EMPAT BELAS
Altan Calling...
Meilani menarik nafas panjang untuk menetralisir rasa takut? gugup? atau malah senang karena mendapat telpon dari Altan? Oh, baiklah, bukan mendapat tapi menerima. Karna memang panggilan itu bukan ditujukan untuk dirinya, tapi Tika.
Meilani tak mengucapkan satu kata pun setelah dirinya menekan tombol hijau pada handphone milik Tika.
Orang yang melakukan panggilan disana pun juga tak menunjukan adanya kehidupan sama sekali. Sampai-sampai Meilani harus menjauhkan handphone itu dari telinganya dan melihat kembali, apakah panggilan tersebut masih tersambung dengannya atau tidak.
Lah, kemana nih orang? batin Meilani sambil mengernyitkan dahinya.
Terdengar suara grasak-grusuk diseberang sana saat Meilani kembali meletakkan handphone itu di salah satu telinganya, lalu seperti suara seseorang yang sedang menarik nafas panjang.
Akhirnya orang itu mulai bicara,
“Ini pasti bukan Tika,” kata orang itu memberikan pernyataan.
“Tikanya lagi di toilet. Lo telpon lagi aja nanti kalo dia udah keluar.” Meilani tak mau berbasa-basi.
“Gue tau dia lagi di toilet. Makanya gue telpon.” Ada suatu kepuasan dalam suara Altan. Dan saat mendengar suara yang diucapkan Altan, Meilani bertaruh kalau Altan pasti sedang tersenyum disana.
Meilani berdecak. “Kalo udah tau ngapain nelpon? Toh, gak bakal diangkat juga,” gerutu Meilani.
“Tapi diangkat juga sama lo.”
“Itu karna gue disuruh Tika!”
“Well, gue yakin dia emang nyuruh lo,” kata Altan dengan suara tenang sekaligus senang. “Lo ngapain di rumah dia? Bukannya pulang.”
“Yee...suka-suka gue dong! Masalah buat lo?!”
Altan tertawa sinis. “Kok elo masih sewot banget sih sama gue?” tanya Altan serius.
“Bukannya lo tau alasannya, ya?”
“Karna gue terlalu ganteng, trus lo belom jadi pacar gue, makanya lo sewot sama gue. Iya, kan?” Meilani menjulurkan lidahnya, “Eewwwh,” ucapnya seperti orang yang sedang muntah.
Di seberang sana, terdengar Altan yang sedang tertawa geli. “Jangan tawa lo! Mau muntah gue dengernya,” sungut Meilani sambil mendengus.
“Muntahin cinta lo sih gak papa,” gumam Altan pelan. Tapi Meilani bisa mendengarnya. Dan itu membuat Meilani ketakutan. Merasa ngeri karna tiba-tiba Altan menggombalinya.
Meilani menjauhkan telponnya, lalu menjerit ngeri. “Huaaa...Tika! pacar lo nih!!!”
Dan ajaib, Tika langsung keluar dari dalam toilet yang berada di dalam kamarnya. Meilani kini lebih menjauhkan handphone Tika dengan mimik wajah yang jijik. Tika mengambil handphone miliknya dan menaruhnya di telinga kirinya. Wajahnya berubah menjadi mengkerut-kerut karna ia tak mendengar suara apapun di seberang sana.
“Halo, Al? Halo? Sayang?”
Meilani mengerucutkan bibirnya, jengkel.
“Gak ada siapa-siapa kok Mel ditelepon.”
Meilani melongo. Hampir tidak percaya. “Yee...tadi masih nyambung kok.”
Tika menunjukkan handphone-nya ke depan muka Meilani. “Ya ini buktinya udah mati.”
Meilani hanya mengangkat bahunya. Perasaan cemas yang aneh menghampiri dirinya. Pikiran bahwa Altan mempunyai maksud khusus menelpon Tika saat orangnya tidak ada di tempat, dan hanya menginginkan berbicara dengannya itu malah membuatnya merasa bersalah. Bagaimana kalau Tika salah paham?
Altan ingin berbicara hanya dengan dirinya. Gak, gak, gak!!! Meilani cepat-cepat mengusir pikiran itu jauh-jauh dari dirinya.
“Trus dia bilang apa aja sama lo?” tanya Tika penasaran. Ia menatap Meilani dengan serius. Sampai-sampai Meilani salah tingkah dibuatnya.
“Eh...itu...tadi tuh dia nanya lo lagi ngapain. Trus gue bilang aja lo lagi di toilet. Gue suruh telpon lagi nanti. Udah.” Gak akan pernah Meilani memberitahu Tika kalau tadi Altan menggombalinya.
“Itu doang?” Tika mengangkat sebelah alisnya untuk memastikan.
“Yaa...iya. itu doang. Lo pikir gue mau ngomong lama-lama sama tuh orang?”
“Tapi kayaknya tadi lama banget ya, jeda waktu pas telpon berenti bunyi-yang itu artinya udah diangkat sama lo- sampe lo manggil-manggil gue tadi,” gumam Tika.
Meilani menghela nafas, jengkel. “Itu karna gue berantem dulu sama dia. Lo emang mau tau apa yang gue ributin? Gak kan? Nah...pokoknya inti pembicaraannya tuh, dia Cuma nanyain lo doang.”
“Oh.” Setelah itu, Tika kembali fokus mengutak-atik handphonenya. Menekan sederatan nomor yang dihafalnya di luar kepala. Menelpon Altan, pastinya. Siapa lagi?
Dan karena sudah merasa tak dihiraukan lagi di kamar ini. Meilani memutuskan untuk pamit pulang ke rumah. Sempat didengarnya percakapan Tika dan Altan saat Meilani membuka pintu kamar Tika.
“Iya, pulang sendiri...”
***___***___***___***
Kesabaran Meilani masih harus diuji ternyata. Hampir setiap hari di sekolah, lebih tepatnya di kelas, Meilani harus merelakan dirinya untuk menyingkir dari tempat duduknya sendiri di saat Altan dan Tika mulai bermesraan.
Dengan enggan, ia akan pindah ke belakang. Terkadang Meilani bergabung dengan teman-teman cewek di kelasnya menggosipkan sesuatu —yang lebih banyak dari mereka mencibir Tika -yang menurut mereka- dengan teganya mengusir Meilani dari tempat duduknya sendiri. Padahal Meilani lah yang tak mau berada di dekat orang yang sedang berpacaran seperti mereka. Dan Meilani dengan bijak akan menjelaskan mengapa ia lebih memilih untuk menyingkir dari tempatnya, bukan karena Tika yang tega mengusirnya. Tika malah memohon pada Meilani untuk tetap menemaninya. Tapi apa Meilani mau menjadi ‘kambing conge’ di tempatnya sendiri?
Tapi siapa peduli? Dari awal mereka sudah menilai bahwa Tika memang tega. Dan apapun yang dijelaskan Meilani, membuat keprihatinan mereka makin meningkat. Dan karena tak bisa mengubah apapun yang diasumsikan teman-temannya, setiap kali mereka mulai membahas ini, Meilani hanya bisa tersenyum canggung menanggapinya.
Well, sebenarnya Meilani tidak akan menjadi ‘kambing conge’ di tempat duduknya, jika Anjas masih berada di tempatnya. Tapi siapa yang bisa mencegah kalau Anjas adalah seorang anak laki-laki yang tak bisa diam? Anjas selalu berkeliling bahkan lebih sering memilih untuk keluar kelas jika ternyata kelas mereka sedang kosong. Dan itulah salah satu alasan ‘lainnya’ yang membuat Meilani dengan amat sangat terpaksa memutuskan untuk menyingkir dari tempat duduknya.
Dan saat Meilani terlalu muak dengan apa yang teman-temannya bicarakan, Meilani akan lebih memutuskan untuk pindah ke tempat Dion. Saat Meilani mendatangi tempat duduk Dion, maka Dion akan dengan sangat senang menyambut kedatangan Meilani. Bahkan Dion pernah mengajak Meilani untuk duduk di tempatnya saja, daripada ia selalu berpindah-pindah tempat jika jam pelajaran sedang kosong.
Kata pertama yang biasanya diucapkan Dion untuk menyambut kedatangan Meilani di tempatnya adalah, “Halo...gitar Spanyolku.” Yang selalu membuat Meilani menyeringai. Dan terkadang, jika Dion merasa Meilani terlalu senang dengan sapaannya itu, Dion akan buru-buru menambahkan, “Gitar Spanyol tua-ku!” katanya diikuti dengan kekehan yang menggelikan dan akan dibalas Meilani dengan tamparan di lengannya.
Dibandingkan dengan teman-teman ceweknya yang selalu mencibir Tika, Dion lebih memilih untuk bercanda dengan Meilani atau curhat segala sesuatunya kepada Meilani.
Semakin kesini, Meilani mulai menganggap Dion sebagai sahabatnya. Selalu menghibur dirinya. Bahkan terkadang mereka mengejek satu sama lain, mengumpat, dan pura-pura bertengkar. Sudah tak ada lagi kecanggungan diantara mereka,pastinya. Dan ada yang mengganggu pikiran Meilani saat ia mulai akrab dengan Dion. Entah karena perasaannya saja atau memang pada kenyataan yang dilihatnya seperti itu, ia terkadang menangkap Altan memandang dirinya dengan pandangan tak suka. Seperti ingin memarahi dirinya, tapi ia tak melakukannya.
Yang paling menyebalkan adalah saat Meilani beranjak dari tempat duduknya ke tempat Dion, tak lama kemudian Altan akan berteriak untuk mengejek Dion dengan ejekan yang hanya dimengerti oleh mereka berdua. Lebih terdengar seperti sebuah kode. Kode yang menyindir.
Atau malah, tak sampai lima menit Meilani duduk di tempat Dion, Altan tau-tau sudah tak ada di tempat duduknya. Meninggalkan Tika sendirian. Sehingga Tika selalu merengek pada Meilani untuk duduk kembali di tempatnya. Menemaninya. Sebenarnya Meilani mau saja balik kembali ke tempatnya, tapi Meilani lebih tergiur untuk bercanda dengan Dion daripada harus mendengarkan ocehan Tika yang kebanyakan membicarakan Altan.
***
Dan waktupun berlalu begitu cepat. Sampai-sampai Meilani baru menyadari kalau ujian akhir sekolah hanya tinggal dua minggu lagi dari sekarang. Itu artinya dia akan segera naik kelas. Dalam hati Meilani berdoa agar ia tak lagi sekelas dengan Altan ataupun Tika.
Dia butuh kebebasan. Setidaknya waktunya bersama Tika akan berkurang jika mereka sudah tidak lagi sekelas.
Bukannya Meilani tak suka lagi berteman dengan Tika. Dia dan Tika masih akan berteman. Namun terkadang, ia merasa Tika itu terlalu lebay dan manja dan bertingkah polos –lebih seperti dibuat-buat. Dan daripada Meilani harus membohongi dirinya sendiri untuk menerima Tika dengan apa adanya dirinya, ia lebih memilih untuk sedikit menghindar dari Tika.
Sebenarnya Tika adalah teman yang baik dan orang yang juga mengerti dirinya. Itu tadinya. Sekarang, ia merasa Tika sedikit berubah setelah berpacaran dengan Altan. Terkadang selalu bertingkah manja untuk sesuatu hal yang sepele. Yang mana lama-kelamaan membuat Meilani sedikit jengkel dengan perubahan sikapnya itu.
Diam-diam Meilani bertanya, apakah jika Tika putus dengan Altan, ia akan kembali seperti Tika yang biasanya? Tika yang baik dan dewasa? Tidak kekanak-kanakan?
Entahlah. Meilani berharap untuk segera cepat-cepat naik kelas, dan melihat apakah ia mendapatkan kelas yang sesuai dengan harapannya atau tidak. Sambil menunggu-nunggu, berarti Meilani masih harus dengan sabar mendengarkan dan menanggapi curhatan Tika yang...well, terlalu dilebih-lebihkan dan dimanja-manjakan suaranya.
Faktanya, kali ini Tika mengajaknya ke taman belakang saat sedang istirahat untuk mendengarkan curhatnya. Meilani terpaksa mengikuti Tika saat Tika menyeretnya dengan paksa kesana.
“Mel, gue mau curhat nih.” Mereka berdua kini duduk di bangku yang terbuat dari pohon yang ditebang dan diperhalus atasnya. Ada lima bangku yang mengelilingi meja yang juga terbuat dari pohon yang ditebang yang ukurannya lebih besar dua kali lipat dari bangku-bangku disekelilingnya.
Meilani meyedot Milk Shake cokelatnya sambil mengangkat alis. Bertanya melalui isyarat tubuhnya.
Tika memanyunkan bibirnya, mengaitkan jari-jemarinya dan meremasnya dengan kesal dan putus asa. “Gue putus sama Altan...semalem,” mulainya dengan kepala tertunduk.
Meilani langsung tersedak dengan minumannya sendiri, lalu mencoba menyedot lebih banyak Milk Shake-nya untuk menetralisir tenggorokannya yang sakit akibat tersedak.
“What?!?!?! Serius lo?!”
Tika mendongak menatap Meilani. Lalu menganggukkan kepalanya. “Kenapa? Kok bisa? Bukannya selama ini kalian baik-baik aja, ya?” Meilani merasa bingung. Pasalnya, kalau tidak salah, hubungan mereka ini sudah bertahan cukup lama. Mungkin hampir 5-6 bulan, kalau Meilani tak salah ingat. Dan sekarang, apa? Mereka berdua putus? Kenapa?
Tika mengamati daun kering yang berterbangan dari pohon di dekat ia duduk. Daun itu menampar hidungnya lalu mendarat di pangkuannya. Tika mengambilnya, lalu melanjutkan kembali curhatannya sambil meremas-remas daun yang rapuh itu.
“Lo gak perhatiin ya? Udah lima hari gue diem-dieman sama dia. Gue...gue takut kayak apa yang lo bilang dulu,” Tika berusaha menelan ludahnya untuk membahasi kerongkongannya yang terasa kering. “jadi...gue putusin dia semalem.”
Meilani melongo.
Astagaaaa... Altan bener-bener gak punya hati. Kenapa dia tega lakuin itu sama Tika? Well, walaupun terkadang Meilani merasa muak dengannya, tapi tetap saja, sangat disayangkan bila mereka putus begitu saja.
Meilani mendekat pada Tika, lalu memeluk untuk menghiburnya. Meilani merasa bersalah. Samar-samar ia mengingat kembali percakapan saat ditelpon waktu di rumah Tika dulu. Ya ampun! Jangan sampe kekhawatirannya menjadi kenyataan. Jangan!
Jangan sampai Altan menargetkan dirinya sebagai ‘pacar singkat’nya. “Ya ampun, Tika, maaf ya.” Meilani mengeratkan pelukannya.
“Kenapa lo yang minta maaf, Mel? Bukan salah lo, kok. Gue malah berterima kasih banget sama lo udah ngingetin gue dari awal.”
“Gue...gue pasti udah bikin lo takut, ya, selama ini pacaran sama Altan? Duuhh...Tika sorry gue gak bermaksud gitu.”
Tika tertawa dengan terpaksa. “Gapapa, Mel. Ini udah resiko gue, kok. Gue cuma bisa buat dia berubah sedikit aja, itu juga udah syukur banget.” Tika mengernyitkan dahinya. Hal yang diingatnya untuk perubahan Altan adalah dia bisa merubah Altan tidak lagi bertengkar dengan Meilani. Hanya itu?
Tika menarik nafas dalam, menahannya, lalu menghembuskannya pelan-pelan.
“Lagian...gue juga sedikit salah.” Meilani melonggarkan pelukannya, menatap Tika dengan pandangan yang bingung. “Waktu itu Altan pernah dateng ke rumah gue. Dan dia marah gara-gara waktu itu gue lagi ngobrol-ngobrol sama Anjas dan Renno –temen rumahnya Anjas- di belakang rumah.”
“Temennya Anjas? Lo kenal?”
Tika menggeleng. “Gak, cuman waktu itu gue dikenalin sama Anjas. Trus mereka berdua suka dateng ke rumah gue abis pulang sekolah. Tadinya Altan cuman mergokin gue sekali, dan dia percaya gue gak ada apa-apa. Tapi...lo tau? Hampir setiap hari Anjas sama Renno mampir ke rumah gue. Gue gak enak, tadinya. Takut Altan mergokin gue lagi.
Dan itu emang kejadian. Dia bilang gue selingkuh. Tapi gak, kok, Mel. Sumpah! Lo percaya gue, kan?”
Meilani mengangguk. Dia percaya kalau Tika gak akan pernah selingkuh dari Altan. Tapi...apa maksudnya Anjas dateng hampir setiap hari ke rumah Tika? Di kelas mereka memang akrab. Selalu mengobrol, dengan obrolan yang menarik dan menyenangkan. Tapi Meilani bertanya-tanya, kenapa Anjas berani mendekati pacar dari seorang Altan yang sangat dingin dan kejam itu? Sampai membawa temannya pula.
Meilani kehabisan akal. “Yaudah, Tik. Kalo emang ini keputusan terbaik lo, gue cuman bisa ngehibur lo doang. Kalo dia terima diputusin sama lo, itu artinya dia juga emang udah gak suka lagi sama lo. Lo harus bisa move-on ya dari tuh orang,” kata Meilani sedikit iba.
“Gue yakin gue bisa move-on dari Altan. Emangnya cowok yang mau sama gue dia doang, apa.” Tika berusaha meyakinkan dirinya, walaupun kata-katanya malah tak menyiratkan keyakinan apapun. Ia tersenyum miris.
Meilani merangkul Tika. Lalu mengusap lengannya.
“Iya. Masih banyak cowok yang suka sama lo. Kayak temennya Anjas, mungkin,” kata Meilani terkikik saat menggoda Tika.
Tika merengut. “Ihhh...Meilani mah!”
***___***___***___***
Meilani menghabiskan dua minggu waktu libur kenaikan kelasnya dengan berdiam di rumah, atau terkadang pergi menghabiskan waktunya bersama Tika untuk belanja di Mall, atau nongkrong di cafѐ langganan mereka. Pernah suatu kali Meilani memutuskan pergi keluar rumah sendiri. Tanpa arah dan tujuan. Dan ketika ia menyadarinya, ia sudah berada di sebuah pemakaman umum di kawasan Jakarta Selatan. Di sebuah makam yang indah dan terlihat begitu tenang dan damai.
Saat itu Meilani tersenyum mengetahui dirinya berada di makam Zufar. Ia menarik nafas dalam. Tak lama, urat-urat di wajahnya kendur, bahunya merosot putus asa. Matanya hampir meneteskan air bening jika ia mengedipkan matanya dengan sekejap. Lalu dengan senyuman miris, Meilani berjongkok di pinggir makam yang sudah dipelur dengan keramik berwarna biru dan ditanami rumput gajah yang tumbuh dengan lebat di atasnya. Hatinya mencelos. Dadanya terasa sesak.
Meilani menggigit bibirnya. Berusaha menekan agar tangisnya tak terdengar menyesakkan. Setelah puas menangis tanpa suara di depan makam itu, Meilani cepat-cepat memanjatkan doa untuk orang yang terkubur di dalamnya.
Semoga dia selalu dalam lindungan-Mu, Tuhan. Semoga dia bahagia di surga-Mu yang indah. Doa Meilani pada saat itu.
***
Meilani tersenyum saat ia bisa menerobos kerumunan orang-orang untuk melihat papan pengumuman. Disana banyak kertas-kertas yang ditempel oleh pihak sekertariat sekolah untuk memberitahukan nama-nama murid yang sudah ditentukan berada di kelas mana.
Ketika jari Meilani menelusuri nama-nama di kertas yang menunjukan kelas dua belas, Meilani segera menemukan namanya terpajang di kelas 12 IPS 5. Kelas itu berada di lantai paling atas dari gedung sekolahnya, dan terletak di pojok bagian Timur.
Ia mengangkat alisnya. Well, semoga ini kelas harapannya. Jarinya kembali menelusuri kertas itu dari mula. Berhenti di beberapa nama yang dikenalnya, dan...kini ia putus asa. Melangkah mundur menjauhi papan pengumuman dan mulai menggerutu.
Sial, sekelas lagi sama Altan dan Tika. Pasti Tika—
“Meilaniiiii... ya ampun kita sekelas lagi. Yeiyyy! Duduk sama gue lagi, ya?” pinta Tika sambil merangkul Meilani dan menyeretnya menuju kelas baru mereka.
Meilani meringis dalam hati. Ya ampun, gue gak mau jadi orang munafik lagi........
“Oke.”
Mereka berdua memilih untuk duduk di barisan ketiga dari pintu dan kedua dari depan. Meilani mengamati orang-orang yang mulai berdatangan masuk ke kelasnya. Semakin lama, semakin memenuhi ruang kelas barunya. Dan Meilani menyeringai melihat ke arah pintu. Disana ia melihat Dion sedang berdiri hendak masuk kelas, tapi tertahan dengan sesuatu di luar sana. Tas ranselnya disampirkannya di salah satu kanannya, rambut pendeknya pirang dan rapi seperti biasa. Menampilkan Dion yang charming dan konyol.
Well, setidaknya Dion berada di kelas ini. ucap Meilani bersyukur dalam hati. Kemudian mengalihkan pandangannya dari Dion kepada Tika yang mencoba membicarakan gossip yang tertera di majalah remaja yang tadi pagi dibelinya. Astaga!!!
Dengan sedikit bingung Dion melangkahkan kakinya memasuki kelas barunya. Matanya menyusuri setiap sudut, mencari bangku kosong untuk ditempatinya. Saat menemukan tempat yang benar-benar masih kosong, dengan mantap ia melangkahkan kakinya ke tempat tujuannya. Langkahnya berhenti di tengah-tengah.
Lalu ia tertawa keras. “Eh, gitar Spanyol, lo di kelas ini juga? Wahhh, lo ngintilin gue mulu lo,” sapanya seraya menepuk pundak Meilani.
“Nenek lo kisut!” sungut Meilani, menatap Dion dengan pandangan yang menyebalkan. “Ngapain amat gue ngintilin lo. Emang gue kenal siapa lo,” katanya jutek sambil menahan tawa.
“Anjrit, bawa-bawa nenek gue segala. Eh, asal lo tau ya, nenek gue kemaren baru aja lolos jadi finalis Miss Universe 2013,” ucap Dion dengan nada bangga. “Sayang aja pas mau fashion show, gaun yang mau dipake pada melorot semua. Jadinya detik itu juga langsung didiskualifikasi,” gumamnya melanjutkan.
Meilani dan Tika –yang daritadi mendengarkan- langsung menyemburkan tawanya. Pagi-pagi begini, perutnya sudah melilit menahan rasa geli. Sialan emang nih, Dion!
Dion menyeringai. “Eh, tapi no problem, deh. Yang penting calon istri gue menang. Si Olivia Colpe,” ujarnya sambil tertawa keras.
“Hueeekkkkk!”
Dion menoyor kepala Meilani pelan. “Dah, gitar Spanyol TUA ku. Gue mau duduk dulu, ya.”
Meilani memutar matanya. Lalu bersungut sambil bercanda.
Bel jam pelajaran sudah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu. Tapi belum ada tanda-tanda satu gurupun yang akan memasuki kelas. Meilani mengedarkan pandangannya ke penjuru kelas. Melihat sekaligus mengamati orang-orang yang menjadi teman sekelasnya satu tahun ke depan. Sampai nanti mereka lulus.
Tidak banyak orang asing yang tak dikenalnya sekelas dengannya. Kebanyakan dari mereka adalah orang yang sama dengan kelas sebelumnya. Atau walaupun tidak pernah sekelas, Meilani masih tahu siapa orang itu. Hanya tidak akrab saja.
Meilani mengerutkan keningnya. Sepertinya ini kelas istimewa. Soalnya dilihat dari siapa saja orang-orangnya, banyak dari mereka adalah orang-orang yang susah diatur. Tidak cowok ataupun ceweknya. Tapi...mengapa dia dikirim di kelas ini?
Meilani benar-benar mengutuk siapapun orang sekretariat yang mengatur agar ia ditempatkan di kelas ini. Kelas yang membuatnya harus menahan kesabaran nantinya.
Setelah puas, Meilani menyibukkan dirinya dengan membolak-balik majalah remaja yang dibawa Tika. Sebenarnya ia tak begitu tertarik, tapi ada artikel yang biasanya selalu dibacanya jika ia melihat majalah. Meilani ingin melihat ramalan dari horoskopnya.
Ia mengurutkan zodiak itu, hingga menemukan zodiak miliknya.
Piscess.
Ssssttt... diam-diam di belakang barisanmu ada yang naksir kamu, tuh!
Keuangan: Lancar mengalirrrrrr.
Kesehatan: Makan teratur biar tidak sakit maag, ya.
Asmara: Si doi lagi Fallin’ In Love berat sama kamu.
Meilani mengulang kembali bacaannya berulang-ulang sebelum mengecek ke belakang barisan. Ramalan macam apa ini?
Meilani menelan ludahnya. Samar-samar ia mengingat saat matanya menyusuri kelasnya tadi. Barisan belakang?
Pelan-pelan Meilani menengok ke belakang barisannya. Diam-diam merapalkan, Pleaseee bukan dia... semoga tadi gue salah liat. Pleaseee...
Jantung Meilani langsung berhenti berdetak sepersekian detik lalu berubah menjadi detakan yang tak beraturan. Matanya bertemu pandang dengan orang itu. Orang yang duduk di bangku paling belakang dibarisannya.
Oh My Goddddddd... cepat-cepat Meilani membalikkan pandangannya ke depan. Lalu dengan shock melihat kembali tulisan ramalan itu. Buru-buru ditutupnya majalah sialan itu, dan menyerahkannya kembali pada Tika.
Ya Tuhan... semoga ramalan itu salah. Iya! Ramalan itu salah. Mana mungkin ada ramalan yang seperti itu. Paranormal yang meramalkan dan orang yang menulis artikel itu pasti sudah gila.
Iya, gila!!!
***TEBECE***
0 comments:
Post a Comment