Saturday, January 26, 2013

Fall For You (Chapter 12)


DUABELAS


Saat malam sudah mulai larut, di sebuah kamar dengan lampu tidur yang berpendar di atas meja samping tempat tidur, Meilani masih merenungi sesuatu yang mengganggu pikirannya. Percakapannya dengan Bik Juju sepulang sekolah sukses mengganggu jadwal tidurnya. Membingungkan dirinya sepanjang sisa harinya.


Tadi, sepulang sekolah, Meilani buru-buru menanyakan kepada Bik Juju siapa yang mengantarnya pulang ke rumah saat dia pingsan kemarin. Dan mengejutkan! Jawaban Bik Juju membuatnya makin bertanya-tanya tak jelas.

Bik Juju bilang, yang mengantar dirinya pulang ke rumah bukan Altan. Tapi Avin!

 Avin ...  Avin ... Avin ...

Nama itu terus-menerus melayang-layang di otaknya, sehingga membuat dirinya dengan tidak sengaja merapalkan nama itu keluar dari bibirnya.

“Kok Avin, sih?” tanya Meilani pada dirinya sendiri. “Bik Juju salah denger kali, ya. Masa Avin? orang namanya Altan jugaan!”

Meilani memeluk bantal kesayangannya dengan erat di dadanya. “Astaga, Mahvin!” pekik Meilani histeris.

Meilani menghabiskan sepanjang sisa harinya hanya dengan memecahkan masalah ini. Mencari tahu mengapa Altan menjadi Avin saat memberitahukan identitasnya pada Bik Juju. Dan ia baru menyadari kalau nama lengkap Altan itu ... “Mahvin Altan Dilara! Iya! Ya ampuuunn. Dari tadi kek, gitu, ketebak,” gerutu Meilani sambil menepuk jidatnya pelan.

Hmm ... kalo yang nganterin gue kemarin itu beneran Altan, trus kenapa dia pake bilang namanya Avin segala, coba? Bikin gue panik, bingung, sama penasaran aja! Sok misterius, gerutu Meilani dalam hati.

Pikiran Meilani melayang membayangkan sosok Altan. Altan yang selalu mengusilinya, membentaknya, Altan yang selalu menarik kuncir kudanya saat ia sedang berjalan, menendang kakinya dengan sengaja di bawah meja, bahkan Altan yang selalu memberikan tatapan dingin, kejam, penuh dengan aura permusuhan, tapi juga kadang terlintas sebersit garis kesenangan dan kegelian di bawah matanya —sesaat setelah ia melakukan itu semua pada Meilani.

Walaupun Meilani selalu melawan, membantah, bahkan tak menghiraukan dirinya, Altan tetap melakukan caranya. Cara membuat Meilani menarik perhatian padanya. Cara membuat Meilani berteriak memaki-maki dirinya atau menyumpahi dirinya. Meilani mendengus. “Dasar gila,” cibirnya saat mereview kelakuan Altan terhadap dirinya.

Padahal, Meilani akan bersikap terbuka kepada siapapun yang ingin menjadi temannya. Kepada siapapun yang berbaik hati dan berlaku sopan padanya. Tidak seperti Altan yang selalu berkelakuan menyebalkan. Membuat emosi dan tensi darahnya naik dalam hitungan detik!

Meliani menarik nafas berat. Bantal di pelukannya ia pindahkan di belakang dirinya, lalu Meilani menaruh kepalanya di atas bantal yang sudah ia atur di kepala ranjang tempat tidurnya. Ia masih memikirkan bagaimana ia bersikap selanjutnya pada Altan. Mengingat beberapa jam yang lalu, Tika menghubunginya. Memberitahukan resminya hubungan dirinya dengan Altan –musuhnya.

Dan gilanya lagi, Tika meminta dirinya untuk berdamai dengan Altan. Dan ia juga sudah membicarakannya dengan Altan. Menurut Tika, ini adalah ide paling cemerlang yang pernah dipikirkannya. Membuat dua orang yang selalu melempar tatapan permusuhan menjadi dua orang yang saling membuka tangan untuk sebuah ... perdamaian?

Saat Tika mengungkapkan ide cemerlang dan gilanya itu, Meilani buru-buru memprotes. Baginya, permusuhan dengan Altan itu mutlak. Tidak bisa diganggu gugat. Dia tidak akan mengibarkan bendera putih, kecuali Altan melakukannya duluan!

Dan dengan berbagai siasat seorang ‘negosiator perdamaian kacangan’, Tika akhirnya dapat melemahkan pemikiran Meilani yang terus-menerus menolak tawarannya.

“Lo pikir lagi deh, Mel. Emang lo gak capek apa, ribut-ribut mulu sama Altan? Lo gak bosen, dia selalu ngejailin lo? Lo gak bosen, selalu bilang murka kalo Altan bikin lo naik darah? Gue aja nih, ya, yang ngeliatin lo berdua selalu kayak gitu udah muak banget. Ayolah, Mel ... pleaseee ... demi gue, ya?” mohon Tika pada saat berbicara ditelepon.

Meilani merengut. “Gue juga udah males sebenernya, berantem sama tuh orang. Eh, ralat, gue gak pernah mau sebenernya. Cuman tuh orang nyebelinnya special banget, Tik. Eksklusif. Cuma. Ke. Gue. Doang!” tutur Meilani dengan mengeja kata per kata.

“Iya, sih ... tapi tenang kok, Mel. Gue udah bilang sama dia, jangan usilin lo lagi. Gue bilang ke dia, pokoknya dia harus bersikap baik sama sahabat gue. Demi terciptanya kedamaian, ketentraman, kebahagiaan, dan keindahan hubungan kita kelak,” ucap Tika sambil terkikik geli mendengar kata-kata yang keluar dari mulutnya.

“Lo ngomong kayak gitu ke dia, trus dia bilang apa?”

“Dia bilang sih, “liat nanti”. Gitu katanya.”

“Well, kalo gitu liat nanti juga. Oke?”

Meilani memanyunkan bibirnya, merengut frustasi. Bagaimana ini? Dia harus berdamai dengan orang yang paling menyebalkan baginya, dan orang yang pernah –sekali- menolongnya?

“Damai gak ya, sama tuh orang? Tapi dia udah nganterin gue pulang pas pingsan. Eh, tapi kan itu juga gara-gara dia, kan? Duhh ... tapi masalahnya, Tika juga nyuruh gue buat berdamai sama ... uh, tuh orang. Trus gimana dong?” tanya Meilani pada dirinya sendiri. Meilani mengetukkan jarinya di atas jidatnya.

Tiba-tiba terlintas ucapan Altan yang diperantarakan Tika barusan. Liat nanti. “Oke, We’ll see laters,” kata Meilani sambil memicingkan matanya ke langit-langit kamarnya.



***___***___***___***


“Lo serius, Tik, pacaran sama Altan?” tanya Meilani saat ia dan Tika berada di toilet. Sejak tadi pagi, saat Tika masuk ke kelas mereka, Meilani terus-menerus menanyakan apakah mereka benar-benar jadian atau Tika hanya mengada-ada. Dan Tika selalu memutar matanya setiap Meilani mempertanyakan hal yang sama.

“Se-ri-us, Meeeelll ... astaga! Heran deh gue. Lo tuh udah nanyain ini milyaran kali, tau?”

“Yaa, abisnyaaa, lo tuh bikin gue ...”

“Bikin lo apa?” potong Tika langsung. Ia memicingkan matanya ke arah Meilani yang sedang memandangnya dari kaca besar di atas westafel.

Meilani tidak menjawab. “Lo tau kan, kalo Altan itu playboy? Dia itu terkenal suka nyakitin cewek. Lo mau jadi kayak yang udah-udah?”

“Gue ...” Tika memejamkan matanya sebentar, “gue juga tadinya sempet mikir kayak yang lo bilang, Mel. Tapi ... apa salahnya dicoba? Setiap orang pasti bisa merubah kepribadian dan sikap mereka, kan? Asal ada yang memotivasi orang itu buat berubah, mereka pasti bisa. Dan ... dan gue bakal jadi motivator, inspirator bahkan kalo perlu inisiator buat Altan ngerubah sikapnya. Ngerubah sifat playboy-nya, ngerubah prilakunya yang buruk ke elo sekalipun!”

“Tika, tapi ...” tapi gue gak rela lo pacaran sama Altan, Meilani tak mampu mengucapkan kata-kata itu keluar dari mulutnya. Tiba-tiba perasaan cemas yang aneh hinggap di dirinya.

“Tapi lo terlalu parno sama Altan, gitu? C’mon, Meilani sayang, lo harusnya dukung gue. Lo harusnya doain gue, supaya hubungan gue tuh baik-baik aja!” kata Tika merasa kesal pada Meilani. Ia menyandarkan tubuhnya ke dinding di lorong kamar mandi sambil melipat kedua tangannya di dadanya.

Meilani terdiam. Kemudian ia menyalakan keran di atas westafel, membasahi telapak tangannya yang tiba-tiba berkeringat.

Tika mendengus sekali. “Kayaknya ... gue mengindikasikan kalo lo gak suka gue jadian sama Altan. Kenapa? Selain dia musuh lo, lo gak ada perasaan apa-apa kan sama dia, Mel?”

Meilani dengan cepat berpaling ke arah Tika. Lalu tertawa sinis. “Gue? Punya perasaan sama dia? Yang bener aja? Walaupun di dunia ini cowok cuman dia satu-satunya yang gue liat, gue gak akan pernah mau pacaran sama dia. Never! Gue mendingan jadi perawan tua deh, daripada pacaran sama tuh orang,” ucap Meilani menggebu-gebu.

“Heh, jangan ngomong gitu deh, Mel. Kemakan omongan sendiri baru tau rasa lo!” Tika memperingatkan.

“Gak bakal! Abisnya, kalo sampe gue pacaran sama dia, deuhhh... gak kebayang kayak apa coba dia tiap hari marah-marahin gue, narik-narik tangan gue sampe lecet, bentak-bentak gue, maki-maki gue. Dia kan orangnya tempramennya tinggi. Agi aja pernah cerita ke gue kalo dia pernah ditampar sama Altan. Lo bisa bayangin?” meilani bergidik ngeri saat membayangkan kembali bagaimana ekspresi Agi menceritakan pengalaman buruknya itu kepada Meilani waktu itu.

Tika terkejut. Matanya melebar dan salah satu tangannya bergerak ke atas menutup mulutnya yang sukses dibuat menganga mendengar cerita Meilani.

“Lo serius, Altan pernah nampar Agi?” tanya Tika berdesis. Hampir berbisik.

Meilani meringis sambil menggigit ujung bibir bawahnya. Dia lupa kalau ini rahasianya bersama Agi dan sahabat-sahabat Agi yang lainnya —yang juga sudah akrab dengannya. “I-iya ... t-tapi lo jangan cerita ke siapapun. Ini rahasia!” kata Meilani terbata-bata. “dia nampar Agi, abis itu langsung diputusin gitu aja,” tambah Meilani dengan mimik wajah jijik.

“Astaga ...” hanya itu kata-kata yang dapat diucapkan dengan mudah oleh Tika untuk saat ini.

“Makanya itu. Lo harus hati-hati sama dia. Lo harusnya selektif kalo mau pilih pacar. Nah, karna sekarang udah terlanjur lo jadian sama dia, nanti, suatu hari—entah kapanpun itu—kalo lo udah ngerasa hubungan lo sama dia udah complicated stadium lanjut, lo harus cepet-cepet buat keputusan. Dan jangan sampe lo jadi korban ringan tangannya dia. Ngerti?”

Tika mengernyit saat berusaha menangkap apa yang dibicarakan Meilani. “Maksud lo gue harus putusin dia duluan, gitu?” Meilani mengangguk pelan.

“Dari informasi yang gue dapet, biasanya dia selalu putusin cewek duluan setelah ... entah sengaja atau engga, dia kayak menghindar dari cewek itu. Menurut mereka—beberapa informan yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu— Altan selalu punya cara bikin hubungannya tuh bener-bener complicated, deh. Trus, seperti skenario yang udah direncanakan, tuh cewek bakalan teriak-teriak minta kejelasan hubungan mereka, dan seperti yang gue bilang tadi. Akhir yang sama kayak Agi.” Meilani mengangkat bahunya, berusaha terlihat acuh pada ceritanya barusan.

Tika menarik nafas, lalu menghembuskannya dengan keras. Tidak percaya dengan apa yang diceritakan Meilani barusan. Tika mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Mengusapnya berkali-kali dengan frustasi.

“Tapi selama ini—sampe saat ini, dia masih baik-baik aja kok, ke gue.”

“Begitu juga ke pacar-pacar baru yang sebelumnya,”ucap Meilani mengejek.

Tika terdiam menatap Meilani yang kini menatap dirinya sedih.

Meilani merasa tidak enak hati telah mengatakan semua ini kepada Tika. Padahal, seharusnya dia mengatakan ini sebelum Tika memutuskan untuk menjalin hubungan dengan Altan, bukan saat Tika sedang menikmati indahnya janji-janji yang Altan tawarkan padanya sekarang.

“Trus gue harus gimana dong, Mel?” tanya Tika sedikit panik.

Meilani harus mengembalikan kepercayaan diri Tika. Kalau tidak, Tika akan merasa tidak nyaman dan terus merasa dihantui dengan pemikiran bahwa Altan akan menyakiti dirinya dikemudian hari. “Lo ... jalanin aja dulu apa adanya. Tadi lo yang bilang sendiri kan, sama gue, kalo setiap orang bisa berubah? Sekarang lo tunjukin ke gue kalo lo bisa ngerubah Altan, jadi orang yang beneran dikit. Tunjukin ke gue kalo mulai hari ini Altan gak bakal ganggu-ganggu gue, bikin gue naik darah, atau apapun. Lo jangan ngerasa dihantuin dengan pemikiran kalo lo ... kalo lo bakal disakitin nanti sama dia.”

Meilani memegang bahu Tika dan mengusapnya pelan. “Lo harus janji sama gue. Nanti disaat lo udah gak tahan sama hubungan yang lo jalanin sama dia, lo harus putusin dia duluan. Jangan sampe dia yang mutusin elo duluan. Oke?”

“Iya, tapi lo juga bantu gue, ya? Ingetin gue nanti kalo gue curhat sama lo, misalnya hubungan gue kayak cewek-cewek dia yang sebelumnya. Gue gak ngerti soalnya, Mel,” pinta Tika. Merengek seperti anak kecil.
Meilani tersenyum. “Pasti. Nah, sekarang lo mau kan, cerita sama gue gimana dia nembak lo kemaren?” tanya Meilani sambil menyeringai.

Seketika, mood-nya Tika berubah. Tika tersenyum konyol menanggapi permintaan Meilani. “Tumben lo mau tau gimana dia nembak gue?” tanya Tika menggoda.

Meilani mendengus pelan. “Gue mau tau doang. Buat nge-compare sama yang gue tau. Maksudnya ... cerita yang ada. Yang gue denger dari yang laen.”

Tika tersenyum lebar. Lalu mengaitkan lengannya ke bahu Meilani. Mengajak Meilani keluar dari toilet. “Jadi gini ...”


Cerita Tika tentang bagaimana kejadian saat Altan menembaknya kemarin di tengah jalan tol, selesai saat mereka berdua tiba di kelas mereka. Tidak ada guru yang mengajar karena sedang ada rapat dadakan dengan ketua yayasan sekolah. Dan tidak banyak murid yang berdiam diri di dalam kelas. Kebanyakan mereka pergi ke kantin atau ke lapangan indoor untuk melihat pertandingan basket dadakan antar kelas tiga melawan kelas dua.

Meilani menjatuhkan pantatnya di kursi duduknya. Menghembuskan nafas berat. Mendengar cerita Tika barusan membuatnya mengingat kembali saat Kafar (panggilan singkat untuk Kak Zufar bagi Meilani, tetapi menurut Zufar itu adalah panggilan sayang).


***
“Ya ampuuuuunnn ... iya, iya, iyaaa, Mel, gue seriussss!” kata Zufar sambil mengangkat kedua jarinya ke atas. “jadi pacar gue, ya?” pintanya lagi.

Meilani menggigit ujung bibir bawahnya. Lalu menyeringai licik. “Kalo gue gak mau gimana?”

Zufar melirik ke balon udara yang –tak berpenghuni, di sebelah balon udara yang sedang ditumpanginya bersama Meilani. Seperti sedang mengisyaratkan sesuatu.

Dan dalam hitungan kurang lebih sepuluh detik, berbagai macam warna dan bentuk balon gas berterbangan di sekitar balon udara mereka. Setiap balon gas yang berterbangan juga ikut membawa secarik kertas putih polos, dilipat di ujung benang balon tersebut. Itu semua adalah kertas yang ditulis oleh Zufar sendiri.

Meilani tercengang melihat apa yang sedang terjadi. Lalu dia melongokkan kepalanya ke bawah, melihat beberapa orang—dengan serempak— memakai kaos berwarna cerah. Ada yang biru muda, kuning, hijau muda, pink, merah terang, putih, dan lain-lain. Mereka semua yang menerbangkan balon-balon gas itu ke udara. Ke tempat –tepat di sekitar balon udaranya berdiam mematung.

“Ya Tuhan ...” gumam Meilani. Ia tak bisa banyak berkata-kata sekarang. Dia terlalu terpukau sampai-sampai senyumnya tak bisa disembunyikannya.

Dengan cepat dan mudah Zufar menangkap sebuah balon gas yang berada paling dekat dengan balon udara. Menggenggamnya erat. Balon itu berwarna merah muda.

Lalu, Zufar memberikannya kepada Meilani sambil berkata, “Kalo lo gak mau jadi pacar gue, terbangin aja lagi balonnya. Tapi sebelumnya lo baca dulu kertas yang ada di ujung benang balon ini. Kali aja lo berubah pikiran.”

Meilani mengambil balon itu, lalu dengan hati-hati mencopot kertas yang diikat di ujung benang. Menggenggam erat benang tipis balon tersebut di salah satu tangannya, sementara tangan satunya yang bebas membuka lipatan kertas tadi.

Meilani membaca kata-kata yang terukir di kertas itu dengan hati yang berdentum-dentum. Berdetak tak karuan.

Meilani mengernyitkan dahinya seperti orang sedang kebingungan di  hadapan Zufar, padahal ia tertawa keras di dalam hati membaca kalimat tulisan itu.


### Janji Zufar --- Janjinya Anak Gunung Yang Keren ###
Tuhan, kalo Meilani jadi pacar saya, saya janji deh bakal bikin dia ngerasa pacaran sama orang paling keren di muka bumi ini. Bakal ngejadiin dia Putri di hati saya yang mirip kayak hutan, waktu saya belum ketemu sama dia sebelumnya. Bakal bikin dia seneng dan cinta mati sama saya deh, pokoknya. Hehehe...:D


Meilani mengatupkan rahangnya dengan keras. Berusaha menahan senyum dan tawa yang ingin disemburkannya. Ia melirik ke atas, melihat Zufar yang menatapnya cemas sekaligus penasaran.

Akhirnya Meilani menghembuskan nafas yang sejak tadi juga ditahannya. Melihat ke mata Zufar sekali lagi untuk memastikan keputusannya. Lalu memandang balon yang sedang digenggamnya. Meilani melihat ke sekeliling balon udaranya. Masih banyak balon-balon gas yang berterbangan disekitar balon udara mereka.

Astaga ... berapa banyak balon gas yang dipersiapkan oleh Zufar untuknya? Dan berapa banyak ‘Janji Zufar Si Anak Gunung Yang Keren’, yang telah dibuatnya?

“Gue ...” Meilani dengan gerakan perlahan melonggarkan genggamannya pada balon pink yang sedang digenggamnya. Dan dengan lambat tapi pasti, balon gas itu terlepas begitu saja dari tangannya. Tersapu oleh angin yang berhembus kencang.

Setelah memastikan balon gas berwarna pink tersebut sudah terbawa oleh hembusan angin, Meilani sedikit mencondongkan badannya ke depan. Menangkap balon gas lain yang berwarna biru, yang kebetulan terbang melayang di dekatnya.

Dengan seringai lebar, Meilani membalikkan badannya ke arah Zufar yang sedang menangkup wajahnya sendiri dengan kedua telapak tangannya. Bahunya merosot ke bawah seperti orang yang telah kalah dalam perlombaan.

Meilani berdeham dua kali. Menarik perhatian Zufar kembali padanya. “Gue gak suka warna pink. Gue sukanya biru,” kata Meilani santai. “kayak balon yang ini, nih!” Meilani mengangkat tangannya ke depan, memberitahu Zufar bahwa ia sedang memegang balon berwarna biru muda.

“Apa?” tanya Meilani polos saat melihat Zufar tidak beraksi apa-apa. Lalu mengacuhkan Zufar dengan menarik kertas yang diikat di ujung benang balon biru itu. Membacanya dengan serius sambil mengangguk-anggukkan kepalanya sesekali.


### Janji Zufar --- Janjinya Anak Gunung Yang Keren ###
Janji bakal buat Meilani tersenyum bahagia. Selamanya. I’m truly madly deeply in love with her. Let me be her boyfriend, God...;)


“Well, tulisan yang di balon ini juga kayaknya lebih bisa dipercaya dan direalisasikan daripada tulisan di kertas yang balon pink tadi,” ucap Meilani tersenyum geli dan berubah menjadi tawa terbahak-bahak.

Zufar menggaruk tengkuknya dengan gugup, lalu sedetik kemudian memicingkan matanya dan dengan cepat merebut kertas-kertas yang berada di tangan Meilani.

Zufar membaca lalu membandingkan kalimat yang terdapat di kedua kertas tersebut. Sementara Meilani memainkan balon yang ada ditangannya.

Setelah mencerna apa yang dimaksud oleh Meilani, sebuah senyum kemenangan terukir dengan jelas di wajah Zufar. Ia memandang balon yang sedang dipegang Meilani—dengan bangga, lalu memalingkannya ke arah Meilani.

Senyumnya semakin lebar saat Meilani melemparkan seringai jahatnya pada Zufar. Dan tiba-tiba mereka sudah berpelukan. Menertawakan diri mereka masing-masing.

“Gue pikir lo nolak gue, Mel,” gerutu Zufar dengan nada yang geli bercampur tidak percaya. Meilani terkekeh puas. Berhasil mengerjai Zufar.

“Abisnya ... lo ngasih gue balon warna pink, sih. Udah tau gue empet banget liat warna pink,” kata Meilani membela diri.

“Ya ampuun, Mel, apa bedanya? Kan gue cuma ... Ih, elo tuh, ya, cewek paling rese yang pernah gue kenal tau gak?” ucap Zufar gregetan sambil menjitak kepala Meilani.

“Aw!” Meilani melepaskan pelukannya pada Zufar. Sambil setengah cemberut dan bercanda ia mengejek,“rese tapi dipacarin juga, kan?”

“Iya, soalnya sifat rese lo itu, tuh, yang bikin dunia gue jungkir balik.”

Meilani menyeringai bangga. Tanpa canggung melingkarkan lengannya di pinggang Zufar. “Ciee ... dunianya jungkir balik gara-gara gue. Hahaha ... gue gak bisa ngebayangin, loh, kak, lo jadi pacar gue. Hahaha ...”

“Jangan dibayangin makanya. Kan udah jadi kenyataan.” Zufar mengerlingkan matanya pada Meilani, lalu mereka berdua kembali tertawa. “lagian ... perlu lo garisbawahi kalo dunia gue yang jungkir balik itu adalah hati dan pikiran gue. Semuanya tertuju ke elo seorang doang,” kata Zufar menambahkan.

Meilani bergidik mendengar gombalan Zufar. Perlu diketahui pula bahwa Meilani adalah orang yang paling tidak berefek jika ada orang yang menggombalinya atau meromantisi dirinya. “Dihhh, gombal aja terus, gak ngefek tau sama gue.”



Saat tiba malam minggu pertama mereka, Zufar mengajak Meilani makan malam di sebuah cafe dibilangan Veteran Bintaro, Jakarta Selatan. Cafe tersebut tampak lebih banyak didatangi oleh anak-anak muda—seumurnya— yang memang kebanyakan membawa pasangan, ada juga sekelompok remaja yang sedang berkumpul di ujung cafe. Di bagian tengah cafe terdapat panggung kecil minimalis dengan peralatan band yang tergeletak beraturan –biasanya band dari cafe ini main tepat jam delapan, dan ini baru menunjukan pukul tujuh-tigapuluh malam. Di sebelah panggung itu terdapat sebuah layar berwarna putih dengan ukuran yang cukup lebar dan besar.

Meilani memakai dress katun polos selutut berwarna biru tua dengan bagian berlepit-lepit dibawahnya, dipadukan dengan kalung bahan berbentuk bunga berwarna-warni yang rumit. Menjadikan dress polos yang dipakainya menjadi lebih terlihat menawan saat dipakai olehnya. Sedangkan Zufar memakai kaos hitam dibalut dengan kemeja putih yang lengannya sengaja digulung sampai ke siku, dipadukan dengan celana jeans berwarna hitam. Mereka berdua terlihat begitu tampan dan cantik dan cocok saat berjalan bergandengan tangan memasuki cafe.

Setelah duduk di tempat yang sudah disiapkan oleh waitress, mereka berdua mulai memesan makanan masing-masing. Mereka membicarakan apa saja yang ada dipikiran mereka, menceritakan hal-hal lucu yang pernah mereka alami, bahkan mereka sampai tidak sadar kalau makanan mereka sudah habis.

Zufar teringat akan memori beberapa hari yang lalu. Kemudian ia mengeluarkan handphone miliknya dari saku celana jeansnya. Membuka menu lalu dengan cepat berada pada sebuah video yang telah diedit sedemikian rupa.

Dengan senang, Zufar menyodorkan handphone miliknya pada Meilani. Meilani mengerutkan dahinya tak mengerti.

“Liat ini deh, Mel,” kata Zufar sambil menekan tombol play di handphone miliknya. Lalu, mulai berputarlah video yang telah direkamnya saat mereka menaiki balon udara kemarin. Dari mulai mereka masuk ke dalam keranjang balon udara, saat Zufar menyatakan cintanya, saat balon-balon gas beserta surat-surat yang dibuat Zufar diterbangkan dari bawah oleh sekelompok orang, saat Meilani menerbangkan balon gas berwarna pink, dan sampai saat mereka berdua turun dari balon udara tersebut.

Berbagai kamera tersembunyi diatur sedemikian rupanya supaya tidak terlihat oleh Meilani. Di video itu, tampak kamera tersembunyi di bagian dalam keranjang, di atas dekat perapian balon udara, di balon udara seberang, bahkan kamera di lapangan parkir yang merekam semua persiapan sekelompok penerbang balon gas.

Semuanya telah dikemas dan diedit dengan menyelipkan beberapa lagu luar yang mengiringi video tersebut. Semuanya terlihat sempurna.

Meilani melirik Zufar yang sedang tersenyum lebar kepadanya. “Keren kan?”

“Sinting lo kak, kok bisa ada kamera disana?” tanya Meilani tidak percaya.

“Buat dokumentasi aja kok, Mel. Bagus kan?” tanya Zufar meminta pendapat Meilani lagi.

“Bagus, sih. Tapi lebay ah,” ucap Meilani meringis.

Zufar terkikik geli mendengarnya. Ia sudah menduga kalau Meilani pasti akan mencibirnya seperti itu. Tapi ia tak mau mempermasalahkannya.

“Hahaha... sini handphone lo mana? Gue kirimin nih video buat kenang-kenangan,” kata Zufar begitu antusias.

“Ih, gak ah. Ngapain amat?”

“Udaaah, sini mana handphone lo?”

Dengan berat hati tapi juga geli, akhirnya Meilani membiarkan Zufar mengirimkan video itu ke handphone miliknya. Setelah mentransfer video itu, Zufar tak berhenti-henti tertawa terbahak-bahak. Sampai-sampai orang yang berada di cafe itu melihat ke arah mereka berdua.

Meilani yang tak suka diperhatikan oleh orang banyak memprotes kepada Zufar. Tapi Zufar tak menghiraukannya bahkan ketika Meilani menendang kakinya di bawah meja.

Meilani meringis. Lalu mendorong kursinya ke belakang dan berdiri dengan cepat.

Memandang sekeliling dengan pandangan minta maaf, lalu bergumam, “Bukan mas, mbak, dia bukan pacar saya,” ucap Meilani meringis. Lalu berjalan menjauh dari Zufar yang semakin mengeraskan tawanya.

Di sepanjang jalan saat Meilani keluar cafe, Meilani selalu bergumam membantah bahwa cowok yang sedang tertawa di dalam cafe itu bukan pacarnya kepada setiap orang yang berpapasan dengannya.

“Mbak, mbak, dia bukan pacar saya, ya. Bukan.” Meilani berlari kecil saat Zufar mengikutinya keluar cafe. Masih dengan tertawa sampai terpingkal-pingkal.

“Mas, dia bukan pacar saya kok,” kata Meilani pada laki-laki yang berpapasan dengannya. Laki-laki itu menatap Meilani dengan heran. Tidak mengerti apa maksud Meilani, lalu kemudian melanjutkan perjalanannya masuk ke dalam cafe.

Disetiap Meilani membantah kepada semua orang yang berpapasan dengannya, kalau dia bukan pacar Zufar, maka Zufar akan dengan sangat geli dan sabar mengkonfirmasi kembali bahwa cewek tersebut adalah pacarnya.

Sampai mereka berdua tiba di parkiran cafe, Meilani masih menggerutu kepada orang yang baru keluar dari mobil dan bilang, “Mas, Mbak, dia bukan pacar saya, ya. Bukan. Pacar saya gak gila kayak dia.”

***


“Heh, Mel, kok bengong. Tuh kan, salah lagi kan gue, udah cerita ke elo. Pasti lo keingetan lagi deh sama Kafar.” Gerutuan Tika membuat Meilani kembali ke dunia nyata.

“Gapapa, kok, Tik. Justru gue seneng, masih inget moment yang paling berharga dalam hidup gue.”

Tika merengut. “Makanya, Mel, elo move on dong. Cari pacar baru sana. Biar gak mikirin Kafar mulu. Kasian kan gue jadinya sama lo.”

Meilani tersenyum menenangkan. Kali ini ia sudah bisa menguasai emosinya jika ia kembali ingat tentang Zufar. “Gue males ah, move on –move on segala,” gumam Meilani.

Tika buru-buru mencibir. “Prett! Kemaren gue liat lo lagi sama Dion. Gimana kalo lo move on ke dia aja?”
Meilani tertawa terbahak-bahak. “Dion? Hahhaa... gak deh, makasih.”

“Dih, kenapa?” tanya Tika dengan gencar.

“No way. We’re just be friends, no more. Ya know?”

“Whatever!”


***TEBECE***


Chapter 11 >< Chapter 13


2 comments:

Unknown said...

CHAPTER 1 Nya dmn sist ..? Aq ndak tau petunjuknya tuk nge klik .. Makasih :)

Unknown said...

heheheh maaf ya kak, aku belom bikin index nya u,u
jadi mesti nyari ke bawah2 dulu deh huhuuh

Post a Comment

Template by:

Free Blog Templates