Meilani
memejamkan matanya sebentar. Menarik nafas dan menghembuskannya dengan keras.
Ia menguatkan dirinya untuk ini. Sudah lama ia tak menghiraukan orang ini, dan
kali ini ia harus menghadapinya.
“Altan,”
panggilnya tegas.
“Hmm…”
Meilani
memutar matanya karna Altan hanya menanggapi panggilannya dengan gumaman yang
tidak jelas. “Al!” panggilnya sekali lagi.
“Apasih,
Mel?” tanya Altan berusaha acuh tak acuh pada Meilani. Tak digerakkan badannya
untuk menghadap ke arah Meilani. Matanya masih terfokus pada buku pelajaran di
mejanya dan tangannya masih sibuk mencatat apa yang memang harus ia catat dari
buku pelajaran itu.
Meilani
berdecak tidak sabaran. “Mahvin Altan Dilara, gue ada perlu sama elo!”
Kali ini
Altan merespon dengan seringaian yang berusaha disembunyikannya. Memiringkan
badannya dan menatap Meilani dengan polos. “Lo ada perlu sama gue? Gue kirain
lo lagi godain gue dari tadi manggil-manggil gue.”
“Idih, amit
banget lo!” cibir Meilani. “itu pulpen gue balikin.”
Altan
mengangkat tangan kanannya ke depan mukanya. Memperlihatkan pulpen yang sedang
digenggamnya. “Ini maksud lo?”
“Iya, sini,”
pinta Meilani sambil menjulurkan tangannya ke depan.
“Yeee… enak
aja! Gue kan pinjemnya sama Tika, bukan sama lo,” ucap Altan seraya
menyembunyikan tangan kanannya di belakang . menjauhkan pulpen yang sedang
digenggamnya dari Meilani.
Meilani
menatap Altan dengan mata melotot tajam dan Altan membalasnya dengan tatapan
jenaka.
Sudah lama
ia ingin menggoda Meilani, sudah lama ia ingin seperti ini dengan Meilani.
Meskipun harus diawali dengan pertengkaran, itu bukan masalah bagi Altan.
“Al, gue gak
lagi mau bercanda sama lo ya?!” peringat Meilani. Mukanya kini membentuk garis
tegas. Benar-benar tidak ingin bercanda dan atau bertengkar dengan Altan.
Altan
menyeringai. “Siapa yang mau ngajak lo bercanda sih, Mel?” tanya Altan
menggoda. “oke, nih pulpen lo gue balikin,” katanya sambil meletakkan pulpen
hitam itu di meja Meilani lalu dengan santai mengambil pulpen Meilani yang lain
—yang tergeletak di atas meja. Menukarnya dengan pulpen yang sebelumnya.
Tanpa rasa
bersalah, Altan kembali ke posisi semula. Duduk membelakangi Meilani yang kini
menatapnya dengan melongo. Kemudian giginya menggeretak saking susahnya ia
menahan amarah.
Tika yang
hanya diam melihat kejadian itu hanya melongo. Geli dengan kelakuan Altan yang
gampang banget bikin Meilani naik darah.
“Ya Tuhan…”
desis Meilani. “Altan!” bentaknya.
“Apa lagi?”
tanya Altan, malas-malasan membalikan badannya ke hadapan Meilani. “pulpen lo
kan udah gue balikin? Mau minta apa lagi?”
“Ini pulpen
gue,” kata Meilani sambil mengangkat pulpen hitam yang baru saja diberikan oleh
Altan. “Dan itu…” ia menunjuk pulpennya yang sedang digenggam Altan, “itu juga
pulpen gue. Balikin sini!”
Lagi-lagi
Altan mengacungkan pulpen yang tadi ditukarnya. “Lo kan tadi minta pulpen lo
yang itu, kan? Nah, lo pake aja yang itu. Yang ini, dari pada gak dipake,
mending gue aja yang pake. Gue lagi gak ada pulpen nih, Mel.”
Meilani
berdiri dan mencondongkan tubuhnya ke depan. Berusaha merenggut pulpen miliknya
yang sedang dikuasai oleh Altan dengan mendorong meja yang menghalangi dirinya
dengan Altan. “Bodooo… pokoknya siniin pulpen gue.”
Dengan
gesit, Altan berdiri menjauh dari Meilani. “Yah, Mel, lo pelit banget sama gue.
Pinjem pulpen satu doang juga,” gerutu Altan.
“Gak mau!
Gue gak mau minjem-minjemin barang-barang gue ke elo.”
Meilani
masih terus berusaha mengambil pulpennya dengan Altan yang masih terus
mengelak. Sampai akhirnya datanglah Pak Damar, guru mata pelajaran Sosiologi
yang meminta kelas mereka untuk membuat ringkasan singkat tentang materi yang
sudah pernah ia ajarkan. Pak Damar kemudian menegur Altan dan Meilani yang
terlihat sedang bertengkar dan memperebutkan sesuatu. Altan dan Meilani saling
berspekulasi bahwa mereka tidak membuat kekacauan —sementara murid yang lain
masih sibuk mencatat pada buku mereka masing-masing. Tentu saja, pak Damar
tidak akan mendengar omong kosong yang mereka berikan. Dan menyuruh mereka
duduk kembali dengan tenang di tempat mereka masing-masing.
Sambil
menggerutu, Meilani mundur dan menjatuhkan dirinya ke kursi duduknya. Menatap
Altan dengan pandangan masih-ingin-bertarung.
Altan
mengejek Meilani dengan memeletkan lidahnya. Merasa menang karena Meilani
mengalah padanya. “Nanti juga gue balikin kali, Mel. Ya ampun, takut banget,”
gerutu Altan.
“Gak, gak
usah dibalikin. Abis lo pake buang aja,” kata Meilani ketus. Menatap Altan
dengan jijik.
Altan
mengangkat bahunya. “Well, daripada dibuang, mending buat kenang-kenangan. Itung-itung
hadiah dari orang yang… diliat dari mukanya sih, pengen banget jadi musuh gue,”
ucap Altan santai, lalu melanjutkan kembali tugas mencatatnya tanpa
menghiraukan Meilani yang terus menerus menggerutu dan mencibir dirinya.
___***___***___***___
Seperti
biasa, pelajaran Olahraga kali ini diawali dengan berlari mengelilingi lapangan
sebanyak lima kali, lalu dilanjutkan dengan praktek melempar bola basket ke
ranjang.
Setelah satu
setengah jam bergelut dengan bola basket, Meilani dan teman-teman cewek yang
lainnya mengistirahatkan diri mereka di pinggir lapangan. Duduk di dinding
taman yang mengelilingi lapangan. Menonton anak laki-laki kelas mereka yang
sedang berunding membagi tim untuk bermain basket.
Meilani
mengeluarkan handphone-nya dari saku celana olahraganya. Mencoba mengalihkan
perhatiannya dari temannya yang lain, yang sedang membicarakan Altan dan badan
bagusnya.
“Ih, coba
liat deh! Altan tuh sempurna banget, ya? Perutnya hampir six pack gitu…” kata
Gretha, cewek paling imut di kelasnya. Tubuhnya lebih kecil daripada
teman-temannya yang lain. Mengagumi Altan dengan suara polos yang seperti
dibuat-buat.
“Iya, iya!
Badannya paling beda dari cowok-cowok di kelas kita,” ucap Gabby, si rambut
pirang.
“Bukan Cuma
di kelas kita doang kali. Tapi di seluruh Lagoon,” ujar Tika mengoreksi.
Saking
hebohnya membicarakan Altan, tak pelak membuat Meilani tertarik untuk melihat
apa yang sedang dibicarakan.
Mendongakkan
kepalanya, Meilani mencari sosok Altan di tengah lapangan. Pandangannya menangkap
sosok Altan yang sedang berdiri di pinggir lapangan, di belakang tiang basket.
Altan sedang membuka baju olahraganya, dan menggantinya dengan kaos tanpa
lengan berwarna putih disana.
Tanpa malu
dan dengan rasa kepercayaan diri yang cukup tinggi, ia memperlihatkan otot
bisepnya yang kencang. Otot-otot perutnya pun tercetak sempurna pada kaos yang
mengetat di badannya.
Meilani
menahan nafas. Teringat akan suatu kenangan yang tak akan pernah dilupakan
olehnya.
**
Minggu pagi
yang cerah untuk terbangun agak telat. Zufar menggeliatkan badannya di tempat
tidurnya dengan malas. Mulutnya mengecap berkali-kali. Merasakan rasa asam pada
mulutnya, pertanda bahwa ia membutuhkan sesuatu untuk melampiaskan rasa yang
mulai akrab di rongga mulutnya.
Ia ingin
merokok pagi ini! Sudah beberapa hari belakangan, ia tidak pernah menyulut
rokok kesayangannya.
Dengan
terkantuk-kantuk, ia mengambil bungkus rokok putih itu dari nakas di samping
tempat tidurnya, kemudian ia mengambil handphone putih yang tergeletak di atas
kasurnya, lalu sambil tersenyum memasukkannya ke dalam kantong celana boxer
merahnya.
Sambil
bersiul dan berjalan menuju balkon di kamarnya, Zufar menyulut rokok itu.
Menghirup
udara segar sebentar, lalu menghisap rokoknya dengan santai.
Zufar
berjalan ke pinggiran balkon, lalu melompati pagar balkon itu dan mendaratkan
kakinya di dinding yang masih tersisa di ujung balkon. Dengan santai, berdiri
memunggungi pagar balkon, lalu menyenderkan pinggulnya di pagar balkonnya.
Terdapat
tiga balkon di rumah bergaya Eropa tersebut. Dengan balkon utama yang besar
berbentuk setengah lingkaran, lalu di kedua sisinya terdapat baklon yang lebih
kecil ukurannya. Balkon kamar Zufar berada di pojok sebelah kiri, tepat di
depannya terdapat taman yang cukup lebar.
Dengan wajah
yang seperti sudah diberi pupuk saat menghisap batang rokok ditangan kirinya,
Zufar memandangi pemandangan di depan rumahnya yang asri itu. Kemudian tangan
kanannya merogoh kantong boxernya, mengeluarkan handphone yang tadi
diselipkannya disana.
Sambil
menyeringai, Zufar mengutak-atik —kembali handphone itu lagi. Setelah ia puas
semalam mengecek semua yang ada di dalam handphone itu, dari mulai galeri foto,
bahkan social media beserta email yang sengaja tidak di log out oleh pemilik aslinya.
“OH MY GOD,
Kafar!” teriak Meilani dari bawah balkon. Mengejutkan Zufar yang memang sedang
fokus pada kedua benda di kedua tangannya.
Saking
terkejutnya, handphone yang sedang dipegangnya tersentak dari tangannya dan
meluncur sempurna di bawah sana. Tepat di atas rerumputan tamannya.
Zufar
menggeram. “Mel, lo bikin gue kaget aja, sih!” protesnya sambil memegang
dadanya yang terekspos tanpa baju sama sekali. “handphone lo jadi jatoh kan
tuh,” lanjutnya menggerutu. Zufar memadamkan rokoknya yang sudah separuh
dihisapnya pada pagar balkon di belakangnya.
Meilani tak
menghiraukan protes ataupun gerutuan Zufar. Ia langsung berlari melompat ke
tempat dimana handphone miliknya terdampar.
Meilani
sengaja pagi ini datang ke rumah Zufar. Ia ingin mengambil handphone miliknya
yang tak sengaja tertinggal di mobil milik Zufar saat semalam mereka pergi
berkencan. Berkeliling kota Jakarta. Menghabiskan malam minggu pertama mereka
dengan canda tawa.
Karena Zufar
mengajaknya berkeliling di sepanjang malam, Meilani turun dengan
terkantuk-kantuk dari mobil itu. Dan sampai lupa kalau handphone miliknya
tertinggal di kursi jok yang di dudukinya di sebelah Zufar semalam. Di kursi
penumpang.
Karena ia
adalah tipikal orang yang paling tidak tahan berjauhan dengan gadget kesayangannya
itu, akhirnya Meilani memutuskan untuk menyambangi rumah Zufar pagi ini. Tidak
sulit untuknya mengetahui rumah Zufar, karena ia sudah pernah diajak mampir ke
rumah itu sebelumnya.
Meilani
berjongkok untuk mengambil handphone miliknya yang tidak menyala itu. Dengan
muka cemberut, dicobanya menghidupkan handphone itu dengan menekan tombol di
atas handphone.
“Rusak ya,
Mel?” tanya suara berat dan serak di depan Meilani.
Meilani
tersentak kaget karna suara yang mengejutkannya itu. Ia sampai jatuh terduduk
di tanah saking kagetnya.
“Kak, lo
ngagetin gue aja!” tegurnya keras saat dilihat Zufar sudah ada di hadapannya.
Cepet banget turunnya. Lewat mana?
“Lewat
situ,” jawab Zufar saat Meilani menyuarakan pertanyaannya yang tanpa
disadarinya keluar dari bibir kecilnya. Zufar menganggukkan kepalanya pada
pohon palem di pinggir balkon kamarnya.
Saat Meilani
mendongak, ia melihat ada tali —yang terbuat dari kepalan serabut yang panjang—
terikat, menjuntai dari pohon itu, turun sampai menyentuh tanah.
Meilani
melongo tak percaya. Kekagetannya di gantikan dengan fakta baru yang baru saja
dia temukan. Astagaaa… pacarnya bener-bener jelmaan orang utan deh kayaknya.
“Yang bener
aja? Lewat… tali itu?” tanya Meilani takjub. Memandang Zufar sambil menunjuk tali
serabut itu dengan ekspresi tidak percaya.
Zufar
mengerlingkan matanya lalu menyeringai. “Ya emang mau lewat mana lagi? Kelamaan
kalo lewat tangga.” Tali itu disampirkannya di dekat tembok pinggir balkon
kamarnya. Tali itu memang sengaja dibuat Zufar untuk akses keluar masuknya ke
dalam kamar tanpa harus melewati pintu utama, ataubahkan naik-turun tangga.
Pernah suatu saat, Zufar selalu keluar masuk rumah dengan tali itu, akhirnya,
papanya menyuruh tukang kebun rumahnya untuk memotong tali itu dan membuangnya.
Tapi siapa sangka bahwa Zufar selalu bisa mengembalikan tali itu kembali ke
tempatnya? Entah persediaan darimana ia mendapatkannya.
Meilani
meringis. Bener-bener pacar yang ajaib. Turun aja pake tali-tali begituan
segala. Udah gitu, gak pake baju pula.
What?! Gak
pake baju???
Meilani baru
menyadari kembali, alasannya mengapa tadi ia berteriak mengagetkan Zufar saat
baru datang. Ia menemukan Zufar bertelanjang dada —hanya mengenakan boxer merah
bergambar kartun Angry Bird, lalu dengan sok gantengnya berlagak bak model
paling sexy versi majalah dewasa. Memperlihatkan otot-otot pada perutnya yang
mengencang, otot bisep dan trisepnya yang terbentuk sempurna.
“Huuaaaa…”
teriak Meilani panik. Menyadari bahwa dihadapnnya sekarang, Zufar sedang tidak
memakai baju atasan. Meilani memundurkan duduknya ke belakang. Mukanya memerah.
Dan dengan cepat menutupi kedua matanya dengan tas kecil yang dibawanya.
Zufar ikutan
panik dengan reaksi Meilani yang tiba-tiba aneh terhadapnya. “Ehhh… kenapa,
kenapa?”
“Lo… lo
ngapain telanjang kayak gitu, kak?” tanya Meilani sambil mengintip
sedikit-sedikit dari balik tas kecilnya. “baju lo mana?!”
Zufar
melihat ke bawah badannya. Lalu menyeringai nakal. “Ini gue Cuma topless doang
kali, Mel. Nih… nih… gue pake boxer,” katanya menarik-narik boxer merahnya.
Meilani makin menjerit dengan kelakuan bodoh Zufar. Mukanya memerah, kupingnya
terasa panas, dilanda kegugupan dan kepanikan yang menyebar sampai ke tulang
belakangnya.
“Tutupin itu
badan sok bagus lo…” jerit Meilani. “nih…nih pake jaket gue aja! Porno aksi
banget, ih.” Meilani melepaskan jaket Smith putih miliknya kemudian
menyerahkannya pada Zufar. Untung saja dia pakai jaket yang agak kebesaran di
badannya, jadinya setelah Zufar memakainya dengan enggan, jaket itu masih
terlihat cocok di badannya.
“Iyaa… iyaa…
nih, udah gue pake. Lagian siapa juga sih yang porno aksi di depan lo? Terus
kalo gue emang porno aksi, salah gitu di depan lo? Kan lo calon masa depan gue,
dan itu artinya—”
PLAK!
Tanpa segan
Meilani menggeplak kepala Zufar dengan handphone miliknya. Dia tidak mau
mendengar perkataan Zufar selanjutnya, karna itu akan membuat mukanya semakin
memerah dan kupingnya memanas.
“Jangan
ngoceh yang enggak-enggak,” sungut Meilani. “nih, liat, handphone gue rusak,
kaaan?” katanya mengalihkan pembicaraan yang mulai ngelantur. Yang lama
kelamaan akan membuat jantungnya semakin berdegup kencang saking nervousnya membayangkan apa yang sedang
dibayangkan Zufar.
“Benerin
pokoknya!”
Berhasil karena
membuat Zufar teralihkan. Zufar menyambar handphone yang sedang di pegang
Meilani. “Apanya sih yang rusak? Oh, ini mah biar gue ganti yang baru aja. Mau
yang sama kayak gini atau yang sama kayak handphone gue?”
“Sama kayak
handphone lo? Couple-an gitu?” tanya Meilani sedikit terkejut, “Ewwhh…”
“Dih? Emang
kenapa? Kan so sweet tau… hahaha.”
“A to the L
to the A to the Y. you know?”
“Oh? I think
it was the trend,” gumam Zufar bingung. Ia mengangkat bahunya. Meilani memang
selalu berbeda —dengan cewek-cewek kebanyakan. Dan, ya. Zufar suka apa adanya
Meilani. Dia sangat mensyukuri Meilani yang tidak menuntut macam-macam pada
dirinya.
“Yaudah,
nanti gue ganti sama yang baru deh…” janjinya. Zufar melihat Meilani yang
berpakaian rapi pagi ini.
Meilani
memakai kaos putih dengan logo bergambar perkusi dan terompet, lalu tulisan
kecil TLPC (The Lagoon Percussion Club) yang melingkar disekitar gambar perkusi
dan terompet, dipadukan dengan jeans abu-abu panjang yang mengetat di sekitar
kakinya dan sneakers biru miliknya.
“Mau kemana
sih lo rapi banget?” tanya Zufar mengingat-ingat jadwal apa yang akan dilakukan
Meilani.
“Astaga! Gue
telat nih telat! Gue ada latihan MB nih,” ujar Meilani panik. Berdiri dari
duduknya, dan sedikit menepuk-nepuk celana bagian belakangnya yang agak kotor
dengan tanah dan rumput hijau. Baru teringat kalau tujuannya kesini hanya untuk
mengambil handphone-nya, lalu langsung ingin melesat ke sekolah untuk latihan
Marching Band.
“Heeehh!!
Jangan berangkat sendiri. Gue yang anterin!” ucap Zufar menarik rambut Meilani
yang dikuncir kuda, sehingga Meilani melangkah mundur ke belakang.
“Tapi gue
udah telat! Lo aja belom pake baju.”
“Tunggu 5
menit?”
“1 menit.”
“4 deh, 4
menit?” tawar Zufar lagi.
“Tuh, buat
berdebat aja udah ngabisin waktu satu menit. Pokoknya waktu lo tinggal 3 menit.
Cepetttttt!”
Secepat
kilat dan tanpa banyak kata lagi, Zufar melesat ke arah pohon palem. Memanjat
dengan kecepatan hanya dengan mengedipkan mata, lalu kemudian menghilang di
balik balkonnya.
**
“Meilaniii…
awassss!!!” teriak semua orang di sekitar Meilani. Meilani tersentak dari
lamunannya dan mendongak.
BUGG!
Telat.
Karena bola basket itu mendarat tepat di kepala bagian kanannya.
Semua
menunggu reaksi Meilani selain mengaduh kesakitan. Dan tepat saat sang pelempar
bola tiba berada tepat di depan Meilani, saat itu pula Meilani kehilangan
kesadarannya.
**TEBECE**
0 comments:
Post a Comment