SEBELAS
Keesokan harinya, Meilani berjalan lemah melewati sepanjang
koridor sekolah. Menuju ke tempat dimana kelasnya berada.
Dengan muka yang masih sedikit pucat, tetapi masih bisa
disembunyikan dengan bedak tipisnya, Meilani memperhatikan setiap orang yang berpapasan
dengannya di sepanjang koridor. Semua menatapnya aneh, bahkan sampai berdecak
penuh… apa? Rasa kagum kah?
Oh my god, apakah muka pucatnya patut untuk dikagumi atau
mereka kagum dengan usaha Meilani menyembunyikan muka pucatnya yang… well,
cukup baik?
Meilani berhenti sebentar, lalu ia mendengar percakapan
tiga orang cewek yang sedang duduk di bangku taman yang menghadap ke arah
lapangan. Terdengar asik menggosipkan sesuatu. Sedikit menarik perhatiannya.
Dengan pelan dan hati-hati, Meilani menempatkan dirinya
duduk membelakangi mereka. Meilani berharap semoga tiga cewek itu tidak
mengetahui keberadaannya yang sedang ingin menguping pembicaraan mereka.
Meilani berpura-pura menyibukkan dirinya dengan mengikat ulang kembali sepatu
putihnya. Sebisa mungkin menghindari perhatian yang berlebihan dari tiga cewek
itu.
“Beehh… makanya kemaren lo ikutan gue madol pelajaran Pak
Hans dong! Jadinya bisa liat kejadian menghebohkan di lapangan,” kata Fina, cewek yang duduk di tengah-tengah. Kedua
temannya, Gretha dan Arsa duduk mengapit dirinya. Mendengar dan memperhatikan
setiap perkataan Fina dengan ekspresi penasaran yang amat dalam.
“Se-heboh apa sih emangnya? Kayaknya satu sekolahan lagi
ngomongin mereka,” kata Gretha, yang duduk di sisi sebelah kanan. Arsa mengangguk
mengiyakan pernyataan dari Gretha.
“Huh! Jadi gini… kemaren lo pada tau kan gue lagi bĂȘte
banget? Makanya gue keluar kelas? Nah, pas gue keluar, kebetulan banget tuh
kelasnya kak Altan lagi olahraga. Ya udah, gue duduk aja di pojok sana sambil
ngeliatin cowok-cowok,” Fina menunjuk sisi barat koridor sekolahnya. Lalu
melanjutkan,
“gak lama, yang cowok-cowok pada maen basket kan, ya. Eh,
pas kak Dion mau ngoper bolanya ke kak Altan, tau-tau tuh bola malah nyasar ke
cewek-cewek yang lagi pada ngegossip di pinggir lapangan.”
“Kenapa kak Al gak nangkep tuh bolanya?” tanya Arsa polos.
“Umm… gak ngerti juga deh. Cuma gue sih ngeliatnya, kak Al
tuh emang lagi gak fokus. Matanya ngeliat ke pinggir mulu. Mending kalo ngeliat
ke pinggir dimana gue lagi duduk, lah, ini mah ke tempat cewek-cewek
sekelasnya! Sebel gue!”
“Terus…terus itu bolanya kena siapa??” tanya Gretha tak
sabar.
“Yaa, terus ya itu tadi. Bolanya kena kepala kak… um, siapa
itu ya namanya? Aduuhh, pokoknya kena kepala tuh cewek sampe pingsan! Trus
karna gue shock dan Cuma perhatiin si cewek, gue gak liat gimana mulanya,
tau-tau kak Al udah nonjok kak Dion sambil maki-maki gitu deh.”
“Ihh… kok so sweet, sih? Gue juga mau dong digendong kak
Al,” celetuk Gretha dan Arsa bersamaan. Meilani —yang masih mendengarkan gossip
ketiga cewek itu— membeku. Cewek yang pingsan itu adalah dirinya!
Fina menghela nafas, tak ingin menghiraukan celetukan
teman-temannya. “abis itu, kak Al langsung gendong tuh cewek ke parkiran,
trusss… wuzzz… gak tau deh dianter ke klinik dulu atau langsung dianter pulang.”
“Mungkin ke klinik dulu kali yaa, nungguin tuh cewek sadar.
Emangnya kak Al tau apa dimana rumah tuh cewek?” gumam Gretha sambil
menyipitkan matanya saat kata-kata itu keluar dari mulutnya.
“Yaah, iya kali,” ucap Fina putus asa, “tapi bisa aja kan,
kak Al udah tau dimana rumah tuh cewek? Mereka kan temen sekelas, guys!”
“Oh iya ya,” kata Arsa manggut-manggut.
Meilani menggigit bibirnya. Altan tau dimana rumahnya? Meilani
memang tidak tahu apakah Altan membawanya ke klinik terlebih dahulu atau tidak,
tapi yang jelas, saat ia terbangun dari kesadarannya, Meilani menemukan
beberapa jenis obat baru. Diletakkan di atas nakas samping tempat tidurnya,
lengkap dengan segelas besar air putih. Dan ia tak melihat sosok orang yang
membawanya pulang kembali ke rumah atau —jika yang mereka maksud— Altan,
Meilani tak menemukannya sama sekali.
Kalau begitu, Altan sempat membawanya ke klinik, lalu
mengantarnya pulang ke rumah, dan pergi begitu saja sebelum Meilani tersadar
—ataubahkan mengucapkan terima kasih!
“By the way, guys,
kalo gitu kasihan kak Dion dong, ya? Masa Cuma gara-gara gitu doang sampe
digebukin sama kak Al sampe segitunya? Ckckck, miris,” komentar Gretha.
“Iya, ya? Padahal setau gue, kak Al sama kak Dion tuh
sahabatan, lhoo! Kan kesannya jadi awkward, ya gak sih?”
“Yap! Betul banget. Gue denger sih kak Dion marah banget
sama kak Al gara-gara main pukul aja. Padahal kan kalo diliat lagi, kak Altan
yang salah. Siapa suruh lagi maen malah meleng. Gue jadi mikir, lhoo, guys,
siapa sih tuh cewek? Kayaknya bawa pengaruh besar banget buat kak Al.”
Meilani menelan ludah. Astagaaa… ternyata mencuri dengar
pembicaraan orang bisa membuatnya merinding, dan…apa? Merubah pandangan
terhadap seseorang?
Oh tidak, tidak, tidak! Itu gak boleh terjadi.
Lalu Meilani harus apa? Ia harus bagaimana? Meilani tau
banget kalo Altan dan Dion memang bersahabat, dan kini karena dirinya, mereka bertengkar?
“Mungin tuh cewek inceran barunya kak Altan kali yaa. Lo
kan tau sendiri, kak Al tuh kayak gimana?”
Incaran? Cukup! Meilani sudah cukup mendengar semua omong
kosong adik kelasnya itu. Yang terpenting baginya sekarang adalah dia sudah tau
siapa orang yang membawanya pulang ke rumah sewaktu pingsan kemarin.
Dan well, Meilani sepertinya harus berterima kasih pada
orang itu.
Meilani terus berjalan sepanjang koridor lalu menaiki
tangga, menuju lantai tiga. Sepanjang perjalanan, Meilani terus menyusun
sesuatu di dalam otaknya. Ucapan terima kasih yang harus ia layangkan pada
orang yang telah menolongnya. Altan.
Saat pintu kelasnya hanya tinggal berjarak tiga meter lagi
dari dirinya, Meilani memberhentikan langkahnya tiba-tiba. Kenapa? Kenapa
Meilani merasa bahwa jantungnya berdetak semakin kencang saat ia melihat orang
itu berdiri di pintu kelasnya.
Meilani memainkan jari-jari tangannya di samping tubuhnya.
Saat itu juga Altan menyadari keberadaannya. Mata Altan tajam menatap pada diri
Meilani.
Altan memperhatikan Meilani yang berdiri terpaku tak jauh
darinya. Ia menghela nafas saat memperhatikan raut muka Meilani yang masih
terlihat pucat. Ia memang sengaja berdiri di depan pintu kelasnya sepanjang
pagi ini. Ia ingin mengetahui apakah Meilani bersekolah hari ini atau tidak.
Dan penantiannya berbuah manis? Entahlah. Yang jelas, pagi ini ia lebih suka
tidak melihat Meilani datang ke sekolah.
Meilani seharusnya beristirahat di rumah saja!
Tanpa balas menatap mata Altan, Meilani membawa dirinya
melangkah menuju pintu masuk kelasnya, lalu berhenti saat Altan tak juga menyingkir
untuk memberinya jalan.
“Permisi,” kata Meilani pelan. Suaranya sepertinya hilang
tersangkut di ujung tenggorokannya.
Sekarang Altan di depannya, haruskah dia berterima kasih
padanya sekarang?
Altan memicingkan matanya, lalu meregangkan kedua tangannya
hingga menyentuh kedua sisi pintu. Menghalau Meilani masuk ke dalam.
Meilani menghirup banyak udara dari hidungnya. Sudah pasti
Altan akan melakukan ini padanya. Apalagi jika ada kesempatan.
“Kalo muka kayak mayat berjalan, tuh, mending gak usah sekolah!”
perhatian Altan tertutup dengan intonasi yang menyinggung. Sehingga kata-kata
itu terdengar begitu menyebalkan dan menusuk.
“Bukan urusan lo,” Meilani berkata dingin. Ia memutuskan
untuk tak menghiraukan Altan, lalu membalikkan badannya dan berjalan ke arah
balkon depan kelasnya. Memandang lapangan sekolah dengan jengkel.
Menguap sudah untuk mengatakan ucapan
terima kasih. Altan selalu bisa merusak segalanya! Merusak mood-nya,
keinginannya, keceriannya, dan semuanya! Ia selalu sukses dengan sifat menjengkelkan
yang selalu dilakukannya tanpa rasa bersalah…tanpa rasa malu!
Hawa panas tiba-tiba menyergap
belakang tubuh Meilani. Meilani melirik sekilas ke belakang melewati bahunya.
Altan berada disana. Tepat 5 inci di belakang punggungnya. Dengan gerakan
terlatih, Meilani menggeser dirinya sedikit ke samping, lalu kembali tak
memperdulikan keberadaan Altan.
Detik berikutnya, Altan
bergabung dengannya menyandarkan dadanya pada dinding balkon. Menatap lurus ke
depan.
“Demi Tuhan, Mel, muka lo tuh
masih pucet banget.” Altan melirik ke samping, memperhatikan Meilani dengan
seksama dengan raut wajah penuh kekhawatiran. “lo harus pulang sekarang!” itu
bukan sekedar suruhan. Itu permintaan! Permohonan!
Meilani mendengus sekali. “Siapa
peduli? Gue yang ngerasain kok. Gue sehat-sehat aja.” Meilani berbalik, hendak
menuju kelasnya. “Dan… oh ya, satu lagi. Thanks buat perhatiannya dan
pertolongan lo kemaren.” Meilani menepuk lengan Altan tiga kali dengan rasa
bangga berkata, “lo musuh terbaik gue.”
Altan memperhatikan Meilani yang
menghilang di balik pintu kelasnya. Lalu menghela nafas dengan berat. Dasar keras kepala!
***___***___***___***
Jam pelajaran terakhir sudah
berdering sejak empat puluh lima menit yang lalu. Seisi kelas juga kosong dan
hanya menyisakan Meilani di dalamnya.
Semua penghuni kelas sudah melangkahkan kakinya keluar dari sekolah.
Mungkin hanya tersisa orang-orang yang sibuk dengan kegiatan eskul mereka saja.
Sedangkan Meilani sedari tadi
tidak berniat sama sekali membawa langkah kakinya keluar dari kelasnya. Ia
merasa tubuhnya akan melayang jika ia bangkit dari tempat duduknya.
Sambil mengumpulkan tenaga dan
memotivasi dirinya sendiri kalau ia kuat, Meilani memasang earphone di
telinganya dan mencoret-coret buku di depannya.
Pikirannya melayang
pada kejadian yang ia alami kemarin. Kenapa Altan begitu marahnya pada Dion
saat ia pingsan terkena lemparan bola? Benarkah Altan yang mengantarnya pulang
ke rumah? Menggendongnya sampai ke kamar? Kalau begitu ia harus menanyakannya
pada Bik Juju. Kemarin ia tidak sempat menanyakannya pada pembantunya itu,
karna saking malasnya keluar kamar. Dan tadi pagi juga ia tidak punya pikiran
untuk menanyakan itu saat di meja makan.
Yap!
Meilani harus menanyakan siapa yang mengantarnya pulang saat ia pingsan
kemarin. Ia ingin membuktikan gossip adik kelasnya itu.
Saat pikiran
Meilani melayang entah kemana arahnya, tiba-tiba pintu kelas terbuka dengan dorongan yang
sangat keras —mengakibatkan
bunyi yang keras saat pintu itu membentur tembok, sehingga
membuat Meilani tersentak kaget.
Orang itu meringis saat
menyadari bahwa di dalam kelasnya masih ada penghuninya. Ia pikir semua orang
sudah bergegas pulang ke rumah masing-masing sejak beberapa puluh menit yang
lalu, kan?
Dion, orang yang membuka pintu
kelas dengan cara menggebraknya masuk dengan canggung. Tubuh langsing dan kulit
putihnya dibanjiri oleh keringat yang meluncur sempurna dari dahinya, turun ke
pelipis, rahang lalu ke leher. Otot lengannya yang terekspos bebas –karena
memakai baju basket pun tak luput dengan keringat. Terlihat basah dan licin.
“Eh, Mel,” sapa Dion sambil
memaksakan senyum canggung. Walaupun mereka adalah teman sekelas, ini pertama
kalinya Dion menyapa Meilani. Dion tahu kalau Meilani selama ini menutup diri
dari dunia sekitar. Dan Dion memaklumi itu. Ia tak pernah mengajak Meilani
berbicara ataupun sekedar menegurnya. Tidak saat Meilani belum membuka dirinya
pada setiap orang di dekatnya.
“Hai, Yon,” balas Meilani.
Meilani memperhatikan setiap
gerakan Dion. Dion menuju ke arah dimana tempat duduknya berada. Ternyata dia
ingin mengambil tasnya yang sengaja ditinggalkannya saat ia bermain basket di
lapangan.
Sambil bersenandung kecil, Dion
membereskan semua barang-barangnya. Menjejalkannya masuk ke dalam tas
ranselnya.
Saat melirik ke atas, Dion
melihat Meilani masih memperhatikan dirinya. Alisnya terangkat. “Eh, lo kenapa
masih disini? mau nginep?” tanyanya dengan nada yang cukup bersahabat dan santai.
Meilani tersenyum geli. “Yaa
pulang lah. Ini gue lagi ngumpulin tenaga tauu…” kata Meilani sambil meregangkan
kedua tangannya ke depan. Lalu memasukkan semua barang-barang
yang tergeletak di atas mejanya.
Meilani kemudian berdiri cepat
dan menyambar tasnya. Meilani tahu kalau Dion pasti memperhatikan wajahnya yang
pucat dan itu tidak menutup kemungkinan kalau Dion akan mengatakan sesuatu yang
sama menyebalkannya —seperti yang dikatakan sahabatnya tadi pagi.
Sebelum keluar dari pintu,
Meilani menyempatkan diri untuk meminta maaf pada Dion atas kejadian kemarin.
Entah kenapa, Meilani merasa bersalah pada Dion. Karena dirinyalah penyebab
Dion dipukuli oleh Altan.
Dion tertawa geli. “Aduuh Mel,
harusnya tuh gue kali yang minta maaf. Kenapa jadi lo yang ngerasa bersalah?
Lucu lo!”
“Yaa… soalnya kan… umm,,
gara-gara gue kena lemparan bola basket dari lo, lo malah dipukulin sama
Altan.” Meilani baru memberanikan dirinya mengamati wajah Dion saat Dion
berjalan mendekat.
Jika diperhatikan dari dekat
seperti ini, wajah Dion hampir semuanya dipenuhi dengan luka memar. Di bagian
mata, di pinggir bibirnya, bahkan di rahangnya terlihat sangat jelas berwarna
ungu pudar.
“Yah, ini mah belom seberapa
kali, Mel. Lagian gue sama Altan udah biasa maen tonjok-tonjokan. Walaupun,
yaa, yang kemaren itu nonjok beneran. Soalnya keseringan boong-boongan maen
tonjok-tonjokannya. Tapi, lo tenang aja. Itu bukan masalah buat gue.”
Dion berjalan perlahan keluar
dari kelas dan Meilani mengikuti di sampingnya. “Tapi, gue denger-denger, lo
berdua malah jadi…diem-dieman?” tanya Meilani sangsi. Well, setidaknya itu yang
dia dengar dari adik kelasnya tadi.
“Maksud lo marahan? Hahaha…
emangnya kita anak cewek apa, Mel?” Dion mengernyit. “Diem-dieman sih, iyaa,
tapi cuma seharian kemaren doang, kok. Melemnya dia malah ngapelin gue. Ngajak
gue maen PS.”
Meilani mengerutkan dahinya, lalu
menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Bingung dengan kebiasaan dan
pemikiran para cowok. Sebegitu cepatnya melupakan sesuatu, seperti halnya
pertengkaran hanya dalam kurun waktu kurang dari dua puluh empat jam! Padahal
kalo cewek-cewek yang kayak gitu, duuuhh… jangankan lebih dari tiga hari,
setahun diem-dieman juga sanggup!
“Ohh, gitu… kalo tau gitu
mending gue aja yang marah sama lo. ngapain coba tadi gue minta maaf,” geruutu
Meilani polos. Dion melepaskan tawa gelinya. Terdengar membahana di sepanjang
lorong saat mereka turun tangga.
“Yah, Mel, lo jangan marah sama
gue dong. Masa baru juga akrab udah diem-dieman lagi, hahahha…” bujuk Dion
sambil menyikut Meilani.
Meilani memperlihatkan muka
jutek andalannya. “Bodo, siapa juga yang mau akrab sama lo,” kata Meilani acuh.
Ia berusaha menahan senyum tercetak di wajahnya. Sejenak rasa sakit pada
kepalanya terlupakan.
Dion terus membujuk Meilani agar
tak marah padanya, dan Meilani tak kuasa menahan tawanya saat muka Dion
menghalau jalannya. Muka paling bodoh dan lucu yang belum pernah dilihat
Meilani dari wajah tampan Dion.
Meilani memukul kepala Dion
sekali. “Iiihh… udah sanaa… gue juga Cuma bercanda doang kali, Yon. Jangan
pasang wajah semenyedihkan itu deh!”
Dion tak segan-segan menoyor
pipi Meilani. “Kampret lo! wajah ganteng gini dibilang menyedihkan,” sungut
Dion. Mereka berdua terkikik geli di sepanjang perjalanan mereka melewati
koridor.
“Lo pulang sama siapa, Mel? Mau
gue anterin gak?” tawar Dion. Dion melambaikan satu tangannya pada teman se-tim
basketnya yang sedang duduk berkumpul di lapangan. Mereka berhenti sejenak.
“Gak usah deh, kayaknya. Gue
dari tadi nunggu di jemput sama bokap kok, Yon,” tolak Meilani berbohong.
Meilani tidak mau merepotkan orang yang baru saja akrab padanya. “mungkin lain
kali?”
Dion mengangguk. “Oke, lain kali
juga boleh. Gue ke sana dulu, ya?” pamit Dion. Lalu dengan mantap ia
melangkahkan kakinya ke sekumpulan teman se-timnya.
Belum sempat mengambil langkah
untuk dirinya, Meilani dikejutkan dengan teriakan fantastis dari belakang
tubuhnya.
“Meeeeellll… ya ampun! Untung lo
belom pulang!” teriak Tika dengan ucapan yang superrrr duperrr GILA.
Meilani memegang dadanya,
menetralisir rasa kagetnya sambil memutar matanya. “Heh, Tikus! Sekali lagi lo
ngagetin gue, gue bikin lo jadi adonan bakso.”
“Wuu… takut,” cibir Tika dengan
kekehan geli yang sama nyaringnya.
“Lo kenapa masih ada di sekolah?
Bukannya lo gak ada kegiatan ya hari ini?” tanya Meilani heran. Tika membuat
cengiran lebar di mukanya. “Hanya ada sedikit urusan.”
Meilani mengangguk. “Ooohh…”
“Mel, mau minta tolong sama lo,
dong. Berhubung lo belom pulang, gimana kalo lo pulang pake mobil gue? Gue gak
enak nyuruh pak Dodo pulang lagi. Kasian dia udah capek-capek jemput gue, eh,
guenya mau pulang bareng orang lain,” kata Tika dengan wajah berbinar-binar.
Kebetulan yang beruntung.
Meilani baru saja memikirkan bahwa ia menyesal tawaran dari Dion untuk
mengantarkannya pulang. Padahal ia tahu betul kalau dirinya tidak sanggup untuk
pulang ke rumah dengan angkutan umum yang penuh sesak. Dan sekarang ia
bersyukur ada orang yang lebih bisa diandalkan untuk mengantarnya pulang. “Yaudah.
Eh, tapi lo mau pulang bareng siapa?”
Tika mencondongkan tubuhnya ke
depan. Berbisik pada Meilani dengan senyum yang terus terpahat di wajah putihnya.
“What??!” teriak Meilani kaget.
Nama orang yang baru saja dibisikkan oleh Tika benar-benar tak pernah
disangkanya. Secepat itukah pergerakannya?
Tika tersenyum bangga. Lalu
mengangguk meyakinkan saat melihat ekspresi ketidakpercayaan Meilani. “Yuk,
bareng ke parkirannya. Lo udah ditungguin pak Dodo, dan gue udah ditungguin…
Altan.”
Saat sampai di parkiran, Meilani
sempat melihat Altan bersandar pada pintu kemudi mobil rover putihnya. Menunggu
Tika dengan gaya memuakkan —bagi Meilani.
Tika berteriak pada Altan untuk
menunggunya sebentar, sementara ia menyeret Meilani ke tempat dimana mobilnya
terparkir. Memberi perintah sebentar pada Pak Dodo untuk mengantar Meilani
pulang, lalu tersenyum lebar pada Meilani.
“Doain gue ya, Mel!” kata Tika
penuh harap.
Astaga… apa yang harus Meilani
doakan untuk temannya? Untuk temannya yang akan pulang bersama dengan musuhnya?
***___***___***___***
Tika memandang ke kaca belakang
mobil. Bergerak panik saat Altan memberhentikan mobilnya tepat di tengah-tengah
jalan. Jalan tol!
Bayangkan, jalan tol dalam kota
ini cukup ramai, apalagi ini sudah waktunya orang-orang pulang dari kantor. Dan
disaat sedang ramai seperti ini, Altan malah dengan sengaja menghentikan
mobilnya di tengah-tengah, lalu mematikan mesinnya.
“Al, lo gila?” tanya Tika panik.
Di belakang mobil mereka ada truk dan bus besar yang akan melewati mereka.
Bagaimana kalau mereka ditabrak?
Altan dengan santai dan muka
datar membiarkan kepanikan menyergap diri Tika. Lalu ia mulai bicara, “bilang
dulu lo mau jadi pacar gue.”
Tiiiiiiinnnnnn…
Sebuah
mobil menghindar ke samping untuk menghindari mobil Altan yang berhenti di
tengah jalan. Sang supir membuka kaca jendela di sampingnya, lalu menyempatkan
mulutnya untuk memaki ke arah mobil Altan. Altan tak memperdulikannya sama
sekali.
Altan
menahan senyum di wajahnya saat dilihatnya wajah Tika yang pucat pasi.
Tiiiiiiinnnnnn…
Sebuah
mobil kembali menghindar ke samping tepat pada waktunya. Karena mobil itu
melaju dengan kecepatan tinggi, hingga jika telat sedikit saja mobil itu
menghindari mobil Altan, mungkin mobil Altan akan jauh terpental.
Tika
menarik lengan baju Altan. Benar-benar tidak bisa berpikir. Otaknya susah
mencerna apa yang dimaksudkan oleh Altan sehingga ia harus merengek pada Altan
untuk menghidupkan mobilnya dan meninggalkan tol sialan ini!
“Altaaaaaannn!!!
Lo denger gak si? Kita bisa mati ditabrak di tengah jalan kayak gini! Lo pikir
gue mau ma—”
“Kita gak
bakalan mati kalo lo mau jadi pacar gue, Tika...” Altan mengangkat alisnya, dan
saat itu juga Tika baru menyadari apa yang dimaksud dan diinginkan Altan dengan
bertindak konyol seperti ini.
Tika
membeku. Sejenak ia melupakan kalau dirinya kini berada di tengah-tengah jalan
tol yang ramai. Saat ia melihat Altan tersenyum penuh arti padanya, ia mulai
merasakan kalau jantungnya kini sudah keluar dari mulutnya dan berlari kencang
di sepanjang jalan tol.
Ya Tuhan...
secepat inikah Altan mengutarakan perasaannya?
Lalu Tika
harus berkata apa? Bereaksi bagaimana? Ya atau tidak?
“Apa Tika?
Kalo lo kelamaan mikir, lo sendiri yang membawa kita berdua ke jurang maut,”
ucap Altan tak sabaran.
Tiiiiiiinnnnnn…
Lagi-lagi
mobil yang mendekat dengan mobil Altan menghindar dengan cukup baik dan tepat
waktu. Dan suara klakson mobil pun menyadarkan Tika kembali ke dunia nyata.
“Aaaarghh...
iya, iya!!!” teriak Tika malu-malu.
“Good
girl!” puji Altan mendengar jawaban dari Tika. Tanpa membuang banyak waktu,
Altan langsung menghidupkan mobilnya dan menancapkan gasnya dengan hentakan yang
keras. Hingga membuat tubuh kecil Tika —yang sedang duduk tegak terpental ke
belakang jok duduknya.
“Buset
Altan, pelan-pelan!!!” protes Tika pada pacar barunya.
Tanpa
kentara, Altan menarik salah satu sudut bibirnya ke atas. Membentuk sebuah
senyuman kemenangan. Inilah jalannya. Dia mendapatkan jalannya untuk mendekati
orang yang hampir dibilang sangat dekat dengan cewek disebelahnya.
Altan tidak
perduli jika ia menggunakan cara ini untuk menarik kembali perhatian cewek yang
dia suka dengan memacari sahabatnya. Konyol memang. Tapi itulah ide gila yang
dia punya saat itu. Ide yang mengharuskannya membohongi orang lain demi
kepentingan sendiri. Meski harus nengorbankan perasaannya juga.
**TEBECE**
0 comments:
Post a Comment