Lo gak pindah. Lo tetep disini. Yang pindah baris kiri tangan kanan Mrs. Ketie aja. Yang kanan tetep stay di tempat,” katanya Tika.
“Oh.” Dalam hati Meilani menyeringai.
Syukurlah ia tidak lagi duduk sebangku dengan Tika si manja. Walaupun mereka masih satu kelas, setidaknya untuk membebaskan Meilani, tak sebangku lagi dengan Tika sudah anugerah yang indah untuk dirinya.
Tika cemberut. “Yah, Mel. Kita gak sebangku lagi…” rengutnya.
Giliran Meilani yang memutar matanya. “Ck, cengeng deh. Lo juga pindah gak jauh-jauh banget. Masih disebelah gue. Walaupun disebrang sana.”
“Tapikan gue jadi gak bisa curhat sama lo lagi—”
“Kita masih sekelas Tika…” ujar Meilani dengan sabar.
Suara Mrs. Ketie terdengar menyela di seluruh ruangan yang ribut dan memprotes pengaturannya.
“Oke, sekarang waktunya kalian pindah ke tempat yang sudah saya tentukan. Please moving quickly. Because I’m gonna tell you the other rules. Go!”
Semua murid yang duduk disebelah kanan mulai berpindah ke tempat yang sudah ditentukan. Sambil tetap menggerutu.
Meilani dengan senang hati menyambut teman sebangku barunya. Untungnya Meilani pernah sekelas dengan cewek berbadan gemuk ini waktu kelas 11 kemarin. Sayangnya mereka tidak begitu akrab. Namanya Anela Nirwa. Cewek ini biasa dipanggil Nela.
“Huaaah… Mrs. Ketie nyeremin ya,” gumam Nela saat ia sudah duduk disebelah Meilani. Meilani tersenyum singkat. Masih sedikit ada rasa canggung saat ia harus beradaptasi dengan orang yang belum terlalu akrab dengannya.
“Iya.” Meilani memutuskan untuk membuang rasa canggungnya. Ini adalah salah satu kebiasaan buruknya yang susah dihilangkan. “Kayaknya Mrs. Ketie punya seribu aturan buat bikin anak-anak disini terkendali, deh,” bisiknya.
“Uh, iya! Aturan apalagi nih yang bakal dia terapin ke kita.”
Meilani hanya mengedikkan bahunya. Tanda bahwa ia tidak tahu.
Setelah semua kekacauan sedikit mereda karna perpindahan ini, Mrs Ketie mulai menyebutkan aturan lainnya untuk mengatur tempat duduk muridnya.
“Well, saya mau kalian duduk selang-seling. Laki-perempuan-laki-perempuan. Sampai kebelakang. Jadi, baris pertama dari pojok sana,” Mrs ketie menunjuk barisan disebelah barat. “yang duduk paling depan adalah laki-laki, dibelakangnya perempuan. Setelah itu barisan kedua, yang duduk paling depan adalah perempuan dan dibelakangnya laki-laki. Dan begitu seterusnya.
Jadi, bagi yang barisannya masih belum selang-seling. Laki-laki dan perempuan. Saya minta kalian bertukar tempat kembali.”
“Wuuuuuu…” sorak murid-murid.
Mrs. Ketie melotot. Memberikan tatapan peringatan. Menunggu beberapa anak yang harus pindah tempat. Lagi. Setelah pindah, ia menyebutkan kembali aturan lainnya bahwa mereka setiap hari duduknya harus di-rolling. Yang tadinya duduk di depan, keesokannya harus mundur ke kursi belakang. Dan yang duduk paling belakang, otomatis besoknya mereka harus duduk di kursi paling depan. Begitu seterusnya.
“Karena kalian sudah kelas 12, yang mana dalam beberapa bulan ke depan akan menghadapi Ujian Sekolah maupun Ujian Nasional. saya mau kalian fokus pada apa yang sedang dijelaskan oleh guru di papan tulis. Saya tidak mau yang memerhatikan hanya barisan depan saja. Kalian punya hak yang sama. Untuk itu saya mau kalian rolling tempat duduk kalian setiap harinya.
Selain kalian semua punya hak untuk memerhatikan apa yang sedang dijelaskan, kalian juga akan mendapatkan suasana yang berbeda tiap harinya. So, kalian tidak akan menjadi terlalu stress, kan?” tutur Mrs. Ketie dengan semua alasannya melakkukan pengaturan ini.
Meilani berpikir dari sisi positif yang dimaksud Mrs. Ketie. Benar juga. Mereka jadi bisa bertukar pikiran dengan teman-teman yang belum terlalu akrab dengannya. Lagipula karna aturan ini, tempat duduk Meilani menjadi lebih jauh dengan Tika. Well, setidaknya itu keuntungan lainnya buat Meilani.
Dia tersenyum senang. Dalam hati juga menerka-nerka, pasti Tika lagi mengumpat habis-habisan dengan aturan menggelikan ini.
Pikiran Meilani tentang ramalan zodiak itu teralihkan oleh banyaknya aturan yang dibuat oleh Mrs. Ketie. Ia terlalu senang dengan aturan yang menguntungkan ini.
Meilani tak lagi harus terlalu munafik terhadap Tika.
***
Meilani makin senang karna Nela –teman sebangkunya- tidak seperti Tika yang manja. Nela benar-benar berbeda. Gadis gemuk ini pintar, baik, dan sangat amat polos dengan sesuatu hal yang tidak berkaitan dengan mata pelajaran. Hal ini membuatnya begitu lucu dan asik untuk dijadikan teman. Atau terkadang sebagai bahan candaan.
Keesokan harinya, Meilani datang sedikit terlambat dari waktu yang sudah ditentukan oleh sekolah. Tapi beruntung, dirinya bisa lolos dari hukuman guru piket hari itu. Saat ia sampai di kelas, Meilani sedikit lupa dengan peraturan baru yang harus dilakukan semua murid di kelasnya. Sampai Nela menyentaknya dari lamunannya di depan kelas.
“Eh, Mel… lo lupa duduk sama gue?” tanyanya diikuti kekehan geli yang khas dari suara Nela. Meilani menyeringai, menyadari kebodohannya. Dengan cepat ia melangkahkan kakinya ke tempat dimana Nela duduk. Tempat duduknya mundur satu kursi ke belakang. Sehingga mereka duduk di barisan ketiga.
“Gue pikir gak ada tempat duduk buat gue, hehehe…” ucap Meilani saat ia melihat ke depan. Tempat duduknya yang kemarin sudah ditempati oleh pasangan Kalma dan Ben. Sedangkan di depan mereka ada Altan dan Farhan.
Altan duduk di depan?
Oh ya. Sudah pasti. Secara kemarin Altan duduk di barisan paling belakang, dan karena hari ini sudah mulai ‘rolling sit’ maka Altan dan teman sebangkunya pindah ke depan.
Melihat Altan duduk di depan, pikiran Meilani kembali lagi ke ramalan bintang sialan itu.
Sial. Kalo dia baca ramalan di majalah itu hari ini, apakah mungkin orang sama yang dimaksud? kalo dia baca ramalan sialan itu hari rabu, kamis atau jumat, apa tetap akan orang itu?
Jelas tidak. Dia tau tempat duduk mereka akan berputar setiap harinya, tidak akan pernah tertuju pada orang itu jika Meilani tak membaca majalah itu kemarin.
Dan demi apapun, Meilani mengutuk orang yang membuat dirinya membaca majalah sialan itu kemarin. Kenapa dia gak baca hari ini saja? Pasti dia tidak akan pernah sampai sebegitu terganggu pikirannya.
Meilani sangat sangat senang karena dua cowok yang duduk di depan mejanya dan Nela adalah dua cowok lainnya yang memiliki selera humor yang mampu membuat dirinya tak mampu bernapas dengan baik.
Setiap hari selalu saja Kalma dan Ben mengeluarkan joke-joke yang membuat Nela tak mampu menahan air seninya keluar. Kalau dua orang itu sudah melawak, muka mereka semua memerah karna terlalu lama menahan tawa.
Meilani sadar selama dia duduk, bercanda dan tertawa dengan Nela, Kalma dan Ben, ia selalu menangkap Altan yang sedang memandang dirinya. Terkadang ia bisa lihat saat Altan membuka mulutnya untuk menegurnya –entah dengan teguran yang sopan atau malah menjengkelkan- tapi yang jelas, saat ia ingin melakukannya, mulutnya kembali tertutup dengan terpaksa.
Meilani melihat ada sesuatu yang berbeda dengan Altan beberapa hari ini. Ia seperti terlihat sedang menguasai emosi yang berkecambuk di dalam dirinya. Meilani benar-benar sadar akan hal itu.
Itu semua karena dia memerhatikannya. Diam-diam sisi keingintahuan Meilani selalu menyeret dirinya untuk memerhatikan orang itu. Tapi sisi sadar Meilani selalu menolak pemikiran untuk memerhatikannya. Dan tentu saja rasa ingin tahu seseorang pasti akan mengalahkan segala sesuatu yang menurut akal mereka ingin dihindari.
Dan Meilani sadar, bahwa ia berubah jadi memerhatikan Altan karna ramalan di majalah itu. Gara-gara ramalan itu, Meilani mempunyai rasa ingin tahu yang besar untuk mengukur apakah yang ditulis di artikel zodiak itu memang benar atau tidak.
Semakin lama, semakin Meilani sering memerhatikannya diam-diam.
Ia berharap tak akan ada yang tahu. Ia berharap wajah tanpa ekspresinya menyembunyikan apa yang berkecambuk di benak dan…hatinya.
***
Sudah hampir dua bulan kelas Meilani selalu menaati peraturan yang diberikan oleh wali kelas mereka. Sebenarnya mereka sudah sangat gerah untuk membangkang dan kembali berulah. Tapi apa daya, mereka hanya tinggal menghitung bulan untuk berada di sekolah ini.
Menjadi murid yang baik adalah satu-satunya cara agar wali kelas mereka tak marah dan mengabaikan mereka yang sedang butuh-butuhnya bimbingan untuk Ujian Nasional nanti.
Meilani hari ini duduk di bangku barisan paling belakang. Tapi ia dan Nela langsung menelan ludah saat semua teman sekelasnya sepakat untuk tidak merolling tempat duduk mereka lagi.
Meilani dan Nela menatap khawatir pada teman-teman mereka yang duduk di tempat mereka semula.
Nela cepat-cepat berkomentar, tapi hanya berupa gumaman saja.
“Kok gak pada rolling tempat duduk lagi, sih?”
Meilani melirik Dion yang duduk tepat diseberang mejanya. “Capek kali Nel, pindah-pindah mulu tiap hari,” kata Dion yang mendengar gumaman Nela.
“Yaudah kalo gitu kita pindah ke tempat duduk kita yang di depan aja, yuk, Mel,” ajak Nela pada Meilani.
Meilani mengangguk.
“Eh, ngapain sih Mel, Nel, pindah lagi? Udah disini aja.” Dion berusaha mencegah niat Nela dan Meilani yang ingin kembali pindah ke tempat duduk mereka semula.
Fadlan yang duduk disebalah Dion ikut menambahkan, “Iya, udah Nel, lo disitu aja berdua Meilani. Biar Mrs. Ketie gak curiga kalo kita gak rolling.”
Meilani mengernyit. Siapa juga yang gak bakal sadar kalo mereka tidak merolling tempat duduk mereka kalau hanya Meilani dan Nela saja –perempuan- yang duduk dibarisan paling belakang?
Hanya Meilani dan Nela murid cewek di kelas ini yang benar-benar duduk dikelilingi para cowok-cowok.
Hampir dari mereka semua yang berada disekelilingnya cowok. Dan mereka terperangkap.
Nela adalah orang yang begitu takut jika harus dikelilingi dengan hampir seluruh murid laki-laki di dekat tempat duduknya. Ia sangat khawatir terhadap laki-laki. Apalagi yang modelnya seperti Altan.
Untung saat itu Altan berada satu bangku di depan. Terhalang oleh Kalma dan Ben.
Tadinya Nela tidak ingin dalam posisi belajar seperti ini. Di samping kiri-kanan dan depan mereka semua laki-laki. Nela pikir ia harus benar-benar mengajak Meilani menjauh dari tempat duduk itu. Tapi karena banyaknya desakan dari hampir seluruh murid laki-laki yang meminta dirinya dan Meilani untuk tetap duduk di belakang membuat Nela tak bisa bertindak apa-apa.
Nela terlalu takut dengan desakan teman cowoknya yang memintanya untuk tetap disitu.
Setelah berkompromi dengan Meilani, akhirnya Nela membatalkan niatnya. Ia melenguh.
“Ahhhh…kalo gue gak dipelototin sama anak cowok, gue bakal tetep pindah nih Mel. Mereka serem-serem banget sih.”
Meilani tersenyum. Ini juga salah satu alasan mengapa Meilani lebih nyaman duduk sebangku dengan Nela. Ia terlalu takut dengan yang namanya cowok. Sebenarnya tidak terlalu takut, hanya saja Nela terlalu minder untuk lebih akrab dalam bersosialisasi dengan makhluk laki-laki karena kurangnya rasa percaya diri yang ada dalam dirinya. Nela tak begitu percaya diri dengan berat badannya yang melebihi berat badan semua murid perempuan di kelasnya.
Dan Meilani benar-benar bersyukur ia mempunyai Nela untuk menjadi teman sebangkunya.
“Gue juga pengen pindah, Nel. Gak enak diliatin sama cewek-cewek yang laen. Nanti disangkanya kita terlalu lenjeh gak mau pindah, malah milih di deket cowok-cowok gini. Ihhh…” kata Meilani bergidik.
Nela makin takut. “Ya ampun iya ya? Duuhhh, gimana nih Mel?” tanyanya polos dengan mimik muka penuh dengan rasa cemas.
Meilani mengedikkan bahunya. Ia melihat kedepan barisannya. Dan mendesah. “Kalo kita pindah ke depan sekarang, nanti kita duduk di depan Altan loh. Emang lo mau?”
Nela melemparkan tatapan mata lebarnya ke depan. “Ihhh…gak, gak! Yaudah Mel, kita disini aja.”
Setelah bel jam istirahat kedua berbunyi nyaring, memekakkan telinga dis eluruh penjuru Lagoon HS, Meilani yang kebetulan pergi ke kantin bersama Nela, membelalakkan matanya saat ia kembali ke kelasnya.
Nela juga berekasi sama.
Mereka tercengang dengan siapa yang duduk di bangku depan mereka. Bukan Kalma dan Ben lagi seperti tadi pagi. Tapi sekarang digantikan dengan orang berwajah keras, kulit putih dan tatanan rambut yang acak-acakan.
Meilani menelan ludahnya dengan susah payah. Berusaha mengabaikan apa yang baru saja ditemukannya. Berusaha bersikap sanati seperti biasanya.
Saat Meilani dan Nela menempatkan pantat mereka di kursi mereka, Nel berbisik pada Meilani.
“Mel, kok Altan duduk di depan kita sih. Dia kan serem banget, Mel.” Nela tak pernah berani menatap Altan dengan mata tajam yang menyala seperti api itu. Tak akan pernah berani.
“Gak tau, Nel. Si Kalma sama Ben mana?”
“Kayaknya mereka disuruh pindah ke tempat semula lagi deh, Mel,” bisik Nela dengan tubuh merapat pada Meilani.
“Yaudah kalo gitu kita pindah, yuk?” ajak Meilani membuat keputusan.
Meilani benar-benar tak yakin apakah ia akan sesantai seperti biasanya menghadapi Altan karena orang itu tepat duduk di depannya, menjulang tinggi di depan matanya, setelah sekian lama ia memikirkan tentang ramalan menyesatkan itu.
Brengsek, batin Meilani. Telapak tangannya kini benar-benar basah. Ia dilanda kegugupan.
Tiba-tiba pikiran Meilani terganggu dengan teriakan Nela.
“Ben, kok lo pindah ke depan sihh?” tanyanya dengan suara merdu menggelegar. Ucapan Nela mendapat perhatian dari orang baru yang duduk di depan mereka. Tapi Nela mencoba tak menghiraukannya. Walaupun ia tahu bahwa orang yang duduk di depannya menatap Nela dengan mata melebar.
Ben yang duduk di barisan pertama balas menjawab, “Gak enak Nel duduk di belakang, gak keliatan.”
Kalma menimpali sambil tertawa, “Iya, si Ben kan kicer matanya.”
“Yah, gak enak kalo kalian pindah. Gak ada yang bisa bikin ketawa,” sahut Nela penuh kecewa.
Meilani melongo. Bener-bener gak percaya bahwa Nela berani menyindir seperti itu langsung di depan orangnya.
Meilani melirik orang yang ada di depannya. Ia tahu bahwa sikap orang di depannya ini berubah. Menjadi tegap dan tegang dan matanya waspada.
Dion yang tahu keadaan akan menjadi buruk langsung menginterupsi. “Nel, emang kenapa si kalo Ben pindah. Biarin aja kenapa. Lo disini aja Nel, nemenin gue,” rayu Dion dengan menawarkan senyum seribu mega watt nya yang menggoda.
Nela meringis. “Ihh, apaan sih, Yon. Gak enak tau, masa gue sama Meilani doang disini yang cewek. Sekeliling kita cowok semua masa.”
Dion berpikir cepat. “Yaelah, Nel, takut banget. Emang kita mau ngapain elo ama Meilani si.” Dion terdengar sedikit jengkel menghadapi kekeras kepalaan Nela.
Perdebatan anatara Nela dan Dion mendapat banyak perhatian dari semua anak cowok yang duduk di dekat mereka. Semuanya menatap dengan rasa ingin tahu yang begitu besar.
Meilani ingin ikut berkomentar dan beradu argument, tapi tatapan tajam di depannya benar-benar membekukan semua kata yang akan diucapkannya.
Stop, mikirin ramalan sialan itu, Meilaniiiiii… dia marah pada dirinya sendiri karna memercayai ramalan itu.
Fadlan menyahut. “Yaudah kalo lo takut, lo cewek berdua doang di belakang sini—” ucapan Fadlan mendapat tatapan tajam penuh intimidasi dari Altan. “Kita ajak deh Nurmala sama Kesha, duduk di depan gue.”
“Iya, iya.” Dion membenarkan.
Meilani dan Nela terperangah. Begitu keukeuhnya Dion, Fadlan, dan Farhan untuk mempertahankan mereka tetap berada disini.
Dengan tangkas, Dion dan Fadlan berhasil membujuk Nurmala dan Kesha untuk pindah ke tempat di depan mereka. Dengan menggunakan trik dan berbagai macam rayuan dikerahkan oleh Dion dan Fadlan.
Dan dalam sekejap, Nurmala dan Kesha sudah duduk di depan Dion dan Fadlan.
Altan menurunkan bahunya yang menegang.
“Nah, tuh Nel. Udah ada Nurmala sama Kesha disini. Gak usah takut deh.” Fadlan mencibir sambil melirik kesal pada Nela.
Dion memutar matanya. “Tau lo, Nel. Panik banget. Meilani aja selow banget tuh. Lo gak mau pindah kan, ya, Mel?”
Meilani melotot. “Yee…siapa bilang gue gak mau pindah. Itu ide gue sama Nela, tauuu…”
Dion yang duduk tepat di sebrang kiri Meilani mengulurkan tangannya untuk menggeplak lengan Meilani dengan penggaris plastik. Meilani mencoba menghindar, tapi Dion malah memutuskan untuk melempar penggarisnya.
“Jangan nyusahin gue lo!” ucap Dion dengan nada memerintah.
***___***___***___***
Sudah lebih dari seminggu Meilani dan Nela duduk menetap di belakang. Dan aneh, Mrs. Ketie tak mempermasalahkan dan tak memerdulikan kelasnya yang sudah berhenti ‘menganut’ aturan rolling sit-nya.
Meilani dan Nela saat itu benar-benar putus asa, karena orang satu-satunya yang mereka harapkan untuk menyelamatkan mereka dari posisi tempat duduk mereka yang mengerikan ini, malah diam saja. Tak bereaksi apa-apa.
Nela yang duduk di samping Meilani menegang. Hampir terdengar suaranya yang seperti terkejut. Meilani yang bingung dengan reaksi Nela, menoleh ke depan.
Meilani ikut menegang.
Di depannya, ia jelas-jelas melihat Altan dengan kasar dan kejamnya memukulkan kepalan tangannya untuk memukul Farhan. Menghujamkan pukulannya pada tubuh Farhan dengan buas.
Farhan sampai meringis dan meringkuk menundukkan kepalanya saat menerima hujaman pukulan dari Altan.
Nela menggenggam tangan Meilani dibawah meja. Lalu berusaha menyibukkan diri untuk mengalihkan perhatiannya dari adegan luar biasa liarnya dari seorang Altan.
Meilani menelan ludah melihat Farhan yang tak berkutik dan bereaksi atau balas memukul Altan. Bahkan saat Altan mengatakan “Mampus lo! Mampus!” saat ia bertubi-tubi memukuli Farhan.
Meilani tak tahu apa yang menyebabkan Altan seperti itu. Tiba-tiba saja ia dikejutkan dengan suara dentuman badan yang dipukuli begitu kerasnya.
Altan terengah-engah sambil menyeringai puas saat ia menyelesaikan aksi kejamnya itu. Ia menyempatkan diri untuk melirik ke arah Meilani lama, lalu ke arah Nela yang menundukkan kepalanya –terlihat sangat takut. Lalu kembali lagi melirik Meilani.
“Shit!” makinya lalu beranjak pergi dari tempatnya.
“Meeeellll…” Nela merengek ketakutan pada Meilani. Mukanya terlihat sangat cemas dan hampir mau menangis.
“Farhan lo gapapa?” tanya Meilani iba.
Farhan tersenyum lemah. Menggelengkan kepalanya lalu menggumam, “Brengsek tuh orang.”
“Lo yang brengsek, sialan!” maki Dion yang langsung berdiri dari tempatnya. Ingin terlihat garang tapi malah terlihat seperti orang yang jengkel.
Saat Altan sedang memukuli Farhan tadi, Dion hanya melihat dan menahan nafas di tempatnya. Ia tahu kalau ia tak akan bisa menghentikan Altan yang sedang berada di luar kendali seperti itu. Sementara ia tak bisa menghentikan Altan, Dion mempelajari reaksi Meilani dan juga Nela yang meilhat adegan yang mengerikan itu.
“Lah, kok gue?” tanya Farhan polos, sambil tetap meringis dan memegang pundaknya yang sakit dan mulai terlihat memar.
“Diem lo!” sentak Dion.
Lalu melangkah cepat meninggalkan kelas. Mencari Altan. Sekarang dia yang ingin menggebuki Altan bertubi-tubi karna merusak semua rencananya.
0 comments:
Post a Comment