Saturday, March 23, 2013

Fall For You (Chapter 19)


SEMBILAN BELAS

Seminggu berikutnya, pada mata pelajaran Sosiologi, kelas 12 IPS 5 mendapatkan tugas membuat sebuah penelitian mengenai prestasi belajar dari semua siswa yang bersekolah di Lagoon High School. Dan mengharuskan mereka untuk membuat kelompok penelitian. Sebenarnya Meilani dan beberapa teman lainnya —yang tidak menyetujui kelompok belajar yang dibuat oleh Mrs. Ketie— menginginkan untuk membuat kelompok baru. Tapi karena banyaknya tekanan yang memaksa untuk memakai kelompok yang dibuat oleh Mrs. Ketie saja, akhirnya Meilani dan yang lainnya hanya bisa pasrah.

“Heh, udah kek, pake kelompok yang dibuat dari Mrs. Ketie aja. Tinggal langsung neliti, gak repot-repot lagi nentuin kelompok,” ujar Dion terdengar kesal saat itu.

“Tau lo pada. Udah ada kelompok belajar sok-sokan mau bikin lagi. Kebanyakan kelompok tuh gak bagus tau!” bentak Andra yang ikut menentang.

“Lagian pada sok berasa pinter banget si, mau bikin kelompok baru. Kasian ntar orang kayak Divo gak kedapetan kelompok,” kata Fadlan sok prihatin dengan Divo.

Altan tak mau kalah. “Heh! Yang pada mau bikin kelompok sendiri coba aja bikin sendiri. Kalo gak gua habeg nantinya.”

Setelah kebanyakan dari para cowok di kelasnya yang tidak menyetujui untuk membuat kelompok lagi, akhirnya kelompok penelitian untuk tugas Sosiologi memakai kelompok yang dibuat oleh Mrs. Ketie.


Sebelum jam istirahat kedua berakhir, Meilani menyempatkan diri untuk meminta Dion, Fadlan, Andra dan juga Altan untuk mendiskusikan tugas penelitian Sosiologi itu.

“So, judul buat penelitian kita apa nih?” tanya Meilani meminta pendapat pada keempat teman sekelompoknya. “Ada yang punya ide gak?”

“Eh ini aja, ege nih, gimana kalo Pengaruh Gadget Terhadap Prestasi Belajar Siswa?” usul si kembar Andra.

Meilani menelan ludah. “Nyari bahannya gampang gak?”

“Kan kita bikin kuesioner aja, Mel,” jawab dion. “Iya, dari situ kan kita bisa dapet bahan-bahannya,” ucap Altan ikut membenarkan.

“Maksud gueee…nyari teori tentang pengaruh gadgetnya itu?” Meilani menaikan alisnya.

“Ya mana gua tau,” kata Fadlan pasrah.

“Gini, tadi kan gue sempet ngegoogling sebentar tuh. Nah, gimana biar nyari bahan-bahannya gampangan dikit, kita pake judul Pengaruh Motivasi Orang Tua Terhadap Prestasi Belajar Siswa, aja gimana?”

Menurut Meilani, bahan penelitian seperti itu tidaklah sulit. Banyak teori-teori motivasi yang bisa diambil dan dikembangkannya dari internet. Dan Meilani tidak mau mengambil resiko buruk karna seluruh teman sekelompoknya itu adalah laki-laki. Dimana mereka terkadang tidak peduli dengan tugas dan mengandalkan teman perempuannya.

Tidak mengapa kalau mereka (para lelaki) melepas tanggungjawabnya untuk mengerjakan tugas kelompok, asal ada teman perempuan lainnya yang bisa diandalkan juga. Tapi Meilani? well, dialah satu-satunya perempuan yang tidak punya teman sekelompok lain yang bisa diandalkan juga. Dia cewek sendirian.

“Kalo lo udah nyari tau, ngapain lo nanya lagi sama kita Mel,” gerutu Fadlan.

Meilani memutar matanya sebal. “Ya gue mesti nanya pendapat kalian lah.”

“Yaudah pake yang itu aja.”

“Terus kita harus bagi tugas penyusunan makalahnya nih…” belum sempat Meilani menyelesaikan kata-katanya, Dion memotong perkataannya.

“Gue bikin Bab III nya sendirian aja deh.” Meilani mengangguk menyetujui.

“Gua bikin Kata Pengantar aja kalo gitu!” ucap Fadlan cepat-cepat.
Meilani menimpuk Fadlan dengan pulpen yang sedang digenggamnya. “Enak aja lo bikin Kata Pengantar doang. Gak bisa! Lo sama Andra bikin Bab I nya. Terus Altan…” Meilani terdiam. Kalau Bab I sudah dikerjakan oleh Fadlan dan Andra sedangkan Dion mengerjakan Bab III yang memang bab paling gampang untuk dikerjakan sendirian. Jadi tinggal dirinya dan Altan yang belum mendapatkan tugas dong? Glek.

“Terus lo sama Altan bikin Bab II nya,” pekik Dion terlalu bersemangat.

“Yee, gue bikin covernya doanglah.” Tak sampai lima detik, Meilani ditimpuki berbagai macam benda yang dapat dijangkau oleh teman-temannya untuk menimpuknya.

“Wooo!”

“Iya, iya! Yaudah gue sama Altan bikin Bab II nya. Puas lo?”

“Banget,” jawab Dion dan Altan bersamaan. Bedanya, kalau Dion diucapkan keras-keras, sedangkan Altan hanya berucap dalam hatinya.

Meilani mengabaikan Dion, lalu menatap Altan. “Lo bisa bikin kuesionernya gak?”

Altan berdecak malas. “Gampang bikin kuesioner doang mah. Semaleman juga langsung jadi.”

“Yaudah, nanti kalo udah jadi langsung kirim ke email gue. Secepatnya ya.”

Altan memberi hormat pada Meilani. “Siap, boss!”

Meilani menyeringai akan perlakuan konyol Altan. “Yaudah, bubar sana. Nanti kapan-kapan kita rapatin lagi.”

Dion, Fadlan, Andra dan Altan memberi hormat pada Meilani sambil membungkuk. Membuat Meilani tertawa dan berusaha menimpuk mereka semua dengan benda-benda yang dipakai mereka untuk menimpuknya sebelumnya.


***___***___***


Malam harinya Altan mengirimkannya pesan untuk menanyakan apa nama alamat emailnya.


Alamat email lo apa, Mel?
Altan.:) xx


Dengan cepat Meilani membalas.


Here you go >>> Meilanilien@gmail.com
:;) xx


Dua menit kemudian, Altan kembali mengirimnya pesan. Sambil tersenyum Meilani membuka pesan dari Altan.


Thanks,;)
Check ur email now.


Meilani langsung menuju meja belajarnya dan mulai menyalakan laptop untuk mengakses akun emailnya. Saat Meilani baru saja mendownload file yang dilampirkan oleh Altan dalam emailnya, handphonenya berdering singkat. Menandakan sebuah pesan yang masuk ke inboxnya.

Sebuah pesan dari Altan. Lagi.


Btw Mel, lo lagi ngapain?
Hehehe :D


Kerutan di dahi Meilani menghilang dan tanpa sadar digantikan dengan sebuah senyuman lebar. Hatinya seperti digelitik oleh dewa cinta memakai bulu angsa yang superrrrr halus. Sejenak Meilani ragu. Balas atau tidak pesan itu.

Meilani menaruh kembali handphonenya di atas  meja. Biarin aja, biar dia penasaran, kata Meilani dalam hati sambil terkikik.

Lalu Meilani mulai menyortir pertanyaan-pertanyaan yang telah dikirimkan Altan dalam emailnya. Ia harus menyusun 20 pertanyaan dari 35 pertanyaan yang telah Altan buat, untuk kemudian nantinya akan dia print dan disebarkan untuk sebagian siswa-siswi LHS yang menjadi objek penelitian mereka.

Sesekali mata Meilani melirik cemas sekaligus berharap pada benda putih miliknya. Berharap seseorang mengirimkannya pesan lagi.

Sialan, tangan dan hatinya benar-benar gatel untuk merampas kembali benda putih itu ke dalam genggaman tangannya. Saat benda itu sudah berada ditangannya, Meilani memutuskan untuk membalas pesan terakhir yang dikirimkan orang yang telah di PHPkan olehnya sendiri.

Sebelum Meilani mengirimkan pesan yang menurutnya tidak terlalu berlebihan dan menyelipkan sedikit sindiran, ia menelan ludahnya dan menarik nafasnya dengan tenang.


Ya lagi ngerjain tugaslah.
Lo pikir? Bantuin orang mah. Ckck


Saat tombol send ditekan, Meilani memperhatikan bagaimana benda itu bereaksi. Dan… Meilani menggeram.

Pesannya gagal terkirim!

Ah iya! Pulsa gue kan bener-bener sekarat tadi, rutuk Meilani. akhirnya, handphone miliknya dinonaktifkan dan benda itu dilemparnya jauh ke atas kasurnya.

Dan…Meilani mengerjakan tugas-tugasnya dengan perasaan yang mengganjal di hatinya. Seperti ada suatu gumpalan yang tersendat di tenggorokannya. Damn!


***___***___***


Keesokan paginya, Meilani telat berangkat ke sekolah karna lembur mengerjakan tugas penelitiannya. Dan juga karna perasaan cemas yang mengganjal, yang membuatnya tidak bisa tidur lebih awal.

Saat sampai di kelas, tiba-tiba muka Meilani berubah menjadi merah merona. Sebagian teman sekelasnya sudah pergi menuju lab bahasa di gedung sayang kanan. Hanya ada Altan cs yang masih mengobrol di dalam kelas.

Altan melihatnya memasuki kelas, lalu dia bangkit berdiri. Mencegat Meilani di tengah kelas.

Ah, masa bodo. Persetan sama jaim-jaiman. Batin Altan memberontak.

Meilani berhenti di tengah-tengah kelasnya. Dicegat oleh Altan yang berdiri menjulang di depannya. Samping kiri dan kanannya terdapat meja dan kursi-kursi yang sudah ditinggal oleh para penghuninya.

Meilani perlu menaruh tasnya terlebih dahulu ke tempat duduknya. Jalan satu-satunya adalah jalan kecil yang sekarang sedang dihadang oleh Altan. Meilani menyipitkan matanya pada Altan yang sedang menyeringai. Lalu sekilas melirik ke belakang Altan melewati bahunya. Di belakang sana terlihat Dion, Fadlan, si kembar Andra dan Andri sedang berkumpul.

Beberapa dari mereka ada yang mencuri lihat ke arahnya dan Altan, sedangkan ada juga yang berpura-pura tak menghiraukan keadaan bahwa Altan sedang menggodanya.

Meilani berdecak. “Misi kek.”

Altan menggelengkan kepalanya. Masih sambil menyeringai. “Gak mau,” katanya dengan nada keras kepala yang menggoda.

“Minggir gak? Gue tabok nih,” ancam Meilani. lalu Altan menjulurkan pipinya ke depan. “Nih, cari yang empuk.”

Sambil melotot Meilani mencoba melihat kanan dan kiri. Siapa tahu ada jalan keluar baginya. “Semalem SMS gue kenapa gak dibales?” tanya Altan to the point. Tak menghiraukan Meilani yang sedang berusaha menyelinap agar bisa sampai ke tempatnya.

Disaat seperti ini ingin sekali Meilani melihat kaca. Melihat seberapa merahkah mukanya saat ini. “Males,” jawab Meilani pura-pura cuek.

Mata hitam Altan menatap Meilani dengan tak percaya. Mencoba mencari kebenaran di mata coklat milik Meilani dengan menatapnya lekat-lekat. Blush.

“Bohong.”

“Minggir kek, ahelah.”

Altan tak menghiraukan rengekan Meilani yang memintanya untuk menyingkir. Tanpa diduga Altan meraih satu tangan Meilani dan digenggamnya erat-erat. “Kenapa SMS gue gak dibales?”

Meilani meronta pelan. “Isshh…”

“Heh, heh!!! Santai bro, santai.” Samar-samar Meilani mendengar celetukan dari belakang kelasnya. Entah siapa orang itu, karna pikiran Meilani hanya tertuju pada cowok yang sedang menggenggam pergelangan tangannya itu.

Mungkin Altan mendengar celetukan dari orang dibelakang sana sehingga ia mengendurkan genggamannya.

Karna genggaman yang dirasakannya mulai mengendur, Meilani menarik tangannya dengan cepat.

Ini adalah kedua kalinya ia pernah digenggam oleh Altan. Kali pertama pada saat Altan menyeretnya keluar dari bus, dan itu mengakibatkan rasa sakit dan sedikit memar di pergelangan tangannya. Tapi sekarang berbeda. Saat Altan melakukannya lagi, tak ada ancaman atau kekerasan saat ia menggenggam tangannya. Pergelangannya tidak memar, tapi cukup membuat hatinya sedikit mengetat atas perlakuan Altan sekarang.

Untung yang liat cuman dikit, syukur Meilani dalam hati.

Meilani menatap Altan yang juga menatapnya dengan ekspresi yang tak bisa dibaca. Mungkin Altan merasa bahwa ia sudah menyakiti Meilani lagi. Sehingga Altan menggumamkan kata maaf berkali-kali. Meilani mengabaikannya. Hatinya sedikit sesak jika mengingat kejadian itu.

Jangan. Jangan pernah menyamakan keadaan dulu dan sekarang. Kalau dulu dia membencinya. Tapi kalau sekarang…entahlah, Meilani tidak mau mengharapkan sesuatu yang berlebihan.

Tanpa melihat pada Altan, Meilani mengorek-ngorek isi tasnya. Mengambil handphone dan flashdisk dari dalamnya, lalu menutup tasnya dengan cepat sambil menggumam, “Pulsa gue abis. Jadi gue gak bisa bales SMS lo.”

Setelah itu, Meilani melongok ke belakang. Dan dengan santai melemparkan tasnya ke tempat dimana bangkunya berada. Andri yang saat itu sedang duduk di bangkunya dengan sigap menangkap lemparan tas yang melambung kearahnya. “Uwoow,” pekiknya saat tas Meilani berada dalam genggamannya.

Altan membelalakkan matanya dengan sedikit geli. Saat kepalanya berputar menghadap Meilani lagi, tiba-tiba Meilani sudah menyeret langkahnya jauh menuju pintu kelas.



***___***___***


Di tengah-tengah jam pelajaran, Nela terlihat tampak sedikit bingung dengan kertas yang sedang dipegangnya. Meilani bertanya,

“Apaan tuh, Nel?”

“Gatau, masa gue nemu undangan trus tulisannya gini ‘Berkunjunglah Ke Taman Lawang. Dijamin puas!’ gitu,” kata Nela sambil mengangkat bahu. Meilani melebarkan matanya. ya ampun, dapet darimana si Nela undangan begituan. Nela itukan polos, pasti dia gak ngerti dan gak tau deh Taman Lawang itu apaan.

“Taman Lawang tempat apaan sih Mel?” Nah. Baru juga dibilang.

Meilani tertawa geli. Agak sangsi juga menceritakannya pada Nela. Habisnya Nela terlalu polos. “Hmm, Taman Lawang itu…ya taman.”

“Iya, Taman Lawang emang taman. Tapi kok bisa bikin puas? Emang disana ada apaan?” semburan tawa Meilani tak dapat dihindar lagi, sampai-sampai mendapat perhatian dari Dion, Fadlan, Altan, Andri dan Andra.

Meilani kesulitan berkata-kata saking gelinya tertawa. Membuat Nela semakin keki dibuatnya. “Iiih, apaan Mel?” tanya Nela innocent.

Meilani menggigit bibir bawahnya. Berusaha menekan rasa menggelitik diperutnya. “Ya pokoknya…hahaha…pokoknya tempat gitu deh Nel.”

Nela mengerutkan keningnya. “Apaan si lo tawa geli banget Mel?” tanya Dion ikut-ikutan penasaran.

“Haha…ini si Nela masa gatau Taman Lawang…hahaha…”

“Iya Dion apaan sih Taman Lawang? Kok bisa bikin puas?” Dion, Altan dan Fadlan yang mendengar pertanyaan dari Nela kini mulai tertawa terbahak-bahak. Begitu juga dengan Meilani. heran, hari gini masih ada yang gak tau Taman Lawang itu tempat apa. Ckck Nela…Nela.

“Lo beneran gak tau Taman Lawang, Nel?” tanya Altan sambil menahan tawanya.

Nela menggeleng dan meringis.

“Yah, payah banget Nel, elo gak tau Taman Lawang. Itu tuh tempatnya keren banget, Nel. Lo bisa puas deh ngapain aja disitu. Apalagi kalo dating malem-malem,” ujar Dion. Dia berhasil meredakan kegeliannya dan mencoba untuk menggoda Nela.

Dan Nelapun percaya dengan omongan Dion. “Iya apa?”

“Yeh beneran. Waktu itu gue sama Altan lewat situ aja kita hampir tergoda, ya Al?” tanya Dion berkonspirasi dengan Altan.

Meilani menggigit lidahnya agar tak menyemburkan gelak tawanya karna mendengar Dion yang sedang mengerjai Nela.

“Ih, Nel, lo pokoknya kalo kesana dibikin terpesona deh,” kata Altan sok-sok misterius.

“Whoa. Kayaknya keren deh tempatnya. Kesana yuk?” Nela tersenyum cerah. Dia benar-benar tidak tahu bahwa Taman Lawang digunakan untuk tempat penyimpangan. Apalagi saat malam hari. “Mel, temenin gue kesana yuk?” pinta Nela benar-benar sangat polos.

Meilani bergidik. “NO! No! No! gue gak mau,” tolak Meilani sedikit terkikik.

“Yah, kenapa? Kan tempatnya bagus kata Dion. Ayoo, Mel. Nela penasaran tauuu!”

“Nela, lo seriusan apa gak tau Taman Lawang tempat apaan?”

“Kata Dion tempat bagus,” jawabnya POLOS.

Dion, Altan dan Fadlan yang masih mendengarkan terkikik geli. “Iya, Nel, pokoknya lo mesti berkunjung kesana. Ajak siapa kek gitu. Tapi jangan Meilani,” ujar Altan sambil menyeringai.

Nela merengut. “Iiih, sebenernya itu tempat apaan sih? Jahat nih sama Nela. Meilani! itu tempat apaan?” desak Nela.

Meilani melirik ke arah Dion dan Altan. Mereka memberikan tatapan peringatan kepadanya agar tak memberitahu Nela. “Jangan tanya gue deh, Nel. Tanya yang laen aja sana.”

“Tadi udah nanya sama Dion sama Altan. Katanya kan tempat bagus.”

Meilani memutar matanya. “Jangan tanya ke dia pada. Dia mah sarap. Tanya yang laen!”

“Eh, udah, udah. Kasian lo anak orang diboongin,” ucap Fadlan menengahi rasa penasaran Nela.

“Nah, Dlan, emang Taman Lawang dimana sih?” tanya Nela yang masih amat sangat dirundung rasa penasaran.

“Yaaa, di daerah Rasuna Said sana deh, Nel. Udah lo tanya yang laen aja dah. Masih polos tapi nanya-nanya Taman Lawang,” gerutu Fadlan.

“Yaudah, nanti Nela tanya papa aja deh,” putusnya.

Meilani dan Dion melebarkan matanya terkejut. “Heh, jangan!” bentak Dion. Bisa gawat nanti kalau Nela bertanya pada orangtuanya dan bilang bahwa Taman Lawang adalah tempat yang bagus dan enak saat malam hari. Apalagi Dion yang bilang seperti itu, waaah, bisa-bisa dia disamperin bokapnya Nela dan menanyakan mengapa mengajari anaknya yang masih sangat polo situ dengan hal yang tidak-tidak.

“Abisnya gak ada yang ngasih tau Nela.” Dion berdecak, “Mel, kasih tau Mel. Gue ngilu ngasih taunya.”

Meilani mengangkat tangan. Menyerah. “Lo yang udah nyuci otaknya, lo yang mesti keringin dong, Yon. Kenapa jadi gue.”

“Heettt… udah biarin aja dah,” kata Dion pasrah.


***___***___***


Sepulang sekolah, Meilani dan teman sekelompoknya mengadakan diskusi untuk membahas masalah penelitian mereka.

Dan mereka sengaja memilih taman belakang untuk dijadikan tempat diskusi karna suasana disana sangat nyaman dan tentram. Membuat mereka banyak mendapatkan inspirasi dan ide-ide segar untuk dikembangkan dalam makalah penelitian mereka.

Sepanjang dua jam diskusi, Meilani bergerak-gerak gelisah. Melirik ke belakang, samping kanan dan kiri berkali-kali. Dia agak kurang nyaman karan berada di taman yang sudah sepi dari murid-murid dan dikelilingi empat orang cowok.

“Eh, Nela parah banget masa tadi dia sampe nelpon bokapnya!” cicit Fadlan memecahkan keheningan yang sempat melanda.

Meilani membelalak. “Iya apa?”

“Gara-gara elo tuh, Mel,” tuduh Dion. Meilani menggeplak lengan Dion dengan kumpulan kertas HVS yang diraupnya di meja taman. “Eh, jangan cari masalah dah lo!”

“Ih, dia mah galak banget yak,” gerutu Dion. “Orang bercandaan juga.”

“Bodo.”

“Ada aja lagi yang mau ama nih cewek galak banget,” gumamnya pelan. Meilani melirik Dion dengan sinis, lalu mengalihkannya untuk melirik Altan yang sedang menatap Dion sambil melotot.

Altan berdiri. “Udah selesai kan nih? Gua pulang duluan ya.” Dia melirik Meilani yang sedang  membereskan kertas-kertas di meja. Lalu berucap dengan nada yang terdengar casual. “Lo mau bareng gak, Mel? Gak dijemput kan lo.”

Meilani mendongakkan kepalanya ke atas. Lalu menimang-nimang sambil melirik Dion, Fadlan dan Andra lewat sudut matanya. “Ummm—”

Dion menendang kaki Meilani. “Udah sono bareng. Udah sore, ege, pulang sendirian ntar ngapa-ngapa lagi.”

Altan menarik-narik ujung lengan seragam Meilani. “Tau nih, udah ayok, buruan!”

“Uhukk!” Andra berpura-pura terbatuk.

“Iyaaa. Bentar, kek.”

Altan menunggu Meilani yang masih berkemas sambil menyilangkan tangannya di depan lengannya. Setelah Meilani siap dan berdiri di sebelah Altan, Meilani lalu berpamitan pada ketiga temannya yang lain yang menatap kepergian mereka dengan tersenyum lebar.

To be continue…

0 comments:

Post a Comment

Template by:

Free Blog Templates