Sunday, January 6, 2013

Fall For You (Chapter 11)


SEBELAS

Keesokan harinya, Meilani berjalan lemah melewati sepanjang koridor sekolah. Menuju ke tempat dimana kelasnya berada.

Dengan muka yang masih sedikit pucat, tetapi masih bisa disembunyikan dengan bedak tipisnya, Meilani memperhatikan setiap orang yang berpapasan dengannya di sepanjang koridor. Semua menatapnya aneh, bahkan sampai berdecak penuh… apa? Rasa kagum kah?


Oh my god, apakah muka pucatnya patut untuk dikagumi atau mereka kagum dengan usaha Meilani menyembunyikan muka pucatnya yang… well, cukup baik?

Meilani berhenti sebentar, lalu ia mendengar percakapan tiga orang cewek yang sedang duduk di bangku taman yang menghadap ke arah lapangan. Terdengar asik menggosipkan sesuatu. Sedikit menarik perhatiannya.

Dengan pelan dan hati-hati, Meilani menempatkan dirinya duduk membelakangi mereka. Meilani berharap semoga tiga cewek itu tidak mengetahui keberadaannya yang sedang ingin menguping pembicaraan mereka. Meilani berpura-pura menyibukkan dirinya dengan mengikat ulang kembali sepatu putihnya. Sebisa mungkin menghindari perhatian yang berlebihan dari tiga cewek itu.

“Beehh… makanya kemaren lo ikutan gue madol pelajaran Pak Hans dong! Jadinya bisa liat kejadian menghebohkan di lapangan,” kata Fina,  cewek yang duduk di tengah-tengah. Kedua temannya, Gretha dan Arsa duduk mengapit dirinya. Mendengar dan memperhatikan setiap perkataan Fina dengan ekspresi penasaran yang amat dalam.

“Se-heboh apa sih emangnya? Kayaknya satu sekolahan lagi ngomongin mereka,” kata Gretha, yang duduk di sisi sebelah kanan. Arsa mengangguk mengiyakan pernyataan dari Gretha.

“Huh! Jadi gini… kemaren lo pada tau kan gue lagi bĂȘte banget? Makanya gue keluar kelas? Nah, pas gue keluar, kebetulan banget tuh kelasnya kak Altan lagi olahraga. Ya udah, gue duduk aja di pojok sana sambil ngeliatin cowok-cowok,” Fina menunjuk sisi barat koridor sekolahnya. Lalu melanjutkan,

“gak lama, yang cowok-cowok pada maen basket kan, ya. Eh, pas kak Dion mau ngoper bolanya ke kak Altan, tau-tau tuh bola malah nyasar ke cewek-cewek yang lagi pada ngegossip di pinggir lapangan.”

“Kenapa kak Al gak nangkep tuh bolanya?” tanya Arsa polos.

“Umm… gak ngerti juga deh. Cuma gue sih ngeliatnya, kak Al tuh emang lagi gak fokus. Matanya ngeliat ke pinggir mulu. Mending kalo ngeliat ke pinggir dimana gue lagi duduk, lah, ini mah ke tempat cewek-cewek sekelasnya! Sebel gue!”

“Terus…terus itu bolanya kena siapa??” tanya Gretha tak sabar.

“Yaa, terus ya itu tadi. Bolanya kena kepala kak… um, siapa itu ya namanya? Aduuhh, pokoknya kena kepala tuh cewek sampe pingsan! Trus karna gue shock dan Cuma perhatiin si cewek, gue gak liat gimana mulanya, tau-tau kak Al udah nonjok kak Dion sambil maki-maki gitu deh.”

“Ihh… kok so sweet, sih? Gue juga mau dong digendong kak Al,” celetuk Gretha dan Arsa bersamaan. Meilani —yang masih mendengarkan gossip ketiga cewek itu— membeku. Cewek yang pingsan itu adalah dirinya!

Fina menghela nafas, tak ingin menghiraukan celetukan teman-temannya. “abis itu, kak Al langsung gendong tuh cewek ke parkiran, trusss… wuzzz… gak tau deh dianter ke klinik dulu atau langsung dianter pulang.”

“Mungkin ke klinik dulu kali yaa, nungguin tuh cewek sadar. Emangnya kak Al tau apa dimana rumah tuh cewek?” gumam Gretha sambil menyipitkan matanya saat kata-kata itu keluar dari mulutnya.

“Yaah, iya kali,” ucap Fina putus asa, “tapi bisa aja kan, kak Al udah tau dimana rumah tuh cewek? Mereka kan temen sekelas, guys!”

“Oh iya ya,” kata Arsa manggut-manggut.

Meilani menggigit bibirnya. Altan tau dimana rumahnya? Meilani memang tidak tahu apakah Altan membawanya ke klinik terlebih dahulu atau tidak, tapi yang jelas, saat ia terbangun dari kesadarannya, Meilani menemukan beberapa jenis obat baru. Diletakkan di atas nakas samping tempat tidurnya, lengkap dengan segelas besar air putih. Dan ia tak melihat sosok orang yang membawanya pulang kembali ke rumah atau —jika yang mereka maksud— Altan, Meilani tak menemukannya sama sekali.

Kalau begitu, Altan sempat membawanya ke klinik, lalu mengantarnya pulang ke rumah, dan pergi begitu saja sebelum Meilani tersadar —ataubahkan mengucapkan terima kasih!

By the way, guys, kalo gitu kasihan kak Dion dong, ya? Masa Cuma gara-gara gitu doang sampe digebukin sama kak Al sampe segitunya? Ckckck, miris,” komentar Gretha.

“Iya, ya? Padahal setau gue, kak Al sama kak Dion tuh sahabatan, lhoo! Kan kesannya jadi awkward, ya gak sih?”

“Yap! Betul banget. Gue denger sih kak Dion marah banget sama kak Al gara-gara main pukul aja. Padahal kan kalo diliat lagi, kak Altan yang salah. Siapa suruh lagi maen malah meleng. Gue jadi mikir, lhoo, guys, siapa sih tuh cewek? Kayaknya bawa pengaruh besar banget buat kak Al.”

Meilani menelan ludah. Astagaaa… ternyata mencuri dengar pembicaraan orang bisa membuatnya merinding, dan…apa? Merubah pandangan terhadap seseorang?

Oh tidak, tidak, tidak! Itu gak boleh terjadi.

Lalu Meilani harus apa? Ia harus bagaimana? Meilani tau banget kalo Altan dan Dion memang bersahabat, dan  kini karena dirinya, mereka bertengkar?

“Mungin tuh cewek inceran barunya kak Altan kali yaa. Lo kan tau sendiri, kak Al tuh kayak gimana?”

Incaran? Cukup! Meilani sudah cukup mendengar semua omong kosong adik kelasnya itu. Yang terpenting baginya sekarang adalah dia sudah tau siapa orang yang membawanya pulang ke rumah sewaktu pingsan kemarin.

Dan well, Meilani sepertinya harus berterima kasih pada orang itu.



Meilani terus berjalan sepanjang koridor lalu menaiki tangga, menuju lantai tiga. Sepanjang perjalanan, Meilani terus menyusun sesuatu di dalam otaknya. Ucapan terima kasih yang harus ia layangkan pada orang yang telah menolongnya. Altan.

Saat pintu kelasnya hanya tinggal berjarak tiga meter lagi dari dirinya, Meilani memberhentikan langkahnya tiba-tiba. Kenapa? Kenapa Meilani merasa bahwa jantungnya berdetak semakin kencang saat ia melihat orang itu berdiri di pintu kelasnya.

Meilani memainkan jari-jari tangannya di samping tubuhnya. Saat itu juga Altan menyadari keberadaannya. Mata Altan tajam menatap pada diri Meilani.

Altan memperhatikan Meilani yang berdiri terpaku tak jauh darinya. Ia menghela nafas saat memperhatikan raut muka Meilani yang masih terlihat pucat. Ia memang sengaja berdiri di depan pintu kelasnya sepanjang pagi ini. Ia ingin mengetahui apakah Meilani bersekolah hari ini atau tidak. Dan penantiannya berbuah manis? Entahlah. Yang jelas, pagi ini ia lebih suka tidak melihat Meilani datang ke sekolah.

Meilani seharusnya beristirahat di rumah saja!

Tanpa balas menatap mata Altan, Meilani membawa dirinya melangkah menuju pintu masuk kelasnya, lalu berhenti saat Altan tak juga menyingkir untuk memberinya jalan.

“Permisi,” kata Meilani pelan. Suaranya sepertinya hilang tersangkut di ujung tenggorokannya.

Sekarang Altan di depannya, haruskah dia berterima kasih padanya sekarang?

Altan memicingkan matanya, lalu meregangkan kedua tangannya hingga menyentuh kedua sisi pintu. Menghalau Meilani masuk ke dalam.

Meilani menghirup banyak udara dari hidungnya. Sudah pasti Altan akan melakukan ini padanya. Apalagi jika ada kesempatan.

“Kalo muka kayak mayat berjalan, tuh, mending gak usah sekolah!” perhatian Altan tertutup dengan intonasi yang menyinggung. Sehingga kata-kata itu terdengar begitu menyebalkan dan menusuk.

“Bukan urusan lo,” Meilani berkata dingin. Ia memutuskan untuk tak menghiraukan Altan, lalu membalikkan badannya dan berjalan ke arah balkon depan kelasnya. Memandang lapangan sekolah dengan jengkel.

Menguap sudah untuk mengatakan ucapan terima kasih. Altan selalu bisa merusak segalanya! Merusak mood-nya, keinginannya, keceriannya, dan semuanya! Ia selalu sukses dengan sifat menjengkelkan yang selalu dilakukannya tanpa rasa bersalah…tanpa rasa malu!

Hawa panas tiba-tiba menyergap belakang tubuh Meilani. Meilani melirik sekilas ke belakang melewati bahunya. Altan berada disana. Tepat 5 inci di belakang punggungnya. Dengan gerakan terlatih, Meilani menggeser dirinya sedikit ke samping, lalu kembali tak memperdulikan keberadaan Altan.

Detik berikutnya, Altan bergabung dengannya menyandarkan dadanya pada dinding balkon. Menatap lurus ke depan.

“Demi Tuhan, Mel, muka lo tuh masih pucet banget.” Altan melirik ke samping, memperhatikan Meilani dengan seksama dengan raut wajah penuh kekhawatiran. “lo harus pulang sekarang!” itu bukan sekedar suruhan. Itu permintaan! Permohonan!

Meilani mendengus sekali. “Siapa peduli? Gue yang ngerasain kok. Gue sehat-sehat aja.” Meilani berbalik, hendak menuju kelasnya. “Dan… oh ya, satu lagi. Thanks buat perhatiannya dan pertolongan lo kemaren.” Meilani menepuk lengan Altan tiga kali dengan rasa bangga berkata, “lo musuh terbaik gue.”

Altan memperhatikan Meilani yang menghilang di balik pintu kelasnya. Lalu menghela nafas dengan berat. Dasar keras kepala!


***___***___***___***


Jam pelajaran terakhir sudah berdering sejak empat puluh lima menit yang lalu. Seisi kelas juga kosong dan hanya menyisakan Meilani di dalamnya.  Semua penghuni kelas sudah melangkahkan kakinya keluar dari sekolah. Mungkin hanya tersisa orang-orang yang sibuk dengan kegiatan eskul mereka saja.

Sedangkan Meilani sedari tadi tidak berniat sama sekali membawa langkah kakinya keluar dari kelasnya. Ia merasa tubuhnya akan melayang jika ia bangkit dari tempat duduknya.

Sambil mengumpulkan tenaga dan memotivasi dirinya sendiri kalau ia kuat, Meilani memasang earphone di telinganya dan mencoret-coret buku di depannya.

Pikirannya melayang pada kejadian yang ia alami kemarin. Kenapa Altan begitu marahnya pada Dion saat ia pingsan terkena lemparan bola? Benarkah Altan yang mengantarnya pulang ke rumah? Menggendongnya sampai ke kamar? Kalau begitu ia harus menanyakannya pada Bik Juju. Kemarin ia tidak sempat menanyakannya pada pembantunya itu, karna saking malasnya keluar kamar. Dan tadi pagi juga ia tidak punya pikiran untuk menanyakan itu saat di meja makan.

Yap! Meilani harus menanyakan siapa yang mengantarnya pulang saat ia pingsan kemarin. Ia ingin membuktikan gossip adik kelasnya itu.

Saat pikiran Meilani melayang entah kemana arahnya, tiba-tiba pintu kelas terbuka dengan dorongan yang sangat keras —mengakibatkan bunyi yang keras saat pintu itu membentur tembok, sehingga membuat Meilani tersentak kaget.

Orang itu meringis saat menyadari bahwa di dalam kelasnya masih ada penghuninya. Ia pikir semua orang sudah bergegas pulang ke rumah masing-masing sejak beberapa puluh menit yang lalu, kan?

Dion, orang yang membuka pintu kelas dengan cara menggebraknya masuk dengan canggung. Tubuh langsing dan kulit putihnya dibanjiri oleh keringat yang meluncur sempurna dari dahinya, turun ke pelipis, rahang lalu ke leher. Otot lengannya yang terekspos bebas –karena memakai baju basket pun tak luput dengan keringat. Terlihat basah dan licin.

“Eh, Mel,” sapa Dion sambil memaksakan senyum canggung. Walaupun mereka adalah teman sekelas, ini pertama kalinya Dion menyapa Meilani. Dion tahu kalau Meilani selama ini menutup diri dari dunia sekitar. Dan Dion memaklumi itu. Ia tak pernah mengajak Meilani berbicara ataupun sekedar menegurnya. Tidak saat Meilani belum membuka dirinya pada setiap orang di dekatnya.

“Hai, Yon,” balas Meilani.

Meilani memperhatikan setiap gerakan Dion. Dion menuju ke arah dimana tempat duduknya berada. Ternyata dia ingin mengambil tasnya yang sengaja ditinggalkannya saat ia bermain basket di lapangan.

Sambil bersenandung kecil, Dion membereskan semua barang-barangnya. Menjejalkannya masuk ke dalam tas ranselnya.

Saat melirik ke atas, Dion melihat Meilani masih memperhatikan dirinya. Alisnya terangkat. “Eh, lo kenapa masih disini? mau nginep?” tanyanya dengan nada yang cukup bersahabat dan santai.

Meilani tersenyum geli. “Yaa pulang lah. Ini gue lagi ngumpulin tenaga tauu…” kata Meilani sambil meregangkan kedua tangannya ke depan. Lalu memasukkan semua barang-barang yang tergeletak di atas mejanya.

Meilani kemudian berdiri cepat dan menyambar tasnya. Meilani tahu kalau Dion pasti memperhatikan wajahnya yang pucat dan itu tidak menutup kemungkinan kalau Dion akan mengatakan sesuatu yang sama menyebalkannya —seperti yang dikatakan sahabatnya tadi pagi.

Sebelum keluar dari pintu, Meilani menyempatkan diri untuk meminta maaf pada Dion atas kejadian kemarin. Entah kenapa, Meilani merasa bersalah pada Dion. Karena dirinyalah penyebab Dion dipukuli oleh Altan.

Dion tertawa geli. “Aduuh Mel, harusnya tuh gue kali yang minta maaf. Kenapa jadi lo yang ngerasa bersalah? Lucu lo!”

“Yaa… soalnya kan… umm,, gara-gara gue kena lemparan bola basket dari lo, lo malah dipukulin sama Altan.” Meilani baru memberanikan dirinya mengamati wajah Dion saat Dion berjalan mendekat.

Jika diperhatikan dari dekat seperti ini, wajah Dion hampir semuanya dipenuhi dengan luka memar. Di bagian mata, di pinggir bibirnya, bahkan di rahangnya terlihat sangat jelas berwarna ungu pudar.

“Yah, ini mah belom seberapa kali, Mel. Lagian gue sama Altan udah biasa maen tonjok-tonjokan. Walaupun, yaa, yang kemaren itu nonjok beneran. Soalnya keseringan boong-boongan maen tonjok-tonjokannya. Tapi, lo tenang aja. Itu bukan masalah buat gue.”

Dion berjalan perlahan keluar dari kelas dan Meilani mengikuti di sampingnya. “Tapi, gue denger-denger, lo berdua malah jadi…diem-dieman?” tanya Meilani sangsi. Well, setidaknya itu yang dia dengar dari adik kelasnya tadi.

“Maksud lo marahan? Hahaha… emangnya kita anak cewek apa, Mel?” Dion mengernyit. “Diem-dieman sih, iyaa, tapi cuma seharian kemaren doang, kok. Melemnya dia malah ngapelin gue. Ngajak gue maen PS.”

Meilani mengerutkan dahinya, lalu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Bingung dengan kebiasaan dan pemikiran para cowok. Sebegitu cepatnya melupakan sesuatu, seperti halnya pertengkaran hanya dalam kurun waktu kurang dari dua puluh empat jam! Padahal kalo cewek-cewek yang kayak gitu, duuuhh… jangankan lebih dari tiga hari, setahun diem-dieman juga sanggup!

“Ohh, gitu… kalo tau gitu mending gue aja yang marah sama lo. ngapain coba tadi gue minta maaf,” geruutu Meilani polos. Dion melepaskan tawa gelinya. Terdengar membahana di sepanjang lorong saat mereka turun tangga.

“Yah, Mel, lo jangan marah sama gue dong. Masa baru juga akrab udah diem-dieman lagi, hahahha…” bujuk Dion sambil menyikut Meilani.

Meilani memperlihatkan muka jutek andalannya. “Bodo, siapa juga yang mau akrab sama lo,” kata Meilani acuh. Ia berusaha menahan senyum tercetak di wajahnya. Sejenak rasa sakit pada kepalanya terlupakan.

Dion terus membujuk Meilani agar tak marah padanya, dan Meilani tak kuasa menahan tawanya saat muka Dion menghalau jalannya. Muka paling bodoh dan lucu yang belum pernah dilihat Meilani dari wajah tampan Dion.

Meilani memukul kepala Dion sekali. “Iiihh… udah sanaa… gue juga Cuma bercanda doang kali, Yon. Jangan pasang wajah semenyedihkan itu deh!”

Dion tak segan-segan menoyor pipi Meilani. “Kampret lo! wajah ganteng gini dibilang menyedihkan,” sungut Dion. Mereka berdua terkikik geli di sepanjang perjalanan mereka melewati koridor.

“Lo pulang sama siapa, Mel? Mau gue anterin gak?” tawar Dion. Dion melambaikan satu tangannya pada teman se-tim basketnya yang sedang duduk berkumpul di lapangan. Mereka berhenti sejenak.

“Gak usah deh, kayaknya. Gue dari tadi nunggu di jemput sama bokap kok, Yon,” tolak Meilani berbohong. Meilani tidak mau merepotkan orang yang baru saja akrab padanya. “mungkin lain kali?”

Dion mengangguk. “Oke, lain kali juga boleh. Gue ke sana dulu, ya?” pamit Dion. Lalu dengan mantap ia melangkahkan kakinya ke sekumpulan teman se-timnya.


Belum sempat mengambil langkah untuk dirinya, Meilani dikejutkan dengan teriakan fantastis dari belakang tubuhnya.

“Meeeeellll… ya ampun! Untung lo belom pulang!” teriak Tika dengan ucapan yang superrrr duperrr GILA.

Meilani memegang dadanya, menetralisir rasa kagetnya sambil memutar matanya. “Heh, Tikus! Sekali lagi lo ngagetin gue, gue bikin lo jadi adonan bakso.”

“Wuu… takut,” cibir Tika dengan kekehan geli yang sama nyaringnya.

“Lo kenapa masih ada di sekolah? Bukannya lo gak ada kegiatan ya hari ini?” tanya Meilani heran. Tika membuat cengiran lebar di mukanya. “Hanya ada sedikit urusan.”

Meilani mengangguk. “Ooohh…”

“Mel, mau minta tolong sama lo, dong. Berhubung lo belom pulang, gimana kalo lo pulang pake mobil gue? Gue gak enak nyuruh pak Dodo pulang lagi. Kasian dia udah capek-capek jemput gue, eh, guenya mau pulang bareng orang lain,” kata Tika dengan wajah berbinar-binar.

Kebetulan yang beruntung. Meilani baru saja memikirkan bahwa ia menyesal tawaran dari Dion untuk mengantarkannya pulang. Padahal ia tahu betul kalau dirinya tidak sanggup untuk pulang ke rumah dengan angkutan umum yang penuh sesak. Dan sekarang ia bersyukur ada orang yang lebih bisa diandalkan untuk mengantarnya pulang. “Yaudah. Eh, tapi lo mau pulang bareng siapa?”

Tika mencondongkan tubuhnya ke depan. Berbisik pada Meilani dengan senyum yang terus terpahat di wajah putihnya.

“What??!” teriak Meilani kaget. Nama orang yang baru saja dibisikkan oleh Tika benar-benar tak pernah disangkanya. Secepat itukah pergerakannya?

Tika tersenyum bangga. Lalu mengangguk meyakinkan saat melihat ekspresi ketidakpercayaan Meilani. “Yuk, bareng ke parkirannya. Lo udah ditungguin pak Dodo, dan gue udah ditungguin… Altan.”


Saat sampai di parkiran, Meilani sempat melihat Altan bersandar pada pintu kemudi mobil rover putihnya. Menunggu Tika dengan gaya memuakkan —bagi Meilani.

Tika berteriak pada Altan untuk menunggunya sebentar, sementara ia menyeret Meilani ke tempat dimana mobilnya terparkir. Memberi perintah sebentar pada Pak Dodo untuk mengantar Meilani pulang, lalu tersenyum lebar pada Meilani.

“Doain gue ya, Mel!” kata Tika penuh harap.

Astaga… apa yang harus Meilani doakan untuk temannya? Untuk temannya yang akan pulang bersama dengan musuhnya?


***___***___***___***

Tika memandang ke kaca belakang mobil. Bergerak panik saat Altan memberhentikan mobilnya tepat di tengah-tengah jalan. Jalan tol!

Bayangkan, jalan tol dalam kota ini cukup ramai, apalagi ini sudah waktunya orang-orang pulang dari kantor. Dan disaat sedang ramai seperti ini, Altan malah dengan sengaja menghentikan mobilnya di tengah-tengah, lalu mematikan mesinnya.

“Al, lo gila?” tanya Tika panik. Di belakang mobil mereka ada truk dan bus besar yang akan melewati mereka. Bagaimana kalau mereka ditabrak?

Altan dengan santai dan muka datar membiarkan kepanikan menyergap diri Tika. Lalu ia mulai bicara, “bilang dulu lo mau jadi pacar gue.”

Tiiiiiiinnnnnn…

Sebuah mobil menghindar ke samping untuk menghindari mobil Altan yang berhenti di tengah jalan. Sang supir membuka kaca jendela di sampingnya, lalu menyempatkan mulutnya untuk memaki ke arah mobil Altan. Altan tak memperdulikannya sama sekali.

Altan menahan senyum di wajahnya saat dilihatnya wajah Tika yang pucat pasi.

Tiiiiiiinnnnnn…

Sebuah mobil kembali menghindar ke samping tepat pada waktunya. Karena mobil itu melaju dengan kecepatan tinggi, hingga jika telat sedikit saja mobil itu menghindari mobil Altan, mungkin mobil Altan akan jauh terpental.

Tika menarik lengan baju Altan. Benar-benar tidak bisa berpikir. Otaknya susah mencerna apa yang dimaksudkan oleh Altan sehingga ia harus merengek pada Altan untuk menghidupkan mobilnya dan meninggalkan tol sialan ini!

“Altaaaaaannn!!! Lo denger gak si? Kita bisa mati ditabrak di tengah jalan kayak gini! Lo pikir gue mau ma—”

“Kita gak bakalan mati kalo lo mau jadi pacar gue, Tika...” Altan mengangkat alisnya, dan saat itu juga Tika baru menyadari apa yang dimaksud dan diinginkan Altan dengan bertindak konyol seperti ini.

Tika membeku. Sejenak ia melupakan kalau dirinya kini berada di tengah-tengah jalan tol yang ramai. Saat ia melihat Altan tersenyum penuh arti padanya, ia mulai merasakan kalau jantungnya kini sudah keluar dari mulutnya dan berlari kencang di sepanjang jalan tol.

Ya Tuhan... secepat inikah Altan mengutarakan perasaannya?

Lalu Tika harus berkata apa? Bereaksi bagaimana? Ya atau tidak?

“Apa Tika? Kalo lo kelamaan mikir, lo sendiri yang membawa kita berdua ke jurang maut,” ucap Altan tak sabaran.

Tiiiiiiinnnnnn…

Lagi-lagi mobil yang mendekat dengan mobil Altan menghindar dengan cukup baik dan tepat waktu. Dan suara klakson mobil pun menyadarkan Tika kembali ke dunia nyata.

“Aaaarghh... iya, iya!!!” teriak Tika malu-malu.

“Good girl!” puji Altan mendengar jawaban dari Tika. Tanpa membuang banyak waktu, Altan langsung menghidupkan mobilnya dan menancapkan gasnya dengan hentakan yang keras. Hingga membuat tubuh kecil Tika —yang sedang duduk tegak terpental ke belakang jok duduknya.

“Buset Altan, pelan-pelan!!!” protes Tika pada pacar barunya.

Tanpa kentara, Altan menarik salah satu sudut bibirnya ke atas. Membentuk sebuah senyuman kemenangan. Inilah jalannya. Dia mendapatkan jalannya untuk mendekati orang yang hampir dibilang sangat dekat dengan cewek disebelahnya.

Altan tidak perduli jika ia menggunakan cara ini untuk menarik kembali perhatian cewek yang dia suka dengan memacari sahabatnya. Konyol memang. Tapi itulah ide gila yang dia punya saat itu. Ide yang mengharuskannya membohongi orang lain demi kepentingan sendiri. Meski harus nengorbankan perasaannya juga.


**TEBECE**

0 comments:

Post a Comment

Template by:

Free Blog Templates