Monday, March 11, 2013

Fall For You (Chapter 16)


ENAM BELAS

Dion berjalan tergesa-gesa di sepanjang koridor. Mencari Altan untuk memakinya. Dan ia baru saja menemukan Altan berdiri di balkon depan ruang lab Bahasa yang berada di sayap kanan gedung. Jauh bersebrangan dari kelasnya.

Dion menggertakkan giginya. “Heh, goblok. Lo sadar gak apa yang lo lakuin barusan, hah?” tanyanya begitu emosi saat dirinya sampai dan berdiri di belakang Altan.


Altan tak mau menatap Dion. Ia tetap melarikan pandangannya ke bawah. Ke arah lapangan yang sepi.

“Lo tau? Lo bakalan ngerusak semua rencana gua buat bantuin lo. Dan gara-gara tadi…” Dion menggelengkan kepalanya. Tak mampu meneruskan kata-katanya.

Dion memang sudah berbuat banyak mengatur segalanya untuk membantu Altan. Mulai dari menempatkan Meilani di kelas yang sama selama ini dengan Altan, mengatur agar ia bisa menjebak Meilani terkurung di barisan belakang –dengan peraturan konyol yang seolah-olah dibuat oleh wali kelas mereka, padahal itu adalah idenya.

Dion gregetan dengan semua tindakan Altan yang kelewat bodoh selama ini. Altan tak pernah memakai trik pintar seperti dirinya. Altan lebih mengutamakan menggunakan logikanya yang tak ada seorangpun tau apa yang ada didalam otaknya. Sampai saat Dion menawarkan dirinya untuk menjadi sutradara dalam drama menggelikan yang Altan perankan, lalu menyuruh Altan untuk tenang dan cukup mengawasi dengan apa yang diarahkan Dion nantinya. Dan jika saatnya tiba, Altan boleh melakukan apa yang harus dia selesaikan.

“Gua kelepasan,” sahut Altan dingin.

“Bullshit. Gua udah bilang jaga emosi lo. kontrol emosi lo,” ucap Dion seraya menyentak bahu altan dengan dorongan pelan berkali-kali.

Altan menatap Dion marah. “Asal lo tau, Yon. Si brengsek Farhan itu udah ngehina keluarga gua. Dia ngungkit-ungkit tentang Oscar. Bayangin, dia ngungkit-ungkit Oscar di depan Meilani. Gua…gua takut Meilani denger dan…dan rencana kita gagal semua.”

Altan benar-benar benci kalau Meilani sampai tahu hal buruk lainnya yang ia simpan. Dia benci mempunyai hubungan dengan orang yang sudah membunuh pacar Meilani saat itu. Dia benci menjadi saudara dari orang itu. Walaupun hanya saudara tiri, Altan tetap benci dan tak akan mau mengakui itu.

Dulu saat Meilani sedang berpacaran dengan Zufar, Altan memang ingin sekali membunuh orang itu. Orang yang merebut Meilani dari dirinya. Tapi, dia tahu dia tak akan pernah termaafkan jika ia melakukan itu. Jika ia melakukannya, Meilani bukannya akan mengingat dirinya dan masa lalunya tapi malah akan mengingat perbuatan gilanya sepanjang hidupnya, mungkin.

Sampai saat ia menyerah pada takdir. Altan dengan tenang merelakan Meilani pada siapapun yang akan membahagiakannya. Altan akan menerima itu. Bahkan ia sempat tak perduli lagi apakah Meilani akan mengingatnya kembali atau tidak.

Altan bersyukur ia bisa mengorbankan perasaannya untuk orang yang dicintainya. Dia bersyukur ia tak pernah melakukan tindakan bodoh yang terlintas dipikirannya.

Well, Oscar si pembunuh itu adalah saudara tiri dari seorang Altan. Mama Altan menikah lagi dengan pria tampan dan kaya bernama Hadi Wiryawan. Yang mana dia adalah ayah kandung dari Oscar. Mereka menikah saat Altan berumur 13 tahun dan Oscar 15 tahun.

Mereka adalah keluarga yang bahagia. Menerima pernikahan orang tua mereka dengan sangat baik. Selalu bertindak layaknya adik-kakak kandung. Semuanya baik-baik saja sampai saat Altan tahu bahwa Oscar telah mencelakakan Zufar. Dan membuat semuanya berantakan.

Awalnya Altan pikir Oscar membunuh Zufar untuk dirinya. Karena Zufar merebut orang yang sangat disayang adiknya. Dan Altan marah besar karna ia menyangka seperti itu.

Tapi kenyataannya tidak. Oscar tidak bermaksud untuk membunuh Zufar demi Altan. Ia memang punya dendam pribadi dengan Zufar. Dan emosi Altan makin meledak pada Oscar yang pada awalnya malah berniat untuk mencelakakan Meilani yang notabene nya adalah pacar Zufar saat itu.

Demi Tuhan, Oscar adalah orang yang sangat dibencinya saat mendengar berita itu.

Saat Oscar ditangkap oleh pihak yang berwajib sejam setelah ia menabrakan mobilnya pada motor Zufar dan membunuhnya, Altan dikabarkan langsung oleh orang rumahnya bahwa saudara tirinya itu ditangkap.

Detik itu, menit itu juga, Altan tak akan pernah mau mengakui Oscar sebagai saudaranya lagi. Tak akan pernah.

“Dan gara-gara lo ngelakuin hal bodoh kayak tadi, kita juga punya resiko kegagalan buat semua rencana yang udah kita atur, sialan…” Dion menggeram.

“Tapi gua lebih gak mau Meilani tau tentang Oscar yang—”

“Lo bisa ngancem dengan cara pelan-pelan buat nutup mulut si Farhan, Al. gak maen lepas kontrol kayak tadi. Dan…dan masalah Oscar, gua gak tau harus berterima kasih atau malah ngutuk dia karna udah berniat mencelakakan Meilani yang mana jadinya dia malah ngebunuh Zufar.”

Dion menghela nafas dalam. “Buat masalah Oscar, kita udah sepakat buat ngesampingin urusan itu. Kita fokus sama yang udah kita jalanin di depan mata kita, man.”

“Dia pasti makin jijik sama gua, Yon.”

“Dia pasti gak bakal mau duduk disitu lagi.”

Altan mengepalkan tangannya. Ini gara-gara dia lepas kendali. Emosinya kembali lagi memburuk dari yang selama ini telah ia tekan dengan baik. Dan sekarang semuanya kacau.

“Kenapa lo gak bisa ngendaliin emosi lo lagi, Al?” Dion bertanya sambil menyipitkan matanya. Altan tak menjawab.

“Lo masih terapi, kan, sob.” Altan masih juga tak membuka mulutnya saat Dion berusaha mengintrogasinya. “Sialan! Udah berapa lama lo gak terapi?” desaknya.

Altan mengalihkan pandangannya ke arah pintu kelasnya yang dengan jelas dapat dilihat dari sayap gedung ini.

“Heh?”

“Empat,” jawab Altan singkat.

“Empat kali pertemuan atau…Empat bulan?” tanyanya terperangah.

Altan mendengus. “Baru empat minggu, yaelah.”

Melewatkan empat minggu terapi itu artinya Altan telah melewatkan dua kali pertemuan untuk terapinya. Dan Dion berdecak kesal karna baru melewatkan dua kali pertemuan untuk terapinya, tapi Altan sudah kehilangan kendali seperti ini. Bagaimana kalau dia memutuskan untuk berhenti terapi?

Well, setahun belakangan ini Altan memang memutuskan untuk menjalani terapi untuk kejiwaannya yang selalu saja lepas kendali itu. Ia juga melakukan terapi untuk menghilangkan phobianya menaiki bus.

Dan karena dia rajin melakukan terapi setiap dua minggu sekali, Altan kini mendapati dirinya mengalami perubahan terhadap sikapnya yang kejam –tanpa memandang gender itu, menjadi Altan yang sabar dan terkendali. Mukjizat.

Untuk itu, akhir-akhir ini ia selalu berusaha mengendalikan emosinya agar terkontrol dengan sangat baik agar ia menjadi orang yang tak dingin lagi.

“Gila! Baru ngelewatin dua kali terapi aja lo udah kayak orang kesurupan gini. Gimana kalo gue gak nyaranin lo buat terapi coba.”

“Gua niatnya mau ke tempat dr. Gilbert nanti,” gumam Altan. Dr. Gilbert adalah dokter yang menangani terapi Altan selama ini.

“Hah, telat lo. Taruhan, abis ini Meilani dan Nela pasti udah nyingkirin pantatnya dari bangku belakang.”

Altan melotot. “Sialan. Gua bakal cek.” Dengan langkah cepat Altan meninggalkan Dion disana sendiri. Meninggalkannya menuju kelasnya. Mengecek apakah Meilani dan Nela sudah menyingkirkan pantat mereka dari bangku belakang.

Dion menatap kepergian Altan, lalu menghela nafas pasrah. Tangannya yang mengepal dilepaskannya dengan meninju udara di depannya. “Double shit.”

Kemudian Dion mengeluarkan handphonenya dari saku celananya. Mencari nomor seseorang yang ada di kontak handphonenya.

Setelah menemukan kontak yang dimaksud, Dion menelponnya sambil bersandar membelakangi balkon.

“Hallo, Mrs…” sapanya saat orang yang dihubunginya mengangkat panggilan telponnya.

“Yes. What’s wrong Dion? What do you need?” tanya orang di  sebrang panggilan sana yang ternyata adalah Mrs. Ketie.

“Nothing, Mrs… sebelumnya saya mau minta maaf karna gak bisa nyampein pesan ini langsung ke Mrs. Ketie di kantor. Tapiii…saya Cuma mau ngusul boleh?”

“Usul? Oh, yeah, silahkan.”

Dion menyeringai. “Saya rasa kami perlu membentuk kelompok belajar, Mrs. As you know, kami sudah kelas 12 dan menurut saya pribadi, akan lebih mudah kalo kami punya kelompok belajar buat sharing pelajaran yang kami tidak mengerti. You got what I meant, didn’t you?”

“Oh, great, Dion! Your idea is brilliant. Oke, I will—”

“No, Mrs! Mrs, gak perlu repot-repot nyusun kelompok belajarnya. Kami sudah menyusunnya. Dan secepatnya saya yang akan menyerahkan data-data nama kelompok belajar kami. Mrs. Ketie tinggal duduk manis aja. Saya cuman mau minta persetujuan dari Mrs, doang kok.”

“Well, baiklah. Terima kasih sudah memberitahu saya rencana kalian ya. Apapun yang terbaik buat kelas kita, saya pasti akan dengan senang hati menyetujuinya.”

Dion semakin tersenyum lebar hingga menampakkan deretan giginya yang putih dan rapi. “Yes, Mrs, my pleasure.” Dion menutup panggilan telponnya.

Well, satu lagi rencana yang dengan cepat terpikirkan olehnya disaat-saat mendesak seperti ini. Dan sambil bersiul-siul, Dion berjalan santai menuju kelasnya berada.

***

Dion mengangkat alisnya saat melihat tebakannya benar. Meilani dan Nela sudah duduk di tempat mereka semula. Dan tempat mereka yang di belakang, digantikan oleh pasangan Jordi dan Bayu.

Dalam hati Dion tertawa geli. Biar dia tebak, yang kebelet banget pindah sudah pasti Nela. Kalau dilihat dari pengamatannya tadi –saat Altan dengan ganas menggebuki Farhan, Meilani sama sekali tidak takut dengan adegan mengerikan itu. Meilani malah membelalakkan matanya ke depan, melihat semua yang Altan lakukan pada Farhan. Meilani lebih terlihat shock daripada takut. Berbanding terbalik dengan Nela yang langsung pucat dan khawatir melihatnya.

Dion mendengus. Well, memang hanya Meilani yang tidak takut dengan Altan. Hanya Meilani yang bersikap begitu cuek dan tak peduli pada Altan –sementara banyak cewek-cewek di sekitarnya yang begitu memuja Altan. Dion tau Meilani berbeda.

Satu-satunya perempuan yang bisa membuat dunia seorang Altan jungkir balik.

“Kan, kan, kan… gedek ah gue sama Nela. Pake pindah tempat segala. Kan gue kesepian di belakang sana, Nel.” Dion berkata dengan memasang wajah yang paling innocent yang dia bisa. Sebenarnya Dion ingin menyindir Nela, tapi dia tidak ingin menyakiti hati cewek gemuk itu, jadi dia berkata seolah-olah dirinya sedang merayu Nela.

“Ih, Dion gue tuh sebenernya gak boleh duduk di barisan belakang sama Mami gue. Nanti katanya gue gak bakal fokus sama yang diajarin guru,” ucap Nela berbohong. Dia benar-benar takut berada di dekat Altan.

“Bodo, bodo, bodo. Gue benci sama lo, Nel. Mulai sekarang kita putus!”

“Ahaaa…Diooooon.” Nela merasa tak enak hati. Lalu dengan membuang muka, Dion berjalan begitu saja tanpa menghiraukan Nela yang merengek padanya.

Dion berjalan sambil bersiul senang. Melirik Altan yang terduduk lemas sambil menangkupkan kepalanya dengan kedua tangannya di atas meja, kemudian Dion melewatinya begitu saja sambil tetap bersiul.

Saat sudah sampai di tempat duduknya, Dion mengambil buku tulis Fadlan yang diletakkan di mejanya. Tanpa pamit pada yang punya –entah pemiliknya berada dimana, Dion menyobek selembar kertas dari sana.

Mengambil pulpen, lalu mulai mencoret-coret sambil sesekali melihat ke sekeliling kelas. Lalu mencoret. Melihat sekeliling, lagi. Mencoret. Dan begitu seterusnya.

Dion tersentak kaget saat Altan tiba-tiba menjatuhkan dirinya berjongkok di bawah bangkunya. Bersender pada tembok.

Dengan lihai, Dion menyelipkan kertas itu di saku kirinya. Lalu melihat ke bawah.

“Kerja yang bagus, bro.” sindir Dion ke Altan.

Altan berbisik. “Bangsat. Gua mesti gimana?”

Dion menggeleng. Pura-pura tidak punya ide apapun yang harus dilakukannya lagi. “I really don’t have any idea. Sorry.” Mampus lo gua kerjain! Batin Dion sambil tertawa.

Altan membenturkan kepala belakangnya ke tembok. Kakinya yang tadi tertekuk karna berjongkok, kini sudah lurus ke depan. Punggungnya bersandar pasrah pada dinding keras dibelakangnya.

“Gua mau mati aja rasanya,” gumam Altan. Dion menyeringai.

“Perlu senjata? Atau Algojo? Oh, gua siap banget nyiapin itu semua buat kematian lo,” kata Dion.

Altan mendesah. “Brengsek. Gak perlu pake gituan segala. Gua yakin, rasa cinta gua bakal ngebunuh gua dengan sendirinya. Feeling gua, sih, sebentar lagi.”

Dion mengangguk. Ada jeda yang lama diantara mereka. Dion merenung.

“Gua rasa lo masih bisa ngelakuin sesuatu buat nyelametin hidup lo.”

“Apa?”

“Lo udah nakutin Nela. Dan secara sengaja, dia yang udah narik tawanan kita. Lo bisa bujuk dia.” Dion melirik ke bawah. “Inget! Dibujuk. Bukannya diancem!”

Altan mengernyit. Mencoba menebak apa maksud dari ucapan Dion. “Maksud lo gua—”

“Apapun yang lo tangkep dari omongan gua barusan, lo harus ngelakuinnya pake hati. Jadi anggep aja ini tes dari semua terapi yang lagi lo jalanin. Buat apa capek-capek rutin ikut terapi tapi gak ada hasilnya, kan?” Altan berkedip saat Dion menyela ucapannya.

“Well, pake cara pinter, Al.” kata Dion sambil mengetuk-ketuk kepalanya sendiri.

Bagi Dion, inilah cara untuk mengetes sejauh mana Altan mampu menguasai emosi dalam dirinya. Well, walaupun harus mengorbankan Nela yang bisa saja jika nanti Altan tidak bisa menguasai emosinya, Altan bisa melukai Nela.

Tapi Dion akan meyakinkan bahwa itu tidak akan terjadi. Dion sudah menyusun rencana lainnya yang belum dia beritahukan kepada Altan. Dan Dion ingin melihat, apakah usaha Altan akan membuahkan hasil?

Agak sedikit ragu, tapi Dion lebih baik berdoa supaya apapun itu akan berhasil. Tinggal lihat nanti.



Nela mendesah saat ia baru saja membuang pandangan dari bangku belakang. Nela memejamkan matanya erat. Masih merasa cemas.

“Gue bener-bener gak nyangka si Altan tega banget kayak gitu.”

Meilani yang sedang mengerjakan soal melirik pada Nela. Lalu memaksakan tertawa. “Lo kenal Rere? Dia bahkan pernah maki-maki temen gue si Rere itu Cuma gara-gara hal sepele.”

Nela melebarkan matanya tak percaya. “Sama cewek?”

“Uh-hmm.”

Nela menempelkan kedua telapak tangannya di pipi chubby nya. “Ya ampun, Mel. Untung kita pindah ya dari belakang. Gue makin takut.”

“Gue sebenernya gak takut. Tapi kadang aura tuh orang bisa bikin gue beku loh ya. Uh, Mmm…bukan beku karna terpesona,” Meilani buru-buru membenarkan ucapannya yang membuat Nela mengangkat alisnya. “maksudnya tuh beku karna aura jahatnya tuh bikin… uh, bikin gue terintimidasi. Lo tau lah, yaa,” kata Meilani tergagap-gagap.

Nela melenguh. “Iya, gak tau kenapa kalo gue liat Altan, apalagi liat matanya…rasanya tuh kayak bapak-bapak saiko yang lagi marahin anaknya.”

Meilani tertawa. “Yang gue heran, udah begitu masih aja banyak yang mau ngantri sama dia,” kata Meilani mengerucutkan hidungnya.

“Itu namanya cewek-cewek bodoh!” tukas Nela.


***___***___***___***


Meilani bersenandung memasuki kamar tidurnya. Ia baru saja selelsai makan malam bersama papanya dan kini ia harus belajar beberapa menit untuk besok, lalu mempersiapkan segala keperluan peralatan sekolahnya.

Saat duduk di meja belajarnya, Meilani menyempatkan diri untuk mengecek handphonenya. Ada satu pesan masuk dari nomor yang tak dikenalnya. Dibukanya lalu dibacanya pesan itu dalam hati.


Mel, gue minta nomornya Nela.
Kirimin sekarang. Penting.
Thanks. :) xx


Sejenak, Meilani mengernyitkan dahinya. Siapa yang malam-malam begini minta nomor Nela? Temannyakah? Tapi siapa?


Sorry. Ini siapa deh?
>send


Tak lama kemudian balasan dari nomor yang tak dikenal itu membuat jantung Meilani melompat. “Astaga! Dapet darimana nih orang nomor gue?”


Altan.
Cepetan Mel. Gue ada urusan penting!


Meilani mengetik ragu-ragu.


Iya, cerewet lo.
087821212**
>send

Balasan datang kurang dari sepuluh detik.


Thanks………


Jauh di dalam lubuk Meilani sebenarnya ia ingin membalas pesan itu dan menanyakan apa urusannya dengan Nela, tapi diurungkan niatnya itu untuk dirinya sendiri. Jadi Meilani mengabaikannya walau itu malah membuat tangannya gatal untuk menarik handphone ke dalam telapak tangannya, dan merasa gelisah sepanjang ia belajar.


***

Di lain tempat, saat Altan telah mendapatkan nomor Nela dari Meilani, tanpa ragu Altan menekan tombol yang tertera sesuai dengan nomor telpon itu.

Dering ketiga, panggilan pun dijawab.

“Halo?”

“Nela.” Kata Altan.

“Iya, ini Nela. Uh, siapa ya?” tanya Nela sambil mengernyitkan alisnya.

“Ini gue Altan.”

Nela memekik terkejut. Dengan cepat ditutupnya mulutnya karna kelepasan mengeluarkan suara yang seperti orang yang barusaja terkejut karna mendapat telpon dari seorang teroris.

“Hah? Uh, Altan?” Nela ingin meyakinkan. Gak mungkin kan Altan punya urusan sama dia sampai-sampai harus menelponnya segala?

Suara Altan begitu tenang. “Iya. Nel, gue…eh, lo kenapa pindah dari bangku belakang?” tanya Altan memutuskan untuk berbasa-basi terlebih dahulu.

“Uh, gue…” Nela menelan gumpalan air ludah yang menyumbat tenggorokannya. “gue gak boleh sama nyokap gue, Al, kalo duduk di belakang. Lo tau kan gue takut kalo—”

Altan memotong kebohongan Nela. “Nel, please banget. Gue mohon sama lo, lo pindah lagi ya ke belakang. Ajak Meilani,” pinta Altan dengan sungguh-sungguh. Keringat mengalir dari keningnya turun melalui rahangnya yang mengeras dan meluncur di sepanjang tenggorokannya.

Altan cemas usahanya ini akan gagal. Dan ia harus menguatkan dirinya untuk menceritakan semuanya kepada Nela kali ini. Altan benar-benar akan berusaha.

“K-kenapa, Al?” tanya Nela gugup. Duduk kembali di bangku belakang? Apa Altan baru saja memohon padanya? Apa itu ide yang baik?

“Nel, lo jangan pindah lagi. Gue mau pedekate sama Meilani, Nel.”

“Hah?!?!”

“Well, gue suka sama dia. Dari dulu malah. Gue mau ngembaliin ingetan Meilani yang hilang—” dan mengalirlah cerita dari bibir Altan. Semuanya. Kecuali kebenaran tentang Oscar. Itu akan menjadi rahasianya saja.

Setelah Altan menyelesaikan ceritanya, Nela menitikan air matanya. Cewek ini memang mudah sekali tersentuh dan perasaannya sangatlah sensitive.

“Mm, Al, tapi…”

“Pleaseeee.”

***


Dua jam kemudian, Meilani mendapatkan chat WA dari Nela.


~ Meeeeelllll, besok kita duduk di belakang lagi aja, yuk?!!!!!!


Meilani membelalakkan matanya. Apa-apaan Nela? Kenapa jadi abg labil begini?
Dibalasnya langsung chat itu.


~Meeeeellll, besok kita duduk di belakang lagi aja, yuk?!!!!!!


Are you serious? ~


Meilani curiga kalau Altan ada di balik semua ini. Ya! Meilani benar-benar yakin.


***TEBECE***




Chapter 15   >< Chapter 17


0 comments:

Post a Comment

Template by:

Free Blog Templates