SEMBILAN BELAS
Seminggu
berikutnya, pada mata pelajaran Sosiologi, kelas 12 IPS 5 mendapatkan tugas
membuat sebuah penelitian mengenai prestasi belajar dari semua siswa yang
bersekolah di Lagoon High School. Dan mengharuskan mereka untuk membuat
kelompok penelitian. Sebenarnya Meilani dan beberapa teman lainnya —yang tidak
menyetujui kelompok belajar yang dibuat oleh Mrs. Ketie— menginginkan untuk
membuat kelompok baru. Tapi karena banyaknya tekanan yang memaksa untuk memakai
kelompok yang dibuat oleh Mrs. Ketie saja, akhirnya Meilani dan yang lainnya
hanya bisa pasrah.
“Heh, udah
kek, pake kelompok yang dibuat dari Mrs. Ketie aja. Tinggal langsung neliti,
gak repot-repot lagi nentuin kelompok,” ujar Dion terdengar kesal saat itu.
“Tau lo
pada. Udah ada kelompok belajar sok-sokan mau bikin lagi. Kebanyakan kelompok
tuh gak bagus tau!” bentak Andra yang ikut menentang.
“Lagian pada
sok berasa pinter banget si, mau bikin kelompok baru. Kasian ntar orang kayak
Divo gak kedapetan kelompok,” kata Fadlan sok prihatin dengan Divo.
Altan tak
mau kalah. “Heh! Yang pada mau bikin kelompok sendiri coba aja bikin sendiri.
Kalo gak gua habeg nantinya.”
Setelah
kebanyakan dari para cowok di kelasnya yang tidak menyetujui untuk membuat
kelompok lagi, akhirnya kelompok penelitian untuk tugas Sosiologi memakai
kelompok yang dibuat oleh Mrs. Ketie.
Sebelum jam
istirahat kedua berakhir, Meilani menyempatkan diri untuk meminta Dion, Fadlan,
Andra dan juga Altan untuk mendiskusikan tugas penelitian Sosiologi itu.
“So, judul
buat penelitian kita apa nih?” tanya Meilani meminta pendapat pada keempat
teman sekelompoknya. “Ada yang punya ide gak?”
“Eh ini aja,
ege nih, gimana kalo Pengaruh Gadget Terhadap Prestasi Belajar Siswa?” usul si
kembar Andra.
Meilani
menelan ludah. “Nyari bahannya gampang gak?”
“Kan kita
bikin kuesioner aja, Mel,” jawab dion. “Iya, dari situ kan kita bisa dapet
bahan-bahannya,” ucap Altan ikut membenarkan.
“Maksud
gueee…nyari teori tentang pengaruh gadgetnya itu?” Meilani menaikan alisnya.
“Ya mana gua
tau,” kata Fadlan pasrah.
“Gini, tadi
kan gue sempet ngegoogling sebentar tuh. Nah, gimana biar nyari bahan-bahannya
gampangan dikit, kita pake judul Pengaruh Motivasi Orang Tua Terhadap Prestasi
Belajar Siswa, aja gimana?”
Menurut
Meilani, bahan penelitian seperti itu tidaklah sulit. Banyak teori-teori
motivasi yang bisa diambil dan dikembangkannya dari internet. Dan Meilani tidak
mau mengambil resiko buruk karna seluruh teman sekelompoknya itu adalah
laki-laki. Dimana mereka terkadang tidak peduli dengan tugas dan mengandalkan
teman perempuannya.
Tidak
mengapa kalau mereka (para lelaki) melepas tanggungjawabnya untuk mengerjakan
tugas kelompok, asal ada teman perempuan lainnya yang bisa diandalkan juga.
Tapi Meilani? well, dialah satu-satunya perempuan yang tidak punya teman
sekelompok lain yang bisa diandalkan juga. Dia cewek sendirian.
“Kalo lo
udah nyari tau, ngapain lo nanya lagi sama kita Mel,” gerutu Fadlan.
Meilani
memutar matanya sebal. “Ya gue mesti nanya pendapat kalian lah.”
“Yaudah pake
yang itu aja.”
“Terus kita
harus bagi tugas penyusunan makalahnya nih…” belum sempat Meilani menyelesaikan
kata-katanya, Dion memotong perkataannya.
“Gue bikin
Bab III nya sendirian aja deh.” Meilani mengangguk menyetujui.
“Gua bikin
Kata Pengantar aja kalo gitu!” ucap Fadlan cepat-cepat.
Meilani
menimpuk Fadlan dengan pulpen yang sedang digenggamnya. “Enak aja lo bikin Kata
Pengantar doang. Gak bisa! Lo sama Andra bikin Bab I nya. Terus Altan…” Meilani
terdiam. Kalau Bab I sudah dikerjakan oleh Fadlan dan Andra sedangkan Dion
mengerjakan Bab III yang memang bab paling gampang untuk dikerjakan sendirian.
Jadi tinggal dirinya dan Altan yang belum mendapatkan tugas dong? Glek.
“Terus lo
sama Altan bikin Bab II nya,” pekik Dion terlalu bersemangat.
“Yee, gue
bikin covernya doanglah.” Tak sampai lima detik, Meilani ditimpuki berbagai
macam benda yang dapat dijangkau oleh teman-temannya untuk menimpuknya.
“Wooo!”
“Iya, iya!
Yaudah gue sama Altan bikin Bab II nya. Puas lo?”
“Banget,”
jawab Dion dan Altan bersamaan. Bedanya, kalau Dion diucapkan keras-keras,
sedangkan Altan hanya berucap dalam hatinya.
Meilani
mengabaikan Dion, lalu menatap Altan. “Lo bisa bikin kuesionernya gak?”
Altan
berdecak malas. “Gampang bikin kuesioner doang mah. Semaleman juga langsung
jadi.”
“Yaudah,
nanti kalo udah jadi langsung kirim ke email gue. Secepatnya ya.”
Altan
memberi hormat pada Meilani. “Siap, boss!”
Meilani
menyeringai akan perlakuan konyol Altan. “Yaudah, bubar sana. Nanti kapan-kapan
kita rapatin lagi.”
Dion,
Fadlan, Andra dan Altan memberi hormat pada Meilani sambil membungkuk. Membuat
Meilani tertawa dan berusaha menimpuk mereka semua dengan benda-benda yang
dipakai mereka untuk menimpuknya sebelumnya.
***___***___***
Malam
harinya Altan mengirimkannya pesan untuk menanyakan apa nama alamat emailnya.
Alamat
email lo apa, Mel?
Altan.:)
xx
Dengan cepat
Meilani membalas.
:;) xx
Dua menit kemudian, Altan kembali mengirimnya pesan. Sambil
tersenyum Meilani membuka pesan dari Altan.
Thanks,;)
Check ur
email now.
Meilani langsung menuju meja belajarnya dan mulai menyalakan
laptop untuk mengakses akun emailnya. Saat Meilani baru saja mendownload file
yang dilampirkan oleh Altan dalam emailnya, handphonenya berdering singkat.
Menandakan sebuah pesan yang masuk ke inboxnya.
Sebuah pesan dari Altan. Lagi.
Btw Mel,
lo lagi ngapain?
Hehehe
:D
Kerutan di dahi Meilani menghilang dan tanpa sadar digantikan
dengan sebuah senyuman lebar. Hatinya seperti digelitik oleh dewa cinta memakai
bulu angsa yang superrrrr halus. Sejenak Meilani ragu. Balas atau tidak pesan
itu.
Meilani menaruh kembali handphonenya di atas meja. Biarin
aja, biar dia penasaran, kata Meilani dalam hati sambil terkikik.
Lalu Meilani mulai menyortir pertanyaan-pertanyaan yang telah
dikirimkan Altan dalam emailnya. Ia harus menyusun 20 pertanyaan dari 35
pertanyaan yang telah Altan buat, untuk kemudian nantinya akan dia print dan
disebarkan untuk sebagian siswa-siswi LHS yang menjadi objek penelitian mereka.
Sesekali mata Meilani melirik cemas sekaligus berharap pada benda
putih miliknya. Berharap seseorang mengirimkannya pesan lagi.
Sialan, tangan dan hatinya benar-benar gatel untuk merampas kembali
benda putih itu ke dalam genggaman tangannya. Saat benda itu sudah berada
ditangannya, Meilani memutuskan untuk membalas pesan terakhir yang dikirimkan
orang yang telah di PHPkan olehnya sendiri.
Sebelum Meilani mengirimkan pesan yang menurutnya tidak terlalu
berlebihan dan menyelipkan sedikit sindiran, ia menelan ludahnya dan menarik
nafasnya dengan tenang.
Ya lagi
ngerjain tugaslah.
Lo
pikir? Bantuin orang mah. Ckck
Saat tombol send ditekan, Meilani memperhatikan bagaimana benda
itu bereaksi. Dan… Meilani menggeram.
Pesannya gagal terkirim!
Ah iya! Pulsa gue kan bener-bener
sekarat tadi, rutuk Meilani. akhirnya, handphone
miliknya dinonaktifkan dan benda itu dilemparnya jauh ke atas kasurnya.
Dan…Meilani mengerjakan tugas-tugasnya dengan perasaan yang
mengganjal di hatinya. Seperti ada suatu gumpalan yang tersendat di
tenggorokannya. Damn!
***___***___***
Keesokan paginya, Meilani telat berangkat ke sekolah karna lembur
mengerjakan tugas penelitiannya. Dan juga karna perasaan cemas yang mengganjal,
yang membuatnya tidak bisa tidur lebih awal.
Saat sampai di kelas, tiba-tiba muka Meilani berubah menjadi merah
merona. Sebagian teman sekelasnya sudah pergi menuju lab bahasa di gedung
sayang kanan. Hanya ada Altan cs yang masih mengobrol di dalam kelas.
Altan melihatnya memasuki kelas, lalu dia bangkit berdiri.
Mencegat Meilani di tengah kelas.
Ah, masa bodo. Persetan sama
jaim-jaiman. Batin Altan memberontak.
Meilani berhenti di tengah-tengah kelasnya. Dicegat oleh Altan
yang berdiri menjulang di depannya. Samping kiri dan kanannya terdapat meja dan
kursi-kursi yang sudah ditinggal oleh para penghuninya.
Meilani perlu menaruh tasnya terlebih dahulu ke tempat duduknya.
Jalan satu-satunya adalah jalan kecil yang sekarang sedang dihadang oleh Altan.
Meilani menyipitkan matanya pada Altan yang sedang menyeringai. Lalu sekilas
melirik ke belakang Altan melewati bahunya. Di belakang sana terlihat Dion,
Fadlan, si kembar Andra dan Andri sedang berkumpul.
Beberapa dari mereka ada yang mencuri lihat ke arahnya dan Altan,
sedangkan ada juga yang berpura-pura tak menghiraukan keadaan bahwa Altan
sedang menggodanya.
Meilani berdecak. “Misi kek.”
Altan menggelengkan kepalanya. Masih sambil menyeringai. “Gak
mau,” katanya dengan nada keras kepala yang menggoda.
“Minggir gak? Gue tabok nih,” ancam Meilani. lalu Altan
menjulurkan pipinya ke depan. “Nih, cari yang empuk.”
Sambil melotot Meilani mencoba melihat kanan dan kiri. Siapa tahu
ada jalan keluar baginya. “Semalem SMS gue kenapa gak dibales?” tanya Altan to
the point. Tak menghiraukan Meilani yang sedang berusaha menyelinap agar bisa
sampai ke tempatnya.
Disaat seperti ini ingin sekali Meilani melihat kaca. Melihat
seberapa merahkah mukanya saat ini. “Males,” jawab Meilani pura-pura cuek.
Mata hitam Altan menatap Meilani dengan tak percaya. Mencoba
mencari kebenaran di mata coklat milik Meilani dengan menatapnya lekat-lekat.
Blush.
“Bohong.”
“Minggir kek, ahelah.”
Altan tak menghiraukan rengekan Meilani yang memintanya untuk
menyingkir. Tanpa diduga Altan meraih satu tangan Meilani dan digenggamnya
erat-erat. “Kenapa SMS gue gak dibales?”
Meilani meronta pelan. “Isshh…”
“Heh, heh!!! Santai bro, santai.” Samar-samar Meilani mendengar
celetukan dari belakang kelasnya. Entah siapa orang itu, karna pikiran Meilani
hanya tertuju pada cowok yang sedang menggenggam pergelangan tangannya itu.
Mungkin Altan mendengar celetukan dari orang dibelakang sana
sehingga ia mengendurkan genggamannya.
Karna genggaman yang dirasakannya mulai mengendur, Meilani menarik
tangannya dengan cepat.
Ini adalah kedua kalinya ia pernah digenggam oleh Altan. Kali
pertama pada saat Altan menyeretnya keluar dari bus, dan itu mengakibatkan rasa
sakit dan sedikit memar di pergelangan tangannya. Tapi sekarang berbeda. Saat
Altan melakukannya lagi, tak ada ancaman atau kekerasan saat ia menggenggam
tangannya. Pergelangannya tidak memar, tapi cukup membuat hatinya sedikit
mengetat atas perlakuan Altan sekarang.
Untung yang liat cuman dikit, syukur Meilani dalam hati.
Meilani menatap Altan yang juga menatapnya dengan ekspresi yang
tak bisa dibaca. Mungkin Altan merasa bahwa ia sudah menyakiti Meilani lagi.
Sehingga Altan menggumamkan kata maaf berkali-kali. Meilani mengabaikannya.
Hatinya sedikit sesak jika mengingat kejadian itu.
Jangan. Jangan pernah menyamakan keadaan dulu dan sekarang. Kalau
dulu dia membencinya. Tapi kalau sekarang…entahlah, Meilani tidak mau
mengharapkan sesuatu yang berlebihan.
Tanpa
melihat pada Altan, Meilani mengorek-ngorek isi tasnya. Mengambil handphone dan
flashdisk dari dalamnya, lalu menutup tasnya dengan cepat sambil menggumam,
“Pulsa gue abis. Jadi gue gak bisa bales SMS lo.”
Setelah itu,
Meilani melongok ke belakang. Dan dengan santai melemparkan tasnya ke tempat
dimana bangkunya berada. Andri yang saat itu sedang duduk di bangkunya dengan
sigap menangkap lemparan tas yang melambung kearahnya. “Uwoow,” pekiknya saat
tas Meilani berada dalam genggamannya.
Altan
membelalakkan matanya dengan sedikit geli. Saat kepalanya berputar menghadap
Meilani lagi, tiba-tiba Meilani sudah menyeret langkahnya jauh menuju pintu
kelas.
***___***___***
Di
tengah-tengah jam pelajaran, Nela terlihat tampak sedikit bingung dengan kertas
yang sedang dipegangnya. Meilani bertanya,
“Apaan tuh,
Nel?”
“Gatau, masa
gue nemu undangan trus tulisannya gini ‘Berkunjunglah Ke Taman Lawang. Dijamin
puas!’ gitu,” kata Nela sambil mengangkat bahu. Meilani melebarkan matanya. ya
ampun, dapet darimana si Nela undangan begituan. Nela itukan polos, pasti dia
gak ngerti dan gak tau deh Taman Lawang itu apaan.
“Taman
Lawang tempat apaan sih Mel?” Nah. Baru juga dibilang.
Meilani
tertawa geli. Agak sangsi juga menceritakannya pada Nela. Habisnya Nela terlalu
polos. “Hmm, Taman Lawang itu…ya taman.”
“Iya, Taman
Lawang emang taman. Tapi kok bisa bikin puas? Emang disana ada apaan?” semburan
tawa Meilani tak dapat dihindar lagi, sampai-sampai mendapat perhatian dari
Dion, Fadlan, Altan, Andri dan Andra.
Meilani
kesulitan berkata-kata saking gelinya tertawa. Membuat Nela semakin keki
dibuatnya. “Iiih, apaan Mel?” tanya Nela innocent.
Meilani
menggigit bibir bawahnya. Berusaha menekan rasa menggelitik diperutnya. “Ya
pokoknya…hahaha…pokoknya tempat gitu deh Nel.”
Nela
mengerutkan keningnya. “Apaan si lo tawa geli banget Mel?” tanya Dion
ikut-ikutan penasaran.
“Haha…ini si
Nela masa gatau Taman Lawang…hahaha…”
“Iya Dion
apaan sih Taman Lawang? Kok bisa bikin puas?” Dion, Altan dan Fadlan yang
mendengar pertanyaan dari Nela kini mulai tertawa terbahak-bahak. Begitu juga
dengan Meilani. heran, hari gini masih ada yang gak tau Taman Lawang itu tempat
apa. Ckck Nela…Nela.
“Lo beneran
gak tau Taman Lawang, Nel?” tanya Altan sambil menahan tawanya.
Nela
menggeleng dan meringis.
“Yah, payah
banget Nel, elo gak tau Taman Lawang. Itu tuh tempatnya keren banget, Nel. Lo bisa
puas deh ngapain aja disitu. Apalagi kalo dating malem-malem,” ujar Dion. Dia
berhasil meredakan kegeliannya dan mencoba untuk menggoda Nela.
Dan Nelapun
percaya dengan omongan Dion. “Iya apa?”
“Yeh
beneran. Waktu itu gue sama Altan lewat situ aja kita hampir tergoda, ya Al?”
tanya Dion berkonspirasi dengan Altan.
Meilani
menggigit lidahnya agar tak menyemburkan gelak tawanya karna mendengar Dion
yang sedang mengerjai Nela.
“Ih, Nel, lo
pokoknya kalo kesana dibikin terpesona deh,” kata Altan sok-sok misterius.
“Whoa.
Kayaknya keren deh tempatnya. Kesana yuk?” Nela tersenyum cerah. Dia
benar-benar tidak tahu bahwa Taman Lawang digunakan untuk tempat penyimpangan.
Apalagi saat malam hari. “Mel, temenin gue kesana yuk?” pinta Nela benar-benar
sangat polos.
Meilani
bergidik. “NO! No! No! gue gak mau,” tolak Meilani sedikit terkikik.
“Yah,
kenapa? Kan tempatnya bagus kata Dion. Ayoo, Mel. Nela penasaran tauuu!”
“Nela, lo
seriusan apa gak tau Taman Lawang tempat apaan?”
“Kata Dion
tempat bagus,” jawabnya POLOS.
Dion, Altan
dan Fadlan yang masih mendengarkan terkikik geli. “Iya, Nel, pokoknya lo mesti
berkunjung kesana. Ajak siapa kek gitu. Tapi jangan Meilani,” ujar Altan sambil
menyeringai.
Nela
merengut. “Iiih, sebenernya itu tempat apaan sih? Jahat nih sama Nela. Meilani!
itu tempat apaan?” desak Nela.
Meilani
melirik ke arah Dion dan Altan. Mereka memberikan tatapan peringatan kepadanya
agar tak memberitahu Nela. “Jangan tanya gue deh, Nel. Tanya yang laen aja
sana.”
“Tadi udah
nanya sama Dion sama Altan. Katanya kan tempat bagus.”
Meilani
memutar matanya. “Jangan tanya ke dia pada. Dia mah sarap. Tanya yang laen!”
“Eh, udah,
udah. Kasian lo anak orang diboongin,” ucap Fadlan menengahi rasa penasaran
Nela.
“Nah, Dlan,
emang Taman Lawang dimana sih?” tanya Nela yang masih amat sangat dirundung
rasa penasaran.
“Yaaa, di
daerah Rasuna Said sana deh, Nel. Udah lo tanya yang laen aja dah. Masih polos
tapi nanya-nanya Taman Lawang,” gerutu Fadlan.
“Yaudah,
nanti Nela tanya papa aja deh,” putusnya.
Meilani dan
Dion melebarkan matanya terkejut. “Heh, jangan!” bentak Dion. Bisa gawat nanti
kalau Nela bertanya pada orangtuanya dan bilang bahwa Taman Lawang adalah
tempat yang bagus dan enak saat malam hari. Apalagi Dion yang bilang seperti
itu, waaah, bisa-bisa dia disamperin bokapnya Nela dan menanyakan mengapa
mengajari anaknya yang masih sangat polo situ dengan hal yang tidak-tidak.
“Abisnya gak
ada yang ngasih tau Nela.” Dion berdecak, “Mel, kasih tau Mel. Gue ngilu ngasih
taunya.”
Meilani
mengangkat tangan. Menyerah. “Lo yang udah nyuci otaknya, lo yang mesti
keringin dong, Yon. Kenapa jadi gue.”
“Heettt…
udah biarin aja dah,” kata Dion pasrah.
***___***___***
Sepulang
sekolah, Meilani dan teman sekelompoknya mengadakan diskusi untuk membahas
masalah penelitian mereka.
Dan mereka
sengaja memilih taman belakang untuk dijadikan tempat diskusi karna suasana
disana sangat nyaman dan tentram. Membuat mereka banyak mendapatkan inspirasi
dan ide-ide segar untuk dikembangkan dalam makalah penelitian mereka.
Sepanjang dua
jam diskusi, Meilani bergerak-gerak gelisah. Melirik ke belakang, samping kanan
dan kiri berkali-kali. Dia agak kurang nyaman karan berada di taman yang sudah
sepi dari murid-murid dan dikelilingi empat orang cowok.
“Eh, Nela
parah banget masa tadi dia sampe nelpon bokapnya!” cicit Fadlan memecahkan
keheningan yang sempat melanda.
Meilani
membelalak. “Iya apa?”
“Gara-gara
elo tuh, Mel,” tuduh Dion. Meilani menggeplak lengan Dion dengan kumpulan
kertas HVS yang diraupnya di meja taman. “Eh, jangan cari masalah dah lo!”
“Ih, dia mah
galak banget yak,” gerutu Dion. “Orang bercandaan juga.”
“Bodo.”
“Ada aja
lagi yang mau ama nih cewek galak banget,” gumamnya pelan. Meilani melirik Dion
dengan sinis, lalu mengalihkannya untuk melirik Altan yang sedang menatap Dion
sambil melotot.
Altan
berdiri. “Udah selesai kan nih? Gua pulang duluan ya.” Dia melirik Meilani yang
sedang membereskan kertas-kertas di
meja. Lalu berucap dengan nada yang terdengar casual. “Lo mau bareng gak, Mel?
Gak dijemput kan lo.”
Meilani mendongakkan
kepalanya ke atas. Lalu menimang-nimang sambil melirik Dion, Fadlan dan Andra
lewat sudut matanya. “Ummm—”
Dion
menendang kaki Meilani. “Udah sono bareng. Udah sore, ege, pulang sendirian
ntar ngapa-ngapa lagi.”
Altan
menarik-narik ujung lengan seragam Meilani. “Tau nih, udah ayok, buruan!”
“Uhukk!”
Andra berpura-pura terbatuk.
“Iyaaa.
Bentar, kek.”
Altan
menunggu Meilani yang masih berkemas sambil menyilangkan tangannya di depan
lengannya. Setelah Meilani siap dan berdiri di sebelah Altan, Meilani lalu
berpamitan pada ketiga temannya yang lain yang menatap kepergian mereka dengan
tersenyum lebar.
To be
continue…
0 comments:
Post a Comment