Sunday, December 16, 2012

Fall For You (Chapter 10)


Meilani memejamkan matanya sebentar. Menarik nafas dan menghembuskannya dengan keras. Ia menguatkan dirinya untuk ini. Sudah lama ia tak menghiraukan orang ini, dan kali ini ia harus menghadapinya.

“Altan,” panggilnya tegas.

“Hmm…”


Meilani memutar matanya karna Altan hanya menanggapi panggilannya dengan gumaman yang tidak jelas. “Al!” panggilnya sekali lagi.

“Apasih, Mel?” tanya Altan berusaha acuh tak acuh pada Meilani. Tak digerakkan badannya untuk menghadap ke arah Meilani. Matanya masih terfokus pada buku pelajaran di mejanya dan tangannya masih sibuk mencatat apa yang memang harus ia catat dari buku pelajaran itu.

Meilani berdecak tidak sabaran. “Mahvin Altan Dilara, gue ada perlu sama elo!”

Kali ini Altan merespon dengan seringaian yang berusaha disembunyikannya. Memiringkan badannya dan menatap Meilani dengan polos. “Lo ada perlu sama gue? Gue kirain lo lagi godain gue dari tadi manggil-manggil gue.”

“Idih, amit banget lo!” cibir Meilani. “itu pulpen gue balikin.”

Altan mengangkat tangan kanannya ke depan mukanya. Memperlihatkan pulpen yang sedang digenggamnya. “Ini maksud lo?”

“Iya, sini,” pinta Meilani sambil menjulurkan tangannya ke depan.

“Yeee… enak aja! Gue kan pinjemnya sama Tika, bukan sama lo,” ucap Altan seraya menyembunyikan tangan kanannya di belakang . menjauhkan pulpen yang sedang digenggamnya dari Meilani.

Meilani menatap Altan dengan mata melotot tajam dan Altan membalasnya dengan tatapan jenaka.

Sudah lama ia ingin menggoda Meilani, sudah lama ia ingin seperti ini dengan Meilani. Meskipun harus diawali dengan pertengkaran, itu bukan masalah bagi Altan.

“Al, gue gak lagi mau bercanda sama lo ya?!” peringat Meilani. Mukanya kini membentuk garis tegas. Benar-benar tidak ingin bercanda dan atau bertengkar dengan Altan.

Altan menyeringai. “Siapa yang mau ngajak lo bercanda sih, Mel?” tanya Altan menggoda. “oke, nih pulpen lo gue balikin,” katanya sambil meletakkan pulpen hitam itu di meja Meilani lalu dengan santai mengambil pulpen Meilani yang lain —yang tergeletak di atas meja. Menukarnya dengan pulpen yang sebelumnya.

Tanpa rasa bersalah, Altan kembali ke posisi semula. Duduk membelakangi Meilani yang kini menatapnya dengan melongo. Kemudian giginya menggeretak saking susahnya ia menahan amarah.

Tika yang hanya diam melihat kejadian itu hanya melongo. Geli dengan kelakuan Altan yang gampang banget bikin Meilani naik darah.

“Ya Tuhan…” desis Meilani. “Altan!” bentaknya.

“Apa lagi?” tanya Altan, malas-malasan membalikan badannya ke hadapan Meilani. “pulpen lo kan udah gue balikin? Mau minta apa lagi?”

“Ini pulpen gue,” kata Meilani sambil mengangkat pulpen hitam yang baru saja diberikan oleh Altan. “Dan itu…” ia menunjuk pulpennya yang sedang digenggam Altan, “itu juga pulpen gue. Balikin sini!”

Lagi-lagi Altan mengacungkan pulpen yang tadi ditukarnya. “Lo kan tadi minta pulpen lo yang itu, kan? Nah, lo pake aja yang itu. Yang ini, dari pada gak dipake, mending gue aja yang pake. Gue lagi gak ada pulpen nih, Mel.”

Meilani berdiri dan mencondongkan tubuhnya ke depan. Berusaha merenggut pulpen miliknya yang sedang dikuasai oleh Altan dengan mendorong meja yang menghalangi dirinya dengan Altan. “Bodooo… pokoknya siniin pulpen gue.”

Dengan gesit, Altan berdiri menjauh dari Meilani. “Yah, Mel, lo pelit banget sama gue. Pinjem pulpen satu doang juga,” gerutu Altan.

“Gak mau! Gue gak mau minjem-minjemin barang-barang gue ke elo.”

Meilani masih terus berusaha mengambil pulpennya dengan Altan yang masih terus mengelak. Sampai akhirnya datanglah Pak Damar, guru mata pelajaran Sosiologi yang meminta kelas mereka untuk membuat ringkasan singkat tentang materi yang sudah pernah ia ajarkan. Pak Damar kemudian menegur Altan dan Meilani yang terlihat sedang bertengkar dan memperebutkan sesuatu. Altan dan Meilani saling berspekulasi bahwa mereka tidak membuat kekacauan —sementara murid yang lain masih sibuk mencatat pada buku mereka masing-masing. Tentu saja, pak Damar tidak akan mendengar omong kosong yang mereka berikan. Dan menyuruh mereka duduk kembali dengan tenang di tempat mereka masing-masing.

Sambil menggerutu, Meilani mundur dan menjatuhkan dirinya ke kursi duduknya. Menatap Altan dengan pandangan masih-ingin-bertarung.

Altan mengejek Meilani dengan memeletkan lidahnya. Merasa menang karena Meilani mengalah padanya. “Nanti juga gue balikin kali, Mel. Ya ampun, takut banget,” gerutu Altan.

“Gak, gak usah dibalikin. Abis lo pake buang aja,” kata Meilani ketus. Menatap Altan dengan jijik.

Altan mengangkat bahunya. “Well, daripada dibuang, mending buat kenang-kenangan. Itung-itung hadiah dari orang yang… diliat dari mukanya sih, pengen banget jadi musuh gue,” ucap Altan santai, lalu melanjutkan kembali tugas mencatatnya tanpa menghiraukan Meilani yang terus menerus menggerutu dan mencibir dirinya.

___***___***___***___

Seperti biasa, pelajaran Olahraga kali ini diawali dengan berlari mengelilingi lapangan sebanyak lima kali, lalu dilanjutkan dengan praktek melempar bola basket ke ranjang.

Setelah satu setengah jam bergelut dengan bola basket, Meilani dan teman-teman cewek yang lainnya mengistirahatkan diri mereka di pinggir lapangan. Duduk di dinding taman yang mengelilingi lapangan. Menonton anak laki-laki kelas mereka yang sedang berunding membagi tim untuk bermain basket.

Meilani mengeluarkan handphone-nya dari saku celana olahraganya. Mencoba mengalihkan perhatiannya dari temannya yang lain, yang sedang membicarakan Altan dan badan bagusnya.

“Ih, coba liat deh! Altan tuh sempurna banget, ya? Perutnya hampir six pack gitu…” kata Gretha, cewek paling imut di kelasnya. Tubuhnya lebih kecil daripada teman-temannya yang lain. Mengagumi Altan dengan suara polos yang seperti dibuat-buat.

“Iya, iya! Badannya paling beda dari cowok-cowok di kelas kita,” ucap Gabby, si rambut pirang.

“Bukan Cuma di kelas kita doang kali. Tapi di seluruh Lagoon,” ujar Tika mengoreksi.

Saking hebohnya membicarakan Altan, tak pelak membuat Meilani tertarik untuk melihat apa yang sedang dibicarakan.

Mendongakkan kepalanya, Meilani mencari sosok Altan di tengah lapangan. Pandangannya menangkap sosok Altan yang sedang berdiri di pinggir lapangan, di belakang tiang basket. Altan sedang membuka baju olahraganya, dan menggantinya dengan kaos tanpa lengan berwarna putih disana.

Tanpa malu dan dengan rasa kepercayaan diri yang cukup tinggi, ia memperlihatkan otot bisepnya yang kencang. Otot-otot perutnya pun tercetak sempurna pada kaos yang mengetat di badannya.

Meilani menahan nafas. Teringat akan suatu kenangan yang tak akan pernah dilupakan olehnya.


**
Minggu pagi yang cerah untuk terbangun agak telat. Zufar menggeliatkan badannya di tempat tidurnya dengan malas. Mulutnya mengecap berkali-kali. Merasakan rasa asam pada mulutnya, pertanda bahwa ia membutuhkan sesuatu untuk melampiaskan rasa yang mulai akrab di rongga mulutnya.

Ia ingin merokok pagi ini! Sudah beberapa hari belakangan, ia tidak pernah menyulut rokok kesayangannya.

Dengan terkantuk-kantuk, ia mengambil bungkus rokok putih itu dari nakas di samping tempat tidurnya, kemudian ia mengambil handphone putih yang tergeletak di atas kasurnya, lalu sambil tersenyum memasukkannya ke dalam kantong celana boxer merahnya.

Sambil bersiul dan berjalan menuju balkon di kamarnya, Zufar menyulut rokok itu.

Menghirup udara segar sebentar, lalu menghisap rokoknya dengan santai.

Zufar berjalan ke pinggiran balkon, lalu melompati pagar balkon itu dan mendaratkan kakinya di dinding yang masih tersisa di ujung balkon. Dengan santai, berdiri memunggungi pagar balkon, lalu menyenderkan pinggulnya di pagar balkonnya.

Terdapat tiga balkon di rumah bergaya Eropa tersebut. Dengan balkon utama yang besar berbentuk setengah lingkaran, lalu di kedua sisinya terdapat baklon yang lebih kecil ukurannya. Balkon kamar Zufar berada di pojok sebelah kiri, tepat di depannya terdapat taman yang cukup lebar.

Dengan wajah yang seperti sudah diberi pupuk saat menghisap batang rokok ditangan kirinya, Zufar memandangi pemandangan di depan rumahnya yang asri itu. Kemudian tangan kanannya merogoh kantong boxernya, mengeluarkan handphone yang tadi diselipkannya disana.

Sambil menyeringai, Zufar mengutak-atik —kembali handphone itu lagi. Setelah ia puas semalam mengecek semua yang ada di dalam handphone itu, dari mulai galeri foto, bahkan social media beserta email yang sengaja tidak di log out oleh pemilik aslinya.

“OH MY GOD, Kafar!” teriak Meilani dari bawah balkon. Mengejutkan Zufar yang memang sedang fokus pada kedua benda di kedua tangannya.

Saking terkejutnya, handphone yang sedang dipegangnya tersentak dari tangannya dan meluncur sempurna di bawah sana. Tepat di atas rerumputan tamannya.

Zufar menggeram. “Mel, lo bikin gue kaget aja, sih!” protesnya sambil memegang dadanya yang terekspos tanpa baju sama sekali. “handphone lo jadi jatoh kan tuh,” lanjutnya menggerutu. Zufar memadamkan rokoknya yang sudah separuh dihisapnya pada pagar balkon di belakangnya.

Meilani tak menghiraukan protes ataupun gerutuan Zufar. Ia langsung berlari melompat ke tempat dimana handphone miliknya terdampar.

Meilani sengaja pagi ini datang ke rumah Zufar. Ia ingin mengambil handphone miliknya yang tak sengaja tertinggal di mobil milik Zufar saat semalam mereka pergi berkencan. Berkeliling kota Jakarta. Menghabiskan malam minggu pertama mereka dengan canda tawa.

Karena Zufar mengajaknya berkeliling di sepanjang malam, Meilani turun dengan terkantuk-kantuk dari mobil itu. Dan sampai lupa kalau handphone miliknya tertinggal di kursi jok yang di dudukinya di sebelah Zufar semalam. Di kursi penumpang.

Karena ia adalah tipikal orang yang paling tidak tahan berjauhan dengan gadget kesayangannya itu, akhirnya Meilani memutuskan untuk menyambangi rumah Zufar pagi ini. Tidak sulit untuknya mengetahui rumah Zufar, karena ia sudah pernah diajak mampir ke rumah itu sebelumnya.

Meilani berjongkok untuk mengambil handphone miliknya yang tidak menyala itu. Dengan muka cemberut, dicobanya menghidupkan handphone itu dengan menekan tombol di atas handphone.

“Rusak ya, Mel?” tanya suara berat dan serak di depan Meilani.

Meilani tersentak kaget karna suara yang mengejutkannya itu. Ia sampai jatuh terduduk di tanah saking kagetnya.

“Kak, lo ngagetin gue aja!” tegurnya keras saat dilihat Zufar sudah ada di hadapannya. Cepet banget turunnya. Lewat mana?

“Lewat situ,” jawab Zufar saat Meilani menyuarakan pertanyaannya yang tanpa disadarinya keluar dari bibir kecilnya. Zufar menganggukkan kepalanya pada pohon palem di pinggir balkon kamarnya.

Saat Meilani mendongak, ia melihat ada tali —yang terbuat dari kepalan serabut yang panjang— terikat, menjuntai dari pohon itu, turun sampai menyentuh tanah.

Meilani melongo tak percaya. Kekagetannya di gantikan dengan fakta baru yang baru saja dia temukan. Astagaaa… pacarnya bener-bener jelmaan orang utan deh kayaknya.

“Yang bener aja? Lewat… tali itu?” tanya Meilani takjub. Memandang Zufar sambil menunjuk tali serabut itu dengan ekspresi tidak percaya.

Zufar mengerlingkan matanya lalu menyeringai. “Ya emang mau lewat mana lagi? Kelamaan kalo lewat tangga.” Tali itu disampirkannya di dekat tembok pinggir balkon kamarnya. Tali itu memang sengaja dibuat Zufar untuk akses keluar masuknya ke dalam kamar tanpa harus melewati pintu utama, ataubahkan naik-turun tangga. Pernah suatu saat, Zufar selalu keluar masuk rumah dengan tali itu, akhirnya, papanya menyuruh tukang kebun rumahnya untuk memotong tali itu dan membuangnya. Tapi siapa sangka bahwa Zufar selalu bisa mengembalikan tali itu kembali ke tempatnya? Entah persediaan darimana ia mendapatkannya.

Meilani meringis. Bener-bener pacar yang ajaib. Turun aja pake tali-tali begituan segala. Udah gitu, gak pake baju pula.

What?! Gak pake baju???

Meilani baru menyadari kembali, alasannya mengapa tadi ia berteriak mengagetkan Zufar saat baru datang. Ia menemukan Zufar bertelanjang dada —hanya mengenakan boxer merah bergambar kartun Angry Bird, lalu dengan sok gantengnya berlagak bak model paling sexy versi majalah dewasa. Memperlihatkan otot-otot pada perutnya yang mengencang, otot bisep dan trisepnya yang terbentuk sempurna.

“Huuaaaa…” teriak Meilani panik. Menyadari bahwa dihadapnnya sekarang, Zufar sedang tidak memakai baju atasan. Meilani memundurkan duduknya ke belakang. Mukanya memerah. Dan dengan cepat menutupi kedua matanya dengan tas kecil yang dibawanya.

Zufar ikutan panik dengan reaksi Meilani yang tiba-tiba aneh terhadapnya. “Ehhh… kenapa, kenapa?”

“Lo… lo ngapain telanjang kayak gitu, kak?” tanya Meilani sambil mengintip sedikit-sedikit dari balik tas kecilnya. “baju lo mana?!”

Zufar melihat ke bawah badannya. Lalu menyeringai nakal. “Ini gue Cuma topless doang kali, Mel. Nih… nih… gue pake boxer,” katanya menarik-narik boxer merahnya. Meilani makin menjerit dengan kelakuan bodoh Zufar. Mukanya memerah, kupingnya terasa panas, dilanda kegugupan dan kepanikan yang menyebar sampai ke tulang belakangnya.

“Tutupin itu badan sok bagus lo…” jerit Meilani. “nih…nih pake jaket gue aja! Porno aksi banget, ih.” Meilani melepaskan jaket Smith putih miliknya kemudian menyerahkannya pada Zufar. Untung saja dia pakai jaket yang agak kebesaran di badannya, jadinya setelah Zufar memakainya dengan enggan, jaket itu masih terlihat cocok di badannya.

“Iyaa… iyaa… nih, udah gue pake. Lagian siapa juga sih yang porno aksi di depan lo? Terus kalo gue emang porno aksi, salah gitu di depan lo? Kan lo calon masa depan gue, dan itu artinya—”

PLAK!

Tanpa segan Meilani menggeplak kepala Zufar dengan handphone miliknya. Dia tidak mau mendengar perkataan Zufar selanjutnya, karna itu akan membuat mukanya semakin memerah dan kupingnya memanas.

“Jangan ngoceh yang enggak-enggak,” sungut Meilani. “nih, liat, handphone gue rusak, kaaan?” katanya mengalihkan pembicaraan yang mulai ngelantur. Yang lama kelamaan akan membuat jantungnya semakin berdegup kencang saking nervousnya membayangkan apa yang sedang dibayangkan Zufar.

“Benerin pokoknya!”

Berhasil karena membuat Zufar teralihkan. Zufar menyambar handphone yang sedang di pegang Meilani. “Apanya sih yang rusak? Oh, ini mah biar gue ganti yang baru aja. Mau yang sama kayak gini atau yang sama kayak handphone gue?”

“Sama kayak handphone lo? Couple-an gitu?” tanya Meilani sedikit terkejut, “Ewwhh…”

“Dih? Emang kenapa? Kan so sweet tau… hahaha.”

“A to the L to the A to the Y. you know?”

“Oh? I think it was the trend,” gumam Zufar bingung. Ia mengangkat bahunya. Meilani memang selalu berbeda —dengan cewek-cewek kebanyakan. Dan, ya. Zufar suka apa adanya Meilani. Dia sangat mensyukuri Meilani yang tidak menuntut macam-macam pada dirinya.

“Yaudah, nanti gue ganti sama yang baru deh…” janjinya. Zufar melihat Meilani yang berpakaian rapi pagi ini.

Meilani memakai kaos putih dengan logo bergambar perkusi dan terompet, lalu tulisan kecil TLPC (The Lagoon Percussion Club) yang melingkar disekitar gambar perkusi dan terompet, dipadukan dengan jeans abu-abu panjang yang mengetat di sekitar kakinya dan sneakers biru miliknya.

“Mau kemana sih lo rapi banget?” tanya Zufar mengingat-ingat jadwal apa yang akan dilakukan Meilani.

“Astaga! Gue telat nih telat! Gue ada latihan MB nih,” ujar Meilani panik. Berdiri dari duduknya, dan sedikit menepuk-nepuk celana bagian belakangnya yang agak kotor dengan tanah dan rumput hijau. Baru teringat kalau tujuannya kesini hanya untuk mengambil handphone-nya, lalu langsung ingin melesat ke sekolah untuk latihan Marching Band.

“Heeehh!! Jangan berangkat sendiri. Gue yang anterin!” ucap Zufar menarik rambut Meilani yang dikuncir kuda, sehingga Meilani melangkah mundur ke belakang.

“Tapi gue udah telat! Lo aja belom pake baju.”

“Tunggu 5 menit?”

“1 menit.”

“4 deh, 4 menit?” tawar Zufar lagi.

“Tuh, buat berdebat aja udah ngabisin waktu satu menit. Pokoknya waktu lo tinggal 3 menit. Cepetttttt!”

Secepat kilat dan tanpa banyak kata lagi, Zufar melesat ke arah pohon palem. Memanjat dengan kecepatan hanya dengan mengedipkan mata, lalu kemudian menghilang di balik balkonnya.
**


“Meilaniii… awassss!!!” teriak semua orang di sekitar Meilani. Meilani tersentak dari lamunannya dan mendongak.

BUGG!

Telat. Karena bola basket itu mendarat tepat di kepala bagian kanannya.

Semua menunggu reaksi Meilani selain mengaduh kesakitan. Dan tepat saat sang pelempar bola tiba berada tepat di depan Meilani, saat itu pula Meilani kehilangan kesadarannya.

**TEBECE**


0 comments:

Post a Comment

Template by:

Free Blog Templates