Saturday, May 4, 2013

You and I - Part 1


Tuhan, benarkah Kau tahu apa yang aku mau? 
Benarkah Tuhan, Kau bisa memberikan kebahagiaan itu untukku? 
Tuhan, kumohon... Jangan biarkan hidupku seperti ini Tuhaaaan.. 
Izinkan aku Tuhan.. Izinkan aku merasakan hidup yang benar-benar hidup. Jauh dari keterpurukan dan kesedihan yang mendalam. 

%*=§¿#/£$ 


Tempat ini.. Danau ini.. Semuanya masih sama. Terekam jelas dalam memori gadis cantik yang sedang menatap hijaunya air danau didepannya. Ia berkali-kali menghela napas lelah. Pikirannya kosong, perasaannya sedih tak berujung, hatinya merasa ia lah orang yang paling tidak dibutuhkan di dunia ini. 

Selang beberapa menit kemudian, ia tersadar dari lamunan kosongnya. Tangannya beralih meraih sebuah benda yang ada didalam tas kecilnya. Ia memasangkan earphone mp3 nya ke telinganya. Mencoba mengacuhkan segalanya.

Setelah memasang earphonenya, gadis itu melangkah menuju pohon besar yang berada di tepi danau itu. Kemudian, ia meluruhkan tubuhnya untuk duduk dibawah pohon besar tersebut. 

Gadis itu merasakan hembusan angin yang membawa setiap helai rambut coklat sebahunya menerpa wajah cantiknya. Dirasakannya kenikmatan hembusan angin itu dengan mata terpejam, sekaligus mencoba memaknai arti dari setiap lirik lagu yang sekarang sedang didengarkannya. 

Perlahan tapi pasti, air bening itu meluncur dari pelupuk matanya. Pipinya yang terlihat chubby itu mulai basah. Emosinya menuntun dirinya untuk lebih mencurahkan segalanya dengan menangis. Ya, gadis itu kini menangis. 

Tak cukup lama, sampai ia merasakan ada orang lain selain dirinya. Perlahan matanya dibuka secara perlahan. 

"AAAAAAAAARRGGHHH," teriak gadis itu. Kemudian, "Aww!" erangnya. Saking terkaget-kagetnya kepalanya tersentak membentur pohon dibelakangnya. 

Cowok yang sedang berjongkok dihadapannya, menatap gadis itu miris. "Lo nangis?" 

"Gak!" gadis itu menatapnya tajam. 

Cowok itu hanya mengangkat bahu, kemudian berdiri. "Terserah, intinya gue liat pipi lo basah kayak gitu, kok." 

"Lo siapa?" tanya gadis itu menghiraukan pernyataan cowok tersebut. 

"Gak penting!" 



***___***___***___***

(Part 1) You & I  —  Don’t Leave Me!

Seorang gadis berusia 16 tahun itu tengah menatap kosong lantai yang dipijaknya. Nafasnya tercekat, bibirnya pucat pasi, dan matanya pun mulai terasa panas akibat menahan gumpalan air mata yang sejak tadi ditahannya. Ia membeku dan tak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini. Kabar yang baru saja diterimanya melalui telepon rumah membuatnya hampir mati.
                                Entahlah, tapi dalam hitungan detik, air mata yang ditahannya kini meluruh begitu saja membasahi kedua pipinya. Dadanya begitu sesak, jantungnya berdetak tak karuan. Dan sekarang gadis itu berteriak histeris karena tak dapat lagi menahan rasa sakit batiniah yang dirasakannya. Tangisannya begitu pilu jika ada orang yang mendengarnya.
                                Kini ia harus apa? Harus bagaimana? Kabar yang baru saja diterimanya lima menit yang lalu sungguh menguras pertahanan bathinnya. Ia menggeleng keras membayangkan bagaimana nasib keluarganya selanjutnya, membayangkan nasib orangtuanya, bahkan membayangkan dirinya kelak.
                              “Mam..maaa… Paphhaa…” isaknya  menyebutkan nama kedua orang yang sangat disayangnya dengan nafas terengah-engah. Seketika, tubuhnya meluruh begitu saja ke lantai. Ia terduduk sambil terus terisak. Tangan kanannya ia gunakan untuk menutup mulutnya yang kini masih saja menyerukan  tangisan pilu.
                               Dia harus apa? Kenyataan yang baru saja diterimanya ini begitu mengguncang jiwanya. Tuhan, lihat dia… kini gadis itu sangat rapuh. Tak ada yang menolongnya.


***

Mbok Darmi yang baru saja kembali dari pasar tersentak kaget melihat anak majikannya sedang terduduk di lantai ruang tengah keluarga dengan keadaan yang kacau balau—dengan wajah yang basah dan sembab, mata berair, rambut coklat sebahunya kini sudah berantakan, bahkan ia melihat  gagang telepon di dekat majikannya pun tak diletakkan dengan benar ditempat seharusnya, menggantung begitu saja. Segera dibantingnya barang belanjaannya, kemudian berlari menghampiri anak majikannya tersebut.
                              “Astagfirulloh non, kenapa begini?” tanyanya khawatir. Tidak biasanya anak majikannya ini menangis se-histeris ini, bahkan keadaanya sekarang terlihat sangat memilukan. Mbok Darmi berpikir sejenak, ‘Apa iya, Cuma karna ditinggal Tuan sama Nyonya ke luar negeri non Azka ampe nangis jejeritan kayak begini?’
                             Dengan cepat, disambarnya gagang telepon yang sejak tadi menggelantung begitu saja. “Hallooo… loh, gak ada suaranya, kok, ya?”gumamnya. Diletakkannya kembali gagang telepon itu ketempat asalnya, lalu Ia beralih lagi kepada anak majikannya.
                            “Non Azka kenapa sih? Mbok gak ngerti, non ini kenapa?” ulangnya. Dipeluknya anak majikannya—yang bernama Azka— dengan erat. Azka sendiri pun hanya terus terisak dipelukkan Mbok Darmi. Tubuhnya tak membalas pelukan kekhawatiran dari Mbok Darmi, bahkan Mbok Darmi merasa tubuh yang sedang dipeluknya ini begitu kaku. Hanya isakkan yang memilukan yang terdengar.
                            Dielusnya kepala sampai bahu Azka untuk sekedar menenangkannya. Ia bingung harus apa dan bagaimana, karena anak majikannya ini tak juga membuka suara. Mbok Darmi jadi serba salah. Kemudian ia bertanya kembali apa yang menyebabkan anak majikannya ini menangis seperti ini.
                            “Non… kenapa? Bilang atuh sama si mbok. Hm?”
                            “Mama samhaa…hikss…Paphhhaa… mbook,” racau Azka tak jelas.
                             Mbok Darmi hanya mengangguk. “Iya, Tuan sama Nyonya, teh, kenapa atuh Non? Ngomong yang jelas biar si mbok ini ngerti.”
                             “Hiksss…. Mereka,,,hiksss,,,kecelakaan mboook…hikss…” tutur Azka dengan sesenggukkan. Mbok Darmi terus mengusap punggung Azka dengan lembut.
                          “Innalillahi… dimana non? Mereka bukannya tadi pagi sudah berangkat ke bandara? Kecelakaannya dimana?”tanyanya bingung. Jelas saja ia bingung. Kedua majikannya pagi-pagi sekali sudah pergi ke bandara untuk pergi ke luar negeri. Tapi kenapa sudah siang hari begini baru diberitahu kalau majikannya itu kecelakaan?
                             Azka menggelengkan kepalanya yang sudah mulai terasa pusing. Ia mengingat kembali apa yang tadi dibicarakan di line telpon dengan seseorang. “Pesawat mbok…hikss… pesawat mereka jatuh,,,hikkksss… dan kebakkhaar…”ucap Azka terbata-bata. “Gak ada yang selamaatt,”gumamnya.
                           Detik berikutnya tubuh Azka sudah meluruh begitu saja dalam pelukkan Mbok Darmi. Mbok Darmi yang tidak menyangka apa yang baru saja diucapkan Azka sempat menutup mulutnya dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya yang bebas ia gunakan untuk menyanggah tubuh majikannya yang sudah jatuh pingsan. Air matanya jatuh begitu saja dari kedua mata wanita tua itu.
                          Sungguh memang, benar-benar tak disangka, Baru sekitar tujuh jam yang lalu ia masih berbicara dengan majikannya. kedua majikannya yang baik hati itu tadi pagi baru saja menitipkan rumah dan anaknya untuk dijaga selama mereka di luar negeri. Tapi kabar ini benar-benar membuat Mbok Darmi terkejut, bahkan sedih. Amat sangat sedih. Bukan karena ia memikirkan bagaimana nasib pekerjaannya nanti jika kedua majikannya itu benar-benar meninggalkannya tanpa dibayar. Bukan. Ia sama sekali tidak memikirkan nasibnya, melainkan memikirkan bagaimana putri dari majikannya ini hidup kedepannya.
                          Majikannya memang hanya mempunyai satu anak, yaitu Azka. Mbok Darmi bingung, karena anak majikannya ini baru saja beranjak remaja, tapi ia sudah harus ditinggalkan oleh kedua orangtuanya. Selamanya. Apa yang harus ia lakukan untuk anak majikannya ini nanti? Gajinya selama ini bahkan tak akan cukup jika harus membiayai kehidupan anak majikannya sampai berhasil seperti keinginan majikannya.
                        Astagaaa… apa yang baru saja dipikirkannya barusan? Itu adalah masalah sepele. Majikannya pasti sudah menyiapkan segalanya untuk anak semata wayangnya. Asuransi masa depan, bahkan tabungan.
Sekarang yang ia harus pikirkan adalah bagaimana keadaan kedua majikannya itu? Tapi bagaimana caranya? Azka yang masih dalam pangkuannya belum juga sadarkan diri. Tunggu sebentar. Lagi-lagi ia salah. Seharusnya ia mengurus anak majikannya yang sedang pingsan ini terlebih dahulu. Astagaaa, ia bahkan baru menyadarinya. Segera diangkatnya Azka dan membaringkannya di sofa panjang yang ada di dekatnya. Kemudian ia berlari ke tempat penyimpanan obat untuk mengambil minyak kayu putih disana.
                        “Non, banggun non… mbok gak tahu harus ngapain non… mbok harus ngehubungin siapa non?” tanyanya seraya mengusapkan minyak kayu putih itu disekitar pelipis dan hidung Azka, sementara tangan yang lainnya menyambar majalah yang ada di dekatnya lalu di kipas-kipaskan kearah Azka.
                         Beberapa detik kemudian, terdengar bunyi nyaring telpon rumah memecahkan suasana. Menyentakkan Mbok Darmi yang memang sedang bingung. Jantungnya bahkan berdetak dua kali lipat saat mendengar telpon itu berbunyi nyaring. Ia memegang dadanya untuk menetralisir rasa kagetnya. Sekarang ia merasa takut untuk menjawab panggilan itu. Tapi ia hampiri juga telpon itu, dan dengan sekali helaan nafas berat ia angkat sambungan telpon itu.
                       “Hallo,” jawabnya sedikit agak parau. “I-iya, benar ini keluarga Bapak Lukas Hadi Atmaja… Bapak siapa, ya?... Innalillahi wa innailaihi rojiunnn… saya pembantunya, pak. Keluarganya, eh, maksud saya anaknya sedang pingsan, belum sadarkan diri ini dari tadi…” Mbok Darmi mengangguk-angguk mengerti. “… terus bagaimana saya harus melihat jenazah majikan saya, ya, pak?... Astagfirullohaladziiimm… baik pak, baik.. terima kasih.”
                        Tubuh Mbok Darmi menegang. Kenyataan apalagi ini? Orang yang baru saja berbicara dengannya ditelpon mengatakan bahwa, semua penumpang pesawat jurusan Canada tak ada yang selamat dan tak ada jenazah yang dapat dikenali. Kebakaran itu menghanguskan seluruh bagian-bagian pesawat dan tak terkecuali para penumpangnya. Pesawat itu terbakar di udara dan langsung meledak saat pesawat itu terjatuh. Ini sungguh kenyataan yang sangat buruk. Bagaimana ia harus memberitahu kronologi kecelakaannya kepada Azka?
                             Entahlah, yang ia tahu, ia harus segera menyadarkan Azka dari pingsannya dan membawanya ke bandara untuk berangkat ke rumah sakit terdekat—tempat jatuhnya pesawat itu—untuk melakukan tes DNA guna mengetahui siapa jasad yang tak dikenali itu. Pesawat itu terjatuh sudah bukan di kepulauan Indonesia lagi. Melainkan sudah berada di luar negeri sana. Mbok Darmi sendiri pun lupa apa nama Negara tersebut. Yang ia ingat, ia hanya disuruh membawa keluarga korban untuk menyusul kesana, dan melakukan pemeriksaan disana. Biaya pun sudah ditangani oleh pemerintah dan maskapai pesawat tersebut.
                            “Non, hayuk atuh non, bangun…”

####


3 minggu sudah sejak terjadinya kecelakaan pesawat yang menimpa orang tua Azka. Cukup lama untuk ukuran identifikasi korban yang hangus terbakar. Dan kemarin, baru saja dilakukan pemakaman—yang diduga adalah—kedua orangtuanya.
                          Azka benar-benar terpukul atas kepergian orang terkasihnya. Sudah 3 minggu ini pula ia menutup diri dengan orang lain. Ia bahkan tak ada semangat untuk pergi bersekolah.

Kini, kedua pundak yang selalu menjaganya sudah tak lagi ada.
Kini, senyuman penyemangat pun sudah tak akan ia lihat.
Kini, petuah itu pun tak akan lagi ia dengar.
Kini, tak ada lagi omelan panjang yang diterimanya jika ia melakukan kesalahan.
Kini, hidupnya sendiri.
Dan kini, mampukah ia menerima kenyataan pahit ini?

Tess… butiran bening itu kembali membasahi pipinya. Azka duduk meringkuk di dalam kamar orangtuanya. Ia terkenang kembali tentang kenangan manis mereka di rumah ini… di kamar ini. Canda tawa dan iringan nasehat yang selalu ia dengar dari mama dan papanya hanyalah tinggal kenangan. Kenangan yang akan selalu tersimpan kokoh di memori otaknya.
                         Setelah lelah menangis sepanjang malam. Ia membaringkan dirinya di  kasur king size milik Mama dan Papanya. Ia berbaring tepat di tengah-tengah kasur itu. Dengan perasaan sesak, ia raba bagian kanan dan kiri kasur tersebut dengan kedua tangannya yang membentang. Ia mencoba merasakan kehadiran sang Mama dan papanya yang ingin menemaninya tidur.
                         “Good night, Ma, Pa… sleep tight,”gumamnya dengan mata yang perlahan-lahan terpejam.


####


Sejak kematian orangtuanya, Azka berubah menjadi anak yang pendiam, pemurung, dan sukar untuk bergaul. Padahal dulunya ia adalah anak yang manja dan penuh keceriaan. Namun sekarang sifatnya berubah 180 derajat. Ia bahkan memutuskan untuk pindah sekolah. Ia bahkan memutuskan kontak dengan sahabat-sahabat yang baru dikenalnya di SMA nya dulu. Ia ingin menjadi anti sosial. Entah karena alasan apa, tapi ia tak sanggup jika teman-temannya yang mengetahui bahwa ia adalah anak dari salah satu korban kecelakaan pesawat yang naas itu. Ia muak dengan semua pertanyaan orang-orang yang menanyakan bagaimana kronologi secara jelas dari kecelakaan itu—yang bahkan dirinya pun tak tahu—, ia muak dengan temannya yang memasang tampang iba kepada dirinya, ia muak dengan semua kata-kata yang menyuruhnya untuk tetap tabah, ia muak dengan kenyataan pahit bahwa pemilik yayasan sekolah itu adalah papanya sendiri.
                            Sekarang Azka memutuskan bersekolah di sekolah swasta yang kualitasnya pun tak jauh bila dibandingkan dengan sekolah milik orangtuanya. Dengan bantuan dari Pak Ariefin yang tak lain adalah kuasa hukum keluarganya dan orang kepercayaan papanya, ia dibantu mengurus surat kepindahannya itu. Sangat mudah sebenarnya untuk mengurus semua surat-surat yang dibutuhkannya, karena dengan status sekolah itu miliknya, maka tak ada kendala yang harus dihadapi Pak Ariefin saat mengurus semua berkas-berkas itu.
                          Pak Ariefin sebetulnya sangat menyayangkan keputusan Azka untuk pindah sekolah, tapi mau bagaimana lagi, Azka sudah dititipkan oleh orangtuanya kepada dirinya sendiri. Jika kepindahan Azka membuatnya kembali hidup dengan normal dan kembali seperti sedia kala, ia rela melakukan apa saja untuk kebahagian hidup Azka yang sudah dianggapnya sebagai anaknya sendiri.
                         Dan kini, tinggallah Azka yang harus menjalani kehidupannya tanpa kasih sayang orangtuanya.


####


Azka menuju ke sekolah barunya dengan diantar supir pibadinya. Wajahnya terlihat sangat tegang. Ia berpikir sejenak, mampukah ia menjalani hidup barunya dengan karakter barunya? Karakter yang tentu saja bukanlah dirinya? Dan… apakah rencananya akan berhasil? Semoga saja.
                      “Makasih, Mang!” ucapnya datar kepada Mang Ujang, supir pribadinya.
                     “Hati-hati non.” Azka hanya menggumam tak jelas, lalu menyambar tas bahunya dan keluar dari mobilnya.

Azka menatap bangunan megah di depannya. Sambil terus berdo’a tak akan ada orang yang mengenalinya disini, berkali-kali ia menghela nafas berat. Dengan langkah gontai, ia segera menuju ruang kepala sekolah untuk mengurus keperluannya yang lain. Setelah semua selesai, Azka diantar oleh guru yang akan mengajar di kelas yang akan menjadi kelasnya nanti. Sambil berjalan menuju ruang kelasnya gurunya mengajaknya berkenalan singkat dan berbincang-bincang sedikit—kebanyakan percakapan dimulai oleh Bu Priska, yang hanya dijawab Azka seperlunya saja.
Bu Priska menyuruh Azka untuk memperkenalkan diri di depan murid-murid yang lain.
                             “Perkenalkan Nama saya Zeuzka Lunes Atmaja. Saya pindahan dari Lagoon High School. Terima kasih.”
Bu Priska mengerutkan dahi, “Apa nama panggilanmu?”
                         “Oh, kalian bisa panggil saya Azka,” jawabnya.
                           “Hanya itu saja?” tanya Bu Priska lagi. Azka hanya mengangguk. Kemudian Bu Priska mempersilahkannya untuk duduk di bangku yang masih kosong di belakang kelas. Di sekolah ini, tidak memakai bangku dan meja, melainkan kursi lipat yang di depannya sudah ada meja kecil yang tersambung dengan kursi. Berbeda dengan sekolahnya yang dulu, yang masih menggunakan system duduk berdua. Tapi sekolahnya yang dulu itu menggunakan bangku dan meja yang diproduksi dari luar, sehingga memberikan kesan berkelas pada sekolah itu.
                          “Oke anak-anak, sekarang kita lanjut membahas materi yang kemarin, ya,” seru Bu Priska sambil menyalakan laptop apple nya dan menghubungkannya dengan OHP yang ada di depan kelas. “Oh ya, untuk Azka, nanti kamu akan saya berikan materi yang belum kamu ketahui, ya. Kamu serahkan USB kamu nanti setelah jam saya selesai,”tambahnya kepada Azka dan memberikan senyum sekilas kepada murid barunya itu. Azka hanya mengangguk mengiyakan.

***
Sudah 5 minggu Azka bersekolah di sekolah Swasta ternama, SMA Tirta Jaya. Dan itu artinya sudah dua bulan semenjak ia ditinggal mati oleh orangtuanya.
                             Hari ini sepulang sekolah Azka berniat untuk mengunjungi makam Mama dan Papanya dan berkunjung ke tempat-tempat favorit mereka.

Sesampainya di pemakaman umum tersebut, Azka dengan cepat berjalan menuju pusara Mama dan Papanya. Ia membawa seikat bunga lili kesukaan Mamanya dan seikat bunga mawar untuk Papanya. Ia sudah tak sabar ingin bercerita panjang lebar dengan kedua orangtuanya. Bercerita bagaimana teman-teman barunya membujuk dirinya untuk bergaul, tetapi tak ada satupun ajakan yang diindahkannya. Ia ingin bercerita bagaimana sepinya hidup ini tanpa Mama dan Papanya. Ia ingin bercerita semuanya.
                          “Hallo, Ma, Pa…” ucapnya ketika ia sudah berada di tengah-tengah makam yang bertuliskan nama Lukas Hadi Atmaja dan Agnes Ardianes. Azka menaruh bunga lili yang ia bawa tepat di di dekat batu nisan mamanya dan bunga mawar di pusara sang papa.
                         Sejenak ia berdo’a untuk kedua orangtuanya. Memohon kepada Tuhan agar orangtuanya ditempatkan disisi Tuhan yang paling indah. Setelah ia berdo’a, Azka mulai bercerita tentang apa yang telah dirasakannya sampai saat ini. Diakhir ceritanya di hadapan makam orangtuanya, Azka sempat meminta maaf atas keputusannya untuk pindah sekolah.
                        “Pa, Maaf ya? Azka pindah sekolah. Maaf untuk keputusan Azka yang satu itu, ya, Pa? Azka gak kuat Pa, kalo harus ada di tempat yang bersejarah buat kita. Buat Mama, Papa, apalagi Azka. Di rumah aja rasanya tuh Azka gak punya nyawa, Ma, Pa…” Dan untuk yang kesekian kalinya, air mata itu kembali membasahi pipinya. Ia mencoba untuk ikhlas.
                      “Papa sama Mama gak usah khawatir, asalkan kalian doain Azka jadi orang sukses, hidup Azka baik-baik akan baik-baik aja. Dan Azka akan nerusin perusahaan Mama sama Papa. Ngelola LHS juga. Pasti.
                      “Tapiii.. Azka gak tau, tanpa adanya Mama sama Papa apa hidup Azka akan bahagia?” lirihnya. Azka menunduk sedih. Ditahannya kuat-kuat supaya air matanya tak lagi bercucuran. Tak sengaja dilihatnya jam tangan digitalnya. “Sudah jam 4,” gumamnya pelan. “Pa, Ma, Azka balik dulu ya? Azka mau ke tempat kenangan kita. Daahhh Ma, Pa.”


***

Azka berjalan dengan amat sangat pelan menuju tempat yang akan dikunjunginya. Tempat sekarang ia berdiri ini adalah tempat favoritnya bersama keluarga. Dari dulu hingga sekarang. Tak ada yang berubah dari tempat ini, bahkan sejak terakhir kali ia berkunjung kesini bersama orangtuanya tiga bulan yang lalu. Tempat ini memang sering dikunjunginya bersama orangtuanya, karena tempat ini tak jauh dari tempat sekolahnya dulu. Lagoon High School. Hanya sekitar 500 meter dari tempat ini menuju sekolahnya yang lama—yayasan orangtuanya.
                      Ia menghela nafas berat. Dadanya mulai diliputi kesesakkan.
                     Tempat ini… Danau ini… semuanya masih sama. terekam jelas dalam memori gadis cantik yang sedang menatap hijaunya air danau didepannya. Ia berkali-kali menghela nafas lelah. Pikirannya kosong, perasaannya sedihtak berujung, hatinya merasa ialah orang yang palin tidak dibutuhkan di dunia ini.
                    Selang beberapa menit kemudian, ia tersadar dari lamunan kosongnya. Tangannya beralih meraih sebuah benda yang ada di dalam tas kecilnya. Ia memasang earphone mp3 player ke telinganya. Mencoba mengacuhkan segalanya. Setelah memasang earphonenya, Azka berjalan menuju sebuah pohon besar di tepian danau. Kemudian ia meluruhkan untuk duduk dan bersandar di bawah pohon besar itu.
                       Azka merasakan dinginnya hembusan angin sore yang membawa setiap helai rambut coklat sebahunya menerpa wajah cantiknya. Dirasakannya kenikmatan hembusan angin itu dengan mata terpejam, sekaligus mencoba memaknai arti dari setiap lirik lagu yang sekarang sedang didengarkannya.
                        Perlahan tapi pasti, air mata itu kembali meluncur dari kedua pelupuk matanya. Pipinya yang chubby itu mulai basak lagi. Perasaannya menuntunnya untuk lebih mencurahkan segalanya dengan menangis.
Tak cukup lama sampai ia merasakan ada seseorang selain dirinya disana. Perlahan dibukanya kedua mata indah miliknya secara perlahan.
                         “AAAAAARRGGHHHh,”teriak Azka. Kemudian, “Aww!”erangnya. saking terkaget-kagetnya melihat ada orang di hadapannya, refleks kepalanya membentur batang pohon besar yang sedari tadi digunakannya sebagai sandaran. Azka langsung melepaskan earphone yang terpasang di telinganya.
                     Seorang cowok berwajah tampan yang sedang berjongkok dihadapannya, memperhatikannya dengan tatapan miris. “Lo nangis?” tanya cowok itu dengan alis terangkat sebelah.
                     “Gak!” Azka menatap cowok itu tajam.
                     Cowok itu hanya mengangkat bahunya kemudian berdiri. “Terserah, intinya gue liat lo nangis dan… buktinya pipi lo itu basah kayak gitu.”
                     “Lo siapa?” tanya Azka menghiraukan pernyataan cowok didepannya ini. Azka menghapus bekas air matanya di pipinya, lalu ikut berdiri dan menatap cowok itu dengan tajam.
                     “Gak penting!” jawab cowok itu. “Lo kalo mau nangis tuh jangan disini. Kayak gak ada tempat laen. Ini tempat tuh terlalu bagus buat jadi tempat mewek-mewekan kayak yang lo lakuin barusan,” ujarnya asal.
                      Azka memandang cowok di depannya sengit. Kemudian ia mengalihkan pandangannya dari cowok itu. “Lo gak usah ikut campur, karna ini bukan urusan lo.” Azka berjalan menjauhi cowok yang baru saja menemukannya menangis barusan.
                      Saat sedang berjalan, sempat terlintas di memorinya kalau tidak asing baginya seragam yang dikenakan cowok itu. Ditengokan kepalanya kearah pohon besar tadi, dan ia menemukan cowok itu masih menatapnya dari kejauhan. Diperhatikannya seragam yang melekat di badan cowok itu. Ia mengenal jelas seragam yang dikenakan cowok tersebut. Lagoon High School.



*To be continued…

1 comments:

Unknown said...

P.S : buat yang baca *kalo ada* maaf banget itu berantakan hehehe maklum langsung copas dari note pesbuk aku tuh ckckck jadinya agak weird gitu deeeeeeeh. waks :D

Post a Comment

Template by:

Free Blog Templates