Tuhan,
benarkah Kau tahu apa yang aku mau?
Benarkah Tuhan, Kau bisa memberikan kebahagiaan itu untukku?
Tuhan, kumohon... Jangan biarkan hidupku seperti ini Tuhaaaan..
Izinkan aku Tuhan.. Izinkan aku merasakan hidup yang benar-benar hidup. Jauh dari keterpurukan dan kesedihan yang mendalam.
Benarkah Tuhan, Kau bisa memberikan kebahagiaan itu untukku?
Tuhan, kumohon... Jangan biarkan hidupku seperti ini Tuhaaaan..
Izinkan aku Tuhan.. Izinkan aku merasakan hidup yang benar-benar hidup. Jauh dari keterpurukan dan kesedihan yang mendalam.
%*=§¿#/£$
Tempat
ini.. Danau ini.. Semuanya masih sama. Terekam jelas dalam memori gadis cantik
yang sedang menatap hijaunya air danau didepannya. Ia berkali-kali menghela
napas lelah. Pikirannya kosong, perasaannya sedih tak berujung, hatinya merasa
ia lah orang yang paling tidak dibutuhkan di dunia ini.
Selang
beberapa menit kemudian, ia tersadar dari lamunan kosongnya. Tangannya beralih
meraih sebuah benda yang ada didalam tas kecilnya. Ia memasangkan earphone mp3
nya ke telinganya. Mencoba mengacuhkan segalanya.
Setelah
memasang earphonenya, gadis itu melangkah menuju pohon besar yang berada di
tepi danau itu. Kemudian, ia meluruhkan tubuhnya untuk duduk dibawah pohon
besar tersebut.
Gadis
itu merasakan hembusan angin yang membawa setiap helai rambut coklat sebahunya
menerpa wajah cantiknya. Dirasakannya kenikmatan hembusan angin itu dengan mata
terpejam, sekaligus mencoba memaknai arti dari setiap lirik lagu yang sekarang
sedang didengarkannya.
Perlahan tapi pasti, air bening itu meluncur dari pelupuk matanya. Pipinya yang terlihat chubby itu mulai basah. Emosinya menuntun dirinya untuk lebih mencurahkan segalanya dengan menangis. Ya, gadis itu kini menangis.
Tak cukup lama, sampai ia merasakan ada orang lain selain dirinya. Perlahan matanya dibuka secara perlahan.
Perlahan tapi pasti, air bening itu meluncur dari pelupuk matanya. Pipinya yang terlihat chubby itu mulai basah. Emosinya menuntun dirinya untuk lebih mencurahkan segalanya dengan menangis. Ya, gadis itu kini menangis.
Tak cukup lama, sampai ia merasakan ada orang lain selain dirinya. Perlahan matanya dibuka secara perlahan.
"AAAAAAAAARRGGHHH,"
teriak gadis itu. Kemudian, "Aww!" erangnya. Saking terkaget-kagetnya
kepalanya tersentak membentur pohon dibelakangnya.
Cowok yang sedang berjongkok dihadapannya, menatap gadis itu miris. "Lo nangis?"
Cowok yang sedang berjongkok dihadapannya, menatap gadis itu miris. "Lo nangis?"
"Gak!"
gadis itu menatapnya tajam.
Cowok
itu hanya mengangkat bahu, kemudian berdiri. "Terserah, intinya gue liat
pipi lo basah kayak gitu, kok."
"Lo
siapa?" tanya gadis itu menghiraukan pernyataan cowok tersebut.
"Gak
penting!"
***___***___***___***
(Part 1) You
& I — Don’t Leave Me!
Seorang gadis
berusia 16 tahun itu tengah menatap kosong lantai yang dipijaknya. Nafasnya
tercekat, bibirnya pucat pasi, dan matanya pun mulai terasa panas akibat
menahan gumpalan air mata yang sejak tadi ditahannya. Ia membeku dan tak tahu
apa yang harus ia lakukan saat ini. Kabar yang baru saja diterimanya melalui
telepon rumah membuatnya hampir mati.
Entahlah, tapi dalam hitungan detik, air mata yang
ditahannya kini meluruh begitu saja membasahi kedua pipinya. Dadanya begitu
sesak, jantungnya berdetak tak karuan. Dan sekarang gadis itu berteriak
histeris karena tak dapat lagi menahan rasa sakit batiniah yang dirasakannya.
Tangisannya begitu pilu jika ada orang yang mendengarnya.
Kini ia harus apa? Harus bagaimana? Kabar yang baru
saja diterimanya lima menit yang lalu sungguh menguras pertahanan bathinnya. Ia
menggeleng keras membayangkan bagaimana nasib keluarganya selanjutnya,
membayangkan nasib orangtuanya, bahkan membayangkan dirinya kelak.
“Mam..maaa… Paphhaa…” isaknya menyebutkan nama kedua
orang yang sangat disayangnya dengan nafas terengah-engah. Seketika, tubuhnya
meluruh begitu saja ke lantai. Ia terduduk sambil terus terisak. Tangan
kanannya ia gunakan untuk menutup mulutnya yang kini masih saja
menyerukan tangisan pilu.
Dia harus apa? Kenyataan yang baru saja diterimanya
ini begitu mengguncang jiwanya. Tuhan, lihat dia… kini gadis itu sangat rapuh.
Tak ada yang menolongnya.
***
Mbok Darmi yang
baru saja kembali dari pasar tersentak kaget melihat anak majikannya sedang
terduduk di lantai ruang tengah keluarga dengan keadaan yang kacau balau—dengan
wajah yang basah dan sembab, mata berair, rambut coklat sebahunya kini sudah
berantakan, bahkan ia melihat gagang telepon di dekat majikannya pun tak
diletakkan dengan benar ditempat seharusnya, menggantung begitu saja. Segera
dibantingnya barang belanjaannya, kemudian berlari menghampiri anak majikannya
tersebut.
“Astagfirulloh non, kenapa begini?” tanyanya khawatir. Tidak
biasanya anak majikannya ini menangis se-histeris ini, bahkan keadaanya
sekarang terlihat sangat memilukan. Mbok Darmi berpikir sejenak, ‘Apa iya, Cuma
karna ditinggal Tuan sama Nyonya ke luar negeri non Azka ampe nangis jejeritan
kayak begini?’
Dengan cepat, disambarnya gagang telepon yang sejak tadi
menggelantung begitu saja. “Hallooo… loh, gak ada suaranya, kok, ya?”gumamnya.
Diletakkannya kembali gagang telepon itu ketempat asalnya, lalu Ia beralih lagi
kepada anak majikannya.
“Non Azka kenapa sih? Mbok gak ngerti, non ini kenapa?” ulangnya.
Dipeluknya anak majikannya—yang bernama Azka— dengan erat. Azka sendiri pun
hanya terus terisak dipelukkan Mbok Darmi. Tubuhnya tak membalas pelukan
kekhawatiran dari Mbok Darmi, bahkan Mbok Darmi merasa tubuh yang sedang
dipeluknya ini begitu kaku. Hanya isakkan yang memilukan yang terdengar.
Dielusnya kepala sampai bahu Azka untuk sekedar menenangkannya.
Ia bingung harus apa dan bagaimana, karena anak majikannya ini tak juga membuka
suara. Mbok Darmi jadi serba salah. Kemudian ia bertanya kembali apa yang
menyebabkan anak majikannya ini menangis seperti ini.
“Non… kenapa? Bilang atuh sama si mbok. Hm?”
“Mama samhaa…hikss…Paphhhaa… mbook,” racau Azka tak jelas.
Mbok Darmi hanya mengangguk. “Iya, Tuan sama Nyonya, teh,
kenapa atuh Non? Ngomong yang jelas biar si mbok ini ngerti.”
“Hiksss…. Mereka,,,hiksss,,,kecelakaan mboook…hikss…” tutur
Azka dengan sesenggukkan. Mbok Darmi terus mengusap punggung Azka dengan
lembut.
“Innalillahi… dimana non? Mereka bukannya tadi pagi sudah berangkat ke
bandara? Kecelakaannya dimana?”tanyanya bingung. Jelas saja ia bingung. Kedua
majikannya pagi-pagi sekali sudah pergi ke bandara untuk pergi ke luar negeri.
Tapi kenapa sudah siang hari begini baru diberitahu kalau majikannya itu
kecelakaan?
Azka menggelengkan kepalanya yang sudah mulai terasa
pusing. Ia mengingat kembali apa yang tadi dibicarakan di line telpon dengan
seseorang. “Pesawat mbok…hikss… pesawat mereka jatuh,,,hikkksss… dan
kebakkhaar…”ucap Azka terbata-bata. “Gak ada yang selamaatt,”gumamnya.
Detik berikutnya tubuh Azka sudah meluruh begitu saja dalam
pelukkan Mbok Darmi. Mbok Darmi yang tidak menyangka apa yang baru saja
diucapkan Azka sempat menutup mulutnya dengan tangan kanannya, sementara tangan
kirinya yang bebas ia gunakan untuk menyanggah tubuh majikannya yang sudah
jatuh pingsan. Air matanya jatuh begitu saja dari kedua mata wanita tua itu.
Sungguh memang, benar-benar tak disangka, Baru sekitar tujuh jam yang
lalu ia masih berbicara dengan majikannya. kedua majikannya yang baik hati itu
tadi pagi baru saja menitipkan rumah dan anaknya untuk dijaga selama mereka di
luar negeri. Tapi kabar ini benar-benar membuat Mbok Darmi terkejut, bahkan
sedih. Amat sangat sedih. Bukan karena ia memikirkan bagaimana nasib
pekerjaannya nanti jika kedua majikannya itu benar-benar meninggalkannya tanpa
dibayar. Bukan. Ia sama sekali tidak memikirkan nasibnya, melainkan memikirkan
bagaimana putri dari majikannya ini hidup kedepannya.
Majikannya memang hanya mempunyai satu anak, yaitu Azka. Mbok Darmi
bingung, karena anak majikannya ini baru saja beranjak remaja, tapi ia sudah
harus ditinggalkan oleh kedua orangtuanya. Selamanya. Apa yang harus ia lakukan
untuk anak majikannya ini nanti? Gajinya selama ini bahkan tak akan cukup jika
harus membiayai kehidupan anak majikannya sampai berhasil seperti keinginan
majikannya.
Astagaaa… apa yang baru saja dipikirkannya barusan? Itu adalah masalah sepele.
Majikannya pasti sudah menyiapkan segalanya untuk anak semata wayangnya.
Asuransi masa depan, bahkan tabungan.
Sekarang
yang ia harus pikirkan adalah bagaimana keadaan kedua majikannya itu? Tapi
bagaimana caranya? Azka yang masih dalam pangkuannya belum juga sadarkan diri.
Tunggu sebentar. Lagi-lagi ia salah. Seharusnya ia mengurus anak majikannya
yang sedang pingsan ini terlebih dahulu. Astagaaa, ia bahkan baru menyadarinya.
Segera diangkatnya Azka dan membaringkannya di sofa panjang yang ada di
dekatnya. Kemudian ia berlari ke tempat penyimpanan obat untuk mengambil minyak
kayu putih disana.
“Non, banggun non… mbok gak tahu harus ngapain non… mbok harus ngehubungin
siapa non?” tanyanya seraya mengusapkan minyak kayu putih itu disekitar pelipis
dan hidung Azka, sementara tangan yang lainnya menyambar majalah yang ada di
dekatnya lalu di kipas-kipaskan kearah Azka.
Beberapa detik kemudian, terdengar bunyi nyaring telpon rumah memecahkan
suasana. Menyentakkan Mbok Darmi yang memang sedang bingung. Jantungnya bahkan
berdetak dua kali lipat saat mendengar telpon itu berbunyi nyaring. Ia memegang
dadanya untuk menetralisir rasa kagetnya. Sekarang ia merasa takut untuk
menjawab panggilan itu. Tapi ia hampiri juga telpon itu, dan dengan sekali
helaan nafas berat ia angkat sambungan telpon itu.
“Hallo,” jawabnya sedikit agak parau. “I-iya, benar ini keluarga Bapak
Lukas Hadi Atmaja… Bapak siapa, ya?... Innalillahi wa innailaihi rojiunnn… saya
pembantunya, pak. Keluarganya, eh, maksud saya anaknya sedang pingsan, belum
sadarkan diri ini dari tadi…” Mbok Darmi mengangguk-angguk mengerti. “… terus
bagaimana saya harus melihat jenazah majikan saya, ya, pak?...
Astagfirullohaladziiimm… baik pak, baik.. terima kasih.”
Tubuh Mbok Darmi menegang. Kenyataan apalagi ini? Orang yang baru saja
berbicara dengannya ditelpon mengatakan bahwa, semua penumpang pesawat jurusan
Canada tak ada yang selamat dan tak ada jenazah yang dapat dikenali. Kebakaran
itu menghanguskan seluruh bagian-bagian pesawat dan tak terkecuali para
penumpangnya. Pesawat itu terbakar di udara dan langsung meledak saat pesawat
itu terjatuh. Ini sungguh kenyataan yang sangat buruk. Bagaimana ia harus
memberitahu kronologi kecelakaannya kepada Azka?
Entahlah, yang ia tahu, ia harus segera menyadarkan Azka
dari pingsannya dan membawanya ke bandara untuk berangkat ke rumah sakit
terdekat—tempat jatuhnya pesawat itu—untuk melakukan tes DNA guna mengetahui
siapa jasad yang tak dikenali itu. Pesawat itu terjatuh sudah bukan di
kepulauan Indonesia lagi. Melainkan sudah berada di luar negeri sana. Mbok
Darmi sendiri pun lupa apa nama Negara tersebut. Yang ia ingat, ia hanya
disuruh membawa keluarga korban untuk menyusul kesana, dan melakukan
pemeriksaan disana. Biaya pun sudah ditangani oleh pemerintah dan maskapai
pesawat tersebut.
“Non, hayuk atuh non, bangun…”
####
3 minggu sudah
sejak terjadinya kecelakaan pesawat yang menimpa orang tua Azka. Cukup lama
untuk ukuran identifikasi korban yang hangus terbakar. Dan kemarin, baru saja
dilakukan pemakaman—yang diduga adalah—kedua orangtuanya.
Azka benar-benar terpukul atas kepergian orang terkasihnya. Sudah 3
minggu ini pula ia menutup diri dengan orang lain. Ia bahkan tak ada semangat
untuk pergi bersekolah.
Kini,
kedua pundak yang selalu menjaganya sudah tak lagi ada.
Kini,
senyuman penyemangat pun sudah tak akan ia lihat.
Kini,
petuah itu pun tak akan lagi ia dengar.
Kini,
tak ada lagi omelan panjang yang diterimanya jika ia melakukan kesalahan.
Kini,
hidupnya sendiri.
Dan
kini, mampukah ia menerima kenyataan pahit ini?
Tess…
butiran bening itu kembali membasahi pipinya. Azka duduk meringkuk di dalam
kamar orangtuanya. Ia terkenang kembali tentang kenangan manis mereka di rumah
ini… di kamar ini. Canda tawa dan iringan nasehat yang selalu ia dengar dari
mama dan papanya hanyalah tinggal kenangan. Kenangan yang akan selalu tersimpan
kokoh di memori otaknya.
Setelah lelah menangis sepanjang malam. Ia membaringkan dirinya di
kasur king size milik Mama dan Papanya. Ia berbaring tepat di tengah-tengah
kasur itu. Dengan perasaan sesak, ia raba bagian kanan dan kiri kasur tersebut
dengan kedua tangannya yang membentang. Ia mencoba merasakan kehadiran sang
Mama dan papanya yang ingin menemaninya tidur.
“Good night, Ma, Pa… sleep tight,”gumamnya dengan mata yang
perlahan-lahan terpejam.
####
Sejak kematian
orangtuanya, Azka berubah menjadi anak yang pendiam, pemurung, dan sukar untuk
bergaul. Padahal dulunya ia adalah anak yang manja dan penuh keceriaan. Namun
sekarang sifatnya berubah 180 derajat. Ia bahkan memutuskan untuk pindah
sekolah. Ia bahkan memutuskan kontak dengan sahabat-sahabat yang baru
dikenalnya di SMA nya dulu. Ia ingin menjadi anti sosial. Entah karena alasan
apa, tapi ia tak sanggup jika teman-temannya yang mengetahui bahwa ia adalah
anak dari salah satu korban kecelakaan pesawat yang naas itu. Ia muak dengan
semua pertanyaan orang-orang yang menanyakan bagaimana kronologi secara jelas
dari kecelakaan itu—yang bahkan dirinya pun tak tahu—, ia muak dengan temannya
yang memasang tampang iba kepada dirinya, ia muak dengan semua kata-kata yang
menyuruhnya untuk tetap tabah, ia muak dengan kenyataan pahit bahwa pemilik
yayasan sekolah itu adalah papanya sendiri.
Sekarang Azka memutuskan bersekolah di sekolah swasta yang
kualitasnya pun tak jauh bila dibandingkan dengan sekolah milik orangtuanya.
Dengan bantuan dari Pak Ariefin yang tak lain adalah kuasa hukum keluarganya
dan orang kepercayaan papanya, ia dibantu mengurus surat kepindahannya itu.
Sangat mudah sebenarnya untuk mengurus semua surat-surat yang dibutuhkannya,
karena dengan status sekolah itu miliknya, maka tak ada kendala yang harus
dihadapi Pak Ariefin saat mengurus semua berkas-berkas itu.
Pak Ariefin sebetulnya sangat menyayangkan keputusan Azka untuk pindah
sekolah, tapi mau bagaimana lagi, Azka sudah dititipkan oleh orangtuanya kepada
dirinya sendiri. Jika kepindahan Azka membuatnya kembali hidup dengan normal
dan kembali seperti sedia kala, ia rela melakukan apa saja untuk kebahagian
hidup Azka yang sudah dianggapnya sebagai anaknya sendiri.
Dan kini, tinggallah Azka yang harus menjalani kehidupannya tanpa kasih
sayang orangtuanya.
####
Azka
menuju ke sekolah barunya dengan diantar supir pibadinya. Wajahnya terlihat
sangat tegang. Ia berpikir sejenak, mampukah ia menjalani hidup barunya dengan
karakter barunya? Karakter yang tentu saja bukanlah dirinya? Dan… apakah
rencananya akan berhasil? Semoga saja.
“Makasih,
Mang!” ucapnya datar kepada Mang Ujang, supir pribadinya.
“Hati-hati
non.” Azka hanya menggumam tak jelas, lalu menyambar tas bahunya dan keluar
dari mobilnya.
Azka
menatap bangunan megah di depannya. Sambil terus berdo’a tak akan ada orang
yang mengenalinya disini, berkali-kali ia menghela nafas berat. Dengan langkah
gontai, ia segera menuju ruang kepala sekolah untuk mengurus keperluannya yang
lain. Setelah semua selesai, Azka diantar oleh guru yang akan mengajar di kelas
yang akan menjadi kelasnya nanti. Sambil berjalan menuju ruang kelasnya gurunya
mengajaknya berkenalan singkat dan berbincang-bincang sedikit—kebanyakan
percakapan dimulai oleh Bu Priska, yang hanya dijawab Azka seperlunya saja.
Bu
Priska menyuruh Azka untuk memperkenalkan diri di depan murid-murid yang lain.
“Perkenalkan Nama saya Zeuzka Lunes Atmaja. Saya pindahan
dari Lagoon High School. Terima kasih.”
Bu
Priska mengerutkan dahi, “Apa nama panggilanmu?”
“Oh, kalian bisa panggil saya Azka,” jawabnya.
“Hanya itu saja?” tanya Bu Priska lagi. Azka hanya mengangguk.
Kemudian Bu Priska mempersilahkannya untuk duduk di bangku yang masih kosong di
belakang kelas. Di sekolah ini, tidak memakai bangku dan meja, melainkan kursi
lipat yang di depannya sudah ada meja kecil yang tersambung dengan kursi.
Berbeda dengan sekolahnya yang dulu, yang masih menggunakan system duduk
berdua. Tapi sekolahnya yang dulu itu menggunakan bangku dan meja yang
diproduksi dari luar, sehingga memberikan kesan berkelas pada sekolah itu.
“Oke anak-anak, sekarang kita lanjut membahas materi yang kemarin, ya,”
seru Bu Priska sambil menyalakan laptop apple nya dan menghubungkannya dengan
OHP yang ada di depan kelas. “Oh ya, untuk Azka, nanti kamu akan saya berikan
materi yang belum kamu ketahui, ya. Kamu serahkan USB kamu nanti setelah jam
saya selesai,”tambahnya kepada Azka dan memberikan senyum sekilas kepada murid
barunya itu. Azka hanya mengangguk mengiyakan.
***
Sudah 5
minggu Azka bersekolah di sekolah Swasta ternama, SMA Tirta Jaya. Dan itu
artinya sudah dua bulan semenjak ia ditinggal mati oleh orangtuanya.
Hari ini sepulang sekolah Azka berniat untuk mengunjungi
makam Mama dan Papanya dan berkunjung ke tempat-tempat favorit mereka.
Sesampainya
di pemakaman umum tersebut, Azka dengan cepat berjalan menuju pusara Mama dan
Papanya. Ia membawa seikat bunga lili kesukaan Mamanya dan seikat bunga mawar
untuk Papanya. Ia sudah tak sabar ingin bercerita panjang lebar dengan kedua
orangtuanya. Bercerita bagaimana teman-teman barunya membujuk dirinya untuk
bergaul, tetapi tak ada satupun ajakan yang diindahkannya. Ia ingin bercerita
bagaimana sepinya hidup ini tanpa Mama dan Papanya. Ia ingin bercerita
semuanya.
“Hallo, Ma, Pa…” ucapnya ketika ia sudah berada di tengah-tengah makam
yang bertuliskan nama Lukas Hadi Atmaja dan Agnes Ardianes.
Azka menaruh bunga lili yang ia bawa tepat di di dekat batu nisan mamanya dan
bunga mawar di pusara sang papa.
Sejenak ia berdo’a untuk kedua orangtuanya. Memohon kepada Tuhan agar
orangtuanya ditempatkan disisi Tuhan yang paling indah. Setelah ia berdo’a,
Azka mulai bercerita tentang apa yang telah dirasakannya sampai saat ini.
Diakhir ceritanya di hadapan makam orangtuanya, Azka sempat meminta maaf atas
keputusannya untuk pindah sekolah.
“Pa, Maaf ya? Azka pindah sekolah. Maaf untuk keputusan Azka yang satu itu, ya,
Pa? Azka gak kuat Pa, kalo harus ada di tempat yang bersejarah buat kita. Buat
Mama, Papa, apalagi Azka. Di rumah aja rasanya tuh Azka gak punya nyawa, Ma,
Pa…” Dan untuk yang kesekian kalinya, air mata itu kembali membasahi pipinya.
Ia mencoba untuk ikhlas.
“Papa
sama Mama gak usah khawatir, asalkan kalian doain Azka jadi orang sukses, hidup
Azka baik-baik akan baik-baik aja. Dan Azka akan nerusin perusahaan Mama sama
Papa. Ngelola LHS juga. Pasti.
“Tapiii..
Azka gak tau, tanpa adanya Mama sama Papa apa hidup Azka akan bahagia?”
lirihnya. Azka menunduk sedih. Ditahannya kuat-kuat supaya air matanya tak lagi
bercucuran. Tak sengaja dilihatnya jam tangan digitalnya. “Sudah jam 4,”
gumamnya pelan. “Pa, Ma, Azka balik dulu ya? Azka mau ke tempat kenangan kita.
Daahhh Ma, Pa.”
***
Azka berjalan
dengan amat sangat pelan menuju tempat yang akan dikunjunginya. Tempat sekarang
ia berdiri ini adalah tempat favoritnya bersama keluarga. Dari dulu hingga
sekarang. Tak ada yang berubah dari tempat ini, bahkan sejak terakhir kali ia
berkunjung kesini bersama orangtuanya tiga bulan yang lalu. Tempat ini memang
sering dikunjunginya bersama orangtuanya, karena tempat ini tak jauh dari
tempat sekolahnya dulu. Lagoon High School. Hanya sekitar 500 meter dari tempat
ini menuju sekolahnya yang lama—yayasan orangtuanya.
Ia
menghela nafas berat. Dadanya mulai diliputi kesesakkan.
Tempat
ini… Danau ini… semuanya masih sama. terekam jelas dalam memori gadis cantik
yang sedang menatap hijaunya air danau didepannya. Ia berkali-kali menghela
nafas lelah. Pikirannya kosong, perasaannya sedihtak berujung, hatinya merasa
ialah orang yang palin tidak dibutuhkan di dunia ini.
Selang beberapa
menit kemudian, ia tersadar dari lamunan kosongnya. Tangannya beralih meraih
sebuah benda yang ada di dalam tas kecilnya. Ia memasang earphone mp3 player ke
telinganya. Mencoba mengacuhkan segalanya. Setelah memasang earphonenya, Azka
berjalan menuju sebuah pohon besar di tepian danau. Kemudian ia meluruhkan
untuk duduk dan bersandar di bawah pohon besar itu.
Azka merasakan dinginnya hembusan angin sore yang membawa setiap helai
rambut coklat sebahunya menerpa wajah cantiknya. Dirasakannya kenikmatan
hembusan angin itu dengan mata terpejam, sekaligus mencoba memaknai arti dari
setiap lirik lagu yang sekarang sedang didengarkannya.
Perlahan tapi pasti, air mata itu kembali meluncur dari kedua pelupuk matanya.
Pipinya yang chubby itu mulai basak lagi. Perasaannya menuntunnya untuk lebih
mencurahkan segalanya dengan menangis.
Tak
cukup lama sampai ia merasakan ada seseorang selain dirinya disana. Perlahan
dibukanya kedua mata indah miliknya secara perlahan.
“AAAAAARRGGHHHh,”teriak Azka. Kemudian, “Aww!”erangnya. saking
terkaget-kagetnya melihat ada orang di hadapannya, refleks kepalanya membentur
batang pohon besar yang sedari tadi digunakannya sebagai sandaran. Azka
langsung melepaskan earphone yang terpasang di telinganya.
Seorang
cowok berwajah tampan yang sedang berjongkok dihadapannya, memperhatikannya
dengan tatapan miris. “Lo nangis?” tanya cowok itu dengan alis terangkat
sebelah.
“Gak!”
Azka menatap cowok itu tajam.
Cowok itu
hanya mengangkat bahunya kemudian berdiri. “Terserah, intinya gue liat lo
nangis dan… buktinya pipi lo itu basah kayak gitu.”
“Lo
siapa?” tanya Azka menghiraukan pernyataan cowok didepannya ini. Azka menghapus
bekas air matanya di pipinya, lalu ikut berdiri dan menatap cowok itu dengan
tajam.
“Gak
penting!” jawab cowok itu. “Lo kalo mau nangis tuh jangan disini. Kayak gak ada
tempat laen. Ini tempat tuh terlalu bagus buat jadi tempat mewek-mewekan kayak
yang lo lakuin barusan,” ujarnya asal.
Azka
memandang cowok di depannya sengit. Kemudian ia mengalihkan pandangannya dari
cowok itu. “Lo gak usah ikut campur, karna ini bukan urusan lo.” Azka berjalan
menjauhi cowok yang baru saja menemukannya menangis barusan.
Saat
sedang berjalan, sempat terlintas di memorinya kalau tidak asing baginya
seragam yang dikenakan cowok itu. Ditengokan kepalanya kearah pohon besar tadi,
dan ia menemukan cowok itu masih menatapnya dari kejauhan. Diperhatikannya
seragam yang melekat di badan cowok itu. Ia mengenal jelas seragam yang
dikenakan cowok tersebut. Lagoon High School.
*To be
continued…
1 comments:
P.S : buat yang baca *kalo ada* maaf banget itu berantakan hehehe maklum langsung copas dari note pesbuk aku tuh ckckck jadinya agak weird gitu deeeeeeeh. waks :D
Post a Comment